Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DOKTER PELAKU PEMERASAN TERHADAP CALON APARATUR SIPIL NEGARA

 

Malim Perwira Harahap

Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian untuk Mengetahui Tentang Penegakan Hukum, Aturan Kode Etik dan Aturan Hukum, dan Hambatan dan Solusi Penegakan Hukum Terhadap Dokter Pelaku Pemerasan Terhadap Calon Aparatur Sipil Negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan. Penelitian hukum secara normatif didasarkan pada hukum yang telah ada baik dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Peraturan Perundang-Undangan maupun karya tulis seperti buku-buku, jurnal, skripsi, tesis ataupun artikel lainnya. Metode pendekatan yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Penegakan Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Pemerasan Terhadap Calon Aparatur Sipil Negara terdapat pada pasal 368 KUHP dan pelanggaran etik yaitu Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar pasal 3 dan pasal 7 KODEKI sekaligus melanggar pasal 267 KUHP). Pidana dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Hal ini terkait dengan Pelanggaran Etik yaitu dapat diberikan sanksi administrasi terhadap dokter terhukum atau pelanggar etik dan sekaligus Pelanggaran Hukum Pidana yaitu paling lama 9 tahun penjara. Adapun hambatan yang dijumpai terdapat empat hambatan dan solusinya terdapat tiga solusi.

 

Kata Kunci: Penegakan Hukum, Tindak Pidana Pemerasan, Dokter

 

Abstract

The aim of this research is to find out about law enforcement, the code of ethics and the rule of law, and the barriers and solutions to law enforcement against doctors who are extorting criminals against prospective state civil servants. This research is a normative legal research using literature study. Legal research is normatively based on existing laws, both in the form of the Criminal Code (KUHP), the Criminal Procedure Code (KUHAP), Legislation and written works such as books, journals, theses, thesis or other articles. The approach method used is a normative juridical approach and an empirical juridical approach. Law Enforcement Against Doctors Who Extort Candidates for State Civil Apparatus is contained in article 368 of the Criminal Code and ethical violations, namely issuing false certificates (violating article 3 and article 7 of KODEKI as well as violating article 267 of the Criminal Code). Law Enforcement Against Doctors Who Extort Candidates for State Civil Apparatus begins with the process of investigating the crime of extortion. The punishment can be in the form of a principal sentence and an additional penalty. This is related to ethical violations, namely administrative sanctions can be given to convicted doctors or ethics violators and at the same time a violation of criminal law is a maximum of 9 years in prison. As for the obstacles encountered, there are four obstacles and the solution there are three solutions.

 

Keyword: Law Enforcement, Extortion Crime, Doctor

 

Pendahuluan

Penegakan hukum yaitu kegiatan menyelaraskan hubungan nilai-nilai (hukum) yang ideal dan merealisasikan dalam sikap perilaku serta berbagai aktivitas untuk menciptakan sosial engineering, memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian dalam pergaulan hidup (Mahadi, 2014). Penegakan hukum di dalam negara yang menganut Civil Law System seringkali berhadapan dengan hukum yang tertulis, sehingga hukum sering tidak dapat mengikuti kebutuhan dan perkembangan masyarakat (Subiharta, 2015).

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovastisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketentraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan (Subiharta, 2015).

Adapun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit pada pasal 1 (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pasal 1 (4) Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. Pada pasal 2 dijelaskan Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.

Peran aparatur sipil negara yang merupakan penyelenggara tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sangat menentukan guna mencapai tujuan suatu negara, oleh karena itu untuk melaksanakan tugas tersebut dituntut adanya Aparatur sipil negara yang memenuhi rasa tanggungjawab, disiplin dan dedikasi yang tinggi, serta mampu melakukan kerjasama dalam melaksanakan tugas baik pemerintahan, pembangunan maupun kemasyarakatan. Pentingnya peranan aparatur sipil negarasebagai penyelenggara urusan pemerintah, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan dibidang kepegawaian.

Konteks permasalahan kepegawaian, khususnya yang berkaitan dengan aparatur sipil negara berkaitan dengan pelaksanaan tugas (kinerja), perlindungan hukum, korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi dewasa ini menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat, terutama Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan pengaturan hukum tentang segala hal yang berkaitan dengan kepegawaian. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kewajiban untuk melaksanakan amanat konstitusi yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan membentuk peraturan perundang-undangan berkaitan dengan ketenagakerjaan, selain itu pula, pemerintah menciptakan badan-badan atau dinas- dinas daerah yang bertugas untuk melakukan pengawasan.

Adapun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menimbang bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti. Pada UU RI No 5 Tahun 2014 pasal 1 (1) yaitu Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN merupakan profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Kemudian pasal 1 (2) yaitu Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 yaitu Pegawai ASN terdiri dari PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Keberadaan aparatur sipil negara dilingkungan suatu lembaga atau instansi pemerintah dimaksudkan untuk membantu kelancaran tugas lembaga atau instansi pemerintah yang bersangkutan dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. demikian pula halnya dengan aparatur sipil negara yang terdapat dilingkungan pemerintah daerah. Peranan aparatur sipil negara sampai saat ini belum diimbangi dengan adanya peraturan hukum yang mengatur secara tegas untuk memperoleh perlindungan hukum, kondisi demikian akan menimbulkan dampak atau pengaruh terhadap menurunnya tingkat kinerja aparatur sipil negara.

Pengadaan aparatur sipil negara daerah sebagai unsur penyelenggara administrasi pemerintahan daerah membutuhkan calon pegawai yang sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Praktik penerimaan Calon Aparatur sipil negara Daerah (CASND) di lingkungan pemerintah daerah, pada kenyataannya dirasakan masih terdapat berbagai penyimpangan contohnya, praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), penyuapan, pemalsuan identitas (perjokian), pemerasan dan berbagai penyimpangan lain yang mewarnai proses. Penerimaan Calon Aparatur sipil negara Daerah (CASND) secara bersih diharapkan dapat menghasilkan pegawai yang berkualitas sebagai penyelenggara tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Timbulnya berbagai permasalahan berkaitan dengan kondisi Aparatur sipil negara (ASN) pada lingkungan pemerintah daerah mulai dari rekrutmen Calon Aparatut Sipil Negara (CASND), besarnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tingkat pertumbuhannya dari tahun ketahun semakin tinggi, rendahnya kualitas Aparatur Sipil Negara (ASN), penempatan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, kesalahan penempatan, serta ketidak jelasan jalur karir yang dapat ditempuh (Putra, 2017).

Pemerasan sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Pemerasan yaitu suatu tindakan yang dapat menguntungkan seseorang atau pihak (pemeras) yang merugikan bagi pihak lainnya (yang diperas). Pemerasan adalah bahasa hukum yang rumusan pidananya ada dalam hukum positif. Bila dilihat kata ‘pemerasandalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasarperas’ yang bisa bermakna leksikalmeminta uang dan jenis lain dengan ancaman (Alweni, 2019).

Peran pemerintah atau dengan kata lainnya birokrasi memiliki peranan kedudukan, dan fungsi yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh lembaga-lembaga lainnya. Birokrasi ini tidak hanya menyangkut kepada birokrasi tetapi akan sangat terkait dengan organisasi dan manajemen pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan publik. Suatu pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila dikontrol oleh kekuatan-kekuatan politik atau organisasi massa. Namun, jika kekuatan-kekuatan politik dan organisasi massa tersebut kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi artikulasi dan agresiasi kepentingan masyarakat, apalagi bila tidak ditunjang dengan adanya proses pengambilan keputusan dan pengontrolan pelaksanaan keputusan yang baik, maka hal ini bias mengakibatkan kekuasaan birokrasi menjadi besar. Bila kekuasaan birokrasi lebih besar, akan memungkinkan aparat birokrasi dapat dengan leluasa mengendalikan lingkungan luar birokrasi, sehingga dapat mengokohkan kedudukannya dalam tatanan organisasi pemerintahan Negara. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan pemerinta gagal untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan gagal merealisasikan program-program yang telah diputuskan. Maka aparat birokrasi mengakibatkan menyusutnya rasa tanggung jawab (Ramadhani, 2017).

Berbicara mengenai penyebab terjadinya pemerasan dan korupsi, asal mula kejadiannya hampir sama namun yang berbeda hanya jumlah besar kecilnya hasil yang diperoleh serta kesempatan dan peluang yang ada. Hampir semua pejabat atau pegawai yang bekerja pada birokrasi mempunyai kesempatan yang sama untuk melakukan pemerasan atau korupsi namun yang membedakan adalah peluang diposisi mana yang bersangkutan bekerja sehingga berpengaruh terhadap besar kecilnya yang didapatkan. Hal ini jika posisi seorang pegawai meduduki suatu jabatan maka penghasilan peluang pemerasan semakin besar bahkan mengarah kepada korupsi karena sudah membawahi beberapa orang personil. Dengan kata lain makin tinggi jabatan seseorang pegawai maka indikasi peluang korupsi semakin besar. Pegawai yang berada dilevel bawah biasanya peluang indikasi pemerasan yang ada namun jumlahnya berbeda-beda tergantung diposisi mana yang bersangkutan berada dan di bidang apa pekerjaannya.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan. Penelitian hukum secara normatif didasarkan pada hukum yang telah ada baik dalam bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Peraturan Perundang-Undangan maupun karya tulis seperti buku-buku, jurnal, skripsi, tesis ataupun artikel lainnya yang terdapat dalam situs internet yang relevan dengan obyek penelitian ini. Penelitian normatif dengan riset tentang penegakan hukum terhadap Dokter Pelaku Pemerasan terhadap Calon Aparatur sipil negara (ASN) yang telah diatur didalam pasal 368 KUHP. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pertimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman pidana penjara terhadap tindak pidana Pemerasan.

Metode pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah melalui dua pendekatan yaitu:

1)  Pendekatan yuridis normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik dalam perundang-undangan yaitu menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditulis oleh penulis. Kemudian mencari kebenaran berdasarkan ketentuan teori-teori, konsep-konsep serta praturan yang berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.

a)  Pendekatan yuridis empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan masyarakat serta penegakan hukum.

Analisis Data

Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Dalam proses analisis data ini, rangkaian data yang telah tersusun secara analisis kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kegiatan yang diperoleh di lapangan dan disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per-kalimat. Kemudian dari hasil analisis data tersebut ditarik suatu kesimpulan dan saran.

 

Hasil dan Pembahasan

Hambatan Dan Solusi Kepolisian Dalam Penegakan Hukum Terhadap Dokter Pelaku Pemerasan Terhadap Calon Aparatur Sipil Negara

A. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Pemerasan Oleh Dokter

Adapun faktor penyebab timbulnya pemerasan oleh dokter yaitu (Warman, 2014):

1.   Penyimpangan Perilaku Hukum

Timbulnya korban dalam pelayanan medik terjadi didalam individu disebabkan oleh adanya unsur hukum yang berubah, kesungguhan dan kemampuan para penegak hukum yang melakukan fungsinya tidak berjalan dengan baik, kepatuhan hukum yang menyangkut kaidah-kaidah maupun kewajiban serta prilaku tertentu sangatlah lemah.

2.   Disintegrasi Dari Peraturan Hukum

Adapun disintegrasi dari peraturan hukum dalam bidang Kesehatan menyangkut perlindungan hukum bagi korban pelayanan medik yang terjadi akibat beberapa hal yaitu:

a.     Keabsahan suatu hukum itu cendrung goyah dipengaruhi oleh keadilan, kepastian hukum, dan kegunaan

b.     Efektifitas hukum yang lemah disebabkan oleh kurangnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum serta masyarakat yang tidak tahu akan hokum

c.     Bobot hukum yang merosot yang kaitannya dengan penyimpangan oleh penegakan hukum dalam menerapkan hukum di masyarakat.

3.   Faktor Ekonomi.

Bentuk faktor ekonomi merupakan salah satu timbulnya korban dalam pelayanan medik, hal ini disebabkan biaya yang terlalu mahal. Hal ini Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sebab-sebab pemerasan meliputi dua aspek yaitu (Wahyuning, 2016):

a.   Aspek individu pelaku yaitu:

1)    Sifat tamak manusia

Sifat tamak manusia dikarenakan rasa ingin menambah kekayaan, rasa haus akan gaya hidup yang tinggi. Sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang dengan cara melebihi tarif sehingga terjadilah pemerasan.

2)    Moral yang kurang kuat

Kurangnya moral dalam hal ini yaitu kurangnya nilai-nilai yang senantiasa dijadikan pegangan maupun pedoman bagi seseorang terkait bagaimana cara memperlakukan orang lain atau hal-hal lain secara baik untuk bertindak sebagaimana mestinya.

3)    Penghasilan yang kurang mencukupi

Hal ini dikarenakan penghasilan yang kurang mencukupi memaksakan seseorang untuk mendapatkan penghasilan dengan cara apapun termasuk salah satunya melakukan pemerasan.

4)    Kebutuhan hidup yang mendesak;

Setiap hari kehidupan berjalan tanpa prediksi apa yang akan terjadi dan yang dibutuhkan. Kebutuhan hidup yang mendesak ini selalu menjadi prioritas agar kebutuhan ini segera terpenuhi dengan cara apapun.

5)    Gaya hidup yang konsumtif

Gaya hidup ini yaitu kegiatan membeli atau menggunakan barang tanpa mempertimbangkan secara rasional atau bukan atas dasar kebutuhan. Memiliki rasa gengsi yang cukup tinggi agar selalu terlihat mampu dimata orang lain. Memiliki perasaan tidak boleh ketinggalan trend ketika melihat barang terbaru baru keluar.

6)    Malas atau tidak mau bekerja

Manusia yang malas atau tidak mau bekerja pasti memanfaatkan cara pintas untuk mendapatkan uang banyak dengan waktu yang singkat, sehingga menunjang untuk melakukan pemerasan.

7)    Ajaran agama yang kurang diterapkan

Agama sangat memegang peran penting dalam kejujuran dan kebaikan. Kurang pendidikan agama cenderung menyukai hal-hal kesenangan duniawi dan tidak tertarik kepada akhirat. Sehingga pelaku pemerasan tidak memperdulikan dosa akbiat perlakuannya.

b.   Aspek organisasi yaitu:

1)    Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, maka bawahannya juga akan mengikuti sikap pemimpinannya.

2)    Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi berpengaruh pada anggotanya. Jika tidak dikelola dengan baik, maka sebuah kultur organisasi dapat memicu situasi yang tidak kondusif dan perbuatan negatif di lingkungan kehidupan organisasi. Salah satu perbuatan negatif tersebut di antaranya korupsi.

3)    Tidak adanya sistem akuntabilitas dan transparansi yang benar di instansi pemerintah

Sistem akuntabilitas yang tidak memadai, visi-misi serta tujuan dan sasaran yang berlu ditetapkan dengan jelas, serta kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki berisiko memicu situasi organisasi kondusif untuk praktif korupsi.

4)    Kelemahan sistem pengendalian manajemen.

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar atau lemah pengendalian manajemen di sebuah organisasi, maka semakin terbuka peluang perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawainya.

Adapun hal-hal yang melekat dalam tindakan pemerasan yang dilakukan oleh dokter maupun instansi rumah sakit yaitu:

1)      Setiap pemerasan bersumber pada kekuatan, kekuasaan, atau kewenangan. Pelaku-pelaku pemerasan adalah orang-orang atau kelompok oknum yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari instansi atau rumah sakit dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Pemerasan mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan instansi atau rumah sakit.

2)      Pemerasan melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya.

3)      Orang-orang atau oknum yang melakukan tindakan Pemerasan tersebut biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Bisa saja Pemerasan berlangsung terbuka dan massif, karena sudah terbiasa dan diterima oleh masyarakat. Akan tetapi pada hakekatnya semua pelakunya tidak mau berterus-terang. Jadi, meskipun sudah menjadi kebiasan, mereka tidak bersedia untuk diliput media massa. Hal ini disebabkan karena setiap tindakan Pemerasan pada hakikatnya mengandung unsur penipuan dan bertentangan dengan hukum.

4)      Pemerasan dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau instansi tertentu. Oleh karena itu, pemerasan akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan instansi, kepentingan negara, atau kepentigan umum.

5)      Pemerasan dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Ini berbeda dengan mal-administrasi atau salah urus (mis-management), yang meskipun merugikan tapi cenderung dilakukan secara tidak sengaja, teledor atau lalai.

Adapun Faktor terjadinya pemerasan adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang melakukan pemerasan (Warman, 2014). Terdapat beberapa Faktor- Faktor Lainnya Pada pemerasan yaitu (Ramadhani, 2017):

1)      Penyalahgunaan wewenang

Adapun jabatan atau kewenangan seseorang dapat melakukan pelanggaran disiplin oleh oknum yang melakukan pemerasan.

2)      Faktor mental

Karakter atau kelakuan dari pada seseorang dalam bertindak dan mengontrol dirinya sendiri.

3)      Faktor penghasilan

Penghasilan yang bisa dikatakan tidak mencukupi kebutuhan hidup tidak sebanding dengan tugas/jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pemerasan.

4)      Faktor kultural dan Budaya Organisasi (Malik, 2017).

Budaya yang terbentuk di suatu lembaga yang berjalan terus menerus terhadap pemerasan dan penyuapan dapat menyebabkan pemerasan sebagai hal biasa. Hal ini juga dikaitkan oleh karena pemerasan dianggap hal yang wajar dalam suatu instansi maka hal akan terus dilakukan tanpa adanya rasa bersalah.

5)      Terbatasnya sumber daya manusia.

6)      Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.

Pada umumnya, pemerasan dilakukan petugas layanan publik kategori birokrat kelas rendah. Hal ini tujuannya untuk menambah penghasilan akibat gaji resmi para birokrat rata-rata masih tergolong rendah. Jika birokrasi tingkat tinggi bisa melakukan korupsi untuk menambah penghasilannya, maka birokrasi tingkat rendah melalui pemerasan. Adanya kesempatan, lemahnya pengawasan dan rendahnya etika birokrat menjadi faktor pendorong suburnya perilaku korupsi melalui pemerasan (Warman, 2014). Adapun beberapa faktor pendukung yang menyebabkan pemerasan ini tumbuh subur, diantaranya yaitu:

a)     Faktor Individu Pelaku.

Faktor individu pelaku disini adalah Aparatur pemerintah yang tidak lagi memiliki karakter integritas yang tinggi akan tanggung jawab sebagai Pelayan bagi masyarakat.

b)    Faktor Organisasi.

Kurang adanya sikap keteladanan dari pimpinan; tidak adanya kultur organisasi yang benar; sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai; kelemahan sistim pengendalian manajemen.

c)     Faktor Kesempatan.

Faktor kesempatan ini erat kaitannya dengan anggota masyarakat yang sedang membutuhkan dokumen kelengkapan administrasi ketika diminta dapat menyanggupi permintaan tersebut.

d)    Faktor Pengawasan.

Pengawasan terhadap kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga atau instansi mengenai pembiayaan dalam pengurusan dokumen berbeda-beda. Bahkan ketika sudah ada tulisan atau informasi “GRATIS” sekalipun tetap saja ada Oknum petugas dan masyarakat yang bermain pemerasan.

e)     Faktor Hukuman atau Sanksi.

Walaupun sudah ada aturan sanksi yang ditentukan tetapi prakteknya dapat diselesaikan dengan jalan damai atau pengembalian uang pemerasan dan berjanji tidak akan melakukan lagi.

f)     Partisipasi Masyarakat rendah dalam memerangi praktik.

Selama ini pemerasan tumbuh dengan wajar-wajar saja karena pemakluman dari masyarakat. Permintaan dana dari pihak aparat tidak dipermasalahkan oleh Masyarakat dan sudah dianggap wajar.

Hambatan Atas Penegakan Hukum Kejahatan Pemerasan

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilahpolitik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

a)     penerapan hukum pidana (criminal law application)

b)     pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)

c)     mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.

Penanggulangan menggunakan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Berikut merupakan alasan mengenai masih perlunya pidana dan hukum pidana yaitu (Nawawi, 2010):

1)      Perlunya tindaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan dan tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing;

2)      Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping itu harus tetap ada suatu reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidak dapat dibiarkan begitu saja;

3)      Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang menaati norma-norma masyarakat.

Penanggulangan dan pencegahan kejahatan melalui pendekatan teori criminal policy dapat dilakukan dengan sarana “Penal” dan “Non Penal”, keduanya harus berjalan secara seimbang. Criminal policy diartikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Dalam rangka menjerat pelaku kejahatan yang mengharuskan terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesalahan, pembuktian yang menyatakan bersalah atau tidaknya seseorang tidak dapat dipisahkan dari perbuatan pidana yang dilakukannya. Untuk pemenuhan unsur kesalahan bagi pelaku terhadap perbuatan yang telah ditentukan sebagai perbuatan melawan hukum tentunya harus berlandasakan pada rumusan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan tindakan represif (usaha sesudah terjadinya kejahatan). Adapun berikut ini masing-masing usaha tersebut yaitu:

1)      Tindakan Preventif

              Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan. Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting adalah:

a)     Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi dalam arti sempit;

b)    Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi:

·       Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat.

·       Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran, kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);

c)     Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan dengan berusaha menciptakan;

·       Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik,

·       Sistem peradilan yang objektif

·       Hukum (perundang-undangan) yang baik.

d)    Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur;

e)     Pervensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usahah prevensi kejahatan pada umumnya.

2)      Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan represif juga disebutkan sebagai pencegahan khusus, yaitu suatu usaha untuk menekankan jumlah kejahatan dengan memberikan hukuman (pidana) terhadap pelaku kejahatan dan berusaha pula melakukan perbuatan denganjalan memperbaiki si pelaku yang berbuat kejahatan. Jadi lembaga permasyarakatan bukan hanya tempat untuk mendidik narapidana untuk tidak lagi menjadi jahat atau melakukan kejahatan yang pernah dilakukan.

Adapun menurut Walter C. Reckless, beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar menanggulangi kejahatan dapat lebih berhasil, syarat-syarat tersebut yaitu (Muliadi, 2010):

a)     istem dan organisasi kepolisian yang baik

b)    Pelaksanaan peradilan yang efektif

c)     Hukum yang berwibawa

d)    Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang terkordinir

e)     Partisipasi masyarakat dalam usaha penggolongan kejahatan.

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Proses penyidikan sangat erat kaitannya dengan proses pembuktian. Korelasi pembuktian adalah hubungan antara perkara dugaan tindak pidana dengan bukti-bukti yang dapat ditemukan oleh penyidik, baik penyidik Polri maupun penyidik PPNS. Hal ini sangat membantu untuk mencari titik terang antara perbuatan pidana dengan bukti yang terkait dengan perbuatan pidana.

Pentingnya sarana dan prasarana yang memadai dalam proses penyidikan tidak menutup kemungkinan menjadi faktor yang mendukung guna berjalannya suatu proses penyidikan dengan baik. Sarana dan prasarana yang memadai diharuskan menjadi motivasi penyidik untuk menunjang kinerja profesinya. Banyaknya kendala atau hambatan lain yang timbul tentunya sangat mempengaruhi kinerja penyidik dalam menyelesaikan perkara tindak pidana khusunya tindak pidana pemerasa.

Adapun macam-macam hambatan yang dihadapi pemerintah dalam menghadapi pemerasan dilapangan sebagai berikut:

1)    Partisipasi dari masyarakat dalam melaporkan adanya Pemerasan.

Dalam hal ini disebabkan oleh adanya sikap acuh tak acuh dari masyarakat mengenai tindak pidana pemerasan, masyarakat yang tidak mengetahui mengenai satgas saber pungutan liar, kurang jelasnya dalam cara pelaporan masyarakat kepada satgas saber pungutan liar. Pemerasan ini telah menjadi budaya yang sudah biasa di dalam kehidupan masyarakat yang merupakan respon dari masyarakat yang menginginkan birokrasi yang tidak berbelit-belit, cepat dan keamanan yang terjamin. Selain sikap acuh tak acuh tersebut banyak juga masyarakat yang tidak mengetahui mengenai satgas saber pungli, menurut penulis kurang keikutsertaan masyarakat ini disebabkan kurang jelasnya dalam cara pelaporan masyarakat kepada satgas saber pungli karena terdapat perbedaan-perbedaan dalam cara melapor.

2)    Pembuktian di lapangan yang sangat sulit.

Pembuktian mengenai tindak pidana pemerasan identik dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT), dapat dilakukannya operasi tangkap tangan apabila seseorang yang melakukan pemerasan dibuktikan ketika tindak pidana itu dilakukan atau segara atau beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Maka berdasarkan dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti bentuk hambatan yang dihadapi oleh pihak polres tapanuli selatan yaitu:

a.     Barang bukti sulit di dapatkan

Pembuktian mengenai tindak pidana pemerasan membutuhkan data-data yang sangat sulit dan komprehenshif, kecuali apabila pemerasan tersebut dilakukan secara operasi tangkap tangan (OTT) maka akan lebih mudah juga apabila pemerasan tersebut dibuktikan ketika tindak pidana itu dilakukan atau segara maupun beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Barang bukti dapat berupa uang dan kwitansi yang dibuat dengan nominal lebih.

b.     Pihak penyidik memiliki keterbatasan waktu dalam memproses berkas dari tindak pidana tersebut.

Keterbatasan waktu yang diberikan untuk mengungkap tindak pidana tersebut, pihak penyidik mengalami kesulitan untuk menyelesaikan berkas perkara sesuai target yang ditentukan. Belum lagi banyaknya laporan atau pengaduan tindak pidana yang belum terselesaikan menjadi hambatan dalam keterbatasan waktu yang diberikan.

c.     Kesulitan mendapatkan informasi dari saksi.

Keterangan saksi merupakan hal terpenting dalam melakukan peroses pembuktian benar atau tidaknya seseorang melakukan tindak pidana kejahatan tersebut. Sejauh ini penyidik sulit mendapatkan keterangan saksi di karenakan kurang bersediaanya saksi-saksi untuk memberikan keterangan terhadap tindak pidana pemerasan. Alasan lain karena saksi takut ataupun tidak mau

d.     Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dalam proses penyidikan.

Kendala berikutnya adalah kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk penyelidikan dan pengungkapan dari tindak pemerasan di polresta tapanuli selatan seperti tempat penyidikan yang sempit, perlengkapan alat-alat kantor yang tidak ditanggung dari pemerintah seperti peralatan komputer, rak lemari untuk menyimpan berkas-berkas serta meja dan kursi sehingga penyidik melakukan seadanya sendiri. Penggunaan ruang penyidikan yang kurang maksimal dan terbatasnya dana atau biaya untuk menyelidiki suatu tindak pidana juga menjadi salah satu hambatan dari kurangnya sarana dan prasarana di kantor Polisi.

Solusi Penanggulangan Kejahatan Pemerasan Terhadap Aparatur Sipil Negara.

Upaya pemberantasan pemerasan dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti:

1)      Meningkatkan pelayanan publik, hal ini dapat berupa memangkas waktu pelayanan, memangkas jalur birokrasi, memberlakukan sistem antri (queueing system), memasang tarif yang berlaku terkait dengan pembayaran pelayanan, serta transparan.

2)      Mengedukasi masyarakat dalam bentuk kampanye publik untuk tidak memberi tips kepada Petugas Pelayanan dan Mau mengantri dengan tertib untuk mendapatkan pelayanan.

3)      Kontrol dari atasan langsung yang lebih sering sehingga dapat berjalannya pelayanan birokrasi yang transpran dan bersih dari kejahatan tindak pidana pemerasan.

Penegakan, pengawasan, dan perumusan etik praktik kedokteran dilakukan oleh MKEK sebagai badan otonom IDI yang dibagi menjadi tingkat pusat, wilayah, dan cabang. Majelis ini memiliki hak untuk menyampaikan pertimbangan pelaksanaan etika kedokteran dan mengusulkan secara lisan atau tertulis, diminta atau tidak diminta kepada pengurus IDI mengenai setiap permasalahan etika kedokteran di wilayah jurisdiksinya masing-masing. Penetapan kategori berat ringannya kesalahan didasarkan atas kriteria akibat yang ditimbulkan terhadap keselamatan pasien, kehormatan profesi, kepentingan umum, serta itikad baik teradu dalam turut menyelesaikan kasus, motivasi yang mendasari timbulnya kasus, serta situasi lingkungan yang mempengaruhi timbulnya kasus.

Pemberian sanksi terhadap dokter terhukum atau pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), baik secara sementara atau pun permanen. Pada umumnya sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan keanggotaan yang bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur hidup. Mekanisme pemberian sanksi oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) diawali dari masuknya pengaduan yang sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang diadukan. Pada akhir penelaahan, Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) menetapkan kelayakan kasus untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang kemahkamahan hingga tercapai keputusan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK). Bila terbukti terdapat bukti pelanggaran etik, maka majelis akan menetapkan sanksi sesuai dengan berat ringannya kesalahan dokter teradu. Pelaksanaan sangsi dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etika Profesi Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) untuk dan atas nama pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setingkat.

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.

Pada era globalisasi saat ini dengan berbagai macam teknologi yang sangat pesat banyak sekali terciptanya alat-alat untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan dengan mudah. Salah satu teknologi untuk membantu masayarakat dalam menemukan lokasi adalah GPS (Global Positioning System). GPS adalah sistem untuk menentukan posisi dan navigasi secara global dengan menggunakan satelit. GPS dapat memberikan informasi tentang posisi, kecepatan, dan waktu secara cepat, akurat, murah, dimana saja bumi ini pada setiap saat tanpa tergantung cuaca. Teknologi GPS saat ini sudah ada di dalam fitur yang terdapat pada gadget smartphone android. Teknologi GPS biasa digunakan untuk menentukan lokasi dengan akurat. Dengan adanya kekurangan pada sistem yang dibuat oleh pemerintah dan dengan adanya teknologi GPS yang terdapat pada teknologi android, maka ini berguna untuk membuat sistem pelaporan pemerasan berbasiskan android dengan menggunakan teknologi GPS untuk menentukan lokasi kegiatan pemerasan. Manfaat yang diperoleh adanya sistem ini adalah masyarakat atau pengguna sistem dapat dengan mudah melaporkan kegiatan pemerasan dengan keakuratan lokasi kegiatan pemerasan.

Pada aplikasi ini terdapat kelebihan yaitu masyarakat nantinya dapat memberikan bukti kegiaran pemerasan berupa audio, gambar ataupun video. Sistem dari Aplikasi Pengaduan Masyarakat (ALPUKAT) ini akan tergambar alur prosesnya melalui usecase diagram. Use Case adalah teknik untuk merekam persyaratan fungsional sebuah sistem. Use Case mendeskripsikan interaksi tipikal antara para pengguna sistem dengan sistem itu sendiri, dengan memberi sebuah narasi tentang bagaimana sistem tersebut digunakan. Use Case Diagram menampilkan aktor mana yang menggunakan Use Case mana, Use Case mana yang memasukkan use case lain dan hubungan antara aktor dan Use Case.

Perpres juga menegaskan, masyarakat dapat berperan serta dalam   pemberantasan   pungutan   liar atau pemerasan, baik secara   langsung   maupun   tidak   langsung   melalui   media   elektronik   atau   non   elektronik, dalam   bentuk   pemberian   informasi, pengaduan, pelaporan, dan/atau   bentuk   lain   sesuai   ketentuan   peraturan perundang-undangan. Bila masyarakat aktif akan banyak laporan terkait pemerasan pada Aparatur sipil Negara oleh dokter di rumah sakit. Partisipasi publik dipercaya menentukan keberhasilan pemberantasan pemerasan.  Menghapuskan pemerasan dari Indonesia bisa memberikan   kepercayaan   bagi   investor, dan masyarakat   jadi percaya hukum dapat ditegakkan. Adapun solusi untuk menanggulangi hambatan yang dihadapi pihak polres tapanuli selatan yaitu:

1)      Sarana dan Prasarana yang Menunjang

Adapun tujuan adanya sarana dan prasarana yang menunjang untuk membantu dalam mengambil bukti berbentuk dokumentasi. Hal ini dapat berupa dokumen gambar maupun video, dapat dipergunakan seperti CCTV di ruangan pelayanan dokter ataupun kasir.

2)      Tindakan Dalam Perlindungan Masyarakat

Tindakan dalam perlindungan masyarakat dapat berupa menyembunyikan identitas masyarakat yang memberi tahu. Hal ini bertujuan agar masyarakat mau terbuka dan melaporkan apabila diminta tarif yang berlebih oleh dokter pelaku pemerasan.

3)      Memberikan Sanksi Kepada Pelaku Pemerasan.

Adapun tujuan memberikan sanksi kepada pelaku pemerasan bertujuan untuk efek jera kepada pelaku. Sehingga dapat dijadikan sebagai contoh kepada oknum selanjutnya yang ingin melakukan pemerasan. Masyarakat juga dapat melihat dengan tegas bahwa perbuatan pemerasan itu tidak baik dan ada sanksinya.

Teori keadilan yang digunakan yang menurut Johon Rawls ialah prinsip keadilan yang paling mendasar adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar. Adapun keterkaitan teori keadilan dalam dokter pelaku pemerasan terhadap calon aparatur sipil negara (ASN) yaitu hak calon ASN untuk mendapatkan surat hasil kesehatan yang seharusnya sesuai tarif dan diperiksa dengan sebenar-benarnya oleh dokter tersebut tidak tercapai. Sehingga tidak terdapatnya keadilan, calon ASN yang sakit dapat memperoleh surat sehat dengan mudah meskipun dalam keadaan sedang tidak sehat. Maka perlunya keadilan terutama pada masyarakat yang memiliki ekonomi lemah yang padahal sehat mendapatkan surat sehat tanpa perlu dikenakan tarif lebih. Keadilan dalam kasus ini berupa sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana yang diperoleh dari hasil wawancara kurungan berdasarkan pasal 368 di ancam paling lama 9 tahun penjara. Sanksi lain oleh karena dokter menerbitkan surat sehat demi mendapatkan imbalan materi semata dengan memberikan keterangan yang tidak sebanarnya maka dapat diberikan sanksi administrasi terhadap dokter terhukum atau pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

 

Kesimpulan

1.   Penegakan Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Pemerasan Terhadap Calon Aparatur Sipil Negara (ASN) diawali proses penyidikan tindak pidana pemerasan. Proses Penyidikan yang dimaksud bertujuan untuk mengungkap dugaan peristiwa tindak pidana yang terjadi atau peristiwa kejahatan yang diduga oleh seseorang dokter. Pidana dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam kasus tindak pidana pemerasan terdapat pada pasal 368 KUHP. surat keterangan sehat adalah suatu penjelasan tentang keadaan badan seseorang yang terbebas dari penyakit apapun secara keseluruhan. Keterangan itu diperoleh melalui atau dengan cara mendatangi rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun tempat praktek umum yang berlisensi. Hal itu juga sejalan dengan kewajiban seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam hal ini, dokter tidak menjalankan profesinya dengan seharusnya untuk membuat keterangan sehat.

2.   Aturan kode etik pasal 3 ayat 2 yang berbunyiMenerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau kehendak pasien”. Kemudian, pasal 7 yang berbunyiSeorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenaranyaserta pasal 267 KUHP yang berbunyiseseorang dokter yang dengan sengaja memberi Surat Keterangan Palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Maka dalam hal ini dokter meminta imbalan lebih, dokter menaikkan tarif Tes Kesehatan dan mengeluarkan langsung surat kesehatan tersebut. Hal ini terkait dengan Pelanggaran Etik Sekaligus Pelanggaran Hukum Pidana yaitu Menerbitkan surat keterangan palsu (melanggar pasal 3 dan pasal 7 KODEKI sekaligus melanggar pasal 267 KUHP). Satuan tim Polresta Tapanuli Selatan menetapkan tersangka terhadap dokter yang disangkakan melakukan tindak pidana pemerasan yang dikenakan pasal 368 KUHP yang berbunyiBarang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

3.   Hambatan yang dihadapi oleh pihak polres tapanuli selatan yaitu pertama, pembuktian mengenai tindak pidana pemerasan membutuhkan data-data yang sangat sulit dan komprehenshif, kecuali apabila pemerasan tersebut dilakukan secara operasi tangkap tangan (OTT) maka akan lebih mudah juga apabila pemerasan tersebut dibuktikan ketika tindak pidana itu dilakukan atau segara atau beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. Kedua, keterbatasan waktu yang diberikan untuk mengungkap tindak pidana tersebut, pihak penyidik mengalami kesulitan untuk menyelesaikan berkas perkara sesuai target yang ditentukan. Belum lagi banyaknya laporan atau pengaduan tindak pidana yang belum terselesaikan menjadi hambatan dalam keterbatasan waktu yang diberikan. Ketiga, keterangan saksi merupakan hal terpenting dalam melakukan peroses pembuktian benar atau tidaknya seseorang melakukan tindak pidana kejahatan tersebut. Sejauh ini penyidik sulit mendapatkan keterangan saksi di karenakan kurang bersediaanya saksi-saksi untuk memberikan keterangan terhadap tindak pidana pemerasan. Alasan lain karena saksi takut ataupun tidak mau. Keempat, kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk penyelidikan dan pengungkapan dari tindak pemerasan di polresta tapanuli selatan seperti tempat penyidikan yang sempit, perlengkapan alat-alat kantor yang tidak ditanggung dari pemerintah seperti peralatan komputer, rak lemari untuk menyimpan berkas-berkas serta meja dan kursi. Adapun solusi dalam pembarantasan tindak pidana pemerasan dapat berupa yang pertama sarana dan prasarana yang menunjang untuk membantu dalam mengambil bukti berbentuk dokumentasi. Keuda, tindakan dalam perlindungan masyarakat dapat berupa menyembunyikan identitas masyarakat yang memberi tahu. Ketiga, memberikan sanksi kepada pelaku pemerasan bertujuan untuk efek jera kepada pelaku. sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana yang diperoleh dari hasil wawancara kurungan berdasarkan pasal 368 di ancam paling lama 9 tahun penjara. Sanksi lain oleh karena dokter menerbitkan surat sehat demi mendapatkan imbalan materi semata dengan memberikan keterangan yang tidak sebanarnya maka dapat diberikan sanksi administrasi terhadap dokter terhukum atau pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Alweni, M. K. (2019). Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal 368 KUHP. Lex Crime, 47.

 

Mahadi, U. E.-A. (2014). Penegakan Hukum Indonesia. Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 3 (1).

 

Malik, R. A. (2017). Penegakan Hukum Tindak Pidana Pungutan Liar oleh Organisasi Masyarakat terhadap Supir Angkutan Barang. Prosiding Ilmu Hukum, 811.

 

Muliadi, S. (2010). Aspek Kriminologis Dalam Penanggulangan Kejahatan Fiat Justitia. Jurnal Ilmu Hukum, 6 No 1, 9.

 

Nawawi, B. A. (2010). Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Alumi, Bandung, 153.

 

Putra, R. H. (2017). Analisis Faktor Penyebab Dan Penanggulangan Pungutan Liar Pada Penerimaan Calon Aparatur Sipil Negara Daerah (CASND). 4.

 

Ramadhani, W. (2017). Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap Pelayanan Publik. Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 12 (2), 271.

 

Subiharta. (2015). Moralitas Hukum Dalam Hukum Praksis Sebagai Suatu Keutamaan. Jurnal Hukum Dan Peradilan. Kendari.

 

Wahyuning, N. (2016). Satgas Saber Pungli Dalam Penanggulangan Pungutan Liar Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Hukum, 110.

 

Warman, E. (2014). Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi. Yogyakarta: Genta Publishing, 102.

 

Copyright holder:

Malim Perwira Harahap (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: