Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

PROFIL KUANTITAS PENGGUNAAN ANTBIOTIK PADA PASIEN KRITIS COVID-19 DENGAN VENTILATOR DAN NONVENTILATOR DI ICU RSUD DR.R. KOESMA TUBAN

 

Christiani Sinuor, Istiqoma Dewi Kurniawati

1Program Studi Magister Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya, Indonesia

2Instalasi Farmasi RSUD DR.R. KOESMA TUBAN, jalan DR. Wahidin Sudirohusodo Tuban, Indonesia

 Email: [email protected]

 

Abstrak

Coronavirus (COVID-19) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi dari virus SARS-CoV-2 dan dapat menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS). Penderita COVID-19 yang menjalani perawatan intensif di ruangan ICU pada umumnya mengalami ARDS atau sepsis yang disebabkan oleh pneumonia ( Dalam talaksana COVID-19 selain terapi  suportif dan simptomatik diberikan juga terapi antibiotik. Penggunaan antibiotik yang berlebihan memicu timbulnya resistensi yang dapat berdampak pada perawatan yang tidak efektif dan efisien karena berhubungan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, lama rawat dan biaya perawatan. Telah dilakukan penelitian  yang bertujuan untuk mengetahui  profil kuantitas penggunaan antibiotik dengan metode DDD/100 patient-days. Penelitian ini menggunakan desain observasional dengan analisis secara deskriptif melalui pengambilan data secara retrospektif. Sampel pada penelitian adalah pasien kritis COVID-19  dengan ventilator sebanyak 44 pasien dan non ventilator 88 pasien. Sampel penelitian pasien di ICU paling banyak didominasi oleh laki-laki. Nilai DDD/100 patients-days untuk tiga jenis antibiotik yang paling tinggi pada sampel penelitian dengan ventilator secara berurut adalah  levofloksasin yaitu 83.10, meropenem 24.039, azitromisin 17.54 dan nilai DDD/100 patients-days untuk tiga jenis antibiotik yang paling tinggi pada sampel penelitian non ventilator adalah  levofloksasin 71.45, meropenem 18.90 dan seftriakson 13.80 DDD/100 patient- days.

 

Kata Kunci: COVID-19, pasien kritis, kuantitas antibiotik, DDD/100 patient- days

 

Abstract

Coronavirus  disease (COVID-19)  is an infection caused by the SARS-CoV-2  and cause Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS). Patients with COVID-19 who are in intensive care in the ICU generally suffer from ARDS or sepsis caused by pneumonia. In the management of COVID-19 in addition to supportive and symptomatic therapy, antibiotic therapy is also given. Excessive use of antibiotics triggers the onset of resistance which can have an impact on ineffective and efficient treatments because it is associated with increased morbidity, mortality, length of stay and treatment costs. Studies have been conducted that aim to determine quantity profile of antibiotic use the DDD / 100 patient-days method. This study used an observational design with descriptive analysis through retrospective data retrieval. The samples in the study were critical COVID-19 patients with 44 patients  on ventilators and 88 on non-ventilators. The study sample of patients in the ICU was most dominated by men. The antibiotic with the highest DDD/100 patient-days value for the three types of antibiotics in the study sample with ventilators were levofloxacin 83.10, meropenem 24.09, azithromycin 17.54 and  the highest DDD/100 patient-days value for the three types of antibiotics in the study sample with non-ventilators were levofloxacin 7.45, meropenem 18.90 and ceftriaxone 13.80 DDD/100 patient-days.

 

Keywords: COVID-19, critical patient, quantity of antibiotic use, DDD/100 patient-days

 

Pendahuluan

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh coronavirus jenis baru  (Handayani, Hadi, Isbaniah, Burhan, & Agustin, 2020). Virus ini diidentifikasi pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei China (Li Q,2020) dengan dilaporkan serangkaian kasus pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya, kasus tersebut berhubungan dengan pasar seafood yang berada di Wuhan. Sampel isolat dari pasien yang diteliti menujukkan terdapatnya coronavirus jenis baru yang termasuk dalam genus Betacoronavirus dan subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS dan MERS yang diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) (Rothan & Byrareddy, 2020). Penularan SARS-CoV-2 dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan penderita, droplet yang diproduksi saat orang yang terinfeksi batuk atau bersin) terhirup oleh orang di sekitarnya, saat seseorang menyentuh permukaan atau objek yang terkontaminasi virus dan orang tersebut secara sering menyentuh mulut, hidung atau mata (Soetjipto, 2020). Masa inkubasinya adalah 3-14 hari ditandai dengan kadar leukosit dan limfosit yang masih normal atau sedikit menurun belum ada gejala yang dirasakan, virus ini mulai menyebar melalui aliran darah menuju ke organ target mulai adanya gejala ringan. Empat sampai tujuh hari dari gejala awal, keadaan  pasien mulai memburuk dengan ditandai sesak, menurunnya limfosit, dan perburukan lesi di paru, apabila pada fase ini tidak teratasi dapat terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis, dan komplikasi lain (Di Gennaro et al., 2020).. Pasien yang  masuk ke ICU Pada umumnya dikarenakan mengalami  ARDS atau sepsis yang disebabkan oleh pneumonia (Fatoni & Rakhmatullah, 2021) ARDS ditandai dengan sesak napas (dispnea dan takipnea) dan dengan progresif dapat menjadi gagal napas. Pasien COVID-19 dengan ARDS (CARDS) akan mengalami sesak, dengan peningkatan frekuensi napas sampai ≥ 30 kali/ menit, hipoksemia SpO2 ≤ 92 % dan PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg, bahkan dengan pemberian oksigen. ARDS pada COVID-19 dapat memburuk jika tidak ditangani. Penanganan ARDS dengan pemberian terapi oksigen  untuk meningkatkan oksigenasi dan terapi antivirus, antibiotik, antikoagulan dan anti inflamasi (Fatoni & Rakhmatullah, 2021). Sebuah penelitian  yang dilakukan oleh Yang X et al., 2020 dengan melibatkan 710 pasien pneumonia COVID-19 menujukkan bahwa 7,3% pasien dengan gejala kritis, 67% pasien yang meninggal 38,5 % pasien yang bertahan 71% dengan ventilasi mekanik dan sebagian besar pasien mengalami disfungsi organ dimana 67% dengan ARDS, 29% dengan cedera ginjal akut, 23% dengan cedera otot jantung 29% dengan disfungsi hati dan 2% dengan pneumotoraks (Xia et al., 2021). Untuk talaksana COVID-19 masih berupa terapi simptomatik dan suportif  (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Terapi simptomatik misalnya dengan pemberian antipiretik dan terapi suportif dengan pemberian terapi oksigen, ventilasi non invasiv (NIV), ventilasi mekanik non invasif pada pasien dengan kategori sakit berat atau kritis, selain itu pemberian antibiotik empiris harus didasarkan pada diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), pemberian cairan isotonik kristaloid diberikan pada pasien yang mengalami syok dan vasopresor (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Sebagian besar penelitian 69,2% menunjukkan pemberian resep antibiotik untuk pasien yang dirawat di ICU dengan COVID-19 yang tidak memiliki bukti yang jelas tentang koinfeksi bakteri. Peresepan pengobatan terapi antibakteri empiris di awal terjadi pada 56,6% dari 1705 pasien, dimana hanya 3,5% dari kasus dikonfirmasi dengan infeksi bakteri. Kejadian infeksi tambahan berkisar antara 13,5% dan 44% untuk pasien dengan COVID-19 yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), biasanya pneumonia terkait ventilator (VAP) yang disebabkan oleh penyebab bakteri atau jamur (Abu-Rub et al., 2021). Pemberian obat pada pasien COVID-19 harus dilakukan secara rasional yaitu pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis  dan dosis yang sesuai.  Penggunaan antibiotik harus memperhatikan waktu, frekuensi dan lama pemberian sesuai regimen terapi dan memperhatikan kondisi pasien. Penggunaan antibiotik yang berlebihan memicu timbulnya resistensi yang dapat berdampak pada perawatan yang tidak efektif dan efisien karena berhubungan dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, lama rawat dan biaya perawatan (Sinto R,2020) . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui  profil kuantitas penggunaan antibiotik  yang dihitung dengan metode DDD/100 patient-days pada pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator.

 

Metode Penelitian

Penelitian in dilakukan di Rumah Sakit dr.R.Koesma Tuban pada OktoberDesember 2021. Desain penelitian  ini desain observasional dengan analisis secara deskriptif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif pada pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator di ruang ICU Rumah Sakit dr.R.Koesma Tuban untuk  periode Januari-Juni 2021. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator yang menjalani perawatan di ruang ICU dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah pasien kritis  COVID-19 yang menjalani rawat inap di ICU dengan usia ≥ 18 tahun  pada bulan  Januari-Juni 2021 yang mendapatkan terapi antibiotik . Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara penelusuran data dimulai dari penelusuran rekam medis pasien yang akan diteliti. Pencatatan rekam medis pasien menggunakan lembar pengumpul data bersumber dari data rekam medis meliputi data demografi pasien dan terapi antibiotik  yang didapatkan.  Data yang didapat kemudian dihitung dengan satuan DDD/100 patient-days.

 

Hasil dan Pembahasan

Penelitian tentang kuantitas penggunaan antibotik pada pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator di ICU selama periode Januari-Juni 2021diperoleh data 128 pasien. Data demografi sampel penelitian meliputi jenis kelamin, usia dan lama rawat inap  menunjukkan bahwa pasien  kritis COVID-19 dengan ventilator jenis kelamin laki-laki  lebih banyak  22 (51.16%)  sedangkan perempuan  21 (48.83%). Usia sampel penelitian  dengan ventilator  yang terbanyak adalah 46-55 tahun sebesar 27.90% dengan total lama rawat inap sampel penelitian 361 hari. Pasien kritis COVID-19 non ventilator jenis kelamin  laki-laki  lebih banyak  44 (51.76%)  dan perempuan 41 (48.23%) dengan kelompok usia yang terbanyak adalah  usia 46-65 tahun sebesar 34.11% dengan total lama rawat inap sampel penelitian adalah  529 hari.

 

Tabel 1

Profil  Demografi Sampel penelitian

Pasien kritis COVID-19 dengan ventilator (n= 43)

Variabel

Jumlah (n= 43) Mean ±SD

Persentase (%)

Jenis Kelamin

 

 

Laki-Laki

22

51.16

Perempuan

21

48.83

Usia (tahun)

 

 

18-25

2

4.65

26-35

4

9.30

36-45

7

16.27

46-55

12

27.90

56-65

11

25.58

≥ 65

7

16.27

Total Lama Rawat Inap

361 hari (8.23 ±7.66)

 

Pasien  kritis COVID-19  non ventilator (n= 85)

Variabel

Jumlah (n= 85) Mean ±SD

Persentase (%)

Jenis Kelamin

 

 

Laki-Laki

44

51.76

Perempuan

41

48.23

Usia (tahun)

 

 

18-25

1

1.17

26-35

4

4.70

36-45

10

11.76

46-55

29

34.11

56-65

27

31.76

≥ 65

14

16.47

Total lama rawat inap

529 hari (6.14±6.12)

 

 

Dalam studi yang dilakukan  Grasseli G, 2020 kebanyakan pasien laki-laki yang dirawat diruang ICU sebanyak 79.9%. Umumnya laki-laki lebih berisiko terpapar penyakit COVID-19 dibandingakan dengan perempuan hal ini mungkin disebabkan oleh Enzim angiotensin-2 (ACE-2) yang memungkinkan SARS-CoV-2 untuk menyerang sel epitel alveolus manusia (Bekelman et al., 2015). (Bekelman et al., 2015) menyatakan bahwa usia rata-rata pasien COVID-19 di ICU adalah 63 tahun dengan kelompok umur  55-69 tahun. Dalam sebuah studi di Italia menyatakan bahwa usia pasien COVID-19 di ICU yaitu 67.77 ± 9.92 dari kelompok usia 57 tahun–77 tahun (Bekelman et al., 2015). Faktor umur erat kaitannya dengan COVID-19 pada orang yang lanjut usia adanya proses degeneratif anatomi dan fisiologi tubuh sehinggan rentan terhadap penyakit, sistem kekebalan tubuh yang menurun dan adanya penyakit penyerta menyebabkan kondisi tubuh yang lemah sehingga mudah terpapar COVID-19  (Z W, JM, M,2020).

 

Tabel 2

Golongan dan jenis antibiotik yang digunakan

Pasien kritis COVID-19 dengan  ventilator (n= 43)

No

JenisAntibiotik

Kode ATC

Rute

1

Levoflokasin

J01MA12

P

2

Meropenem

J01DH02

P

3

Azitromisin

J01FA10

O

4

Seftriakson

J01DD04

P

5

Gentamisin

J01GB03

P

6

Levofloksasin

J01MA12

O

7

Moksifloksasin

J01MA14

P

 

Jenis antibiotik yang digunakan pada pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator di rumah sakit RSUD dr Koesma Tuban meliputi golongan sephalosporin generasi 3 yaitu seftriakson, makrolida yaitu azitromisin,  aminoglikosida yaitu gentamisin, carbapenem yaitu meropenem dan golongan fluorokuinolon yang paling banyak digunakan yaitu levofloksasin.

 

Tabel 3

Hasil Analisis Kuantitas Penggunaan Antibiotik dengan Metode

DDD/100 patient-days

Pasien kritis COVID-19 dengan  ventilator (n= 43)

 

 

No

 

JenisAntibiotik

 

 

Kode ATC

 

Rute

 

 

DDD (WHO)

 

DDD total

 

DDD/100 hari pasien

Lama Hari Penggunaan Antibiotik (Hari); mean; SD

1

Levoflokasin

J01MA12

P

0.5

150

83.10

200;6.06;4.30

2

Meropenem

J01DH02

P

2

261

24.09

87;4.14;3.45

3

Azitromisin

J01FA10

O

0.3

19

17.54

35;3.5;2.01

4

Seftriakson

J01DD04

P

2

124

17.17

54;4.15;3.69

5

Gentamisin

J01GB03

P

0.24

4.32

4.98

27;6.75;4.57

6

Levofloksasin

J01MA12

O

0.5

3.5

1.93

7

7

Moksifloksasin

J01MA14

P

0.4

0.4

0.28

1

Total                                                                                      562.22

 

 

Pasien kritis COVID-19  non ventilator (n= 85)

 

 

No

 

Jenis Antibiotik

 

Kode ATC

 

 

Rute

 

 

DDD (WHO)

 

DDD

Total

 

DDD/100 hari pasien

Penggunaan Antibiotik (Hari); mean; SD

1

Levofloksasin

J01MA12

P

0.5

189

71.45

281;3.85;2.98

2

Meropenem

J01DH02

P

3

300

18.90

106;5.89;6.30

3

Seftriakson

J01DD04

P

2

146

13.80

70;4.12;2.15

4

Azitromisin

J01FA10

O

0.3

21.5

13.54

40;3.33;2.31

5

Azitromisin

J01FA10

P

0.5

4.5

1.70

9

Total                                                                                       661

 

 

Pada penelitian ini terdapat 7 jenis antibiotik yang memiliki nilai DDD standar WHO dan memiliki kode ATC dengan rute pemberiaan secara oral maupun parenteral. Tiga Antibiotik dengan kuantitas penggunaan terbanyak pada pasien kritis COVID-19  dengan ventilator dengan DDD/100 patient-days terbesar secara berurut  adalah  adalah  levofloksasin 83.10, meropenem 24.09 dan azitromisin 17.54 DDD/100 patient-days dan pada pasien kritis COVID-19  non ventilator  terbesar secara berurut  adalah levofloksasin 71.45, meropenem 18.90 dan seftriakson 13.80 DDD/100 patient-days. Levofloksasin 750 mg dengan rute parenteral dengan nilai DDD  83.10 memiliki arti bahwa 83.10% pasien rawat inap mendapatkan terapi  levofloksasin 750 mg dengan rute parenteral dalam 100 hari rawat inap. Berdasarkan perhitungan DDD/100 pasien-hari antibiotik dengan kuantitas pengunaan terbanyak adalah levofloksasin, meropenem dan azitromisin, dan seftriakson. Hasil penelitian (Wasiaturrahmah, Putra, Nahdha, & Rahmah, 2022) menujukkan bahwa azitromisin merupakan obat dengan penggunaan tertinggi pada periode Maret-Agustus 2020 disusul meropenem dan levofloksasin (Wasiaturrahmah et al., 2022). Azitromisin dan levofloksasin memiliki manfaat sebagai antivirus immunomodulator dan antibakteri (Dalamaga, Karampela, & Mantzoros, 2020)terhadap koinfeksi sehingga dapat digunakan sebagai terapi empiris untuk pneumonia COVID-19. Pandemik COVID-19 berdampak terhadap penggunaan antibiotik di rumah sakit. Sebuah penelitian  yang dilakukan oleh (Grau et al., 2021) di rumah sakit Spanyol dengan membandingkan periode pra-pandemi dan selama pandemik COVID-19 dari Maret hingga Juni 2020 yang dianalisis dengan DDD/ 100 bed-days didapatkan bahwa selama bulan Maret penggunaan paling banyak adalah seftriakson 18.390 dan azitromisin 63.129 dan bulan April-Mei di ruang ICU terjadi peningkatan penggunaan karbapenem dengan nilai 26.103, seftriakson 21.501 dan azitromisin 19.422. Peningkatan penggunaan antibiotik pertama pandemi COVID-19 terlihat terutama di ICU (Grau et al., 2021). Azitromisin merupakan antibakteri makrolida dan berdasarkan efek antivirus dan imunomodulator (Widjaja et al., 2021).. Antibiotik yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah levofloksasin, meropenem dan seftriakson. Levofloksasin merupakan golongan fuorokuinolon saluran napas (respiratory fluoroquinolone) yang memiliki kemampuan dalam membunuh bakteri gram negatif dan bakteri gram positif. Levofloksasin, moxifloksasin merupakan antibiotik golongan fluoroquinolon spektrum luas yang  memiliki aktivitas yang tinggi terhadap bakteri gram-negatif dan gram-positif. Patogen termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Chlamydia pneumonia, dan Staphylococcus aureus, harus dipertimbangkan pada pasien dengan pneumonia COVID-19. Sebagian besar (respiratory froloquinolone) (Sinuor & Kurniawati, 2022) Digunakan sebagai terapi empirik untuk pasien COVID-19 hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Metlay J et al.,2020 terapi ini juga direkomendasikan untuk pengobatan pneumonia terkait SARS-CoV-2 (Metlay & Waterer, 2020).

Perbedaan jenis serta nilai DDD antibotik dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah perbedaan masalah medis serta perbedaan karateristik populasi. Semakin kecil nilai DDD/100 pasien-hari  maka penggunaan antibiotik juga semakin kecil secara kuantitas yang berpengaruh terhadap rasionalitas penggunaan antibiotik sebaliknya tingginya nilai DDD menunjukkan penggunaan antibiotik yang berlebihan. Penilaian ko-infeksi bakteri virus SARSCov-2 yang sulit menjadi satu tantangan dalam pertimbangan penggunaan antibiotik pada pasien COVID-19. Kadar prokalsitonin yang tinggi  pada pasien COVID-19 terutama pada pasien dengan derajat kritis dapat menjadi dugaan bahwa adanya koinfeksi bakteri, sehingga perlu dipertimbangkan pemeriksaan kultur dengan kadar prokalsitonin ≥ 0.25µg/L yang menunjukkan adanya infeksi bakteri namun pada kadar prokalsitonin dibawah ≥ 0.25µg/L didapatakan juga pasien tetap diberikan antibiotik (Kelana, Ikawati, & Wiedyaningsih, 2021). Tingginya penggunaan beberapa antibiotik perlu dilakukan pengendalian penggunaan dengan cara mengontrol penggunaan antibiotik. Azitromisin diberikan dengan dosis sehari satu tablet 500 mg perhari selama lima hari, dan levofloksasin dapat diberikan apabila dicurigai ada infeksi bakteri dengan dosis 750 mg/24 jam intravena atau per oral untuk 5-7 hari.  Dalam tatalaksana COVID-19 edisi tiga pemberian antibiotik  yang ada pada pedoman tatalaksana edisi 3 yaitu azitromisin oral dan levofloksasin intravena (PDPI,2020). Banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan juga pemberian antibiotik yang tetap diberikan walaupun pemeriksaan kultur menunjukkan tidaknya ada pertumbuhan kuman pada penderita. Untuk mengurangi terjadinya resistensi penggunaan antibiotik maka pemilihan antibiotik harus berdasarkan pada informasi spektrum bakteri penyebab terjadinya infeksi dan pola kepekaan terhadap antibiotik. Dalam penelitian ini peneliti menyarankan untuk melakukan penelitian terhadap pola kepekaan kuman terhadap penggunaan antibiotik dari pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU  RSUD dr  Koesma Tuban, sehingga dengan adanya pola kuman dan pola resistensi kuman pasien yang menjalani perawatan di ruang intensif dapat membantu u ntuk digunakan dalam membuat tatalaksana yang efektif dari penggunaan antibiotik di ruang Intensive Care Unit RSUD dr Koesma Tuban.

 

Kesimpulan

Profil pasien kritis COVID-19 dengan ventilator dan non ventilator  di Rumah Sakit Umum Daerah dr.R. Koesma Tuban periode Januari-Juni 2021 berjenis kelamin laki-laki 52.57 % dan didominasi pada usia  46-55 tahun. Nilai DDD/100 pasien-hari pada pasien kritis COVID-19 dengan ventilator yang paling tinggi secara berurut adalah  adalah  levofloksasin 83.10, meropenem 24.09 dan azitromisin 17.54 DDD/100 patient-day  sedangkan pada pasien non ventilator adalah levofloksasin 71.45, meropenem 18.90 dan seftriakson 13.80 DDD/100 patient-days.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Abu-Rub, Lubna I., Abdelrahman, Hana A., Johar, Al Reem A., Alhussain, Hashim A., Hadi, Hamad Abdel, & Eltai, Nahla O. (2021). Antibiotics Prescribing In Intensive Care Settings During The Covid-19 Era: A Systematic Review. Antibiotics, 10(8), 935.Google Scholar

 

Bekelman, David B., Plomondon, Mary E., Carey, Evan P., Sullivan, Mark D., Nelson, Karin M., Hattler, Brack, Mcbryde, Connor F., Lehmann, Kenneth G., Gianola, Katherine, & Heidenreich, Paul A. (2015). Primary Results Of The Patient-Centered Disease Management (Pcdm) For Heart Failure Study: A Randomized Clinical Trial. Jama Internal Medicine, 175(5), 725–732. Google Scholar

 

Dalamaga, Maria, Karampela, Irene, & Mantzoros, Christos S. (2020). Commentary: Could Iron Chelators Prove To Be Useful As An Adjunct To Covid-19 Treatment Regimens? Metabolism, 108, 154260. Google Scholar

 

Di Gennaro, Francesco, Pizzol, Damiano, Marotta, Claudia, Antunes, Mario, Racalbuto, Vincenzo, Veronese, Nicola, & Smith, Lee. (2020). Coronavirus Diseases (Covid-19) Current Status And Future Perspectives: A Narrative Review. International Journal Of Environmental Research And Public Health, 17(8), 2690. Google Scholar

 

Fatoni, Arie Zainul, & Rakhmatullah, Ramacandra. (2021). Acute Respiratory Distress Syndrome (Ards) Pada Pneumonia Covid-19. Journal Of Anaesthesia And Pain, 2(1), 11–24. Google Scholar

 

Grau, Santiago, Hernández, Sergi, Echeverría-Esnal, Daniel, Almendral, Alexander, Ferrer, Ricard, Limón, Enric, Horcajada, Juan Pablo, & (Vincat-Proa), Catalan Infection Control Antimicrobial Stewardship Program. (2021). Antimicrobial Consumption Among 66 Acute Care Hospitals In Catalonia: Impact Of The Covid-19 Pandemic. Antibiotics, 10(8), 943. Google Scholar

 

Handayani, Diah, Hadi, Dwi Rendra, Isbaniah, Fathiyah, Burhan, Erlina, & Agustin, Heidy. (2020). Corona Virus Disease 2019. Jurnal Respirologi Indonesia, 40(2), 119–129. Google Scholar

 

Kelana, Ardiyatul I., Ikawati, Zullies, & Wiedyaningsih, Chairun. (2021). Karakteristik Klinik Dan Pola Antibiotik Pada Pasien Rawat Inap Coronavirus Disease 2019 Di Rumah Sakit Wava Husada Malang. Indonesian Journal Of Clinical Pharmacy, 10(4), 321–329. Google Scholar

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Menkes/413/2020, 2019, 207. Google Scholar

 

Metlay, Joshua P., & Waterer, Grant W. (2020). Treatment Of Community-Acquired Pneumonia During The Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Pandemic. Annals Of Internal Medicine, Vol. 173, Pp. 304–305. American College Of Physicians. Google Scholar

 

Rothan, Hussin A., & Byrareddy, Siddappa N. (2020). The Epidemiology And Pathogenesis Of Coronavirus Disease (Covid-19) Outbreak. Journal Of Autoimmunity, 109, 102433. Google Scholar

 

Sinuor, Christiani, & Kurniawati, Istiqoma Dewi. (2022). Profil Kuantitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Kritis Covid-19 Dengan Ventilator Dan Non Ventilator Di Icu Rsud Dr. R. Koesma Tuban. Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(10). Google Scholar

 

Soetjipto, Noer. (2020). Ketahanan Umkm Jawa Timur Melintasi Pandemi Covid-19. K-Media. Google Scholar

 

Wasiaturrahmah, Yusrinie, Putra, Aditya Maulana Perdana, Nahdha, Nahdha, & Rahmah, Nahdiya. (2022). Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Covid-19 Di Salah Satu Rumah Sakit Di Banjarmasin. Jurnal Insan Farmasi Indonesia, 5(1), 149–158. Google Scholar

 

Widjaja, Jahja T., Kwee, Limdawati, Giantara, Andreas K., Suabgiyo, Henry A., Edwin, Christian, & Putri, Ranietha L. (2021). Karakteristik Pasien Covid-19 Rawat Inap Di Rs Immanuel Bandung, Indonesia. Journal Of Medicine And Health, 3(2). Google Scholar

 

Xia, Shengli, Zhang, Yuntao, Wang, Yanxia, Wang, Hui, Yang, Yunkai, Gao, George Fu, Tan, Wenjie, Wu, Guizhen, Xu, Miao, & Lou, Zhiyong. (2021). Safety And Immunogenicity Of An Inactivated Sars-Cov-2 Vaccine, Bbibp-Corv: A Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled, Phase 1/2 Trial. The Lancet Infectious Diseases, 21(1), 39–51. Google Scholar

 

Copyright holder:

Christiani Sinuor, Istiqoma Dewi Kurniawati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: