Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

URGENSI PENDAFTARAN TANAH SISTEMATIK LENGKAP SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

 

Herani N, Farida Patittingi, Sri Susyanti Nur

Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menemukan implementasi pendaftaran tanah sistematik lengkap dalam mewujudkan reforma agraria dan untuk mengetahui dan mendeskripsikan urgensi pendaftaran tanah sistematik lengkap dalam mewujudkan reforma agraria. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan meneliti dan menelaah fakta dilapangan. Metode penelitian menggunakan sumber data primer dan data sekunder kemudian data dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Implementasi pendaftaran tanah sistematik lengkap telah dilaksanakan di desa Melle dan desa Watu mulai dari persiapan sampai penyuluhan dan pelaksanaan terimplementasi dengan baik namun pada tahap penerbitan terdapat kendala yang berakibat target penerbitan sertipikat tidak terpenuhi (2) Urgensi pendaftaran tanah sistematik lengkap untuk memberikan kepastian hukum terhadap objek tanah, subyek, dan status kepemilikan terhadap pemilik tanah serta menata aset. Kemudian, melalui penataan akses dengan indikator adanya sertipikat yang dapat digunakan sebagai jaminan memperoleh modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai peserta yang ikut dalam kegiatan pendaftaran tanah sistematik lengkap. Pelaksanaan reforma agraria dengan kinerja yang tersistem dengan baik akan menghasilkan manfaat yang merata dirasakan di seluruh aspek lingkungan kehidupan masyarakat, tidak hanya pada aset tapi juga kepada akses yang membaik demi kesejahteraan sosial yang merata.

 

Kata Kunci: Urgensi, PTSL, Pelaksanaan, Reforma Agraria

 

Abstract

The purpose of this study is to identify and find the implementation of complete systematic land registration in realizing agrarian reform and to identify and describe the urgency of complete systematic land registration in realizing agrarian reform. This type of research is empirical legal research conducted by researching and examining the facts in the field. The research method uses primary data sources and secondary data and then the data collected is analyzed descriptively qualitatively. The results showed that; (1) Implementation of complete systematic land registration has been carried out in Melle and Watu villages starting from preparation to counseling and implementation is well implemented but at the issuance stage there are obstacles that result in the certificate issuance target being not met (2) Urgency of complete systematic land registration to provide certainty law on land objects, subjects, and ownership status of land owners as well as managing assets. Then, through structuring access with indicators of certificates that can be used as collateral to obtain capital to improve the welfare of the community as participants who participate in complete systematic land registration activities. The implementation of agrarian reform with a well-systematic performance will produce benefits that are evenly distributed throughout all aspects of the community's life, not only in assets but also in improved access for equitable social welfare.

 

Keywords: Urgency, PTSL, Implementation, Agrarian Reform

 

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang bercorak agraris, dimana tanah sangat penting bagi masyarakat di seluruh wilayah Republik Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan. Tanah adalah hal yang utama dan kompleks dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Hubungan antara manusia dan tanah sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Kebutuhan manusia untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan serta menggunakan tanah yang terus meningkat memicu terjadinya konflik dalam lingkungan masyarakat (Herdiansyah, 2019).

Kemudian dalam upaya melindungi hak milik terhadap tanah, pemerintah berkewajiban memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi setiap pemilik tanah melalui pendaftaran tanah yang hingga terbitnya sertipikat sebagai bukti autentik yang juga bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik dalam masyarakat terhadap pemilikan tanah (Anatami, 2017).

Pentingnya sertipikat tanah dalam hal ini yang dilakukan melalui program pendaftaran tanah sistematik lengkap sebagai tanda bukti hukum atas tanah yang dimiliki yang sejalan dengan tujuan reforma agraria untuk mencegah terjadinya sengketa dan perseteruan atas lahan di berbagai wilayah di Indonesia. Hanya saja, program pendaftaran tanah secara sistematik lengkap yang mendukung terwujudnya pelaksanaan reforma agraria harus dipahami benar urgensinya (Jamaluddin et al., 2021).

Maka dari itu, pemberian sertipikat atas bidang-bidang tanah penting dalam rangka melakukan penataan aset melalui penatagunaan tanah demi mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tujuan dari reforma agraria serta adanya jaminan kepastian hukum bagi kepentingan pemilik tanah (Nugroho et al., 2020). Hal ini tentu dapat memicu timbulnya konflik atau sengketa pertanahan karena pengakuan pemilikan tanah antar masyarakat terhadap bidang tanah yang mana mereka tidak memiliki bukti autentik atas bidang tanah tersebut.

Adapun target pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dilakukan percepatan untuk target realisasi semua bidang tanah di wilayah Republik Indonesia harus terdaftar sampai tahun 2025 sehingga terwujud pula reforma agraria dalam hal penataan aset melalui program Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (Riduan et al., 2020). Adapun sumber dari Biro Perencanaan dan Kerjasama Kementerian ATR/BPN bahwa target penyelesaian pendaftaran tanah pada bidang tanah yang belum terdaftar pada tahun 2022 yaitu 22.444.710 bidang tanah dan targetnya 10.000.000 bidang tanah. Di daerah Kabupaten Bone itu sendiri, target pengukuran bidang tanah dalam program PTSL pada tahun 2020 yaitu 7.020 bidang tanah dan tahun 2021 yaitu 8.071 bidang tanah.

Dari latar belakang yang telah penulis uraikan diatas, terkait dengan pelaksanaan reforma agraria atau pembaruan agraria pemerintah telah mengeluarkan serangkaian aturan dan kebijakan untuk penataan aset melalui percepatan pendataan seluruh tanah yang ada di Indonesia, salah satunya adalah program PTSL yang dilaksanakan oleh Instansi terkait salah satunya pelaksanaan PTSL di wilayah desa daerah Kabupaten Bone.

Penulis mengambil sampel penelitian terdahulu yang memiliki kesamaan topik dalam penelitian ini yatu penelitian (Yana et al., 2020) Hasil penelitian dalam jurnal ini bahwa efektivitas suatu program percepatan pendaftaran tanah di Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Bintan pada dasarnya dilakukan dengan memperbandingkan tujuan, sasaran serta target yang sudah dirumuskan sebelumnya dengan hasil nyata yang telah dicapai. Untuk mengetahui efektivitas reformasi agraria melalui program PTSL di kabupaten Bintan, peneliti menggunakan teori (Budiani, 2007) dengan empat indikator yaitu ketepatan sasaran program, sosialisasi program, tujuan program dan pemantauan program. Hal yang membedakan penelitian Wily Yana dkk dengan penelitian penulis dapat dilihat dari variabel utama judulnya, dalam penelitian Wily Yana dkk menggunakan variabelefektivitassedangkan dalam penelitian penulis menggunakan variable “urgensi”.

Adapun tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi pendaftaran tanah sistematik lengkap dalam mewujudkan reforma agrarian dan untuk mengetahui dan mendeskripsikan urgensi pendaftaran tanah sistematik lengkap dalam mewujudkan reforma agrarian.

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum empiris ialah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk dapat melihat hukum dalam artian nyata serta meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Adapun lokasi penelitian yang dipilih dalam hasil penelitian ini adalah Desa Melle dan Desa Watu yang berada di daerah Kabupaten Bone. Adapun yang menjadi sasaran peneliti dalam pengambilan data, yakni masyarakat pemilik tanah yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program pendaftaran tanah sistematik lengkap di Kabupaten Bone. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat dari wawancara langsung dengan pihak terkait yang melaksanakan PTSL di Kantor Pertanahan Kabupaten Bone, data sekunder dalam hasil penelitian ini adalah data dari kamus bahasa Indonesia oleh Departemen Pendidikan Nasional edisi ketiga, cetakan keempat yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 2007 dan kamus hukum oleh Simorangkir yang diterbitkan oleh Aksara baru pada tahun 1980.

 

 

Hasil dan Pembahasan

A. Implementasi Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Dalam Mewujudkan Reforma Agraria

Dalam pelaksanaannya Kementerian ATR/BPN mengeluarkan petunjuk teknis PTSL yang diterbitkan per-tahun sebagai acuan pelaksanaan PTSL. Juknis tersebut. Secara umum, berikut tahapan implementasi PTSL oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Bone di Desa Melle dan Desa Watu:

1.   Persiapan PTSL

Persiapan untuk pelaksanaan PTSL menjadi kewenangan dari pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Bone. Berdasarkan hasil wawancara dengan Andi Tenri Seling selaku Koordinator Kelompok Substansi Pendaftaran Hak Tanah yang merangkap sebagai sekretaris pelaksana PTSL di Kabupaten Bone dikatakan bahwa:

Setelah melakukan perencanaan dan penetapan lokasi berdasarkan pertimbangan data bidang tanah yang belum terdaftar, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bone menyiapkan sarana dan prasarana  untuk pelaksanaan kegiatan PTSL, sumber daya manusia dan pembentukan panitia pelaksana PTSL. Jadi adapun dokumen persiapan pelaksanaan PTSL adalah surat keputusan penetapan lokasi dan surat keputusan tim pelaksana.”

2.   Penyuluhan

Penyuluhan ini bertujuan untuk memberi edukasi dengan memperkenalkan program PTSL kepada masyarakat di desa bahwa PTSL merupakan program pelayanan sertipikat gratis dari pemerintah, yang merupakan jalan pintas bagi masyarakat yang ingin memperoleh sertipikat dengan proses yang mudah dan relatif cepat. Penyuluhan PTSL dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bone yang dilaksanakan di Kantor Desa Melle dan Kantor Desa Watu dan dihadiri Kepala Desa bersama Sekretaris, Bintara pembina desa , Kepala dusun, Tokoh masyarakat, dan masyarakat dari desa berlangsung dengan baik sebagaimana disampaikan oleh Jumardi selaku sekretaris Desa Melle dan hal yang sama dikatakan Mardi Saleh selaku sekretaris Desa Watu saat ditemui di Kantor desa.

3.   Pelaksanaan PTSL

Program pendaftaran tanah sistematik lengkap di Kabupaten Bone mulai dilaksanakan yang mencakup pendataan untuk menentukan target bidang tanah yang terdaftar dalam program PTSL. Setelah itu, dilaksanakanlah kegiatan prasertipikasi sebelum dilakukan pengukuran terhadap bidang tanah yang akan didaftar. Pelaksanaan PTSL Kabupaten Bone dimulai pada tahun 2017 dan masih berjalan sampai saat ini.

 

Tabel 1. Data jumlah peserta PTSL di Desa Melle

Dusun

Melle

Atakka

Gattungeng

Masalle

Peserta

133

175

271

398

Jumlah Peserta

977 Peserta PTSL di Desa Melle

Sumber: Data sekunder dari kantor Desa Melle tahun 2020.

 

Dari Tabel 1 (satu), dapat diketahui peserta PTSL di Desa Melle terdaftar sebanyak 977 (sembilan ratus tujuh puluh tujuh) peserta yang masing-masing berasal dari:

a.   Dusun Melle sebanyak 133 (seratus tiga puluh tiga) peserta;

b.   Dusun Atakka sebanyak 175 (seratus tujuh puluh lima) peserta;

c.   Dusun Gattungeng sebanyak 271 (dua ratus tujuh puluh satu peserta; dan

d.   Dusun Masalle sebanyak 398 (tiga ratus sembilan puluh delapan) peserta.

 

Tabel 2. Data jumlah peserta PTSL di Desa Watu

Dusun

Watu

Atakka

Gattungeng

Masalle

Peserta

133

175

271

398

Jumlah Peserta

977 Peserta PTSL Desa Melle

Sumber: Data sekunder dari kantor Desa Watu tahun 2021.

 

Dari Tabel 2 (dua), dapat diketahui peserta PTSL di Desa Watu terdaftar sebanyak 458 (empat ratus lima puluh delapan) peserta yang masing-masing berasal dari:

a.    Dusun Watu sebanyak 237 (dua ratus tiga puluh tujuh) peserta;

b.   Dusun Atakka sebanyak 91 (sembilan puluh satu) peserta;

c.   Dusun Gattungeng sebanyak 58 (lima puluh delapan) peserta; dan

d.   Dusun Masalle sebanyak 72 (tujuh puluh dua) peserta.

 

Dari dua tabel diatas menunjukkan bahwa telah dilakukan penatan aset melalui program PTSL di dua desa tersebut, meskipun pelaksanaannya tidak sepenuhnya berhasil, tapi dengan adanya pendataan yang telah dilakukan oleh panitia pelaksana di desa tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk tahun berikutnya dilakukan peningkatan realisasi sehingga dapat mencapai suatu desa lengkap.  Berikut tabel data pelaksanaan PTSL di Desa Melle dan Desa Watu:

 

Tabel 3. Data Pelaksanaan PTSL di Desa Melle

Desa

Target PBT

Sertipikat

Kluster 4

Melle

1.596

1.362

20

Sumber: Data Sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bone tahun 2020

 

Dari Tabel 3 (tiga), dapat diketahui bahwa pelaksanaan PTSL di Desa Melle terdapat target pengukuran bidang tanah sejumlah 1.596 (seribu lima ratus sembilan puluh enam) dan capaian sertipikat dari target tersebut adalah 1.362 (seribu tiga ratus enam puluh dua) serta terdapat 20 bidang tanah dalam kluster 4 yang berarti sudah bersertipikat sebelum pelaksanaan PTSL. Dalam skala 10-100% (sepuluh sampai seratus persen) keberhasilan pelaksanaan PTSL di Desa Melle mencapai 80% desa lengkap.

 

Tabel 4. Data Pelaksanaan PTSL di Desa Watu

Desa

Target PBT

Sertipikat

Kluster 4

Watu

1.800

458

20

Sumber: Data Sekunder dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bone, tahun 2021

 

Dari Tabel 4 (empat), dapat diketahui bahwa pelaksanaan PTSL di Desa Watu terdapat target pengukuran bidang tanah sejumlah 1.800 (seribu delapan ratus) dan capaian sertipikat dari target tersebut adalah 458 (empat ratus lima puluh delapan) serta terdapat 20 bidang tanah dalam kluster 4 yang berarti sudah bersertipikat sebelum pelaksanaan PTSL. Desa Watu pelaksanaan PTSL pada tahun 2021 belum mencapai target desa lengkap, berbeda dengan Desa Melle, ketimpangan yang cukup jauh pelaksanaan PTSL di Desa Watu antara penerbitan sertipikat dari jumlah target bidang tanah. Adapun persentase keberhasilannya hanya 40% (empat puluh persen) dari skala 100% (seratus persen).

Keberhasilan pencapaian target sertipikat dalam jumlah yang relatif banyak menghampiri target pengukuran bidang tanah tidak lain karena adanya partisipasi masyarakat untuk aktif mendaftarkan bidang tanah yang dimiliki dalam program PTSL yang dilaksanakan Kantor Pertanahan Kabupaten Bone di Desa Melle dan Desa Watu.

Jadi, dari pemerintah desa melakukan penyeragaman biaya persiapan PTSL untuk keperluan prasertipikat seperti pembelian patok, materai dan keperluan lain dalam kegiatan pengukuran masing-masing bidang tanah milik masyarakat. Kepala desa berperan secara aktif dalam membantu dan mendukung pelaksanaan PTSL di desanya karena sudah menjadi tugasnya sebagai pemimpin penyelenggaraan pemerintahan desa juga sebagai upaya melaksanakan pembangunan desa dan perlindungan masyarakat desanya terhadap konflik pertanahan.

4.   Penerbitan Sertipikat Hak Atas Tanah

Penerbitan sertipikat hak atas tanah merupakan target dan produk akhir dari pelaksanaan PTSL. Pada tahapan ini, peserta PTSL memperoleh sertipikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bone. Sertipikat hak atas tanah diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya. Penyerahan sertipikat dilakukan pada saat tahun anggaran berjalan atau paling lambat pada triwulan satu tahun berikutnya.

 

Gambar 1. Agenda Penyerahan Sertipikat Tanah Tahun 2020

Sumber: Data sekunder yang diakses melalui www.bone.go.id tahun 2020

 

Gambar empat adalah agenda penyerahan sertipikat tanah secara simbolis oleh Muhalis Menca sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bone kepada Andi Fahsar M. Padjalangi sebagai Bupati Bone. Penyerahan bertempat di Hotel Novena Watampone.

Penerbitan sertipikat di Desa Melle dan Desa Watu tidak ada yang memenuhi atau mencapai target pengukuran bidang tanah. Berdasarkan pada tabel dua dan tiga dan tabel empat terkait dengan pelaksanaan PTSL di Desa Melle dan Desa Watu yang tercatat ada 1.362 sertipikat yang telah diterima masyarakat sebagai peserta PTSL di desa dan 458 sertipikat di Desa Watu. Desa lengkap itu sendiri adalah desa yang seluruh bidang tanah dalam desa tersebut sudah terdaftar secara lengkap dan valid secara spasial maupun tekstual, dengan data yang valid dan lengkap tersebut pemerintah dapat melihat potensi desa untuk dikembangkan ke skala yang lebih besar yakni kabupaten lengkap.

 

Gambar 2. Bentuk skala desa lengkap menjadi kabupaten lengkap

Sumber data : Sekunder dari buku Petunjuk Teknis Nomor 1/Juknis-100.HKtabel.02.01/I/2022

 

Gambar lima diatas memperlihatkan bentuk dari skala desa lengkap hingga ke skala yang lebih besar lagi yaitu terbentuknya kota atau kabupaten di lengkap. Pelaksanaan PTSL yang dilakukan di desa demi desa penting demi tercapainya suatu desa lengkap yang semua bidang tanahnya telah terukur secara keseluruhan dalam desa tersebut dengan mengingat adanya fakta bahwa masih banyak bidang tanah yang belum terdaftar.

Adapun output dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah yaitu :

1.   Kepada pemilik tanah diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum;

2.   Kantor Pertanahan sebagai lembaga garis depan dalam pendaftaran tanah, haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk suatu bidang tanah, abik untuk pemerintah sendiri, sehingga dapat merencanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat;

3.   Tertib administrasi pertanahan dijadikan sesuatu hal yang wajar, Informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan dimana terlibat tanah, yaitu data fisik dan data yuridis, termasuk satuan rumah susun, informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah atau bangunan yang ada (Salle et al., 2010).

Dalam hal ini, pentingnya sertipikat itu sendiri sebagai pembuktian hak atas tanah yang dimiliki sehingga mengurangi adanya kasus sengketah tanah dan berkurangnya konflik yang disebabkan oleh tanah yang belum bersertipikat. Selanjutnya secara lebih rinci rasionalisasi dari perlunya reforma agraria ini sebenarnya mencakup lima aspek sebagai berikut:

1.   Aspek hukum, yaitu untuk terciptanya kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat atas tanah, terutama lapisan bawah dan khususnya rakyat tani;

2.   Aspek sosial, yaitu untuk terwujudnya “keadilan”. Struktur agraria yang relatif merata akan dirasakan lebih adil, se- hingga keresahan dan kemungkinan konflik pun dapat di- hindarkan;

3.   Aspek politik, yaitu demi terjaminnya “stabilitas”. Struktur agraria yang adil akan meredam keresahan, yang pada gilirannya dapat menjadi perekat persatuan dan kesatuan;

4.   Aspek psikologis, yaitu terciptanya suatu suasana social euphoria dan family security (menurut istilah A.T. Mosher, 1976), sedemikian rupa sehingga para petani menjadi termotivasi untuk mengelola usahataninya dengan lebih baik;

5.   Aspek ekonomi, yaitu bahwa semua itu pada gilirannya dapat menjadi sarana awal untuk terwujudnya peningkatan produksi.

Dengan kepemilikan bukti hak atas tanah berupa sertipikat ini yang bernilai ekonomis, dimana tanah tersebut dapat digadaikan dengan memberikan sertipikat kepada kreditur sebagai jaminan pelunasan oleh debitur selain itu tanah dapat dengan mudah dijual dengan rasa aman oleh pihak lain karena pemilik bidang tanah memiliki sertipikat hak atas tanah yang dapat dilakukan peralihan hak atas tanah yang sudah dibeli. Maka dari itu setiap bidang tanah yang dimiliki masyarakat di desa maupun di kelurahan harus diberikan kepastian hukum berupa sertipikat karena jika dibiarkan meskipun dikuasai tapi tidak dapat dibuktikan jika tanah tersebut dapat diambil alih oleh pihak lain yang memiliki sertipikat hak atas tanah tersebut, mengingat sistem pendaftaran tanah di Indonesia adalah sistem negatif bertendensi positif. Hal tersebut yang kemudian menjadi rawan konflik pertanahan bilamana dibiarkan tanah hanya dikuasai tanpa alas hak, sedangkan mempunyai sertipikat saja masih rawan terjadi sengketa atau problematika yang sering terjadi saat ini adalah mafia tanah dengan berbagai modus, mengingat sistem pendaftaran yang dianut di Indonesia adalah sistem pendaftaran negatif bertendensi positif.

B.  Urgensi Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Sebagai Wujud Pelaksanaan Reforma Agraria

Istilah urgensi merujuk pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk diselesaikan. Dengan demikian mengandaikan ada suatu masalah dan harus segera ditindak lanjuti. Urgensi berarti suatu hal yang penting, dalam hal ini urgensi atau pentingnya PTSL itu dalam mewujudkan pelaksanaan reforma agraria. Melaksanakan reforma agraria berarti membangun Indonesia mulai dari desa dan program PTSL ini sebagai wujud dari pelaksanaannya.

Reforma agraria hadir untuk mempersempit ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya akan memberikan harapan baru untuk perubahan dan pemerataan sosial ekonomi masyarakat secara menyeluruh sehingga terwujud keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut juga menjadi salah satu indikator dari pelaksanaan PTSL murni di Kabupaten Bone supaya dapat memberi manfaat kepada seluruh masyarakat desa di Kabupaten Bone yang rata-rata bekerja sebagai petani.

 

Tabel 5. Jumlah penduduk Desa Melle dan Desa Watu berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan

Desa Watu

Desa Melle

Petani

441

446

Pedagang/Wiraswasta

303

82

Pns/Tni/Polri

42

22

Karyawan Swasta

71

19

Nelayan

66

4

Tenaga Kontrak

45

65

Buruh

132

46

Pensiunan

16

-

Tidak Bekerja

437

968

Sumber data : Sekunder dari kantor Desa Melle dan Desa Watu tahun 2019

 

Berdasarkan Tabel 5 (lima) diatas, sasaran PTSL di desa dengan melihat potensi desa yang mana rata-rata penduduk adalah petani menjadi prioritas dalam pelaksanaan PTSL di desa tersebut. Tercatat penduduk berdasarkan pekerjaan di Desa Watu dan Desa Melle sebagai berikut:

a.   Petani: empat ratus empat puluh satu penduduk di Desa Watu dan empat ratus empat puluh enam di Desa Melle

b.   Pedagang atau wiraswasta: tiga ratus tiga di Desa Watu dan delapan puluh dua di Desa Melle

c.   PNS atau TNI atau Polri: empat puluh dua di Desa Watu dan dua puluh dua di Desa Melle

d.   Karyawan swasta: tujuh puluh satu di Desa Watu dan sembilan belas di Desa Melle

e.   Nelayan: enam puluh enam di Desa Watu dan empat di Desa Melle

f.    Tenaga Kontrak: empat puluh lima di Desa Watu dan enam puluh lima di Desa Melle

g.   Buruh: seratus tiga puluh dua di Desa Watu dan empat puluh enam di Desa Melle

h.   Pensiunan: enam belas di Desa Watu dan belum tercata ada pensiunan di Desa Melle

i.    Tidak bekerja: empat ratus tiga puluh tujuh di Desa Watu dan sembilan ratus enam puluh delapan di Desa Melle

Dengan pelaksanaan PTSL di Desa Melle dan Desa Watu diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan perekonomian masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan yang jauh antara masyarakat yang berada di desa dan masyarakat di perkotaan. Menurut Mosher, pembangunan pedesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau membangun pertanian.

Sedikitnya ada empat bentuk ketidakserasian atau ketimpangan agraria yang dapat diidentifikasi, yaitu:

a.   Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria;

b.   Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah;

c.   Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria;

Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan kebijakan sektoral.

Reforma Agraria tahapan awalnya adalah “registrasi tanah” dengan output memperoleh “peta” struktur penguasaan tanah. Dari reforma agraria inilah dibuat program pensertipikatan tanah secara gratis yang kemudian lahir Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap.

Dari sudut filosofi, Undang-Undang Pokok Agraria sesungguhnya merupakan jawaban atas ketidakadilan dari peraturan perundang-undangan agraria zaman kolonial terhadap kedudukan rakyat indonesia yang sebagian besar menggantungkan dirinya dari sektor pertanian. Jawaban itu direalisasikan dalam bentuk ketentuan yang menggariskan perlunya perombakan struktur pemilikan dan penguasaan tanah dengan menata kembali hubungan hukum antara orang dengan tanah dan orang dengan orang yang berhubungan dengan tanah. Tampaknya UUPA memang didesain untuk meningkatkan kedudukan mereka yang mendasarkan penghidupannya di bidang pertanian seperti pembatasan pemilikan tanah pertanian dan larangan pemilikan tanah secara absente bagi hasil pertanian dan sebagainya.

Mengingat banyaknya masyarakat pemilik tanah yang merantau ke kota yang artinya rata-rata tanah yang akan dilakukan pengukuran terkendala karena pemilik tanah yang bersebelahan tidak dapat dihadirkan karena berada diluar desa. Dalam hal bilamana tanah yang tidak dikerjakan secara aktif tersebut adalah tanah pertanian, maka ini sudah menjadi objek dari tanah (absentee).

Berdasarkan hal tersebut, maka urgen dilaksanakan program pendukung reforma agraria dengan tahapan sebagai berikut:

1.   Penataan Aset (asset reform)

Aset dalam hal ini adalah tanah sebagai objek dari pelaksanaan PTSL. Dalam aspek keagrariaan dari pelaksanaan PTSL itu sendiri dilihat ketika tahapan pelaksanaan pengecekan ulang bidang tanah yang dimiliki, pengukuran dan melakukan perbaikan apabila masih terdapat bidang tanah yang belum tepat posisinya dengan memetakannya kembali. Melalui program PTSL ini diharapkan semua bidang tanah masyarakat terukur dan memiliki legalitas berupa sertipikat tanah. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum agar tercipta tujuan hukum dalam lingkup hidup masyarakat.

Dengan demikian, untuk memperoleh rasa aman dalam pemakaian tanah tidak cukup hanya didasarkan pada fakta penguasaan tanah semata, tetapi juga diperlukan bukti dokumen berupa catatan-catatan tanah.

Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya jaminan kepastian hukum ini adalah untuk menimbulkan rasa mantap dan rasa aman. Timbul rasa mantap, kalau ada kepastian mengenai hukumnya:

a.   Tertulis (kodifikasi);

b.  Sederhana, dalam artian mudah dimengerti oleh siapa saja;

c.   Konsisten dalam pelaksanaannya/penerapannya.

 

2.   Penataan Akses (acces reform)

Access reform diwujudkan sebagai program pemberdayaan pasca sertipikasi atau legalisasi aset . Dalam hal ini, pemberdayaan terhadap masyarakat yang telah mengikuti pendaftaran tanah sistematik lengkap dan telah memperoleh sertipikat. Dengan demikian, pemberdayaan disini terkait dengan kegiatan memberikan kemampuan kepada masyarakat agar dapat mengupayakan akses ekonomi sebagai sumber peningkatan taraf hidupnya. Jadi, oleh pemerintah desa setelah pelaksanaan PTSL wajib melakukan pemberdayaan terhadap masyarakatnya yang telah memperoleh sertipikat.

Hal tersebut juga menjadi salah satu indikator dari pelaksanaan PTSL murni di Kabupaten Bone supaya dapat memberi manfaat kepada seluruh masyarakat desa yang rata-rata bekerja sebagai petani dan peternak.

Penataan akses yang dilakukan dengan pemberdayaan dalam hal ini yaitu untuk menjamin agar sertipikat yang diberikan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Dari keberlanjutan ini, dapat merekatkan kesenjangan sosial ekonomi yang timpang antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Untuk mengukur volume dari manfaat adanya program PTSL kepada masyararakat disajikan tabel sebagai berikut:

 

Tabel 6. Manfaat yang diperoleh Peserta PTSL

Peserta PTSL

Pasca PTSL

Persentase (%)

10 Peserta (Desa Melle dan Desa Watu)

2 peserta menjaminkan sertipikat yang dimiliki kepada lembaga perbankan.

1 peserta menjual tanahnya

7 peserta yang telah memiliki sertipikat hanya sebagai pengamanan aset yang dimiliki

 30 % : Acces reform

70 % : Asset reform

Sumber : Olah data Primer tahun 2022

 

        Tabel enam adalah hasil olah data primer tahun 2022 yang memperlihatkan ada 10 (sepuluh) Peserta PTSL yang dipilih secara acak di Desa Melle dan Desa Watu:

a.   Dua peserta yang berprofesi sebagai petani dan peternak menggunakan sertipikat sebagai jaminan kepada lembaga perbankan untuk memperoleh modal. satu diantaranya adalah peternak dan satu lagi adalah petani. Si petani tersebut menggunakan modal yang diperoleh untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya dengan membeli satu buah mesin pembajak sawah yang disebut traktor. Sedangkan peserta yang memiliki peternakan ayam, menggunakan modal yang diperoleh untuk membeli pakan ternak ayam dan perbaikan kandang ayamnya.

b.   Satu peserta menjual tanahnya yang merupakan tanah perkebunan, dengan adanya sertipikat yang diperoleh dari pasca PTSL, memudahkan pemilik kebun untuk menjual lahan perkebunannya. Hasil dari penjualan tanah perkebunannya dimanfaatkan untuk membangun usaha mikro kecil menengah (UMKM) yaitu usaha jual campuran; dan

c.   Delapan peserta lainnya adalah petani. Sertipikat yang dimiliki hanya disimpan sebagai pengaman terhadap aset yang dimiliki. 

 

Dengan persentase dari keseluruhan peserta ada 30% (tiga puluh persen) dari peserta pasca PTSL yang menggunakan sertipikat tanahnya untuk pengembangan usahanya dan 70% (tujuh puluh persen) dari peserta hanya menyimpan sertipikat tersebut.

Data diatas menunjukkan bahwa pasca PTSL diperlukan adanya pemberdayaan terhadap masyarakat agar keseluruhan dari masyarakat dapat secara merata meningkatkan taraf hidupnya dengan memperoleh sumber ekonomi yang diusahakan dengan memanfaatkan aset yang dimiliki. Jadi, pengaturan yang baik terhadap aset yang dimiliki bukan dengan menyimpan saja, tapi digunakan untuk memperoleh penghasilan lain. Jadi pemberdayaan dilakukan agar ada usaha mandiri dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya dalam hal perekonomian.

Jadi, manfaat dari pelaksanaan PTSL yang dirasakan oleh peserta PTSL yaitu akses yang dapat diperoleh peserta PTSL melalui upaya pemberdayaan adalah mengakses permodalan melalui dari lembaga perbankan. Menurut Ketaren: “Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi” bukan sekedar “proses instan” dimana didalamnya terdapat 3 tahapan, yaitu:

1.   Penyadaran Memberikan pemahaman terhadapat masyarakat terkait pentingnya proses pemberdayaan guna peningkatan kapasitas/kemampuan mereka menjadi lebih baik, Hal ini dikarenakan tujuan dari proses ini adalah peningkatan kesejahteraan mereka.

2.   Pengkapasitasan Capacity Building atau yang lebih sederhananya adalah memberikan sesuatu akses terhadap masayarakat terkait dengan peningkatan kemampuan masayarakat yang akhirnya dapat mensejahterkan masyarakat itu sendiri. Kondisi ini sangat spesifik sehingga harus mengutamakan keinginan dan kehendak masyarakat sehingga pihak-pihak terkait dalam tahapan pertama diatas harus dapat membaca kondisi potensi wilayah yang akan menjadi sasaran. Misalnya pemberdayaan masyrakat di pegunungan akan berbeda dengan masyarakat pesisir. Pengkapasitasan disini dalam upaya memberikan kemampuan lebih baik kepada perorangan maupun masyarakat secara kolektif sebagai sebuah community.

3.   Pendayaan  suatu kondisi dimana masyarakat secara individu maupun kelompok yang telah diberikan kemampuan lebih pada tahap ini telah mampu mengelola dan mengatur keungulan yang spesifik telah mereka terima, dilanjutkan dengan pemberian kewenangan kepada masyarakat secara mandiri sesuai dengan kemampuan mereka.”

 

Kemudian sebagaimana kita ketahui bahwa reforma agraria merupakan restrukturisasi penguasaan tanah, jadi dalam pelaksanaan PTSL ditemui ada ketimpangan penguasaan tanah inilah yang akan dievaluasi menjadi objek target reforma agraria untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah dan hal inilah yang menjadi sumber kesejahteraan yang merata di wilayah Republik Indonesia. Sejalan dengan kegiatan legalisasi aset yang telah dimiliki oleh masyarakat. Data perencanaan dalam reforma agraria sebagai dasar untuk mempertimbangkan masyarakat yang belum memiliki tanah dengan teknis pembagian tanah yang pemilik tanah yang melebihi luas batas maksimum kepemilikan. Tingginya permintaan tanah antara lain dilatarbelakangi dengan tingginya pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tanah saat ini dianggap sebagai suatu komoditi bisnis yang sangat potensial menghasilkan keuntungan, seperti bisnis di bidang pembangunan perumahan , bisnis apartemen, pertokoan dan sebagainya. Dengan demikian terlihat betapa pentingnya masalah pendaftaran tanah diangkat ke permukaan yang kesemuanya diarahkan pada pemberian bentuk kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah yang dimiliki oleh subyek pemegang hak atas tanah yaitu orang dan badan hukum.

 

 

Kesimpulan

Pendaftaran tanah sistematik lengkap telah dilakasanakan di Desa Melle dan Desa Watu dengan fakta bahwa pada tahapan persiapan, penyuluhan, dan pelaksanaan berjalan dengan baik namun pada tahapan penerbitan sertipikat terdapat kendala sehingga sertipikat yang terbit tidak sesuai dengan target pengukuran bidang tanah di dua desa tersebut. Beberapa faktor yang mendorong masyarakat di desa untuk terlibat dalam program PTSL adalah prosedur yang mudah karena dibantu secara aktif oleh aparat desa dan petugas dari kantor Pertanahan itu sendiri, juga waktu yang relatif cepat dan biaya PTSL yang terjangkau dibanding dengan mengurus sendiri di Kantor Pertanahan.

Kemudian, output dari pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik lengkap sebagai wujud pelaksanaan reforma agraria dilihat dari tujuannya yang sejalan dengan tujuan reforma agraria dan tujuan hukum yakni kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Disamping itu, tercapai suatu desa lengkap yang merupakan cikal bakal untuk skala yang lebih besar yaitu terbentuknya kabupaten lengkap.

 


BIBLIOGRAPHY

 

Anatami, D. (2017). Tanggung jawab siapa, bila terjadi sertifikat ganda atas sebidang tanah. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 12(1), 1–17.

 

Budiani, N. W. (2007). Efektivitas program penanggulangan pengangguran karang taruna “eka taruna bhakti” desa sumerta kelod kecamatan denpasar timur kota denpasar. Jurnal Ekonomi Dan Sosial Input, 2(1), 49–57.

 

Herdiansyah, H. (2019). Pengelolaan konflik sumber daya alam terbarukan di perbatasan dalam pendekatan ekologi politik. Jurnal Hubungan Internasional, 7(2), 144–151.

 

Jamaluddin, J., Nursadrina, N., Nasrullah, M. N. M., Darwis, M., & Salam, R. (2021). Efektivitas Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Ptsl) Dalam Rangka Percepatan Pendaftaran Tanah Pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Makassar. Jurnal Pallangga Praja (JPP), 11–17.

 

Nugroho, A., Suharno, S., Setiowati, S., & Kistiyah, S. (2020). Problematika Reforma Agraria Di Kabupaten Bantul Dan Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Riduan, R., Yusuf, M., & Sintaman, P. I. (2020). Efektifitas Pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kecamatan Sukamara Kabupaten Sukamara. Pencerah Publik, 7(1), 29–36.

 

Salle, A., Saleng, S., Pide, A. S. M., Patittingi, F., Nur, S. S., & Lahae, K. (2010). Bahan Ajar Hukum Agraria. Makassar: AS Publishing.

 

Yana, W., Muhammad, A. S., & Edison, E. (2020). Efektivitas Reformasi Agraria Melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Kabupaten Bintan. Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JUAN), 8(2), 133–146.

 

Copyright holder:

Herani N (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: