Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
TINJAUAN
YURIDIS KEWENANGAN AJUDIKASI OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM SENGKETA PELAYANAN
PUBLIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oktir Nebi
Sekolah
Tinggi Ilmu Administrasi (STIA-Nusa)
Sungai Penuh, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Tujuan dari
penelitian ini adalah: 1)Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme kewenangan
Ombudsman dalam
melaksanakan ajudikasi khusus. 2)Untuk
mengetahui dan menganalisis kekuatan hukum hasil ajudikasi Ombudsman dalam sengketa pelayanan publik berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Rumusan masalah: 1)Bagaimana mekanisme
kewenangan Ombudsman dalam melaksanakan ajudikasi
khusus. 2)Bagaimana kekuatan hukum hasil ajudikasi Ombudsman dalam sengketa pelayanan publik berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Metode penelitian: metode penelitian yang
digunakan penelitian hukum yuridis normatif. Hasil penelitian adalah:
1)Mekanisme kewenangan Ombudsman dalam melaksanakan ajudikasi khusus
hanya dilakukan terhadap penyelesaian ganti rugi atas rekomendasi Ombudsman
dalam sengketa pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sidang ajudikasi
khusus yang dilakukan oleh Ombudsman dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus dan putusan ajudikasi
khusus Ombudsman bersifat final, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh terlapor. 2)Kekuatan hukum hasil ajudikasi Ombudsman dalam sengketa
pelayanan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa putusan ajudikasi khusus Ombudsman berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
Republik Indonesia dalam bentuk rekomendasi termasuk ganti rugi yang disusun
berdasarkan investigasi Ombudsman, akan tetapi putusan ajudikasi
Ombudsman berdasarkan kewenangannya walaupun bersifat final dan harus
dilaksanakan tapi putusan tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial
memaksa karena sanksi yang dapat diberikan hanya sanksi administratif dan Ombudsman dapat mempublikasikan atasan terlapor
yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada dewan
perwakilan rakyat dan presiden.
Kata Kunci: Kewenangan,
Ajudikasi, Ombudsman Republik Indonesia dan Sengketa
Pelayanan Publik
Abstract
The
objectives of this study are: 1) To identify and analyze the mechanism of the
Ombudsman's authority in carrying out special adjudication. 2) To find out and
analyze the legal force of the Ombudsman's adjudication results in public
service disputes based on statutory regulations. Problem formulation: 1) How is
the mechanism of the Ombudsman's authority in carrying out special
adjudication. 2) What is the legal force of the Ombudsman's adjudication in a
public service dispute based on statutory regulations. Research method: the
research method used is normative juridical law research. The results of the
study are: 1) The mechanism of the Ombudsman's authority in carrying out
special adjudication is only carried out on the settlement of compensation on
the recommendation of the Ombudsman in public service disputes based on Law
Number 25 of 2009 concerning Public Services. The special adjudication session
conducted by the Ombudsman is carried out based on the Ombudsman Regulation of
the Republic of Indonesia Number 31 of 2018 concerning the Mechanisms and
Procedures for Special Adjudication and the decision of the Ombudsman's special
adjudication is final, binding and must be carried out by the reported party.
2) The legal strength of the results of the Ombudsman adjudication in public
service disputes based on the legislation that the Ombudsman special
adjudication decision is based on Law Number 37 of 2008 concerning the
Ombudsman of the Republic of Indonesia in the form of recommendations including
compensation prepared based on the Ombudsman's investigation, but the Ombudsman
adjudication decision based on its authority, although it is final and must be
implemented, the decision does not have coercive executive power because the
only sanctions that can be given are administrative sanctions and the Ombudsman
can publish the reported superiors who do not implement the recommendations and
submit reports to the people's representative council and the president.
Keywords: Authority,
Adjudication, Ombudsman of the Republic of Indonesia and Public Service
Disputes
Pendahuluan
Setiap
warga negara berhak untuk mendapatkan persamaan perlakuan yang adil, baik dalam
hukum maupun pemerintahan. Reformasi pemerintahan, dengan tujuan menciptakan
suatu pemerintahan yang baik, bersih dan efisien guna mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh warga Negara, pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek
kehidupan yang sangat luas.
Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik
yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan
atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam bidang kesehatan, pendidikan, pengurusan surat-surat tertentu, dan lainnya[1].
Salah satu
hak warga negara Indonesia adalah mendapatkan pelayanan
publik yang baik. Tujuan pelayanan publik secara umum
dikutip dari Surjadi menerangkan
bahwa:
Pelayanan
publik yang dilakukan oleh pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat
memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi,
mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam
pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada lembaga pemerintahan khususnya dalam pemberian pelayanan publik.[2]
Upaya pemerintahan dalam rangka peningkatan pelayanan publik salah satunya dengan melakukan upaya preventif dengan pembentukan peraturan-perundang-undangan
mengenai pelayanan publik yang kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.
Pengertian pelayanan publik berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik ditentukan bahwa “Pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan
penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
Maksud
dari pembentukan
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik sebagaimana
diatur pada Pasal 2 yaitu agar dapat memberikan kepastian hukum antara hubungan
masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik. Selanjutnya tujuan pembentukan
Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik sebagaimana diatur dalam Pasal
3 yaitu:
a. Terwujudnya
batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan
kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
b. Terwujudnya
sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan dan korporasi yang baik;
c. Terpenuhinya
penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan
d. Terwujudnya
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan publik.
Dapat dikatakan bahwa pelayanan publik merupakan
segala bentuk jasa pelayanan publik maupun yang pada prinsipnya menjadi
tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat maupun di
daerah ataupun di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik
Daerah.
Dalam
hal pentingnya pemenuhan kebutuhan
masyarakat, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, agar
pelayanan publik dapat terselenggara dengan baik, maka negara membentuk satu
lembaga yang mengawasi penyelengaraan pelayanan publik, agar dapat memberikan
pelayanan dengan baik yaitu Ombudsman Republik Indonesia.
Keberadaan Ombudsman Republik
Indonesia dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden
Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional". Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun
2000 tentang Komisi Ombudsman
Nasional, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga
pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:
1.
Bahwa pemberdayaan masyarakat
melalui peran serta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin
peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi,
dan nepotisme;
2.
Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh
masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi
yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan,
wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
3.
Bahwa dalam penyelenggaraan negara
khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan
terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga
peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan
keadilan dan kesejahteraan.
Tujuan pembentukan lembaga Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana dikutip dari Budhi
Matshuri menerangkan bahwa:
Komisi
Ombudsman Nasional sebagai lembaga yang bertujuan memberikan pelayanan umum kepada
seluruh masyarakat. Pendirian
Lembaga Ombudsman mempunyai kepentingan untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik. Kehadiran Lembaga Ombudsman
diharapkan mampu memberikan solusi
bagi perbaikan penyelenggaraan khususnya terhadap lembaga pemerintahan.[3]
Dalam rangka memperkuat
lembaga Ombudsman, maka kemudian lembaga
Ombudsman Republik
Indonesia dibentuk berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Angka 1 bahwa:
Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan
pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Kehadiran Lembaga Ombudsman
dirancang sebagai lembaga publik yang
dapat memberikan akses dan kontrol masyarakat dalam partisipasi pengawasan kinerja pelayanan publik
dan atau dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat yang berkaitan dengan
persoalan masyarakat dengan lembaga pemerintahan. Ombudsman berfungsi mengawasi
penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik
Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan publik tertentu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Ombusman
Republik Indonesia yang telah
memiliki landasan hukum yaitu diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia mengatur mengenai hal-hal tujuan dibentuknya ombudsman yang
terdiri dari pengaturan fungsi dalam Pasal 6, pengaturan tugas dalam Pasal 7 serta
pengaturan kewenangan
Ombudsman dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Pada dasarnya dengan adanya
Ombusman Republik Indonesia hendaknya dapat mengawasi seluruh penyelenggaraan
pelayanan publik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dari seluruh rakyat
Indonesia. Pengawasan yang dilakukan oleh ombudsman merupakan bentuk pengawasan eksternal yang bersifat represif, apabila
adanya laporan dari pelapor yang merasa dirugikan dengan penyelengaraan
pelayanan publik yang pelapor rasakan. menurut M.
Thalhah dan Sobirin Malian menyatakan
bahwa:
Fungsi
Ombudsman Republik Indonesia sebagai pengawas pelayanan publik merupakan salah
satu upaya perwujudan good
governance melalui tiga unsur pokok yang menjadi dasar asas-asas umum
pemerintahan yang baik (good governance) yaitu akuntabilitas publik, kepastian
hukum dan transparansi publik.[4]
Keberadaan
Ombudsman Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada
prinsipnya berperan sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi pengawasan
terhadap pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara.
Dengan tugas dan fungsi seperti itu, keberadaan Ombudsman Republik Indonesia sangat penting dalam pemenuhan
perlindungan dan kesejahteraan masyarakat sebagai bagian tujuan bernegara.
Pengawasan merupakan pengendalian
dan pemeriksaan kinerja, menentukan apa yang telah tercapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif guna memastikan hasil yang sesuai dengan rencana.[5]
Keberadaan Ombudman dapat dikemukakan sebagai sebuah lembaga yang menangani masalah sengketa
pelayanan publik yang lahir
dari adanya pengaduan dan/laporan masyarakat penerima pelayanan yang tidak puas
atau merasa dirugikan oleh tindakan
atau keputusan dari penyelenggaran pelayanan publik.
Adapun hasil
keputusan Ombudsman adalah berbentuk
rekomendasi, dan rekomendasi ini bukan sebagai putusan hakim, sebagaimana
ketentuan pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang berbunyi:
“Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan
hasil investigasi Ombudsman, kepada atasan terlapor untuk dilaksanakan dan/atau
ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi
pemerintahan yang baik”.
Terhadap
hasil rekomendasi Ombudsman yang tidak dilaksanakan maka Ombudsman memiliki
kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38
ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia
yang berbunyi:“Dalam hal Terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan
Rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian Rekomendasi dengan alasan yang
tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman dapat mempublikasikan atasan
Terlapor yang tidak melaksanakan Rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Salah satu
kewenangan Ombudsman adalah
melakukan upaya ajudikasi terhadap penyelesaian ganti rugi akibat sengketa
pelayanan pablik sebagaimana tertuang dalam Pasal 50 ayat 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
yang menentukan “Dalam
hal penyelesaian ganti rugi, Ombudsman dapat melakukan mediasi, konsiliasi, dan
ajudikasi khusus”.
Selanjutnya dalam penjelasan
Pasal 50 ayat 5 tersebut menyatakan bahwa ajudikasi khusus adalah ajudikasi
yang hanya terkait dengan penyelesaian ganti rugi. Penyelesaian ganti rugi
dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila tidak dapat diselesaikan dengan mediasi
dan konsiliasi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikemukakan
bahwa hasil dari proses
pemeriksaan tersebut berupa rekomendasi/saran. Sedangkan proses pemeriksaan
melalui mediasi/konsiliasi akan menghasilkan kesepakatan, dan ajudikasi khusus
akan menghasilkan putusan. Hal ini menunjukkan bahwa produk Ombudsman dalam
penyelesaian permasalahan yang dilaporkan kepada Ombudsman (termasuk sengketa
pelayanan publik) tidaklah berbentuk putusan, melainkan rekomendasi.
Mengingat bahwa ajudikasi
adalah sebuah cara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau konflik
antara dua pihak dengan melibatkan orang lain sebagai pihak ketiga. Nantinya
pihak ketiga tersebut akan menjadi penengah untuk mencari jalan keluar dan
menghasilkan keputusan yang adil dan bisa diterima kedua pihak yang bersifat mengikat.[6]
Dilihat
dari sifat ajudikasi yang merupakan proses penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau disebut dengan non litigasi, namun proses ajudikasi yang
dilakukan Ombudsman yang merupakan salah satu upaya penyelesaian ganti rugi
dalam penyelenggaran pelayanan publik apabila proses mediasi dan konsiliasi
tidak menemukan hasil, maka ajudikasi ombudsman merupakan ajudikasi non
ligitasi namun keputusannya memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena
dilakukan oleh lembaga negara yang telah diatur kewenangannya dalam peraturan
perundang-undangan, namun hasil ajudikasi tersebut tidaklah membuat sanksi
apabila tidak dilaksanakan karena dilihat dari kewenangan ombudsman hanyalah
berupa rekomendasi berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf f Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Karena
proses ajudikasi adalah proses hukum dengan seorang penengah atau hakim,
artinya bahwa
proses yang akan menempatkan Ombudsman sebagai hakim penengah yang akan
melahirkan Putusan Hakim. Hal ini akan menjadi suatu kontroversi mengingat keputusan
Ombudsman hanyalah berupa rekomendasi atau saran saja.
Metode Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif (yuridis normatif), yaitu
pengkajian hukum terhadap aturan-aturan hukum meliputi pengkajian asas-asas
hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan atau
sejarah hukum dengan tujuan untuk menjelaskan hukum sesuai dengan kasus
tertentu.[7]
Hasil
dan Pembahasan
1.
Mekanisme Kewenangan Ombudsman dalam melaksanakan
ajudikasi khusus
Ombudsman
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman
Republik Indonesia, dimana dalam penjelasan umum Undang-Undang ini dinyatakan
keberadaan lembaga Ombudsman sebagai lembaga pengawasan eksternal atas
penyelenggaraan negara, Ombudsman mempunyai kewenangan memeriksa hal-hal yang
sifatnya mal-administrasi dan kedudukan Ombudsman adalah sebagai lembaga negara
yang independen. Hal ini dimaksudkan agar dalam melaksanakan tugasnya Ombudsman
dapat bersikap obyektif, transparan, dan mempunyai akuntabilitas kepada publik.
Kewenangan
Ombudsman selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia, juga memiliki kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1angka 11 bahwa
"Ajudikasi
adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antar para pihak yang
diputus oleh ombudsman". Dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik ditentukan pula mengenai penyelesaian pengaduan oleh Ombudsman.
mengenai kewenangan ajudikasi khusus Ombudsman hanya dapat dilakukan dalam
penyelesaian ganti rugi dalam sengketa atau pengaduan terhadap penyelenggara
pelayanan publik, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik bahwa "Dalam hal penyelesaian ganti rugi,
ombudsman dapat melakukan mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus".
Fungsi
Ombudsman Republik Indonesia merupakan salah satu unsur pengawasan dalam sistem
pengawasan Indonesia, yakni bentuk pengawasan yang lembaga yang bersifat
mandiri dan tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintah lainnya, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari
campur tangan kekuasaan lainnya.
Sebagaimana
diketahui bahwa keberadaan Ombudsman sebagai sebuah lembaga yang menangani
masalah sengketa pelayanan publik yang lahir dari adanya pengaduan dan/laporan
masyarakat penerima pelayanan yang tidak puas atau merasa dirugikan oleh
tindakan atau keputusan dari penyelenggaran pelayanan publik.
Sengketa
pelayanan publik merupakan tindakan maladministrasi yang dilakukan oleh
penyelenggara pelayanan publik, sebagaimana dikutip dari jurnal oleh Eufemia
Lawati Salabbaet bahwa:
Ombudsman
Nasional sendiri membuat katagori tindakan maladministrasi sebagai:
1) Tindakan
yang dirasakan janggal (inappropriate) karena dilakukan tidak
sebagaimana mestinya.
2) Tindakan
yang menyimpang (deviate).
3) Tindakan
yang melanggar ketentuan (irregular / illegitimate)
4) Tindakan
penyalahgunaan wewenang (abuse of power),
5) Tindakan
penundaan yang mengakibatkan keterlambatan yang tidak perlu (undue delay).
6) Tindakan
yang tidak patut (inequaty)[8].
Selanjutnya
menurut Sunaryati, dkk sebagaimana dikutip dari jurnal oleh Eufemia Lawati
Salabbaet bahwa bentuk-bentuk maladministrasi terdiri dari dua puluh katagori.
Dalam hal ini dapat diklarifikasikan menjadi enam kelompok berdasarkan
karakterisitik, diantaranya adalah:
Kelompok pertama adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan ketetapan waktu dalam proses
pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut, tidak
menangani dan melalaikan kewajiban.
1.
Penundaan Berlarut. Dalam
proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat,seorang pejabat publik secara
berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu tanpa alasan yang jelas dan masuk
akal sehingga proses administrasi yang sedangkan dikerjakan menjadi tidak tepat
waktu sebagaimana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang
tidak ada kepastian.
2.
Tidak Menangani. Seorang
pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib
dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat.
3.
Melalaikan kewajiban.
Dalam proses penerimaan pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak kurang
berhati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi kewajiban dan
tanggung jawabnya.
Kelompok kedua adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan keberpihakkan sehingga
menimbulkan rasa ketidak adilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari
persengkokolan, kolusi, dan nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata
berpihak.
Kelompok ketiga adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk
pelanggaran terhadap hukum dan
peraturan perundangan: Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran
Undang-Undang, perbuatan melawan hukum.
Kelompok keempat adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan kewenagan/ kompetensi atau
ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada
masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan di luar kompetensi, pejabat yang
tidak kompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses pemberian
pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpang prosedur tetap.
1.
Di luar kompetensi. Dalam
proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang
bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara
baik.
2.
Tidak Kompeten. Dalam
proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu atau tidak
cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang di berikan kepada
masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik).
3.
Penyimpangan Prosedur.
Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mematuhi
tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat
tidak memperoleh pelayanan umum secara baik.
Kelompok kelima adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat
publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Kelompok ini
terdiri dari:
1.
Bertindak
Sewenang-wenang. Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan
kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga
tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan
pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
2.
Penyalahgunaan Wewenang.
Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk
bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan
umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya.
3.
Bertindak Tidak Layak /
Tidak Patut. Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik
melakukan sesuatu yang tidak wajar, tidak patut, dan tidak pantas sehingga
masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya.
Kelompok keenam adalah
bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan tindakan korupsi secara aktif.
Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau permintaan imbalan uang
(korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan
barang bukti.[9]
Dalam
penanganan pengaduan masyarakat mengenai penyelenggaran pelayanan yang
dilaksanakan oleh Ombudsman dilakukan dengan cara-cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. adapun
kegiatan penyelesaian laporan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Laporan
Mengenai
Laporan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia bahwa "Setiap warga negara Indonesia atau penduduk berhak
menyampaikan Laporan kepada Ombudsman". Selanjutnya mengenai tata cara
pelaporan diatur dalam Pasal 24 sebagai berikut:
1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
status perkawinan, pekerjaan, dan alamat lengkap Pelapor
b. memuat uraian peristiwa, tindakan, atau
keputusan yang dilaporkan secara rinci; dan
c. sudah menyampaikan Laporan secara langsung
kepada pihak Terlapor atau atasannya, tetapi Laporan tersebut tidak mendapat
penyelesaian sebagaimana mestinya.
2) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas
Pelapor dapat dirahasiakan.
3) Peristiwa, tindakan atau keputusan yang
dikeluhkan atau dilaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lewat 2
(dua) tahun sejak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang bersangkutan
terjadi.
4) Dalam keadaan tertentu, penyampaian Laporan
dapat dikuasakan kepada pihak lain.
2.
Pemeriksaan
Laporan
Terhadap
laporan pengaduan dari masyarakat, selanjutnya Ombudsman akan melaksanakan
pemeriksaan laporan masyarakat tersebut yang pelaksanaanya di dasarkan pada
ketentuan Pasal 25 s/d Pasal 34 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia. Adapun hasil pemeriksaan laporan oleh Ombudsman
sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia menentukan bahwa "Hasil pemeriksaan Ombudsman
dapat berupa":
a) menolak
Laporan; atau
b) menerima
Laporan dan memberikan Rekomendasi.
3.
Rekomendasi
Dalam
hal laporan diterima oleh ombudsman dan ditindaklanjuti, selanjutnya Ombudsman
akan memberikan rekomendasi sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia.
Terhadap
hasil rekomendasi ombudsman maka terlapor wajib melaksanakan laporan tersebut,
hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia yang menentukan bahwa "Terlapor dan atasan Terlapor wajib melaksanakan
Rekomendasi Ombudsman".
Dalam rangka pelaksanaan rekomendasi ombudsman,
maka ombudsman dapat melakukan pengawasan, hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal
38 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia yang menentukan bahwa "Ombudsman dapat meminta keterangan Terlapor
dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan
pelaksanaan Rekomendasi".
Akan tetapi apabila rekomendasi Ombudsman tidak
dilaksanakan oleh terlapor, maka ombudsman dapat memberikan tindakan, adapun
tindakan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal
38 ayat 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik
Indonesia yang menentukan bahwa "Dalam hal terlapor dan atasan terlapor tidak
melaksanakan rekomendasi atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan
alasan yang tidak dapat diterima oleh ombudsman, ombudsman dapat
mempublikasikan atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi dan
menyampaikan laporan kepada dewan perwakilan rakyat dan presiden".
Kewenangan
Ombudsman sebagai lembaga pengawasan dalam penyelenggaran pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau
perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik, yang mana
hasil dari pengawasan tersebut berupa penerimaan laporan atau pengaduan
masyarakat dan memberikan keputusan yang berupa rekomendasi.
Selanjutnya kewenangan ombudsman dalam sengketa
pelayanan publik diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat 1 bahwa
"Ombudsman
wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan dari masyarakat mengenai
penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan Undang-Undang ini".
Penyelesaian sengketa pelayanan publik yang
bersumber dari pengaduan masyarakat dapat dillakukan oleh ombudsman didasarkan
dari kemauan atau kehendari dari pelapor, hal
ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 46 ayat 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik yang menentukan bahwa "Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan
masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan
oleh Penyelenggara".
Dasar pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan
pelayanan publik disebabkan karena tidak terpenuhinya hak masyarakat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik yang menentukan bahwa masyarakat berhak :
a. Mengetahui
kebenaran isi standar pelayanan;
b. Mengawasi
pelaksanaan standar pelayanan;
c. Mendapat
tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. Mendapat
advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
e. Memberitahukan
kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan
yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
f. Memberitahukan
kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan
tidak sesuai dengan standar pelayanan;
g. Mengadukan
pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman;
h. Mengadukan
penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman; dan\
i. Mendapat
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.
Adapun bentuk rekomendasi Ombudsman dalam
sengketa pelayanan publik menurut penulis salah satunya dapat berupa ganti rugi
sesuai dari tuntunan pelapor, hal ini
sebagai ditentukan dalam Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik yang menentukan bahwa "Dalam hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat jumlah ganti rugi dan batas waktu
pembayarannya".
Terkait dengan pelaksanaan ganti rugi yang
merupakan hasil keputusan Ombudsman sebagai bentuk dari rekomendasi Ombudsman
dalam sengketa pelayanan publik, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, Ombudsman berwenang untuk melakukan upaya-upaya yang
ditentukan dalam Pasal 50 ayat 5 bahwa "Dalam hal penyelesaian ganti rugi, ombudsman
dapat melakukan mediasi, konsiliasi, dan ajudikasi khusus".
Dari pengaturan di atas dapat dikatakan bahwa
dalam pelaksanaan rekomendasi Ombudsman akibat adanya sengketa pelayanan publik
dalam bentuk ganti rugi, upaya yang dapat dilakukan ombudsman dengan mediasi,
konsiliasi, dan ajudikasi khusus.
Mediasi yang dimaksud mengacu pada ketentuan
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik bahwa mediasi bermakna yaitu"Mediasi adalah penyelesaian sengketa pelayanan
publik antarpara pihak melalui bantuan, baik oleh ombudsman sendiri maupun
melalui mediator yang dibentuk oleh ombudsman".
Pada dasarnya mediasi merupakan bentuk
penyelesaian perkara di laur pengadilan atau non litigasi, sebagaimana dikutip
dari jurnal oleh Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky
Febrina menyatakan bahwa
mediasi adalah "Penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak
ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai
penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif
penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang
bersengketa".[10]
Selanjutnya penyelesaian
dengan konsiliasi
sebagaimana dikutip dari jurnal oleh Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia
Dwi M, dan Winda Rizky Febrina menyatakan bahwa konsiliasi adalah:
Konsiliasi adalah
penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana
konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan
merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada
para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan
suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari
sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi
hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada
itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.[11]
Selanjutnya dalam rangka penyelesaian ganti rugi
dalam sengketa pelayanan publik, maka Ombudsman memiliki kewenangan melakukan
ajudikasi khusus. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik bahwa "Ajudikasi adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antar
para pihak yang diputus oleh ombudsman".
Kewenangan
Ombudsman untuk menyelesaikan permasalahan ganti rugi akibat sengketa terhadap
pelayanan publik dengan ajudikasi khusus dilakukan jika tidak bisa diselesaikan
secara mediasi dan konsiliasi. atau dengan kata lain penyelesaian ajudikasi
khusus hanya menyangkut atas permasalahan ganti rugi dari sengketa yang sudah
diputuskan oleh Ombudsman Republik Indonesia.
Dalam
Pelaksanaan ajudikasi khusus oleh ombudsman terhadap dalam rangka penyelesaian
ganti rugi atas pengaduan dari masyarakat terhadap penyelenggaran pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara maupun daerah dan juga
badan dan lembaga yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dilaksanakan
dengan mengacu pada ketentuan Peraturan Ombudsman
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus.
Pelaksanaan
ajudikasi khusus yang hanya terkait dengan penyelesaian ganti rugi dan
dilaksanakan apabila tidak dapat penyelesaian perkara tidak dapat diselesaikan
dengan mediasi dan konsiliasi.
Upaya
mediasi dan konsiliasi merupakan kewenangan pada Ombudsman dalam rangka
penyelesaian ganti rugi, dengan kata lain upaya mediasi dan konsiliasi
difasilitasi oleh Ombudsman itu sendiri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
1 angka 12 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang
Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus bahwa "Konsiliasi adalah proses
penyelesaian sengketa pelayanan publik untuk
mencari perdamaian diluar pengadilan oleh Konsiliator melalui
usulan kerangka penyelesaian namun
usulan keputusan tersebut sifatnya tidak
mengikat. Dan mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 bahwa
"Mediasi adalah penyelesaian sengketa pelayanan publik antar para
pihak melalui bantuan, baik oleh
ombudsman sendiri maupun melalui mediator yang
dibentuk oleh ombudsman".
Dari
pengaturan di atas dapat dikemukakan bahwa penyelesaian dengan konsiliasi yang
dilakukan oleh konsilitator dengan memberikan keputusan namun keputusan
tersebut tidak mengikat, atau dengan kata lain keputusan konsiliator
dikembalikan lagi kepada pihak yang bersengkata apakah kedua belah pihak secara
bersama-sama beriktikad baik menyetujui dan melaksanakan hasil yang dibuat oleh
konsilitator.
Sedangkan
mediasi dari pengaturan di atas dapat dikemukakana bahwa penyelesaian perkara
dengan mediasi dilaksanakan oleh mediator yang dibentuk oleh Ombudsman, dimana
dalam proses mediasi akan dipertemukan kedua belah pihak untuk dilakukan
musyawarah untuk mencapat mufakat atau kesepakatan.
Dapat
dikatakan bahwa upaya konsiliasi dan mediasi yang dilakukan oleh ombudsman
merupakan rangkaian dalam penyelesaian perkara secara non litigasi dalam
penyelesaian ganti rugi dalam sengketa pelayanan publik yang sifatnya
dilaksanakan atas iktikad baik kedua belah pihak yang bersengketa.
Namun,
apabila penyelesaian ganti rugi dalam sengketa pelayanan publik tidak dapat
diselesaikan dengan konsiliasi dan medias, maka Ombudsman berwenang melakukan
ajudikasi yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Ombudsman
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara
Ajudikasi Khusus bahwa "Ajudikasi adalah
proses penyelesaian ganti
rugi atas sengketa pelayanan
publik yang diputus
oleh Ombudsman".
Dalam
penyelesaian ganti rugi disebut dengan ajudikasi khusus, artinya ajudikasi
khusus hanya khusus dilakukan dalam penyelesaian ganti rugi, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus bahwa
"Ajudikasi Khusus adalah Ajudikasi
yang hanya terkait dengan penyelesaian ganti rugi. Penyelesaian ganti rugi
dalam ketentuan ini dimaksudkan apabila tidak dapat diselesaikan dengan Mediasi
dan Konsiliasi".
Dari
pengaturan di atas dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan ajudikasi khusus
merupakan upaya terakhir yang dapat dilakukan ombudsman sebagai lembaga
pengawas penyelenggar pelayanan publik dalam penyelesaian ganti rugi
berdasarkan hasil rekomendasi Ombudsman atas penyelesaian laporan masyarakat,
yang mana ajudikasi khusus dilakukan apabila upaya mediasi dan konsiliasi tidak
menemukan hasil.
Ajudikasi
yang dilaksanakan oleh ajudikator sebagai sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan
permohonan ganti rugi dalam persidangan Ajudikasi Khusus sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus.
Penyelesaian
ganti rugi yang dilakukan dengan ajudikasi khusus dilaksanakan dalam bentuk
persidangan dengan asas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus yang menentukan bahwa "Persidangan Ajudikasi Khusus
dilakukan dengan cepat,
sederhana, independen, terbuka
untuk umum dan
tidak dipungut biaya".
Dalam
pelaksanan persidangan ajudikasi khusus yang dilaksanakan oleh ajudikator, maka
ajudikator memiliki kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus bahwa "Dalam
menjalankan tugasnya, Ajudikator berwenang":
a. Mengatur
jalannya persidangan;
b. Meminta
keterangan dan/atau salinan dokumen kepada Pelapor, terlapor,
saksi dan ahli;
c. Memerintahkan
kepada saksi ahli dan penerjemah mengucapkan sumpah atau janji sebelum
memberikan kesaksian dan/atau
menjalankan tugasnya;
d. Menjaga
tata tertib persidangan;
e. Mengeluarkan
para pihak yang melanggar tata tertib dari ruangan persidangan,
f. Menentukan permohonan
ajudikasi khusus;
g. Memutus permohonan
ajudikasi khusus; dan
h. Menandatangani putusan ajudikasi khusus.
Dalam pelaksanaan sidang
ajudikasi oleh ajudikator Ombudsman dilaksanakan dengan pemeriksaan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 18 ayat 1 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus yang menentukan
bahwa "Pemeriksaan dalam Ajudikasi Khusus
dilakukan dengan":
a. Mendengarkan
dan/atau mengkonflrmasi keterangan pelapor dan
terlapor;
b. Mendengarkan
keterangan saksi, jika diperlukan;
c. Mendengarkan
keterangan ahli, jika diperlukan;
d. Meminta,
mendapatkan dan memeriksa surat, dokumen atau alat bukti lain;
e. Melakukan
pemeriksaan setempat terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik terkait
dugaan pelanggaran apabila
diperlukan.
Selanjutnya dalam Peraturan Ombudsman
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara
Ajudikasi Khusus ditentukan pula bahwa ajudikator dalam sidang ajudikasi khusus
dalam memberikan keputusan didasarkan pada alat bukti sebagaimana diatur dalam
Pasal 19 ayat 1 yang menentukan bahwa "Dalam menilai besaran ganti rugi,
Ajudikator menggunakan alat-alat
bukti berupa:
a. Keterangan pelapor;
b. Keterangan
terlapor;
c. Keterangan saksi;
d. Keterangan ahli;
e. Surat dan/atau dokumen;
f. Informasi/data
elektronik; dan
g. Petunjuk.
Adapun pelaksanaan dari
hasil sidang ajudikasi khusus yang dilaksakan oleh ajudikator Ombudsman
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 Peraturan Ombudsman Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus bahwa :
1) Putusan
ajudikasi khusus bersifat final, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh terlapor.
2) Putusan ajudikasi
khusus dilaksanakan oleh
terlapor dalam waktu paling
lama 60 (enam
puluh) hari sejak putusan diterima
oleh terlapor
3) Putusan
ajudikasi khusus akan disampaikan kepada terlapor, atasan terlapor, dpr dan
presiden
4) Ombudsman
melaksanakan monitoring untuk memastikan pelaksanaan putusan
ajudikasi khusus.
5) Penyelenggara
pelayanan publik yang tidak melaksanakan putusan ajudikasi khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (l) dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari
penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa kewenangan Ombudsman sebagai lembaga
pengawas penyelenggaran publik yang salah satu tugasnya memutus sengketa
penyelenggaran publik, yang mana sifat dari putusan ombudsman berupa
rekomendasi mengenai
penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau
rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat
1 huruf f Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang harus dilaksanakan oleh terlapor sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang
Ombudsman Republik Indonesia.
Kemudian dalam Ombudsman
juga berwenang dalam melaksanakan
ajudikasi khusus yang merupakan sidang
ajudikasi yang khusus dilaksanakan dalam penyelesaian ganti rugi dalam sengketa
pelayanan publik berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, yang
kemudian pelaksaan ajudikasi khusus dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata
Cara Ajudikasi Khusus.
2. Kekuatan hukum hasil
ajudikasi Ombudsman dalam sengketa pelayanan publik berdasarkan peraturan
perundang-undangan
Adanya
pengaduan dari masyarakat dalam pelayanan publik, berarti ada sesuatu hal yang
tidak sesuai dilakukan oleh penyelenggara negara. Artinya pengaduan ada karena
adanya maladministrasi didalam pelayanan publik. Dari pengaduan tersebut akan
kelihatan bahwa kinerja penyelenggara pelayanan publik tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Terhadap hal pelayanan publik tersebut, dikenal
pula sengketa pelayanan publik. Dengan adanya sengketa pelayanan publik yang
dilasanakan oleh penyelenggara pelayanan, maka Ombudsman lahir dalam pengawasan
dalam pelayanan publik akan tetapi terbatas pada antara lain penyelenggara negara dan pemerintahan yang
sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pada dasarnya bahwa pemeriksaan
laporan terhadap dugaan pelanggaran maladministrasi atau penyalahgunaan
wewenang dalam pelayanan publik atau sengketa pelayaan publik, Maka Ombudsman
sebagai lembaga yang berwenang dituntut untuk melakukan pendekatan persuasif
agar instansi pemerintahan yang terkait memiliki kesadaran untuk menyelesaikan
sendiri laporan terhadap lembaganya. Hal ini tentu dalam penyelenggaraan semua
laporan harus diselesaikan dengan mekanisme rekomendasi dari Ombudsman sesuai
dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 8 ayat 1 huruf f Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia yang menentukan bahwa
salah satu kewenangan Ombudsman yaitu membuat rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk
rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang
dirugikan.
Dalam
melaksanakan laporannya, Ombudsman akan memanggil pihak terkait yaitu, pelapor,
terlapor ataupun saksi untuk dimintai keterangannya. Apabila terlapor maupun
saksi tidak memenuhi panggilan yang dilayangkan oleh Ombudsman sebanyak tiga
kali berturut-turut, maka Ombudsman berhak memanggil para pihak dengan bantuan
dari Kepolisian setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Sebagaimana dikutip dari
jurnal yang ditulis oleh Yusnani Hasjimzoem menyatakan bahwa :
Ombudsman sebagai Sebuah lembaga
negara dibuat dengan maksud untuk menjalankan suatu tugas dan fungsi tertentu.
Semua tugas dan fungsi tersebut menjadi ukuran mengenai eksistensi lembaga
negara tersebut di masyarakat. Sebuah kontemplasi mengenai lembaga yang
didirikan namun tidak memiliki kontribusi konkret suatu hal yang perlu
dilakukan karena sebuah lembaga memakan anggaran yang berasal dari anggaran
belanja negara yang notabenenya dari dana masyarakat. Lembaga Ombudsman
merupakan lembaga negara yang awalnya lahir dari sebuah transformasi paham
negara hukum yang demokratis ke negara hukum yang bertanggung jawab.[12]
Adanya pengaduan sengketa pelayanan publik
kepada Ombudsman, menimbulkan putusan ajudikasi oleh Ombudsman. Karena
Ombudsman memiliki wewenang untuk memproses atau menyelesaikan sengketa
pelayanan publik baik atas laporan dari masyarakat maupun atas inisiatif
Ombudsman sendiri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 11
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ajudikasi
didefinisikan sebagai proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antar pihak
yang diputus oleh Ombudsman.
Namun, diketahui bahwa proses ajudikasi
menghasilkan putusan, hal ini yang menjadi kontradiksi karena Ombudsman
bukanlah lembaga peradilan, karena hasil pemeriksaan Ombudsman berbentuk
rekomendasi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia, dan rekomendasi ini bukan putusan hakim
yang mengikat.
Sebagaiman
dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Eufemia Lawati Salabbaet menyatakan bahwa
:
Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Pelayanan Publik, apabila terjadi sengketa akibat
pelayanan publik maka penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu melalui mediasi dan putusan ajudikasi. Kedua upaya
hukum ini dilakukan oleh Ombudsman dan atas inisiatif Ombudsman sendiri. Proses
ajudikasi menghasilkan suatu putusan, akan tetapi putusan ajudikasi menjadi
kontradiksi karena Ombudsman bukan merupakan lembaga peradilan dan juga bukan
merupakan suatu proses peradilan semu administrasi, karena hasil pemeriksaan
Ombudsman berbentuk rekomendasi, dan rekomendasi bukan merupakan putusan hakim.[13]
Berdasarkan
pernyataan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kekuatan mengikat putusan
ajudikasi oleh Ombudsman masih diragukan, sebab Dengan kata lain putusan
ajudikasi oleh Ombudsman menunjukkan bahwa putusan ajudikasi oleh Ombudsman
belum final atau belum akhir, hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 1
ayat 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia
bahwa hasil investigasi Ombudsman adalah "rekomendasi yaitu kesimpulan,
pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombudsman,
kepada atasan terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka
peningkatan mutu penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik".
Dalam
memahami sifat dari rekomendasi ombudsman sebagai hasil sidang ajudikasi khusus
ombudsman dalam penyelesaian ganti rugi dalam sengketa pelayanan publik, perlu
dipahami bahwa rekomendasi Ombudsman
berbeda putusan Pengadilan. Rekomendasi Ombudsman dikeluarkan oleh Ombudsman
melalui proses pelaporan hingga dikeluarkan rekomendasi yang dilakukan sendiri
oleh Ombudsman, sedangkan putusan Pengadilan adalah putusan yang dikeluarkan
oleh hakim yang melewati proses pemeriksaan.
Ombudsman
tidak sama dengan seorang hakim, sebab Ombudsman tidak menjatuhkan suatu
putusan seperti seorang hakim yang mengikat para pihak yang berperkara,
Ombudsman hanya dapat menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah yang bersifat
anjuran tentang penyelesaian atau jalan keluar dari sengketa itu.
Sebagaimana
dikatakan oleh Charles
Simabura bahwa: "Dalam hal isi putusan pengadilan dengan rekomendasi
ombudsman ada kemiripan yaitu asas putusan harus memuat dasar yang jelas dan
rinci dalam pertimbangannya. Sifat putusan kedua lembaga bersifat mengikat para
pihak dan pihak terkait. Dalam keududukannya putusan Pengadilan memiliki tiga
macam kekuatan, yaitu:
1.
Kekuatan mengikat
Mengenai putusan pengadilan, jika empat belas hari
setelah dibacakan dan tidak dlakukan upaya hukum oleh para pihak maka putusan
pengadilan tersebut memiliki kekuatan hukum yang tetap yang harus dijalankan
oleh para pihak dan memuat sanksi. Sedangkan rekomendasi ombudsman memiliki
kekuatan mengikat sebagai anjuran, saran, atau teguran.
2.
Memiliki
kekuatan pembuktian
Putusan dalam bentuk tertulis yang merupakan akta
otentik yang tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi
para pihak. Meskipun putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat
terhadap pihak ketiga, namun mempunyai kekuatan pembuktian terhadap pihak
ketiga.
3.
Kekuatan executorial
Kekuatan eksekutorial adalah putusan dimaksudkan untuk
menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa atau menetapkan hak atau hukumnya
saja, melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (seksekusinya) secara paksa.
Kekuatan eksekutorial para hakim tidak dapat dilumpuhkan. Berbeda halnya dengan
rekomendasi ombudsman tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang kuat seperti
halnya putusan pengadilan, sanksi yang diberikan apbila tidak menjalankan
rekomendasi ombudsman hanya sanksi moral yaitu dipublikasikannya terlapor atau
atasan terlapor dan yang paling tinggi kekuatan eksekutorialnya adalah berupa
sanksi administrasi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.[14]
Dengan
kata lain dapat dikemukakan bahwa Ajudikasi khusus dalam penyelesaian ganti
rugi sebagai proses penyelesaian sengketa pelayanan publik antar pihak yang
diputus oleh Ombudsman. Hasil dari putusan ajudikasi ini hanya memiliki nilai
sebagai rekomendasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 7
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Maka
hasil dari ajudikasi oleh Ombudsman dalam permasalahan pelayanan publik
tersebut merupakan salah satu bentuk dari rekomendasi oleh Ombudsman.
Rekomendasi tersebut wajib dilaksanakan oleh terlapor dan atasan terlapor.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) sampai (4). Maksud dari
ketentuan Pasal 38 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) tersebut, berarti bagi
pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi berupa putusan ajudikasi oleh
Ombudsman maka akan dikenai sanksi administrasi. Pihak terlapor tersebut dapat
dilaporkan kepada instansi atasannya dan terhadap yang bersangkutan dapat
dikenai sanksi administrasi.
Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa Ombudsman dapat melakukan penyelidikan
terhadap berbagai dokumen yang diperlukan dalam rangka melakukan tugas
investigasinya terhadap laporan masyarakat akibat adanya dugaan sengketa
pelayanan publik atau maladministrasi yang dilakukan penyelenggara pelayanan
publik. Sampai hasil akhir dari kegiatannya, Ombudsman dapat membuat
rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki lembaga yang diawasinya. Akan tetapi
Ombudsman tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa agar rekomendasinya diindahkan
secara mutlak atau memiliki sanksi seperti putusan hakim yang bersifat
eksekusi.
Dilihat
dari sifat hasil pemeriksaaan Ombudsman yang berupa rekomendasi, akan tetapi
putusan berupa rekomendasi tersebut bersifat mengikat karena wajib
dilaksanakan, dan rekomendasi Ombudsman tersebut apabila tidak dilakasanakan
maka terlapor dapat diberikan tindakan administrasi, hal ini dapat terlihat
dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia. Dengan kata lain maka hasil ajudikasi ombudsman juga merupakan
rekomendasi dan apabila tidak dilaksankan maka hanya akan diberikan sanksi
administrasi seperti teguran.
Kesimpulan
1.
Mekanisme kewenangan Ombudsman
dalam
melaksanakan ajudikasi khusus hanya dilakukan terhadap penyelesaian ganti rugi
atas rekomendasi Ombudsman dalam sengketa pelayanan publik dan dilakukan
apabila penyelesaian ganti rugi tidak dapat diselesaikan dengan konsiliasi dan
mediasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sidang ajudikasi khusus yang dilakukan oleh Ombudsman
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2018 Tentang Mekanisme Dan Tata Cara Ajudikasi Khusus dan putusan
ajudikasi khusus Ombudsman bersifat final, mengikat dan wajib dilaksanakan oleh terlapor.
2.
Kekuatan hukum hasil ajudikasi Ombudsman dalam sengketa
pelayanan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa putusan
ajudikasi khusus Ombudsman berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang Ombudsman Republik Indonesia dalam bentuk rekomendasi termasuk ganti
rugi yang disusun berdasarkan investigasi Ombudsman, akan tetapi putusan
ajudikasi Ombudsman berdasarkan kewenangannya walaupun bersifat final dan harus
dilaksanakan tapi putusan tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial memaksa
karena sanksi yang dapat diberikan hanya sanksi administratif dan Ombudsman dapat mempublikasikan atasan terlapor
yang tidak melaksanakan rekomendasi dan menyampaikan laporan kepada dewan
perwakilan rakyat dan presiden.
BIBLIOGRAFI
Buku
Bahder
Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008
Budhi
Matshuri, Mengenal
Ombudsman Indonesia. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005
Edi
Suharto, Analisis Kebijakan Publik,
Panduan Praktis Mengkaji Masalah Dan Kebijakan
Sosial, Alfabeta, Bandung,
2005
Irfan
Fachruddin, Pengawasan Peradilan
Administratif terhadap tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004
M.
Thalhah dan Sobirin Malian, Perkembangan
Lemabaga Lembaga Negara di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2011
Surjadi,
Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik,
Reifika Aditama, Bandung, 2012
Jurnal
Eufemia
Lawati Salabbaet, Kewenangan Ombudsman Dalam
Penyelesaian Pengaduan Pelayanan Publik, Jurnal Sapientia Et Virtus, Vol. 3, No. 1, 2018
Ros Angesti Anas
Kapindha, Salvatia Dwi M, and Winda Rizky Febrina, Efektivitas
dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu
Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia, Privat Law, Vol.
12, No. 4, 2014
Yusnani Hasjimzoem, Eksistensi Ombudsman Republik Indonesia,
Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Hukum Vol. 8 No. 2,
2014
Website
Copyright holder: Oktir Nebi (2022) |
First publication
right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
[1]Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Panduan Praktis
Mengkaji Masalah Dan Kebijakan Sosial,
Alfabeta, Bandung, 2005, hal. 34
[3]Budhi Matshuri, Mengenal Ombudsman
Indonesia.
PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hal. 4
[4]M. Thalhah dan Sobirin
Malian, Perkembangan Lemabaga Lembaga
Negara di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2011, hal. 113.
[5]Irfan Fachruddin,
Pengawasan Peradilan Administratif terhadap tindakan Pemerintah, Alumni,
Bandung, 2004, hal.
89
[6]https://www.pelajaran.co.id, diakses pada tangal 22 Agustus 2022
[7]Bahder Johan Nasution,
Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2008, hal. 86-87
[8]Eufemia Lawati
Salabbaet, Kewenangan Ombudsman Dalam Penyelesaian Pengaduan Pelayanan Publik, Jurnal
Sapientia Et Virtus, Vol. 3, No.
1, 2018, hal. 7
[10]Ros Angesti Anas Kapindha, Salvatia Dwi M, and Winda Rizky Febrina, Efektivitas dan Efisiensi
Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah
Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia, Privat
Law, Vol. 12, No. 4, 2014, hal. 7
[12]Yusnani
Hasjimzoem, Eksistensi Ombudsman Republik
Indonesia, Fiat
Justisia Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8 No. 2, 2014, hal. 5
[14] https://www.hukumonline.com/, Tanggal 22 Agustus
2022