Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEABSAHAN PERJANJIAN MENGGUNAKAN BAHASA ASING DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2009

 

Lia Salsiah

Dosen Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan khususnya pada Pasal 31 ayat (1) telah menegaskan kata “Wajibmenggunakan bahasa Indonesia dalam setiap Perjanjian. Selama ini para pihak di dalam membuat suatu Perjanjian merujuk pada ketentuan Asas-Asas Hukum Kontrak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan perjanjian yang dibuat dengan menggunakan Bahasa Asing ditinjau dari UU No. 24/2009 serta berdasarkan Asas-Asas Hukum Kontrak.

Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginventarisasi aturan hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian), dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah Perjanjian yang tidak menggunakan atau tidak disertai dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU No. 24/2009. Sehingga perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak tidak memenuhi unsur ke 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu sebab yang halal. Dan atas dasar tidak terpenuhinya unsur ke 4 (empat) syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320, maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah.

 

Kata Kunci:  Perjanjian, Keabsahan, Bahasa Asing, Batal Demi Hukum.

 

Abstract

Law Number 24 of 2009 concerning Flags, Languages, and State Emblems, as well as the National Anthem, especially in Article 31 paragraph (1) has affirmed the word "Mandatory" to use Indonesian in every Agreement. So far, the parties in making an Agreement refer to the provisions of the Legal Principles of Contract. The purpose of this study is to determine the validity of agreements made using Foreign Languages in terms of Law No. 24/2009 and based on the Principles of Contract Law. The method of collecting legal materials in this study was carried out by identifying and inventorying positive legal rules, researching library materials (books, scientific journals, research reports), and other sources of legal materials relevant to legal problems in this study. The result of this study is that the Agreement that does not use or is not accompanied by a version of Indonesian is contrary to Law No. 24/2009. So that the agreement that has been made by the parties does not meet the 4th element (four) conditions for the validity of an agreement, precisely regarding the objective conditions of an agreement, namely about a lawful cause. And on the basis of non-fulfillment of the 4th element (four) conditions for the validity of the agreement in Article 1320, then an agreement that does not use Indonesian can be said to be invalid.

 

Keywords: Agreement, Validity, Foreign Language, Null and Void.

 

Pendahuluan

Aktivitas bisnis merupakan salah satu penunjang perkembangan ekonomi suatu negara. Berdasarkan bidang-bidang bisnis yang akan dijalankan, kerjasama yang terjadi dalam suatu bisnis tersebut dapat beranekaragam. Masalah dan tantangan baru dapat terjadi akibat dari keanekaragaman kerja sama bisnis ini sehingga hukum harus siap untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang muncul (Sewu, 2004). Perjanjian/kontrak dianggap sebagai bagian dari hukum bisnis karena dalam menjalankan kerjasama hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian/kontrak (Fuady, 2012).

Hukum perjanjian adalah bagian dari hukum perdata (privat) yang dalam hal ini hukum memusatkan perhatian pada kewajiban sendiri (self imposed obligation) disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak (Sewu, 2004). Perikatan merupakan suatu hukum yang terjadi baik karena suatu perjanjian atau karena hukum. Dinamakan sebagai perikatan, karena hubungan hukum itu mengikat yaitu kewajiban-kewajiban yang timbul dari adanya suatu perikatan dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan adalah bukan perikatan. Perjanjian atau Overeenkomst adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal (Subekti, 1985). Pengertian perjanjian juga diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyiPerjanjian adalah suatu perbutan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

            Berkembangnya kerjasama bisnis antar pelaku bisnis juga mempengaruhi berkembangnya suatu kontrak atau perjanjian. Tentunya kegiatan ini merupakan suatu kegiatan yang biasanya dilakukan dalam bentuk kontrak atau perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak. Pada saat para pihak dalam membuat sebuah perjanjian, mereka tentunya akan membuat pernyataan tertulis sebagai bukti tertulis dari suatu perjanjian yang telah mereka sepakati atau dengan kata lain membuat sebuah akta atau kontrak. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam melakukan perjanjian yang dibuat di Indonesia adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa perjanjian. Selain itu apabila perjanjian bisnis itu dibuat di wilayah Indonesia, maka perjanjian tersebut harus berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, sebagai bahasa negara artinya bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Secara tegas pernyataan tersebut dapat dilihat dalam pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 bahwabahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Sebagai turunannya pengaturan mengenai bahasa Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Secara khusus kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian terdapat dalam Pasal 31 ayat (1), dimana “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan”.

 

Metode Penelitian

Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menginventarisasi aturan hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian), dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum dalam penelitian ini.

 

Hasil Dan Pembahasan

Keabsahan Perjanjian Yang Dibuat Dalam Bahasa Asing Tanpa Terjemahan Bahasa Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009

Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009 Mengatur Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Berpedoman Pada Asas-Asas Hukum Kontrak

Pada landasan suatu sistem kaidah hukum terdapat kaidah yang fundamental, yakni asas-asas hukum. Menurut Paul Scholten, asas adalah pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masingmasing yang dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Menurut Maria Farida, ketika asas hukum atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai suatu norma hukum, hal tersebut akan berakibat adanya sanksi apabila asas-asas tersebut tidak terpenuhi atau tidak dilaksanakan. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011, yang dimaksud denganasas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutanantara lain: Dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana dan asas praduga tak bersalah. Dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, yaitu asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik. Melihat Pasal 6 ayat (1) dan (2) jelas disimpulkan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus mengacu pada berbagai asas sesuai dengan bidang hukum yang mengatur, selain itu juga menjadi pedoman dalam merumuskan suatu ketentuan perdata. Jika mengkaji Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan perjanjian, dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) tidak secara eksplisit mencerminkan asas-asas pembentukan undang-undang, tetapi jika mengacu pada penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011, disebutkan yang dimaksud denganasas lain sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”. Undang-undang yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011 dapat dihubungkan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009, yaitu berhubungan dengan pembuatan perjanjian dan masuk ke dalam ranah hukum perdata. Seperti yang diketahui bahwa pembuatan suatu perjanjian mengacu kepada asas-asas perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas kepribadian dan antara asas pembentukan undang-undang dengan UU No. 24/2009 sama-sama menginginkan suatu muatan materi yang berlandaskan pada asas keadilan dan asas kepastian hukum, hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 2 UU No. 24/2009 yang berisi pengaturan bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas persatuan, kedaulatan, kehormatan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan.

Dihubungkan dengan UUD 1945 pengaturan mengenai bahasa dapat dilihat dari UUD 1945 BAB XV Pasal 36, yakni “Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia” Pasal 36C dikatakan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang. Sehingga Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009 sudah sesuai dengan UUD 1945 karena jelas Pasal 31 ayat (1) dan (2) merupakan satu kesatuan yang terikat dan saling melengkapi, artinya perjanjian dibuat dengan bahasa Indonesia dan perjanjian dibuat dengan menggunakan bahasa asing. Terlebih lagi menurut UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang materi dalam undang-undang yang dibuat harus mencerminkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik salah satunya adalah kepastian hukum, kepastian hukum sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Pasal 28D yakni kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dan UU No. 24/2009 yang mengatur mengenai bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan secara keseluruhan dalam Pasal 2 ada menegaskan pengaturan keseluruhan yang terdapat dalam UU No.24/2009 dilaksanakan berdasarkan salah satunya adalah kepastian hukum.

Tinjauan Umum Pasal 31 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009

            Mengenai UU No. 24/2009 yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, mulai diberlakukan pada tanggal 09 Juni 2009. Pengaturan mengenai UU No. 24/2009, salah satu pertimbangan dikeluarkannya UU tersebut adalah bahwa Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Ketentuan Pasal 31 UU tersebut menyebutkan bahwa :

Ayat (1): “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.”

Ayat (2): Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.” Pasal tersebut secara tegas mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. UU No. 24/2009 memang tidak menyebutkan sanksi terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Akan tetapi, banyak kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman pembatalan terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang melibatkan pihak asing dan memilih untuk menggunakan hukum Indonesia sebagai pilihan hukumya pada saat UU No. 24/2009 ini berlaku (Kurniawan, 2017). Bila membaca secara seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan bahasa pihak asing, pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan untuk menggunakan bahasa Indonesia, tetapi juga dapat ditulis dalam bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris. Namun, jika kita amati lebih lanjut, pihak pembuat undang-undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia. Sehingga pada tahun 2010 terjadilah kasus perjanjian batal demi hukum yang melibatkan pihak asing dimana perjanjian pinjam meninjam atau Loan Agreement antara BKPL dan Nine AM Ltd dinyatakan batal demi hukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat melalui putusannya Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar dengan berlandaskan melanggar Pasal 31 UU No. 24/2009 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia.

Pelaksanaan Perjanjian Menggunakan Bahasa Asing Menurut Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009

            Berdasarkan tentang syarat sah perjanjian dan pembatalan perjanjian terkait dengan Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 24/2009 berdampak terhadap transaksi bisnis khususnya bisnis yang berskala internasional, ketentuan pasal 31 UU No. 24/2009 yang menyatakan:

1.     Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia;

2.     Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.

Berdasarkan Pasal 31 UU No. 24/2009 di atas dapat dilihat bahwa rumusan pasal tersebut mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia di dalam suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa resmi Bangsa Indonesia (Berlianti, 2018). Kata wajib di dalam rumusan Pasal 31 merupakan suatu kaidah yang memaksa dan bersifat normatif. Kaidah hukum normatif adalah kaidah hukum yang menciptakan kewajiban-kewajiban bagi subjek hukum dalam bentuk perintah atau larangan. Sebagai kaidah hukum yang berupa perintah, maka akan sangat sulit untuk menghindari kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini. Apabila suatu perjanjian tidak dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut berusaha untuk menghindari kewajiban yang ada, dimana kewajiban merupakan hukum positif yang memerintahkan individu dengan menetapkan sanksi atas perilaku sebaliknya (Fahrojih, 2016). Sehingga akan ada suatu akibat dan/atau konsekuensi hukum yang harus diterima oleh perjanjian tersebut. Penggunaan bahasa Indonesia memang diwajibkan dalam pembuatan perjanjian, akan tetapi seperti yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa undangundang tersebut tidak mengatur terkait sanksi yang akan diberikan apabila tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Sehingga banyak yang mempertanyakan terkait kekuatan mengikatnya hukum dalam pasal tersebut. Walaupun tidak adanya sanksi jika suatu perjanjian tidak menggunakan bahasa Indonesia, bukan berarti kedua pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Bila kita merujuk dari segi formalitas, maka tetap harus melihat pengaturan yang ada dalam Buku III KUH Perdata yakni tentang perjanjian tepatnya pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Dengan melihat dari sudut pandang keharusan, suatu perjanjian haruslah memenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian untuk dapat perjanjian itu dikatakan sah, namun apabila salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah. Oleh karena UU No. 24/2009 telah secara tegas mewajibkan bahasa Indonesia digunakan dalam nota kesepahaman, atau perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia, maka perjanjian yang tidak menggunakan atau tidak disertai dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan undang-undang tersebut. Sehingga perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak tidak memenuhi unsur ke 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu sebab yang tidak terlarang ke 4 (empat) syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 dan juga Pasal 1337 KUH Perdata tentang suatu sebab terlarang, maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah dan akan batal demi hukum.

Akibat Hukum Dari Suatu Perjanjian Yang Tidak Menggunakan Bahasa Indonesia Pasca Berlakunya Pasal 31 Undang-Undang No. 24 Tahun 2009

            Akibat hukum adalah akar dari timbulnya kewajiban dan hak bagi subjek hukum yang terkait (HS, 2011). Sanksi tegas yang mengatur apabila melanggar kewajiban para pihak dalam membuat suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 sampai saat ini masih belum tersedia, sehingga memberikan peluang dan titik lemah bagi penerapan undang-undang tersebut dan pihak-pihak yang membuat perjanjian masih banyak yang tetap membuat perjanjian dengan bahasa asing saja. Menjawab permasalahan tersebut, teori hukum terkait dapat digunakan dalam masalah yang dimana tidak ada aturannya pada hukum positif Indonesia. Adapun teori hukum yang dimaksud adalah dengan menggunakan teori penafsiran perundang-undangan, yaitu penafsiran sistematikal, yang dirumuskan sebagai berikut: “Tidak sebuah pun dari peraturan dapat ditafsirkan seolah-olah berdiri sendiri.” Penafsiran sistematikal dapat bermakna bahwa suatu aturan selalu memiliki hubungan dengan aturan lainnya, dan ini terjadi juga pada UU No.24/2009, bahwa aturan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, aturan tersebut harus kembali pada rujukannya yaitu Buku III KUH Perdata yang terdapat pada bagian syarat sahnya suatu perjanjian, agar dapat menganalisa dan menilai apa akibat hukumnya bagi pelanggar Pasal 31 UU No. 24/2009 terkait kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian. Syarat sah suatu perjanjian diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang dimana terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu:

1.     Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2.     Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.     Suatu hal tertentu;

4.     Suatu sebab yang halal.

Keempat unsur/syarat sahnya perjanjian ini memiliki sifat kolektif, maksudnya adalah bahwa keseluruhan unsur ini harus dipenuhi dan tidak boleh kurang satupun jika perjanjian itu ingin disebut sebagai perjanjian yang sah. Apabila terdapat satu syarat saja yang tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah antara perjanjian menjadibatal demi hukum” dan/atau perjanjiandapat dibatalkan”.

Namun, pada April 2019, Ford mentransfer 51% saham tersebut (senilai USD1.500.000) kepada Cheung dengan pembayaran bertahap. Akta perjanjian pembagian saham tersebut tercantum dalam Akta RUPS yang ditulis dalam Bahasa Inggris, tanpa terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Setelah perceraian, Ford berpendapat bahwa Cheung tidak memenuhi sebagian isi perjanjian, sehingga Ford mengajukan gugatan terhadap Cheung, menuntut agar Receivable and Liablity Agreement dinyatakan batal karena tidak memenuhi ketentuan UU No. 24/2009. Pengadilan Negeri Amlapura memutuskan bahwa pelanggaran UU No.24/2009 tersebut bukanlah pelanggaran atas syarat sah objektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Angka 4 KUHPerdata. Sepanjang motif dibuatnya kontrak bukan motif yang palsu, tidak dilarang oleh peraturan perundangundangan dan/atau tidak didasarkan pada motif yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka kontrak yang tidak memenuhi syarat Pasal 31 UU No. 24/2009 adalah tetap sah (vide Pasal 1336 KUHPerdata). Selain itu UU No. 24/2009 tidak mengatur sanksi atas pelanggaran Pasal 31, maka syarat untuk mengajukan pembatalan atas kontrak pun mewajibkan pembuktian bahwa pihak yang berkewajiban dapat atau telah merugikan dengan kontrak yang sedemikian itu (vide Pasal 1341 Ayat (3) KUHPerdata) (Pengadilan Negeri Amlapura, Putusan Nomor 254/Pdt.G/2019/PN Amp) (Hosen et al., 2021). Jika kita melihat pada kedua kasus tersebut, maka terkait apakah kontrak atau perjanjian yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa asing tanpa disertai terjemahan bahasa Indonesia adalah melanggar undang-undang atau tidak tetaplah hakim sendiri yang akan memutuskan apakah kontrak tersebut dibuat dengan sebab yang tidak halal dan tidak sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

 

 

 

Kesimpulan

UU No. 24/2009 telah secara tegas mewajibkan bahasa Indonesia digunakan dalam nota kesepahaman, atau perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia. Bila kita merujuk dari segi formalitas, maka tetap harus melihat pengaturan yang ada dalam Buku III KUH Perdata yakni tentang perjanjian tepatnya pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Apabila salah satu syarat sahnya perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah. Perjanjian yang tidak menggunakan atau tidak disertai dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU No. 24/2009. Sehingga perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak tidak memenuhi unsur ke 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu sebab yang halal. Dan atas dasar tidak terpenuhinya unsur ke 4 (empat) syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320, maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah. Akibat hukum dari suatu perjanjian yang tidak menggunakan bahasa indonesia pasca berlakunya Pasal 31 UU. No 24/2009 telah melanggar salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu tidak terpenuhinya syarat objektifsuatu sebab yang halal”. SyaratSuatu sebab yang halal” adalah sebab-sebab dari hadirnya suatu objek perjanjian haruslah sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Pasal 1337 KUH Perdata menetapkan sebab-sebab apa saja yang dilarang atau tidak diperbolehkan dalam membuat suatu perjanjian, yang salah satunya adalah sebab yang dilarang oleh undang-undang, yang artinya perjanjian tidak boleh  melanggar kaedah yang diatur oleh undang-undang, walaupun terdapat asas kebebasan berkontrak. Apabila perjanjian itu dibuat dengan objek/benda yang sebab ataupun asal muasalnya bertentangan dengan undang-undang dan/atau dapat dikatakan tidak halal, maka perjanjian tersebut ada pada kondisi batal demi hukum, yang kemudian maksud daripada batal demi hukum tersebut yaitu kembali pada kondisi semula atau dianggap sama sekali tidak pernah terjadi suatu perjanjian karena telah melanggar syarat objektif yaitusebab yang halal”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Fahrojih khwan. 2016. “Hukum Perburuhan Konsepsi, Sejatah, dan Jaminan Konstitusional”. (Malang: Setara Press).

 

Fuady Munir. 2012. ” Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global”. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti ).

 

HS Salim. 2011. “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”. (Jakarta : Sinar Grafika)

 

Ibrahim Johannes dan Lindawaty Sewu. 2004. “Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern”.  Bandung: PT Refika Aditama.

 

Subekti. 1996. “Hukum Perjanjian”. (Jakarta: PT. Intermasa, 1996).

 

Kurniawan Chandra. “Catatan Tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Kontrak”, https://www.hukumonline.com/berita/a/catatan-tentangkewajiban-penggunaan-bahasa-indonesia-dalam-kontrak-lt4b84cb774f63b

 

Copyright holder:

Lia Salsiah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: