Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
TINJAUAN
YURIDIS TERHADAP KEABSAHAN PERJANJIAN MENGGUNAKAN BAHASA ASING DI INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 24 TAHUN 2009
Lia
Salsiah
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan khususnya pada Pasal 31 ayat (1) telah menegaskan kata “Wajib” menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap Perjanjian. Selama ini para pihak di dalam membuat suatu Perjanjian
merujuk pada ketentuan Asas-Asas Hukum Kontrak. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui keabsahan perjanjian yang dibuat dengan menggunakan
Bahasa Asing ditinjau dari UU No. 24/2009 serta berdasarkan Asas-Asas Hukum Kontrak.
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi
dan menginventarisasi aturan
hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian),
dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini adalah Perjanjian yang tidak menggunakan atau tidak disertai
dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU No.
24/2009. Sehingga perjanjian
yang sudah dibuat oleh para
pihak tidak memenuhi unsur ke 4 (empat) syarat
sahnya suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu sebab
yang halal. Dan atas dasar tidak terpenuhinya unsur ke 4 (empat)
syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320, maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah.
Kata
Kunci: Perjanjian, Keabsahan, Bahasa Asing, Batal Demi Hukum.
Abstract
Law
Number 24 of 2009 concerning Flags, Languages, and State Emblems, as well as
the National Anthem, especially in Article 31 paragraph (1) has affirmed the
word "Mandatory" to use Indonesian in every Agreement. So far, the
parties in making an Agreement refer to the provisions of the Legal Principles
of Contract. The purpose of this study is to determine the validity of
agreements made using Foreign Languages in terms of Law No. 24/2009 and based
on the Principles of Contract Law. The method of collecting legal materials in
this study was carried out by identifying and inventorying positive legal
rules, researching library materials (books, scientific journals, research
reports), and other sources of legal materials relevant to legal problems in
this study. The result of this study is that the Agreement that does not use or
is not accompanied by a version of Indonesian is contrary to Law No. 24/2009.
So
that the agreement that has been made by the parties does not meet the 4th
element (four) conditions for the validity of an agreement, precisely regarding
the objective conditions of an agreement, namely about a lawful cause. And on
the basis of non-fulfillment of the 4th element
(four) conditions for the validity of the agreement in Article 1320, then an
agreement that does not use Indonesian can be said to be invalid.
Keywords:
Agreement, Validity, Foreign Language, Null and Void.
Pendahuluan
Aktivitas bisnis merupakan salah satu penunjang perkembangan ekonomi suatu negara. Berdasarkan bidang-bidang bisnis yang akan dijalankan, kerjasama yang terjadi dalam suatu bisnis
tersebut dapat beranekaragam. Masalah dan tantangan baru dapat terjadi akibat
dari keanekaragaman kerja sama bisnis
ini sehingga hukum harus siap
untuk dapat mengantisipasi setiap perkembangan yang muncul (Sewu, 2004). Perjanjian/kontrak dianggap sebagai bagian dari hukum
bisnis karena dalam menjalankan kerjasama hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian/kontrak (Fuady, 2012).
Hukum perjanjian
adalah bagian dari hukum perdata
(privat) yang dalam hal ini hukum
memusatkan perhatian pada kewajiban sendiri (self imposed obligation) disebut
sebagai bagian dari hukum perdata
disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan
dalam kontrak, murni menjadi urusan
pihak-pihak yang berkontrak
(Sewu, 2004). Perikatan merupakan suatu hukum yang terjadi baik karena
suatu perjanjian atau karena hukum.
Dinamakan sebagai perikatan, karena hubungan hukum itu mengikat yaitu
kewajiban-kewajiban yang timbul
dari adanya suatu perikatan dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat
dipaksakan adalah bukan perikatan. Perjanjian atau Overeenkomst adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan suatu hal (Subekti, 1985). Pengertian perjanjian juga diatur dalam pasal
1313 KUHPerdata yang berbunyi
“Perjanjian adalah suatu perbutan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Berkembangnya
kerjasama bisnis antar pelaku bisnis
juga mempengaruhi berkembangnya
suatu kontrak atau perjanjian. Tentunya kegiatan ini merupakan suatu
kegiatan yang biasanya dilakukan dalam bentuk kontrak atau perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak. Pada saat para pihak dalam membuat
sebuah perjanjian, mereka tentunya akan membuat pernyataan
tertulis sebagai bukti tertulis dari suatu perjanjian
yang telah mereka sepakati atau dengan
kata lain membuat sebuah akta atau kontrak.
Salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam melakukan perjanjian yang dibuat di
Indonesia adalah penggunaan
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa perjanjian.
Selain itu apabila perjanjian bisnis itu dibuat
di wilayah Indonesia, maka perjanjian
tersebut harus berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, sebagai bahasa negara artinya bahasa Indonesia adalah bahasa resmi.
Secara tegas pernyataan tersebut dapat dilihat dalam
pasal 36 Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 bahwa “bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Sebagai turunannya pengaturan mengenai bahasa Indonesia dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara Serta Lagu Kebangsaan.
Secara khusus kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian terdapat dalam Pasal 31 ayat (1), dimana “Bahasa Indonesia
wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan”.
Metode Penelitian
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi
dan menginventarisasi aturan
hukum positif, meneliti bahan pustaka (buku, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian),
dan sumber-sumber bahan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan hukum dalam penelitian ini.
Hasil
Dan Pembahasan
Keabsahan Perjanjian Yang Dibuat Dalam Bahasa Asing Tanpa Terjemahan Bahasa Indonesia
Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2009
Pasal
31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun
2009 Mengatur Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Berpedoman
Pada Asas-Asas Hukum Kontrak
Pada landasan suatu sistem kaidah
hukum terdapat kaidah yang fundamental, yakni asas-asas hukum. Menurut Paul Scholten, asas adalah pikiranpikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masingmasing
yang dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim. Menurut
Maria Farida, ketika asas hukum atau asas
pembentukan peraturan perundang-undangan dijadikan sebagai suatu norma
hukum, hal tersebut akan berakibat
adanya sanksi apabila asas-asas tersebut tidak terpenuhi atau tidak dilaksanakan. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011,
yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan” antara
lain: Dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana dan asas praduga tak bersalah.
Dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
yaitu asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik.
Melihat Pasal 6 ayat (1) dan (2) jelas disimpulkan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang
baik harus mengacu pada berbagai asas sesuai dengan
bidang hukum yang mengatur, selain itu juga menjadi pedoman dalam merumuskan
suatu ketentuan perdata. Jika mengkaji Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No.
24/2009 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam pembuatan perjanjian, dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) tidak secara eksplisit
mencerminkan asas-asas pembentukan undang-undang, tetapi jika mengacu
pada penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011, disebutkan
yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum
peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan”. Undang-undang
yang bersangkutan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 12/2011 dapat dihubungkan dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009, yaitu
berhubungan dengan pembuatan perjanjian dan masuk ke dalam
ranah hukum perdata. Seperti yang diketahui bahwa pembuatan suatu perjanjian mengacu kepada asas-asas perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, asas
kepribadian dan antara asas pembentukan undang-undang dengan UU No.
24/2009 sama-sama menginginkan
suatu muatan materi yang berlandaskan pada asas keadilan dan asas kepastian hukum, hal ini
dapat dilihat di dalam Pasal 2 UU No. 24/2009 yang
berisi pengaturan bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas persatuan, kedaulatan, kehormatan, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan,
ketertiban, kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Dihubungkan dengan UUD 1945 pengaturan mengenai bahasa dapat dilihat dari
UUD 1945 BAB XV Pasal 36, yakni
“Bahasa Negara ialah bahasa
Indonesia” Pasal 36C dikatakan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang. Sehingga Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24/2009 sudah
sesuai dengan UUD 1945 karena jelas Pasal
31 ayat (1) dan (2) merupakan
satu kesatuan yang terikat dan saling melengkapi, artinya perjanjian dibuat dengan bahasa Indonesia dan perjanjian dibuat dengan menggunakan bahasa asing. Terlebih
lagi menurut UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan undang-undang materi dalam undang-undang
yang dibuat harus mencerminkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
salah satunya adalah kepastian hukum, kepastian hukum sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Pasal 28D yakni kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum. Dan UU No. 24/2009 yang mengatur
mengenai bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan secara keseluruhan dalam Pasal 2 ada
menegaskan pengaturan keseluruhan yang terdapat dalam UU No.24/2009 dilaksanakan berdasarkan salah satunya adalah kepastian hukum.
Tinjauan Umum Pasal 31 Undang-Undang
No. 24 Tahun 2009
Mengenai
UU No. 24/2009 yang mengatur mengenai
kewajiban penggunaan bahasa Indonesia, mulai diberlakukan pada tanggal 09 Juni 2009. Pengaturan mengenai UU No. 24/2009, salah satu
pertimbangan dikeluarkannya
UU tersebut adalah bahwa Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara. Ketentuan Pasal 31 UU tersebut menyebutkan bahwa :
Ayat
(1): “Bahasa Indonesia wajib digunakan
dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia.”
Ayat
(2): Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.” Pasal tersebut secara tegas mewajibkan
penggunaan bahasa Indonesia
dalam suatu perjanjian dan bila perjanjian tersebut melibatkan pihak asing maka perjanjian
tersebut juga ditulis dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. UU No. 24/2009 memang tidak menyebutkan
sanksi terhadap pelanggaran kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam perjanjian. Akan tetapi, banyak kekhawatiran muncul terutama terkait dengan ancaman pembatalan terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat
dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia yang
melibatkan pihak asing dan memilih untuk menggunakan hukum Indonesia sebagai pilihan hukumya pada saat UU No. 24/2009 ini berlaku (Kurniawan, 2017). Bila membaca secara
seksama bunyi ketentuan pasal tersebut, secara tersirat, menyebutkan bahwa terhadap perjanjian yang melibatkan bahasa pihak asing,
pembentuk undang-undang memberikan kedudukan yang equal terhadap kewajiban penggunaan bahasa. Bukan hanya mewajibkan
untuk menggunakan bahasa Indonesia, tetapi juga dapat ditulis dalam
bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris.
Namun, jika kita amati lebih
lanjut, pihak pembuat undang-undang menggunakan frasa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian sehingga harus diinterpretasikan lebih luas dari
frasa ditulis juga sehingga kata wajib digunakan harus diartikan bukan hanya ditulis tetapi
juga ditafsirkan sehingga jelas bahwa tidak
dapat dilakukan pemilihan bahasa mana yang berlaku selain bahasa Indonesia. Sehingga pada tahun 2010 terjadilah kasus perjanjian batal demi hukum yang melibatkan pihak asing dimana perjanjian
pinjam meninjam atau Loan Agreement antara BKPL
dan Nine AM Ltd dinyatakan batal
demi hukum oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat melalui putusannya
Nomor 451/Pdt.G/2012/PN.Jkt.Bar dengan berlandaskan melanggar Pasal 31 UU No. 24/2009 tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia.
Pelaksanaan Perjanjian Menggunakan Bahasa Asing Menurut Pasal
31 UU No. 24 Tahun 2009
Berdasarkan tentang syarat sah perjanjian dan pembatalan perjanjian terkait dengan Kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 24/2009 berdampak terhadap transaksi bisnis khususnya bisnis yang berskala internasional, ketentuan pasal 31 UU No. 24/2009
yang menyatakan:
1. Bahasa
Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia;
2. Nota
kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional
pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Berdasarkan Pasal 31 UU No. 24/2009 di atas dapat dilihat bahwa
rumusan pasal tersebut mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia di dalam suatu kontrak
atau perjanjian yang dibuat para pihak karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional dan bahasa resmi Bangsa Indonesia (Berlianti, 2018). Kata wajib di dalam rumusan Pasal 31 merupakan suatu kaidah yang memaksa dan bersifat normatif. Kaidah hukum normatif
adalah kaidah hukum yang menciptakan kewajiban-kewajiban bagi subjek hukum dalam
bentuk perintah atau larangan. Sebagai kaidah hukum yang berupa perintah, maka akan sangat sulit untuk menghindari kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini. Apabila suatu perjanjian
tidak dibuat dengan menggunakan bahasa Indonesia, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut berusaha untuk menghindari kewajiban yang ada, dimana kewajiban
merupakan hukum positif yang memerintahkan individu dengan menetapkan sanksi atas perilaku sebaliknya
(Fahrojih, 2016). Sehingga akan ada
suatu akibat dan/atau konsekuensi hukum yang harus diterima oleh perjanjian tersebut. Penggunaan bahasa Indonesia memang diwajibkan dalam pembuatan perjanjian, akan tetapi seperti
yang penulis sampaikan sebelumnya bahwa undangundang tersebut tidak mengatur terkait sanksi yang akan diberikan apabila tidak menggunakan
bahasa Indonesia dalam perjanjian. Sehingga banyak yang mempertanyakan terkait kekuatan mengikatnya hukum dalam pasal tersebut.
Walaupun tidak adanya sanksi jika
suatu perjanjian tidak menggunakan bahasa Indonesia, bukan berarti kedua pasal
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Bila kita merujuk
dari segi formalitas, maka tetap harus melihat
pengaturan yang ada dalam Buku III KUH Perdata yakni tentang
perjanjian tepatnya pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Dengan melihat dari sudut pandang
keharusan, suatu perjanjian haruslah memenuhi seluruh syarat sahnya perjanjian
untuk dapat perjanjian itu dikatakan sah, namun apabila salah satu syarat sahnya
perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah. Oleh karena UU No. 24/2009 telah secara tegas
mewajibkan bahasa Indonesia
digunakan dalam nota kesepahaman, atau perjanjian yang melibatkan
negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia, maka perjanjian
yang tidak menggunakan atau tidak disertai
dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan undang-undang tersebut. Sehingga perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak tidak memenuhi
unsur ke 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu
sebab yang tidak terlarang ke 4 (empat) syarat sahnya
perjanjian dalam Pasal 1320 dan juga Pasal 1337
KUH Perdata tentang suatu sebab terlarang,
maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah dan akan batal
demi hukum.
Akibat
Hukum Dari Suatu Perjanjian
Yang Tidak Menggunakan
Bahasa Indonesia Pasca Berlakunya
Pasal 31 Undang-Undang No.
24 Tahun 2009
Akibat hukum adalah akar
dari timbulnya kewajiban dan hak bagi subjek hukum
yang terkait (HS, 2011). Sanksi tegas yang mengatur apabila melanggar kewajiban para pihak dalam membuat
suatu perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 31 UU No. 24/2009 sampai saat ini masih
belum tersedia, sehingga memberikan peluang dan titik lemah bagi penerapan
undang-undang tersebut dan pihak-pihak yang membuat perjanjian masih banyak yang tetap membuat perjanjian dengan bahasa asing
saja. Menjawab permasalahan tersebut, teori hukum terkait
dapat digunakan dalam masalah yang dimana tidak ada
aturannya pada hukum positif Indonesia. Adapun teori hukum yang dimaksud adalah dengan menggunakan
teori penafsiran perundang-undangan, yaitu penafsiran sistematikal, yang dirumuskan sebagai berikut: “Tidak sebuah pun dari peraturan dapat ditafsirkan seolah-olah berdiri sendiri.” Penafsiran sistematikal dapat bermakna bahwa suatu aturan
selalu memiliki hubungan dengan aturan lainnya, dan ini terjadi juga pada UU
No.24/2009, bahwa aturan tersebut tidak dapat berdiri sendiri,
aturan tersebut harus kembali pada rujukannya yaitu Buku III KUH Perdata yang terdapat pada bagian syarat sahnya suatu
perjanjian, agar dapat menganalisa dan menilai apa akibat hukumnya
bagi pelanggar Pasal 31 UU No. 24/2009 terkait kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam suatu perjanjian. Syarat sah suatu
perjanjian diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang dimana terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat unsur/syarat sahnya
perjanjian ini memiliki sifat kolektif, maksudnya adalah bahwa keseluruhan
unsur ini harus dipenuhi dan tidak boleh kurang
satupun jika perjanjian itu ingin disebut sebagai
perjanjian yang sah. Apabila terdapat satu syarat saja
yang tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya
adalah antara perjanjian menjadi “batal demi hukum” dan/atau perjanjian “dapat dibatalkan”.
Namun,
pada April 2019, Ford mentransfer 51% saham tersebut (senilai USD1.500.000) kepada
Cheung dengan pembayaran bertahap. Akta perjanjian pembagian saham tersebut tercantum dalam Akta RUPS yang ditulis dalam Bahasa Inggris, tanpa terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Setelah perceraian, Ford berpendapat bahwa Cheung tidak memenuhi sebagian isi perjanjian, sehingga Ford mengajukan gugatan terhadap Cheung, menuntut agar Receivable and Liablity
Agreement dinyatakan batal karena tidak memenuhi
ketentuan UU No. 24/2009. Pengadilan
Negeri Amlapura memutuskan bahwa pelanggaran UU No.24/2009 tersebut bukanlah pelanggaran atas syarat sah objektif
perjanjian berdasarkan Pasal 1320 Angka 4 KUHPerdata. Sepanjang motif dibuatnya kontrak bukan motif yang palsu, tidak dilarang
oleh peraturan perundangundangan
dan/atau tidak didasarkan pada motif yang bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum, maka kontrak yang tidak memenuhi syarat Pasal 31 UU No. 24/2009 adalah tetap sah
(vide Pasal 1336 KUHPerdata).
Selain itu UU No. 24/2009 tidak mengatur sanksi atas pelanggaran
Pasal 31, maka syarat untuk mengajukan
pembatalan atas kontrak pun mewajibkan pembuktian bahwa pihak yang berkewajiban dapat atau telah
merugikan dengan kontrak yang sedemikian itu (vide Pasal 1341 Ayat (3) KUHPerdata) (Pengadilan Negeri Amlapura, Putusan Nomor 254/Pdt.G/2019/PN Amp) (Hosen et al., 2021). Jika kita melihat pada kedua kasus tersebut,
maka terkait apakah kontrak atau perjanjian yang dibuat tidak menggunakan
bahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa asing tanpa disertai
terjemahan bahasa Indonesia
adalah melanggar undang-undang atau tidak tetaplah hakim sendiri yang akan memutuskan apakah kontrak tersebut dibuat dengan sebab
yang tidak halal dan tidak sesuai dengan syarat
sahnya perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kesimpulan
UU No. 24/2009 telah
secara tegas mewajibkan bahasa Indonesia digunakan dalam nota kesepahaman, atau perjanjian yang melibatkan
negara, instansi pemerintah
Republik Indonesia, lembaga
swasta Indonesia atau perseorangan warga negara
Indonesia. Bila kita merujuk dari segi
formalitas, maka tetap harus melihat
pengaturan yang ada dalam Buku III KUH Perdata yakni tentang
perjanjian tepatnya pada Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian. Apabila salah satu syarat sahnya perjanjian
tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dikatakan tidak sah. Perjanjian
yang tidak menggunakan atau tidak disertai
dengan versi bahasa Indonesia adalah bertentangan dengan UU No. 24/2009.
Sehingga perjanjian yang sudah dibuat oleh para pihak tidak memenuhi
unsur ke 4 (empat) syarat sahnya
suatu perjanjian, tepatnya mengenai syarat objektif suatu perjanjian yaitu tentang suatu
sebab yang halal. Dan atas dasar tidak terpenuhinya
unsur ke 4 (empat) syarat sahnya
perjanjian dalam Pasal 1320, maka perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak sah. Akibat
hukum dari suatu perjanjian yang tidak menggunakan bahasa indonesia pasca berlakunya Pasal 31 UU. No 24/2009 telah melanggar salah satu syarat sahnya perjanjian
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu tidak
terpenuhinya syarat objektif “suatu sebab yang halal”. Syarat “Suatu sebab yang halal” adalah sebab-sebab dari hadirnya suatu
objek perjanjian haruslah sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang, kebiasaan, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan. Pasal 1337 KUH Perdata menetapkan sebab-sebab apa saja yang dilarang atau tidak diperbolehkan
dalam membuat suatu perjanjian, yang salah satunya adalah sebab yang dilarang oleh undang-undang, yang artinya perjanjian tidak boleh melanggar kaedah yang diatur oleh undang-undang, walaupun terdapat asas kebebasan berkontrak. Apabila perjanjian itu dibuat dengan objek/benda yang sebab ataupun asal muasalnya
bertentangan dengan undang-undang dan/atau dapat dikatakan tidak halal, maka perjanjian tersebut ada pada kondisi batal demi hukum, yang kemudian maksud daripada batal demi hukum tersebut yaitu kembali pada kondisi semula atau dianggap sama
sekali tidak pernah terjadi suatu perjanjian karena telah melanggar
syarat objektif yaitu “sebab yang halal”.
BIBLIOGRAFI
Fahrojih khwan. 2016. “Hukum Perburuhan Konsepsi, Sejatah, dan Jaminan Konstitusional”. (Malang:
Setara Press).
Fuady Munir. 2012. ” Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Global”. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti ).
HS Salim. 2011. “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”. (Jakarta : Sinar Grafika)
Ibrahim Johannes
dan Lindawaty Sewu. 2004.
“Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern”. Bandung: PT Refika Aditama.
Subekti. 1996. “Hukum Perjanjian”. (Jakarta: PT. Intermasa,
1996).
Kurniawan Chandra.
“Catatan Tentang Kewajiban Penggunaan Bahasa
Indonesia Dalam Kontrak”, https://www.hukumonline.com/berita/a/catatan-tentangkewajiban-penggunaan-bahasa-indonesia-dalam-kontrak-lt4b84cb774f63b
Copyright
holder: Lia Salsiah (2022) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |