Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK YANG BERITIKAD BAIK DALAM PERJANJIAN APABILA TERDAPAT UNSUR PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN)

 

Dian Dwi Jayanti*, Artaji, Pupung Faisal

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indonesia

Email: [email protected]*

 

Abstrak

Suatu perikatan timbul dengan adanya pihak-pihak yang saling mengikatkan diri maka dari itu suatu perjanjian merupakan sebuah kesepakatan antara para pihak. Namun terdapat juga perjanjian yang didalamnya mengandung penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan adalah dimana pihak yang lemah secara sosial ekonomi dimanfaatkan oleh pihak lainnya sehingga terbujuk untuk melakukan suatu perjanjian dan hal tersebut melanggar asas itikad baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah hukum di Indonesia telah memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik apabila dalam perjanjian tersebut terdapat unsur penyalahgunaan keadaan, karena perlindungan hukum merupakan upaya negara untuk melindungi hak warga negaranya. Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Data sekunder menjadi sumber data dalam penelitian ini dengan bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer. Hasil penelitian menunjukan hukum di Indonesia sudah memberikan perlindungan hukum secara umum melalui KUHPerdata dan berupa yurisprudensi bagi pihak yang beritikad baik apabila dalam suatu perjanjian terdapat penyalahgunaan keadaan.

 

Kata Kunci: Penyalahgunaan keadaan, perlindungan hukum, itikad baik

 

Abstract

An engagement arises when the parties bind themselves to each other, therefore an agreement is an agreement between the parties. However, there are also agreements that contain undue influence. Undue influence is where the socio-economically weak party is exploited by another party so that they are persuaded to enter into an agreement and this violates the principle of good faith. This study aims to determine whether the law in Indonesia has provided legal protection for parties with good faith if in the agreement there is an element of undue influence, because legal protection is an effort by the state to protect the rights of its citizens. The research method used is normative legal research with a statutory approach. Secondary data is the source of data in this study with the legal materials used are primary legal materials. The results of the study show that the law in Indonesia has provided general legal protection through the Indonesian Civil Code and is in the form of jurisprudence for parties with good faith if in an agreement there is an element of undue influence.

 

Keywords: Undue Influence, legal protection, good faith

 

Pendahuluan


Manusia sebagai makhluk sosial perlu berinteraksi antara satu dengan yang lain, dari interaksi tersebut diantaranya akan tercipta pihak-pihak yang saling mengikatkan diri salah satunya yaitu dalam bentuk kerjasama yang kemudian akan menimbulkan suatu perikatan. Aturan mengenai perikatan dalam hukum Indonesia tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disingkat KUHPerdata) khususnya dalam Buku III. Perikatan sesuai Pasal 1233 KUHPerdata dapat terjadi baik karena perjanjian, ataupun karena undang-undang.

Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata yaitu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik maka sebuah perjanjian harus berdasarkan pada itikad baik sehingga dalam pelaksanaannya akan mencerminkan kepastian hukum dan rasa adil bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Untuk keabsahan perjanjian ditentukan oleh syarat sah perjanjian yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Namun perjanjian juga dapat dibatalkan apabila:

1)  terdapat wanprestasi dalam pelaksananan perjanjian (Pasal 1266 KUHPerdata);

2)  apabila perjanjian dibuat oleh mereka yang tidak cakap (Pasal 1330 KUHPerdata);

3)  terdapat cacat kehendak pada perjanjian yaitu yang dibuat karena kekhilafan, paksaan atau penipuan (Pasal 1321 KUHPerdata); dan

4)  perjanjian bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata).

Mengenai cacat kehendak, selain ketiga alasan cacat kehendak berdasarkan KUHPerdata terdapat alasan diluar KUHPerdata yang disebut dengan penyalahgunaan keadaan. Dengan adanya perkembangan dalam alasan pembatal perjanjian tersebut dan belum adanya peraturan mengenai penyalahgunaan keadaan dalam KUHPerdata akibatnya timbul masalah berkaitan dengan standar untuk menentukan adanya penyalahgunaan keadaan selain itu juga menimbulkan ketidakpastian atas perlindungan hukum bagi para pihak apabila terjadi pembatalan perjanjian akibat penyalahgunaan keadaan.

Adapun kasus pembatalan perjanjian akibat penyalahgunaan keadaan yang peneliti temukan yaitu kasus pembatalan perjanjian jual beli pada perkara Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020 oleh Gusti Ayu Oka dan Drs. I Gusti Bagus Ngurah Harry selaku Para Penggugat, dimana pada awalnya Tergugat 1 meminjam Sertifikat Hak Milik No.718/Pagutan Timur atas nama Penggugat 2 dengan kesepakatan bahwa Sertifikat Hak Milik No.718/Pagutan Timur atas nama Penggugat 2 untuk dijadikan sebagai objek jaminan pinjaman sejumlah uang pada Tergugat 2 yaitu sejumlah Rp 350.000.000 (Tiga Ratus Lima Puluh Juta Rupiah). Tergugat 2 mensyaratkan bahwa Para Penggugat yang harus menandatangani surat-surat terkait peristiwa gadai tersebut karena sebagai pihak yang atas namanya tercantum dalam sertifikat, dengan bujukan Tergugat 1 dan 2, Para Penggugat akhirnya melakukan penandatanganan yang dilakukan di Notaris/PPAT Dwi Zaljunia, SH, M.Kn. (Tergugat 4), kemudian Para Penggugat menandatangani perjanjian sebagai pemilik akta SHM tersebut dihadapan notaris, namun tanpa Para Penggugat ketahui perjanjian tersebut bukan perjanjian gadai melainkan melainkan Surat Kuasa Menjual dan Akta Pengikatan Jual Beli.

Berdasarkan uraian diatas bahwa karena tidak adanya peraturan mengenai penyalahgunaan keadaan, keputusan Majelis Hakim merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3406 K/Pdt/2019, tanggal 16 Desember 2019 yang telah membatalkan Akta jual beli atas tanah dengan alasan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020 memakai pertimbangan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Para Tergugat telah dibuat berdasarkan kepada penyalahgunaan keadaan oleh Tergugat 2 dan juga atas peran Tergugat 1 sehingga terdapat cacat kehendak pada diri Para Penggugat yang secara ekonomi lemah dibanding Tergugat 2, maka Majelis Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdapat unsur penyalahgunaan keadaan sehingga  perjanjian tersebut dinyatakan batal.

Kasus perkara dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020 memperlihatkan pihak penjual merupakan seseorang yang beritikad baik dan pembeli merupakan pihak yang melakukan penyalahgunaan keadaan. Sementara sebagai kasus perbandingan penulis akan mengangkat kasus mengenai kreditur yang melakukan penyalahgunaan keadaan dan debitur yang beritikad baik yang dilihat dalam sebuah perjanjian baku. Sebagai contoh dalam perjanjian baku antara pihak KPR (kreditur) dan pembeli (debitur), perjanjian baku KPR mencantumkan syarat perjanjian berkenaan dengan syarat perjanjian KPR tentang perubahan suku bunga kredit. Sistem suku bunga ARM (Adjustable Rate Mortgage) yaitu setiap saat dapat berubah sesuai dengan ketentuan Bank (Santoso, 2008). Adjustable rate mortgage artinya memungkinkan bank untuk mengubah tingkat bunga pada titik-titik tertentu selama jangka waktu pinjaman. KPR ini seringkali dimulai dengan suku bunga rendah, bahkan terkadang di bawah suku bunga pasar. Namun, tingkat suku bunga yang dikenakan setelahnya dapat meningkat atau menurun secara signifikan selama masa pinjaman. Hampir semua bank menawarkan KPR dengan bunga mengambang, dengan ketentuan bank memiliki hak melakukan perubahan suku bunga (Discretionary Adjusted Rate Mortgage) dengan debitur menanggung risiko maksimum jika terjadi kenaikan bunga. Santoso, 2008)

Syarat perjanjian KPR tentang pengaturan perubahan suku bunga yang terlalu luas dan dapat memberatkan debitur dapat membuka peluang pada pihak kreditur untuk melaksanakan perjanjian tanpa dilandasi oleh itikad baik, seperti mengenakan suku bunga baru (berupa kenaikan) tanpa alasan yang patut dan diluar overmacht sehingga hal tersebut juga akan menyebabkan kreditur dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum. Dengan keunggulan ekonomis yang dimiliki kreditur sehingga dapat mengatur syarat perjanjian tentang pengubahan suku bunga yang kurang jelas dapat merugikan debitur maka dapat dinilai bahwa pihak debitur sebenarnya tidak menghendaki syarat pengaturan pengubahan suku bunga dibuat dalam bentuk yang tidak jelas dan tanpa batasan, namun pihak debitur yang secara psikologis merasa senang karena dapat memperoleh fasilitas KPR kemudian menjadi kurang bersikap rasional pada syarat-syarat perjanjian yang sebenarnya dapat memberatkannya. Oleh karena itu penandatanganan perjanjian KPR yang memuat syarat pengaturan perubahan suku bunga tersebut memerlukan pelaksanaan dengan itikad baik dari pihak kreditur. Apabila pihak kreditur/KPR tidak berlandaskan pada itikad tidak baik maka klausula tersebut dapat merugikan debitur/pembeli sebagai pihak yang beritikad baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad dalam perjanjian apabila terdapat unsur penyalahgunaan keadaan ditinjau dari KUHPerdata.

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Pemilihan metode ini didasarkan pada pemikiran bahwa penelitian ini hendak menganalisis norma yang mengatur mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik apabila dalam perjanjian terdapat unsur penyalahgunaan keadaan.

Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.(Pustaka, 2021) Penelitian ini menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyalahgunaan keadaan, akibat adanya penyalahgunaan keadaan dalam suatu perjanjian dan perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan akibat adanya penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian.

Sumber data menggunakan sumber data sekunder dengan bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yurisprudensi, atau putusan pengadilan dan bahan hukum sekunder seperti pendapat pakar hukum dalam literatur yang terdiri atas karya akademis, dan bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier tersebut adalah media internet.

Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif bahwa peneliti dalam menganalisis masalah mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik apabila dalam perjanjian terdapat unsur penyalahgunaan keadaan berkeinginan untuk memberikan pemaparan atas hasil penelitian yang dilakukan melalui bentuk berupa penguraian.

 

 

Hasil dan Pembahasan

Cacat kehendak penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai alasan pembatalan perjanjian

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.(Subekti, 1995) Setiap orang memiliki kebebasan dalam membuat perjanjian sesuai yang dikehendakinya, hal ini berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu semua kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selain asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian juga harus didasarkan dengan dengan asas itikad baik sebagaimana ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menetapkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal tersebut tentunya untuk menghindari terjadinya suatu keadaan yang dapat menyebabkan kerugian salah satu pihak.

Dalam pembuatan perjanjian, apabila syarat sahnya telah terpenuhi maka perjanjian tersebut secara otomatis akan menjadi undang-undang yang mengikat para pihak secara sah. Perjanjian yang telah dibuat hanya dapat

ditarik atau dibatalkan atas kesepakatan kedua

belah pihak atau karena alasan yang dinyatakan

oleh undang-undang. Salah satunya berdasarkan pada Pasal 1321 KUHPerdata pembatalan perjanjian dapat dilakukan karena adanya cacat kehendak (wilsgebrek), 3 (tiga) alasan untuk pembatalan perjanjian karena cacat kehendak yaitu:

1)  Kekhilafan/kesesatan diuraikan di Pasal 1322 KUHPerdata;

2)  Paksaan diuraikan di Pasal 1323-1327 KUHPerdata; dan

3)  Penipuan diuraikan di Pasal 1328 KUHPerdata.

Selain cacat kehendak yang dimaksud dalam Pasal 1321 KUHPerdata tersebut, KUHPerdata Belanda mengenal pula bentuk cacat kehendak yang keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence).

Penyalahgunaan keadaan merupakan ajaran baru dalam ketentuan Belanda yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut NBW) yang di atur dalam artikel 3:44 lid 1 (Pasal 44 ayat (1), Buku 3) NBW bahwa dalil cacat kehendak dapat didasarkan pada kesesatan, paksaan, penipuan, dan penyalahgunaan keadaan. Suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi penyalahgunaan keadaan dalam artikel 3:44 lid 1 (Pasal 44 ayat (1), Buku 3) NBW dengan 4 (empat) syarat, yaitu:(Panggabean, 2010)

1)  Keadaan-keadaan istimewa (bizondere omstandigheden) keadaan-keadaan ini meliputi keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman;

2)  Suatu hal yang nyata (kenbaarheid) disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup (membuat) suatu perjanjian;

3)  Penyalahgunaan (misbruik) salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya; dan

4)  Hubungan kausal (causaal verband) adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup (dibuat).

 

Sejak diterapkan aliran penyalahgunaan keadaan ke dalam NBW, praktik peradilan di Indonesia pun kemudian menerapkan aliran tersebut, namun sampai saat ini aturan mengenai penyalahgunaan keadaan belum dirumuskan dalam perundang-undangan Indonesia. Pada umumnya pembatalan perjanjian dengan kategori penyalahgunaan keadaan yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pertimbangan hakim bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan kepatutan, keadilan, dan itikad baik.

Pengertian mengenai penyalahgunaan keadaan tidak diatur secara spesifik namun ajaran mengenai penyalahgunaan keadaan pada dasarnya mengajarkan bahwa suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan, bilamana ternyata bahwa pihak yang lemah secara sosial ekonomi dimanfaatkan oleh pihak lainnya sehingga terbujuk untuk melakukan suatu perjanjian. Budiono menyatakan yang dimaksud dengan penyalahgunaan keadaan ialah tergeraknya seseorang karena adanya suatu keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini.(Yunus, 2019)

Van Dunne membedakan penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dan keunggulan kejiwaan, sebagai berikut:

a.     Penyalahgunaan keunggulan ekonomi dengan syarat:

-       Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomi terhadap yang lain.

-       Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian.

b.     Penyalahgunaan keunggulan kejiwaan dengan syarat:

-       Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami istri, dokter pasien, pendeta jemaat.

Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik, dsb. (Panggabean, 2010)

Nieuwenhuis menyatakan gugatan atau dasar penyalahgunaan keadaan ini penggugat harus mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya tidak ia kehendaki atau bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki dalam bentuknya yang demikian. Apabila gugatan atau dasar penyalahgunaan keadaan ternyata tidak berhasil, maka dapat digunakan dasar kedua yaitu berupa penyalahgunaan hak (misbruik van recht) sehingga pihak yang karena salahnya dapat dipertanggung jawabkan akibat perbuatannya.

Akibat hukum apabila perjanjian terdapat adanya penyalahgunaan keadaan

Subekti menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, baik syarat subjektif dan syarat objektif. Tidak dipenuhinya persyaratan subjektif menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan yang dapat diajukan oleh para pihak yang tidak cakap, atau pihak yang merasa tidak bebas dalam membuat kesepakatan.

Apabila diketahui adanya cacat kehendak baik itu kekhilafan, paksaan, penipuan ataupun penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak ketika membuat perjanjian maka dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak karena suatu perjanjian yang dibuat dengan tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata bisa berakibat kepada batalnya perjanjian.(Nurhidayati, 2020)

Jika tidak dimintakan pembatalannya dan selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan salah satu pihak yang berhak meminta pembatalan perjanjian, perjanjian akan tetap dianggap berlaku dan mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian.(Dewi, 2021) Maka pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian untuk mendapatkan haknya harus secara aktif melakukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat untuk membatalkan perjanjian tersebut sehingga diharapkan nantinya mendapat putusan yang seadil-adilnya.(Dewi, 2021)

Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan artinya akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah kembali pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat. Aturan mengenai akibat pembatalan perjanjian terdapat dalam Pasal 1451 dan 1452 KUHPerdata.  Akibat pembatalan perjanjian dapat dilihat dari 2 (dua) aspek:(Dewitasari & Landra, 2015)

1.     Pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian sehingga perjanjian dapat dibatalkan.

Akibat hukum perjanjian yang melanggar syarat subjektif ialah salah satu pihak perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian, timbulnya hak untuk pemulihan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian, mengganti biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu.

2.     Pembatalan terhadap perjanjian yang melanggar syarat objektif perjanjian yang batal demi hukum.

Akibat hukum perjanjian yang melanggar syarat subjektif ialah perjanjian dianggap batal dan perjanjian dianggap tidak ada dan tidak pernah terjadi. Pihak yang telah meneriwa prestasi wajib mengembalikan apabila tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan apa yang telah diperolehnya maka pihak lain dapat mengajukan gugatan. Hal ini semata-mata untuk melaksanakan tujuan pembatalan yaitu mengembalikan keadaan sebagaimana semula sebelum perjanjian terjadi.

 

Dikaitkan dengan contoh kasus, Para Penggugat dan Tergugat 2 dalam Kasus perkara Putusan Nomor 234/Pdt.G/2020/PN Mtr pada awalnya akan membuat suatu hubungan hukum berupa perjanjian gadai namun tanpa Para Penggugat ketahui perjanjian yang ditanda tangani tersebut bukan perjanjian gadai melainkan Surat Kuasa Menjual dan Akta Pengikatan Jual Beli. Hal tersebut merupakan suatu penyalahgunaan keadaan karena terdapat cacat kehendak pada diri Para Penggugat yang secara ekonomi lemah dibanding Tergugat yang kemudian digunakan atau dimanfaatkan Tergugat 2 agar melakukan tindakan hukum yang merugikan Penggugat atau menguntungkan Tergugat 2. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan  secara spesifik perbuatan Tergugat I dan Tergugat II menurut hukum adalah penyalahgunaan keadaan, sehingga Majelis Hakim berdasarkan ex a quo et bono, menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II sebagai perbuatan penyalahgunaan keadaan.” keputusan Majelis Hakim merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3406 K/Pdt/2019, tanggal 16 Desember 2019 yang telah membatalkan Akta jual beli atas tanah dengan alasan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

Berdasarkan Putusan Majelis Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020 menyatakan perbuatan Tergugat 2 merupakan perbuatan penyalahgunaan keadaan (misbruik van onstandigheden) maka perjanjian Para Penggugat dan Tergugat 2 dinyatakan batal karena jual beli yang semula didasari perjanjian gadai adalah perjanjian semu, dimana pihak penjual dalam posisi lemah dan terdesak sehingga mengandung penyalahgunaan ekonomi.

Sementara dalam perjanjian baku KPR yaitu mengenai pengaturan perubahan suku bunga yang terlalu luas seperti mengenakan suku bunga baru (berupa kenaikan) tanpa alasan yang patut dan diluar overmacht. Apabila tidak berlandaskan itikad baik maka hal ini dapat membuka peluang pada pihak kreditur untuk melakukan penyalahgunaan keadaan berupa menaikan suku bunga sewaktu-waktu tanpa memikirkan debitur. Debitur akan menerima ketentuan tersebut yang sebenarnya dapat memberatkannya karena secara psikologis didasari oleh perasaan senang karena dapat memperoleh fasilitas KPR kemudian menjadi kurang bersikap rasional pada syarat-syarat perjanjian yang sebenarnya dapat memberatkannya untuk memenuhi sebuah kebutuhan pokok yaitu sebuah rumah.

Sesuai dengan teori Van Dunne, dimana syarat untuk terjadinya perbuatan penyalahgunaan keadaan adalah adanya keunggulan ekonomis dari salah satu pihak terhadap yang lainnya dan pihak yang dilemahkan menjadi terpaksa untuk melakukan suatu kesepakatan atau perjanjian, maka akibat hukum yang timbul apabila perjanjian didalamnya terdapat cacat kehendak karena adanya penyalahgunaan keadaan adalah perjanjian dapat dibatalkan. Hal ini juga sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan) akibatnya perjanjian dapat dibatalkan.

Perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik dalam perjanjian apabila terdapat unsur penyalahgunaan keadaan

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa sebuah perjanjian dengan memenuhi keempat syarat perjanjian, maka suatu perjanjian dianggap sah dan menjadi mengikat secara hukum atau berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.(Natalie & Atalim, 2019) Selain itu Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata juga menyatakan: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Itikad baik pada saat pembuatan suatu perjanjian berarti kejujuran dimana orang yang beritikad baik memberi kepercayaan kepada pihak lainnya dengan menganggap pihak lain tersebut tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk. Jadi apabila dilihat dari ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata tersebut, itikad baik merupakan prinsip yang wajib dipenuhi oleh para pihak bersepakat didalam perjanjian. Secara umum definisi itikad baik mempunyai 2 (dua) arti, yaitu makna objektif bahwa kesepakatan yang dibuat harus dilaksanakan dengan memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Dan makna subjektif, yaitu pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang.(Wijaya & Dananjaya, 2018) Asas ini menekankan bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus didasarkan pada itikad baik dan kepatutan dalam masyarakat, perjanjian antara para pihak harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama.(Priyono, 2017)

Dikaitkan dengan contoh kasus, pada Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020, apabila putusan hakim tersebut ditinjau berdasarkan asas itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata maka menurut pandangan penulis telah sejalan. Dalam kasus perkara a quo pihak Penggugat atau penjual merupakan seseorang yang beritikad baik dan Tergugat 2 atau pembeli merupakan pihak yang melakukan penyalahgunaan keadaan, sehingga hakim memberikan keputusan berupa pembatalan perjanjian, adapun dengan adanya pembatalan perjanjian oleh hakim tersebut memberikan dampak timbulnya hak untuk pemulihan sebagaimana keadaan semula sebelum terjadinya perjanjian kepada Para Penggugat, hal ini sebagaimana dalam putusan dikatakan bahwaMenghukum Tergugat 2 dan Tergugat 3, atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk menyerahkan objek sengketa kepada Para Penggugat selaku Pemilik yang sah tanpa syarat, dalam keadaan kosong dan baik, bilamana perlu dengan bantuan Polisi.”

Sementara dalam kasus perbandingan mengenai kreditur yang melakukan penyalahgunaan keadaan dan debitur yang beritikad baik yang dilihat dalam sebuah perjanjian baku antara pihak KPR dan pembeli mengenai pengaturan perubahan suku bunga baru berupa kenaikan, apabila  pihak kreditur melaksanakan perjanjian tanpa adanya itikad baik yaitu melakukan kenaikan suku bunga tanpa alasan yang patut dan diluar overmacht yang dapat memberatkan debitur maka perlindungan hukum bagi debitur yang melakukan perjanjian dengan itikad baik adalah dapat melakukan permintaan pembatalan perjanjian karena telah terjadi cacat kehendak akibat penyalahgunaan keadaan sehingga syarat subjektif untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 butir 1 KUHPerdata yaitu mengenai kata sepakat tidak terpenuhi. Hal ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang menyatakanTiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuantermasuk juga penyalahgunaan keadaan.

Berdasarkan kasus perkara dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 234/Pdt.G/2020 memperlihatkan pihak penjual merupakan seseorang yang beritikad baik dan pembeli merupakan pihak yang melakukan penyalahgunaan keadaan dan kasus perbandingan mengenai perjanjian baku antara pihak KPR sebagai kreditur yang melakukan penyalahgunaan keadaan dan pembeli (debitur) yang beritikad baik menunjukan bahwa pihak yang beritikad baik akan mendapatkan perlindungan hukum. Oleh karena itu, pihak manapun baik itu penjual atau pembeli dan kreditur ataupun debitur apabila melaksanakan suatu perjanjian hendaklah dilaksanakan dengan jujur, bersih dan dilandasi oleh itikad baik oleh para pihak agar mendapatkan perlindungan hukum. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga akan mencerminkan kepastian hukum dan rasa adil bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.

Perlindungan hukum yang dapat diberikan kaitannya dengan suatu perjanjian yang terdapat unsur penyalahgunaan keadaan didalamnya yaitu perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau perjanjian dapat dimintakan pembatalannya di pengadilan karena terdapat cacat kehendak yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat sah suatu perjanjian secara subjektif menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu menurut Pasal 1449 KUHPerdata jo Pasal 1453 KUHPerdata menyatakan:

Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 1446 dan 1449, orang terhadap siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu dikabulkan, selain itu diwajibkan pula mengganti biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu.”

 

Kesimpulan

Menurut hasil penelitian penulis dapat disimpulkan bahwa mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang beritikad baik dalam perjanjian apabila terdapat unsur penyalahgunaan keadaan adalah hukum Indonesia telah memberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik. Pada umumnya pembatalan perjanjian dengan kategori penyalahgunaan keadaan yang terjadi di Indonesia diselesaikan dengan pertimbangan hakim bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan kepatutan, keadilan, dan itikad baik, hal ini dikarenakan aturan mengenai penyalahgunaan keadaan belum dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Namun meskipun penyalahgunaan keadaan belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena penyalahgunaan keadaan termasuk pada kategori cacat kehendak maka dalam KUHPerdata penyalahgunaan keadaan ini mengikuti aturan sesuai dengan Pasal 1321 yang menyatakanTiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, paksaan atau penipuantermasuk juga penyalahgunaan keadaan.

Oleh karena itu, apabila diketahui adanya cacat kehendak baik itu kekhilafan, paksaan, penipuan ataupun penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak ketika membuat perjanjian maka dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak karena suatu perjanjian yang dibuat dengan tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian pada Pasal 1320 KUHPerdata akan berakibat hukum perjanjian dapat dibatalkan atau perjanjian dapat dimintakan pembatalannya di pengadilan. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan artinya akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah kembali pada posisi semula sebelum perjanjian itu dibuat. Selain itu berdasarkan Pasal 1449 KUHPerdata jo Pasal 1453 KUHPerdata menyatakan:

Perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal 1446 dan 1449, orang terhadap siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu dikabulkan, selain itu diwajibkan pula mengganti biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu.”

Maka, dapat dikatakan hukum di Indonesia sudah memberikan perlindungan hukum secara umum melalui KUHPerdata dan berupa yurisprudensi bagi pihak yang beritikad baik apabila dalam suatu perjanjian terdapat penyalahgunaan keadaan.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Dewi, R. K. (2021). Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Onstandigheden) Ekonomi Sebagai Dasar Pembatalan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dan Akta Jual Beli. Prosiding Seminar Nasional, 3(1), 177–183.

 

Dewitasari, Y., & Landra, P. T. C. (2015). Akibat Hukum Terhadap Para Pihak dalam Perjanjian Apabila Terjadi Pembatalan Perjanjian. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum.

 

Natalie, A., & Atalim, S. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Pembatalan Perjanjian Jual Beli Akibat Perbuatan Melawan Hukum (Contoh Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 523 K/PDT/2017). Jurnal Hukum Adigama, 1(2), 203–227.

 

Nurhidayati, S. (2020). Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Bagi Hasil (Studi Putusan Nomor 873 PK/Pdt/2017). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi Dan Informasi Hukum Dan Masyarakat, 1(2), 13–29.

 

Panggabean, H. P. (2010). Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian. Yogyakarta: Liberty, 47–48.

 

Priyono, E. A. (2017). Peranan Asas Itikad Baik Dalam Kontrak Baku (Upaya Menjaga Keseimbangan bagi Para Pihak). Diponegoro Private Law Review, 1(1).

 

Pustaka, S. S. M. (2021). Buku Ajar Metode Penelitian Hukum. Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 32.

 

Santoso, S. (2008). Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Pada Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Bekasi. Core, 64.

 

Subekti. (1995). Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1.

 

Wijaya, I. G. K. W., & Dananjaya, N. S. (2018). Penerapan Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Online. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 6(8).

 

Yunus, A. (2019). Penyalahgunaan Keadaan Dalam Bentuk Perjanjian Baku Misuse of Other Party Condition in Standard Contract. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 21(2), 178.

 

Copyright holder:

Dian Dwi Jayanti, Artaji, Pupung Faisal (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: