Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

FORMALISASI MEDIASI SEBAGAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA

 

Dudung Hidayat

Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan yang dapat dipergunakan bagi para pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa secara baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Di lingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase, mediasi, atau negosiasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mengamati formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari wawancara (interview) dan observasi (observation) dan data yang digunakan berasal dari studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Proses penyelesaian sengketa dengan melalui Meidasi ini adalah merupakan upaya pemecahan konflik untuk mengurangi bertumpuknya beban perkara peradilan. Pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi merupakan penyempurnaan peraturan tentang Mediasi yang sebelumnya pernah diperlakukan.

 

Kata Kunci: Outpatient hospital, Reduced outpatient hospital, Decrease outpatient hospital, Reduced visits hospital.

 

Abstract

Facing such severe challenges, the Indonesian legal system actually has rules that can be used for justice seekers to resolve disputes both in the judicial environment and outside the courts. In the judicial environment a peaceful path can be taken through the mediation process, the judge is involved to reconcile the parties to the dispute. Outside the court, arbitration, mediation, or negotiation can be taken as an alternative form of dispute resolution. The purpose of this study is to determine the effectiveness of formalization of mediation as a civil dispute resolution mechanism. This study uses a descriptive qualitative approach by observing the formalization of mediation as a civil dispute resolution mechanism. The data collection method in this qualitative research consists of interviews and observations and the data used comes from literature studies. The results of this study state that the dispute resolution process through Meidasi is an effort to resolve conflicts to reduce the burden of judicial cases. The implementation of PERMA Number 1 of 2016 concerning Mediation is an improvement in the regulations on Mediation that have previously been treated.

 

Keywords: Outpatient hospital, Reduced outpatient hospital, Decrease outpatient hospital, Reduced visits hospital.

 

Pendahuluan

Mediasi adalah satu diantara sekian banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang dapat juga berwujud mediasi pengadilan (court mediation). Penyelesaian konflik (sengketa) secara damai sebenarnya telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabada-abad tahun lalu. Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terpeliharanya nilai-niIai kebersamaan (komunitas) dalam masyarakat. (Abbas, 2017)

Mediasi, dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan/damai, ternyata memang sudah lama berkembang di Indonesia. Mediasi mendapat pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia Belanda maupun dalam produk hukum setelah Indonesia merdeka sampai hari ini. Pengaturan alternatif sengketa dalam aturan hukum amat penting, mengingat Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat). Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh Mediator atas perintah hakim (aparatur negara) di pengadilan atau pihak lain diluar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum.

Masih terkait dengan ketentuan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan membantu pencani keadilan dan berusaha mengatasi hambatan dan nintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pada praktiknya, penerapan asas sedenhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota.

Penumpukan perkara ini tidak hanya terjadi pada tingkat pertama dan banding, tetapi juga pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum banding, kasasi bahkan peninjauan kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini, telah mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan ini tentu tidak dapat dibiarkan, karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.

Dengan melihat kondisi seperti ini, pencari keadilan sangat mungkin mencari cara bagaimana agar permasalahan yang dihadapi dapat segera terselesaikan, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang berkelanjutan bagi para pencari keadilan.

Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan yang dapat dipergunakan bagi para pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa secara baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Di lingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui proses mediasi, hakim terlibat untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase, mediasi, atau negosiasi sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa.

Ketentuan-ketentuan hukum tersebut tidak menegaskan secara kongkret mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Ketentuan mengenal mediasi baru ditemukan dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur dua hal utama, yaitu arbitrase dan alternaif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalul prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Ketentuan dan Pasal 1 dan 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dipahaini beberapa hal, yaitu : 

Pertama, objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata atau beda pendapat antara para pihak dalam satu hubungan hukum. Bahkan, untuk arbitrase, undang-undang ini hanya memfokuskan sengketa perdagangan dan mengenai hak-hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Kedua, sengketa tersebut baru dapat diselesaikan melalui arbitrase bila dalam suatu perjanjian tertulis secara tegas menyatakan bahwa bila tersengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin dan suatu hubungan hukum akan diselesaikan secara arbitrase.

            Pengaturan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih terperinci ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahn 2000 tentang Lembaga Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 ini mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses mediasi atau arbitrase. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 ini juga telah menetapkan konsep yang jelas mengenai mediasi, mediator, persyaratan mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam penyelesaian sengketa Iingkungan hidup. Jadi, pengaturan mediasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 jauh lebih lengkap bila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Pasal 1 Peraturan Pemenintah Nomon 54 Tahun 2000 disebutkan bahwa mediator atau pihak ketiga lainnya adalah seseorang atau lebih yang ditunjuk dan ditenima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa Iingkungan hidup yang tidak meiniliki kewenangan mengambil keputusan (butir 4).

Filosofi yang mendasari mediasi adalah memberikan wewenang kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka sendiri dan mediator tidak membuat suatu keputusan terhadap sengketa dan para pihak. Mediator melaksanakan filosofi ini dengan membantu para pihak untuk melakukan negosiasi secara kooperatif. Mediator tetap netral dan tidak memihak terhadap salah satu pihak termasuk hasil yang dicapai. Jadi, hasil mediasi yang adil, berharga dan dapat diterima untuk para pihaklah yang pada akhirnya akan menjadi kesepakatan. Seorang mediator hanya boleh memberikan saran-saran penyelesaian kepada para pihak, membantu mereka untuk mencapai hasil dan meyakinkan mereka agar dapat melaksanakannya dengan baik.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mengamati formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari wawancara (interview) dan observasi (observation) dan data yang digunakan berasal dari studi pustaka.

Pada tahap analysis, peneliti memodelkan proses penelitian mulai dari hasil identifikasi masalah berdasarkan studi literatur dan studi lapangan, dilanjutkan untuk membuat latar belakang. Setelah itu membuat rumusan masalah berdasarkan batasan masalah dalam penelitian yang dilakukan. Dari analisa tersebut, peneliti dapat mengetahui analisa kebutuhan yang akan digunakan sebagai acuan dalam tahapan selanjutnya. Dan terkahir menggunakan metode evaluasi, hal ini dilakukan untuk membuktikan keakuratan dan kevalidan dari keputusan yang dihasilkan.

 

Hasil dan Pembahasan

            Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris “mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan “mediator” atau orang yang menjadi penengah. Ada beberapa batasan mediasi yang dikemukakan oleh para ahli, di antaranya: Gary goodpaster mengemukakan bahwa:

mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luas yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak. Namun, dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara memengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan atau dengan menggunakan proses negosiasiyang lebih efektif, dan dengan demikian membantupara peserta untuk mwenyelsaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan”.(Hirdayadi & Diansyah, 2017)

Selanjutnya, Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengatakan bahwa:

“Mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah; sama seperti konsiliasi. Mediator, penengah: seorang yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.”(ELIPS, 1997)

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan batasan bahwa:

Mediasi: proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediator: Perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa itu.”

Sehubungan dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam pasal 6 ayat (3) UUAAPS menyatakan sebagai berikut:

Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.”

            Dari beberapa rumusan pengertian mediasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut dinamakan “mediator” ataumenengah”, yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator disini hanya bertindak sebagai fasilitor belaka. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.

Adapun pemutusan perkara, baik melalui pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok kebelakang, berciri pertentangan, dan berdasar hak-hak. Artinya, apabila pihak melitigasi suatu sengketa, prosedur pemutusan perkara diatur dalam ketentua-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan hak serta kewajiban legal masing-masing pihak akan menentukan hasilnya. Kebalikannya, mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat kedepan, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dan memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti halnya para hakim dan arbiter, mediator harus tidak berpihak dan netral, tetapi mereka tidak mencampuri untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran subtantif, serta para pihak sendiri memutuskan apakah mereka akan setuju atau tidak.(KARMITA, 2012)

Karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi. Hal ini disebabkan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses ajudikasi, di mana pihak ketiga menerapakan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, maka dalam mediasi pihak ketiga akan membantu pihak-pihak yang bertikai dengan menerapkan nilai-nilai terhadap fakta-fakta untuk mencapaiu hasil akhir. Nilai-nilai itu dapat meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan, agama, etika, moral, dan lain-lain.(Soemartono, 2006)

Cristopher W. Moore, menyebutkan beberapa keuntungan yang sering kali didapatkan dari hasil mediasi, yaitu:

§  Keputusan yang hemat.

§  Penyelesaian secara cepat.

§  Hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak.

§  Kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “Customized”.

§  Praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif.

§  Tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga

§  Pemberdayaan individu (Personal Empowermen.)

§  Melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah.       

            Di samping kelebihan-kelebihannya, institusi mediasi ini juga ada kelemahannya, di antaranya:

1.   Biasa memakan waktu yang lama;

2.   Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak;

3.   Sangat digantungkan dari iktikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai;

4.   Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik, terutama jika informasi kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya, dan

5.   Jika lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator sehingga putusannya menjadi bias.(Fuady, 2000)

Peran dan Fungsi Mediator dalam Mediasi

            Pada dasarnya seorang mediator berperan sebagaipenengah” yang membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapinya. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, guna menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan penyelesaian sengketanya harus dapat diterima dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak. Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling berbeda tersebut agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan masalahnya.

            Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari (locate) persoalan-persoalan yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan serta membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Di samping itu, seorang mediator membantu para pihak memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahasan mengenai tujuan dan kepentingan umum. Mediator pun akan sering bertemu dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut caucus, mediator biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan persoalan-persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.

            Mediator juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif, dan menemukan pemecahan yang kreatif terhadap konflik mereka.

Dengan demikian, seorang mediator tidak hanya bertindak sebagai penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, tetapi ia juga harus membantu para pihak untuk mendesain menyelesaikan sengketanya sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian, mediator ini pun akan membantu para pihak dalam menganalisis sengketa atau pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat menemukan rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang akan ditindak lanjuti bersama pula.

Tipologi Mediator

            Beraneka ragam tipologi mediator yang dikemukakan oleh para ahli. Christopher W. Moore diantaranya, yang menyebutkan ada tiga tipe tipologi mediator, yaitu:

§  Tipologi Pertama Mediator sosial (social network mediator);

Mediator berperan dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial antara mediator dan para pihak yang bersengketa.  Mediator dalam tipologi ini sebagai bagian sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah berlangsung. Seseorang yang membantu menyelesaikan sengketa, misalnya, anatara dua tetangganya, rekan sekerjanya, teman usahanya, atau antara kerabatnya digolongkan dalam tipologi pertama ini. Begitu pula, jika seorang tokoh masyakat atau agama yang dikenal oleh pihak-pihak yang bertikai membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi, dapat digolongkan ke dalam mediator hubungan sosial.

§  Tipologi Kedua Mediator otoritatif (authoritative mediator)

Mediator berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka dan memiliki posisi kuat atau berpengaruh sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk memengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Akan tetapi, seorang mediator otoritatif selama menjalankan perannya tidak menggunakan kewenagan atau pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau pandangannya bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh atau berwenang, melainkan harus dihasilkan upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri. Namun, dalam situasi-situasi tertentu, mediator otoritatif akan memberikan batasan-batasan kepada para pihak dalam upaya mereka mencari pemecahan masalah. Selain itu, mediator otoritatif mungkin juga memberikan semacam ancaman kepada para pihak bahwa jika para pihak sendiri tidak dapat mencari pemecahan masalah melalui pendekatan kolaboratif atau kooperatif, mediator otoritatiflah yang akhirnya membuat keputusan untuk penyelesaian yang harus diterima oleh para pihak.

§  Tipologi Ketiga Mediator mandiri (independent mediator)

Mediator mandiri adalah mediator yang menjaga jarak, baik antara pihak maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator tipologi ini lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediator-mediator profesional. Anggota-anggota dalam masyarakat seperti cenderung lebih menyukai permintaan bantuan kepada ‘orang luar’ yang tidak memiliki hubungan sosial sebelumnya dengan mereka dan tidak memilki kepentingan pribadi tertentu dengan para pihak atau terhadap masalah yang timbul. Anggota-anggota masyarakat itu lebih mengandalkan para profesional spesialis dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Keadaan ini dapat dilihat atau dibuktikan dengan telah lahir dan berkembangnya profesi mediator seperti halnya protesi pengacara, akuntansi, dan dokter. Model mediasi inl dipraktikkan atau berkembang di Amerika Utara. Di Amerika Serikat sendiri telah berdiri kantor-kantor profesional mediator, misalnya CDR di Boulder, The Institute of Environmental Mediation di Seattle, JAMSen Dispute di seattle, Confluence North West di Portland Oregon, dan Community Dispute Resolution Center di Ithaca. Dengan telah lahirnya asosiasi mediator professional di Amerika Serikat tersebut, maka lahirnya yang disebut Socienty in Professional Dispute Resolution (SPIDER).

Model-model serta Jenis-jenis Mediasi

            Ada 4 (empat) model mediasi yang perlu diperhatikan oleh praktisi mediasi, yaitu: settlement mediation, facilitative meditiat/on, transformative mediation, dan evaluative mediation.(Boulle & Rycrof, 1998)

-      Settlement mediation yang juga dikenal sebagai kompromi merupakan mediasi yang tujuan utamanya untuk mendorong terwujudnya kompromi dan tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam mediasi model ml tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berdedikasi tinggi sekalipun tidak terlalu ahli di dalam proses dan teknik-teknik mediasi.

-      Facilitative mediation yang juga dikenal sebagal mediasi yang berbasis kepentingan (interest basea) dan problem solving merupakan mediasi yang bertujuan untuk menghindarkan disputants dan posisinya dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan para disputants dan hak-hak legal mereka secara kaku. Dalam model mi, mediator harus ahil dalam proses dan harus menguasai teknik-teknik mediasi, meskipun penguas aan terhadap materi tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting. Mediator juga harus dapat memimpin proses mediasi dan mengupayakan dialog yang konstruktif di antara disputants, serta meningkatkan upaya-upaya negosiasi dan mengupayakan kesepakatan.

-      Transformative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi terapi dan rekonsiliasi, merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan di antara mereka melalul pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dan resolusi (jalan keluar) dan pertikaian yang ada. Dalam model mi sang mediator harus dapat menggunakan terapi dan teknik profesional sebelurn dan selama proses mediasi serta mengangkat isu relasi/hubungan melalui pemberdayaan dan pengakuan.

-      Evaluative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal dan para disputans dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Dalam hal ini sang mediator harus seorang yang ahli dan menguasai bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik mediasi. Peran yang biasa dijalankan oleh mediator dalam hal mi ialah memberikan saran serta mempersuasifkan kepada para disputans, serta memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapat.

Jenis-jenis Mediasi

            Terdapat 2 (dua) model mediasi, yaitu mediasi yang dilakukan diluar pengadilan (non litigasi) dan mediasi yang dilaksanakan di dalam pengadilan (litigasi) atau yang dikenal dengan court connected mediation.

1.     Mediasi diluar pengadilan dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mediasi diluar pengadilan diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Pengaturan mediasi secara formal memang baru dilakukan beberapa tahun lalu, tetapi bukan berarti pola penerapan semacam mediasi tidak dikenal dalam penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia sebenarnya telah mempraktikkan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediatornya adalah para tokoh adat, ulama dan tokoh masyarakat yang berwibawa dan dipercaya, sehingg mereka dapat menyelesaikan sengketa dikalangan.

2.     Mediasi pengadilan di banyak negara merupakan bagian dari proses litigasi. Hakim meminta para pihak untuk mengusahakan penyelesaian sengketa dengan menggunakan proses mediasi sebelum proses pengadilan dilanjutkan. Inilah yang disebut mediasi di pengadilan. Dalam mediasi ini, seorang hakim atau ahli ditunjuk oleh para pihak untuk bertindak sebagai mediator. Di Amerika Serikat, telah lama berkembang suatu mekanisme bahwa pengadilan meminta para pihak untuk mencoba menyelesaikan sengketa mereka melalui cara mediasi sebelum diadakan pemeriksaan perkara. Dari segi tujuan pembuatannya, mediasi di pengadilan dan mediasi luar pengadilan berbeda. Perbedaan lain antara mediasi di pengadilan dan luar pengadilan terletak pada pelaksanaan mediasi jika tercapai kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa. Dalam mediasi di pengadilan, penyelesaian sengketa tersebut berupa suatu penetapan dari hakim dan penetapannya harus dilaksanakan oleh para pihak yang berpekara seolah-olah telah diputus oleh hakim, termasuk kekuatan mengikatnya. Dalam mediasi luar pengadilan, hasilnya berbentuk suatu kontrak (perjanjian), baik kontrak baru maupun dalam bentuk revisi, yang apabila salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya sebagaimana tersebut di dalam kontrak (perjanjian), pihak yang lain harus melakukan gugatan hukum untuk pelaksanaan kontrak tersebut.

Proses Pelaksanaan Mediasi

            Proses pelakasanaan mediasi yang dilakukan oleh mediator dilakukan dalam beberapa tahapan. Masing-masing ahli membagi panahapan proses pelaksanaan mediasi tersebut secara berbeda. Sesungguhnya penahapan proses ini dimaksudkan memberikan kemudahan kepada para pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator untuk mencapai kesepakatan bersama yang merupakan akhir dari penyelesaian konflik melalui me diasi. Pembagian penahapan proses pelaksanaan mediasi menurut para ahli tersebut adalah sebagai berikut:

§  Christopher W. Moore(Istinah & SH, n.d.)

Menurut Christopher W. Moore, proses mediasi dan kegiatan mediator dilakukan dalam beberapa tahapan :

1.   Mediator menjalin hubungan awal dengan pihak-pihak yang bersengketa. Seorang mediator di dalam praktik mediasi, akan lebih dapat terlibat ke dalam sengketa dan proses perundingan melalui cara-cara sebagai berikut:

a.   Berdasarkan inisiatif langsung para pihak;

b.   Saran dan pihak lain, tetapi diterima oleh para pihak;

c.   Inisiatif/tawaran langsung dan mediator kepada pana pihak dan diterima;

d.   Penunjukan oleh badan/pejabat yang berwenang.

        Kemudian, mediator membangun kepercayaan di mata para pihak. Membangun kepercayaan mi diantaranya menyangkut hubungan personel dengan para pihak, membangun hubungan institusional dan prosedural. Tugas dan mediator pada tahap awal mediasi adalah membangun citra din, serta memberikan wawasan kepada para pmhak tentang prosedur atau tata cara mediasi dan peran mediator.

2.  Memilih Strategi untuk Membimbing Proses Mediasi

          Mediator membantu para pihak dalam menganalisis pendekatan-pendekatan sebagal sarana dalam pengelolaan konflik. Pendekatan yang dapat dipilih oleh para pihak dengan bantuan mediator adalah apakah mekanisme mediasi dilakukan secara formal atau informal, dan bersifat terbuka untuk umum, atau bersifat tertutup (private). Mekanisme mediasi berlangsung formal apabila diselenggarakan dengan aturan perundingan yang ketat.

          Sebaliknya, mekanisme mediasi dikatakan bersifat informal jika tidak didasarkan aturan yang ketat. Mediator perlu menjelaskan kekuatan dan kelemahan dan tiap-tiap pendekatan itu. Mediator juga perlu memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat berlangsung berdasarkan pendekatan kompetitif, kompromistis, akomodatif, atau kolaboratif. Pendekatan tersebut masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan.

3.  Mengumpulkan dan Menganalisis Informasi Latar Belakang Sengketa

          Pengumpulan data dan penganalisisan konflik memungkinkan mediator untuk mengidentifikasi pihak-pihak utama yang terlibat konflik, menentukan pokok masalah dan kepentingan-kepentingan para pihak. Dan data yang diperoleh, mediator dapat memahami asal muasal dan dinamika sebuah sengketa. Melalui pengumpulan data dan analisis konflik, mediator dapat menyusun rencana/strategi mediasi.

          Pengumpulan data dapat dilakukan oleh mediator melalui teknik-teknik pengamatan langsung, kunjungan lapangan, dan wawancara terhadap para pihak atau menggunakan sumber-sumber sekunder. Sedangkan analisis konflik dapat dilakukan dengan cara memahami apa yang oleh Moore disebutlingkaran konflikatau “circle of conflict “.

4.  Menyusun Rencana Mediasi.

          Mediator dalam mempersiapkan rencana mediasi, harus menjawab persoalan-persoalan berikut:

a.   Siapa sajakah yang boleh terlibat dalam proses perundingan?

b.   Di manakah proses perundingan mediasi sebaiknya di selenggarakan?

c.   Bagaimanakah sebaiknya penataan atau pengaturan susunan tempat duduk para peserta perundingan dilakukan?

d.   Prosedur-prosedur apa yang perlu dipergunakan?

e.   Masalah, kepentingan apa dan kemungkinan penyelesaian apa yang perlu bagi para pihak?

f.    Bagaimana aturan-aturan perundingan dibuat atau ditetapkan?

g.   Apakah rencana umum untuk pertemuan perundingan yang pertama;

h.   Bagaimana kondisi psikologis para pihak;

i.    Bagaimanakah cara mengarahkan atau memberi Wawasan kepada para pihak tentang proses mediasi;

j.    Apakah ada kemungkinan menghadapi jalan buntu dan bagaimana cara mengatasi jalan buntu kalau memang terjadi?

5.  Membangun Kepercayaan dan Kerja Sama di antara Para Pihak

          Ada lima masalah yang dapat menciptakan dinamika psikologis negatif dalam sebuah proses perundingan. Kelima masalah itu adalah:

a.   Emosi kuat atau tidak terkendali;

b.   Adanya persepsi keliru atau stereotipe yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak tentang diri lawan mereka atau tentang masalah tertentu;

c.   Masalah Legitimasi;

d.   Kekurangpercayaan;

e.   Komunikasi yang jelek.

          Agar dapat membantu para pihak menghasilkan kesepakatan, mediator pertama-tama harus berusaha mengatasi atau memecahkan kelima masalah yang dapat menghambat jalannya proses mediasi. Dan kelima masalah tersebut, yang paling perlu mendapat perhatian adalah legitimasi dan masalah komunikasi.

          Masalah legitimasi berkaitan dengan pengakuan dan satu pihak terhadap keabsahan dan kerugian dan kepentingan dan pihak lainnya. Tanpa adanya pengakuan keabsahan itu, proses perundingan tidak mungkin berlangsung karena orang baru bersedia memasuki proses perundingan jika mereka mengakui atau menenima keabsahan dan validitas dan masalah dan kepentingan yang dikemukakan pihak lawannya.

          Oleh karena itu, mediator diharapkan dapat melakukan upaya persuasif agar para pihak dapat mengakui legitimasi masing-masing. Untuk membangun kepercayaan para pihak satu sama lainnya, mediator dianjurkan untuk mendorong para juru runding agar menyampaikan ucapan-ucapan yang jelas dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, mengadakan perundingan di tempat dan pada waktu yang dapat diterima semua pihak.

          Komunikasi adalah unsur utama dalam sebuah proses perundingan. Perlu juga diingat bahwa meskipun para pihak bersedia berbicara satu sama lain, tidak berarti dengan sendirinya perbedaan-perbedaan dapat diselesaikan. Hal yang penting adalah bagaimana pembicaraan atau komunikasi itu dapat terarah dan produktif. Oleh sebab itu, mediator diharapkan dapat membantu para pihak dalam berkomunikasi satu sama lainnya.

          Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:(Amriani, 2012)

a.   Mediator mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah atau pertemuan kaukus, sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan guna mengetahui informasi apa saja yang boleh dan tidak boleh diungkapkan dalam pertemuan lengkap.

b.   Mediator dapat memengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada pihak lawannya dengan memodifikasi pesan dalam bahasa yang dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak.

c.   Mediator dapat membatasm atau menginterupsi pembicaraan satu pihak jika yang dibicarakannya menyangkut hal yang sensitif bagi pihak lainnya.

6.  Memulai Sidang Mediasi

          Upaya penting mediator dalam memulai atau membuka sidang mediasi adalah menciptakan suasana positif dan optimistis tentang pentingnya saling percaya dan adanya kepentingan serta kepedulian yang sama di antara para pihak. Pernyataan pembukaan mediator lazimnya memuat hal-hal berikut:

a.   Perkenalan dengan mediator, dan jika suasana memungkinkan juga para pihak;

b.   Penekanan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaikan masalah melalui proses perundingan;

c.   Pengertian tentang mediasi dan peranan mediator;

d.   Penjelasan prosedur mediasi;

e.   Penjelasan pengertian kaukus;

f.    Penjelasan tentang parameter kerahasiaan;

g.   Uraian tentang tempat dan jadwal serta lama proses perundingan;

h.   Saran-saran tentang pedoman atau aturan perilaku alam proses perundingan, memberi kesempatan kepada para pihak untuk bertanya dan menjawabnya.

7.  Merumuskan Masalah dan Menyusun Agenda

          Tiga tugas penting bagi mediator dan para perunding, sebelum mereka membahas masalah-masalah substantif secara lebih intensif, terlebih dahulu mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan yang menjadi kepedulian para pihak, menyepakati sub-sub topik permasalahan yang akan dibahas dalam perundingan, dan menentukan urusan sub topik yang  akan dibahas dalam proses perundingan.

     Perumusan agenda perundingan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, yaitu:

a.   Pihak yang satu mengusulkan kepada pihak lainnya untuk membahas masalah tertentu dan pihak lain ternyata menyetujuinya. Setelah masalah tersebut selesai, kemudian diikuti dengan pembahasan lainnya.

b.   Dengan cara memberikan urutan dan segi pentingnya tiap masalah. Berdasarkan urutan nilai pentingnya masalah, para pihak membahas tiap-tiap masalah.

c.   Dengan cara membahas sebuah masalah yang dianggap masalah pokok, sehingga jika para pihak dapat mencapai kesepakatan tentang hal tersebut, dengan sendirinya masalah kecil ikutan akan dapat diselesaikan pula.

8.  Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak

          Para pihak dalam sebuah sengketa tidak jarang mengalami kesulitan untuk merumuskan kepentingan mereka secara jelas dan lugas. Ketakjelasan ini dapat terjadi, antara lain karena mereka tidak menyadari kepentingan mereka sesungguhnya atau mereka secara sengaja menyembunyikan kepentingan mereka dengan harapan mereka akan memperoleh keuntungan yang Iebih besar, atau mereka mencampuradukkan antara kepentingan dan posisi dalam proses perundingan. Tentunya, keadaan mi dapat menghambat tercapainya kemajuan dalam sebuah proses perundingan.

          Oleh sebab itu, mediator juga perlu mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak. Upaya ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung dan cara tidak langsung. Cara Iangsung adalah dengan mengemukakan pertanyaan Iangsung kepada pihak yang bersangkutan. Cara tidak angsung adalah dengan mendengarkan dan merumuskan kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan para pihak, serta melakukan pengujian-pengujian.

9.  Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa

          Ketika memasuki proses perundingan, pihak-pihak yang bersengketa seringkali telah memiliki keyakmnan bahwa masing-masing telah menemukan penyelesaian masalah. OIeh sebab itu, para pihak cenderung bertahan pada bentuk penyelesaian masalah yang telah melekat pada alam pikiran mereka, tetapi secara objektif penyelesaian itu belum tentu dapat dan memuaskan pihak Iainnya. Sikap yang bersifat posisional ini sekaligus menutup adanya kemungkmnankemungkin pemecahan masalah Iainnya. Tugas mediator adalah mendorong para pihak untuk tidak bertahan pada pola pikiran yang demikian, tetapi harus terbuka dan secara bersama-sama mencari dan menjelajahi berbagam alternatif pemecahan masalah.

10.  Menganalisis Pilihan Penyelesaian Sengketa

          Pada tahap ini, para pihak dengan bantuan mediator menganalisms sejumlah pilihan pemecahar, masalah yang diharapkan dapat mengakhmr sengketa. Para pihak menganalisis sejauh mana suatu pemecahan masalah atau kombinasi pemecahan masalah dapat memuaskan atau memenuhi kepentingan mereka.

          Tugas mediator adalah membantu para pihak dalam mengevaluasi pilihan-pilmhan yang tersedia dan membantu mereka dalam menentukan untung ruginya bagi penerimaan atau penolakan terhadap suatu pemecahan masalah.

          Mediator juga dapat mengingatkan para pihak agar bersikap realistis, yakni apabila mereka memiliki harapan atau target yang begitu tinggi, sehingga mengemukakan tuntutan atau tawaran yang tidak masuk akal. Upaya mengingatkan ini sebaiknya dilakukan dalam pertemuan kaukus.

11.  Proses Tawar Menawar

           Dalam tahap ini, para pihak telah melihat adanya peluang-peluang titik temu kepentingan mereka, tetapi masih tetap ada perbedaan-perbedaan. Mereka masih harus lebih memperjelas letak kesamaan-kesamaan pandangan dan perbedaan-perbedaan secara Iebih terpermnci dan jelas. Dalam tahap ini pula,para pihak bersedia memberikan konsesi satu sama lainnya tentang suatu masalah atau persoalan untuk mengimbangi kerugian atau keuntungan yang diperoleh dalam masalah lainnya.

          Mediator dalam situasi seperti ini, seharusnya membantu para pihak dalam mengembangkan tawaran hipotetis atau tentatif yang dapat dipergunakan untuk menguji dapat atau tidaknya tercapainya penyelesaian untuk masalah-masalah tertentu. Tawaran-tawaran tentatif dapat dibahas oleh para pihak dalam pertemuan lengkap, atau disampaikan dalam pertemuan kaukus oleh mediator kepada para pihak, tanpa mengharuskan para pihak terikat pada suatu bentuk pemecahan masalah. Lazimnya, para pihak pertama-tama berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam hal pokok (agreement in principles). Berdasarkan formula umum atau pokok itu, kemudian para pihak berusaha menyelesaikan sub-sub masalah.

12.  Mencapai Penyelesaian Formal

          Tahap akhir proses mediasi mengharuskan para pihak untuk memformalisasi kesepakatan dan menyusun prosedur atau rencana pelaksanaan dan pemantauan kesepakatan. Rencana pelaksanaan kesepakatan mengacu pada langkah-langkah yang akan ditempuh para pihak untuk merealisasikan bunyi kesepakatan dan mengakhiri sengketa. Keberhasilan kesepakatan substantif sangat bergantung kepada rencana pelaksanaan kesepakatan. Buruknya rencana kesepakatan, tentu akan berpengaruh pada pelaksanaan kesepakatan, yang pada akhirnya meniadakan makna dan sebuah kesepakatan dan tidak akan mampu mengakhiri sengketa, tetapi dapat menimbulkan masalah baru.

          Sebuah kesepakatan mengandung janji-janji atau komitmen para pihak. Sebagian dan janji atau komitmen itu dapat bersifat self executing dan sebagian lainnya dapat bersifat “non self executing Untuk pelaksanaan kesepakatan yang bersifat self executing, misalnya, tentang pembayaran ganti kerugian, kesepakatan itu dikatakan telah terealisasi bila pihak berjanji telah membayar sejumlah uang disepakati. Pelaksanaan ini, antara lain, dapat dibuktikan dengan penyerahan langsung kepada pihak yang berhak dihadapan mediator atau pejabat berwenang, dengan disertai bukti pembayaran.

          Berbeda dengan pelaksanaan kesepakatan “non-self executing tidak dengan mudah dapat diketahui. Misalnya, kesepakatan yang mewajibkan sebuah industri untuk mengolah limbah atau membuang limbah ke badan air sesual dengan baku mutu. Untuk mengetahui apakah kesepakatan itu telah dilaksanakan, diperlukan sebuah rencana pemantauan pelaksanaan kesepakatan. Rencana mi disusun bersama oleh para pihak untuk mengetahui, bahwa kesepakatan itu memang telah dilaksanakan.

          Uraian di atas, terlihat betapa pentingnya peranan seorang mediator di dalam memimpin proses mediasi. Namun, setiap intervensi dan mediator mulai dan pertemuan pertama dengan para pihak sampai diraihnya hasil akhir memiliki tujuan dalam batasan menyukseskan proses negosiasi di antara para pihak. ini berarti bahwa dalam setiap mediasi selalu terdapat negosiasi.

          Oleh karena itu, seorang mediator haruslah orang yang mempunyai di samping pengetahuan dan penguasaan materi sengketa, juga teknik-teknik dan ketrampilan serta kemampuan psikologis dalam menyelesaikan masalah. Seorang mediator harus memiliki kemampuan untuk mendengar, bertanya, mengamati, mewawancarai, konseling, dan Juga negosiasi.

Implementasi PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi

            Dalam penyelesaian sengketa perdata berupa gugatan di Pengadilan, saat pemeriksaan sidang pertama, majelis hakim memberitahukan para pihak yang berperkara wajib menempuh mediasi. Perintah pelaksanaan mediasi meneurut ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi adalah 30 hari sejak majelis hakim memerintahkan Mediasi dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi ada 2 (dua) kemungkinan yang dihasilkan yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal mencapai kesepakatan.(Astarini, 2013)

1.   Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak dengan bantuan mediator, mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara terttulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.

2.   Apabila setelah batas waktu maksimal 30 hari kerja sebagaimana atau karena  sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 24 PERMA nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi, para pihak gagal mencapai kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.

            Dengan demikian dalam proses mediasi hanya ada kemungkinan produk yang dihasilkan yaitu berhasil mencapai kesepakatan dalam proses mediasi atau gagal dalam proses mediasi. Apabila kesepakatan perdamaian berhasil dicapai, berdasarkan PERMA Nomor 1 tahun 2016 Tentang Mediasi sebagaimana ketentuan pasala --- disebutkan para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Kesepakatan Perdamaian tersebut kemudian dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian. Pasal  27 ayat (1)  PERMA Nomor 1 2016 Tentang Mediasi menyatakan :

“Jika mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh Para pihak dan Mediator”

            Akta perdamaian yang disepakati para pihak dalam mediasi pengadilan, disamakan kedudukannya dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Jika dihubungkan dengan pasal 130 HIR (2) disebutkan bahwa :

“Jika perdamaian terjadi, sehingga tentang hal itu pada waktu sidang harus dibuat sebuah akta bahwa kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu, sehingga surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa”.             

            Pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa akta perdamaian bersifat inkracht van gewisjde serta memiliki kekuatan eksekutorial. Dalam putusannya, terhadap akta perdamain diawali dengan kalimat “Demi Keadalian Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” hakim juga akan memuat diktum: “Menghukum kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) untuk melaksanakan isi akta perdaamaian tersebut”. Dictum ini merupakan periintah, yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.

            Pasal 130 (2) HIR menyatakan bahwasanya para pihak wajib menaati dan memenuhi isi perjanjian perdamaian yang dibuat. Putusan perdamaian tersebut diperlukan selayaknya putusan hakim. Selanjutnya, dalam ayat (3) disebutkan, terhadap putusan yang demikian tidak diizinkan pihak-pihak menggunakan upaya hukum. Oleh karena itu, dapat dikemukakan keistimewaan putusan perdamaian, yaitu :

a.   Tertutup upaya hukum banding dan kasasi;

b.  Mempunyai kekuatan hukum tetap;

c.   Memiliki kekuatan eksekutorial.

            Secara prinsif mediasi memiliki potensi untuk memberikan perasaan kewenangannyayang lebih besar bagi para pihak jika dibandingkan ketika para pihak berperkara di pengadilan. Pada proses mediasi para pihak sepenuhnya mengontrol jalannya proses dan bersedia untuk memenuhi keputusan karena keputusan ini semata-mata disetujui dan diusulkan oleh para pihak sendiri melalui mediator dan tidak diputus oleh orang lain.

 

 

Kesimpulan

1.   Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dipandang paling efesien adalah mediasi. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi dengan menggunakan pihak ketiga untuk membantu para pihak yang bersengketa didalam menyelesaiakan sengketanya.  Proses mediasi sangat penting dilakukan dalam proses pemeriksaan sengketa guna menghindari proses birokrasi peradilan yang panjang. Mediasi ini adalah upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak   berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai.

2.   Proses penyelesaian sengketa dengan melalui Meidasi ini adalah merupakan upaya pemecahan konflik untuk mengurangi bertumpuknya beban perkara peradilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan diharapkan dapat menjadi salah satu instrument efektif untuk mengatasi masalah penumpukan perkara dipengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat adjudikatif (memutus) juga sebagai salah satu acces to justice bagi masyarakat pencari keadilan.

3.   Pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi merupakan penyempurnaan peraturan tentang Mediasi yang sebelumnya pernah diperlakukan, hal tersebut diharapkan dapat lebih memudahkan penyelesaian sengketa yang memfungsikan lembaga peradilan sebagaipemeriksa” dan “pemutusperkara berdasarkan “win-win solution” yang dapat secara adil memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa.


 

BIBLIOGRAFI

 

Abbas, D. R. S. (2017). Mediasi: dalam hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional. Prenada Media.

 

Amriani, N. (2012). Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.

 

Astarini, D. R. S. (2013). Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat. Sederhana, Biaya Ringan, Alumni, Bandung.

 

Boulle, L., & Rycrof, A. (1998). Mediation: principles, process, practice. JS Afr. L., 167.

 

ELIPS, T. P. K. H. E. (1997). Kamus Hukum Ekonomi ELIPS. ELIPS Project, Jakarta.

 

Fuady, M. (2000). Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Aditya Bakti.

 

Hirdayadi, I., & Diansyah, H. D. H. (2017). Efektivitas Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008 (Studi Kasus Pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh). Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 1(1), 205–225.

 

Istinah, S. R. D., & SH, M. H. (n.d.). Dr. Hj. Aryani Witasari, SH, M. Hum. Dr. Siti Rodhiyah Dwi Istinah, SH, MH Dr. Arpangi, SH, MH.

 

Karmita, A. (2012). Penyelesaian Sengketa Overlaping Sertipikat Tanah Melalui Mediasi Akibat Permohonan Konversi Pengakuan Hak (Studi Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Cirebon). Diponegoro University.

 

Soemartono, G. (2006). Arbritase Dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

 

Copyright holder:

Dudung Hidayat (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: