Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
9, September 2022
FORMALISASI
MEDIASI SEBAGAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA
Dudung Hidayat
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Indonesia
Email:
[email protected]
Abstrak
Menghadapi tantangan yang begitu berat, sistem hukum
Indonesia sebenarnya memiliki
aturan yang dapat dipergunakan bagi para pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa secara baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Di lingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui
proses mediasi, hakim terlibat
untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase, mediasi, atau negosiasi
sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mengamati formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari wawancara
(interview) dan observasi (observation) dan data yang
digunakan berasal dari studi pustaka.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Proses penyelesaian sengketa dengan melalui Meidasi ini adalah merupakan
upaya pemecahan konflik untuk mengurangi
bertumpuknya beban perkara peradilan. Pemberlakuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi merupakan penyempurnaan peraturan tentang Mediasi yang sebelumnya pernah diperlakukan.
Kata Kunci:
Outpatient hospital, Reduced outpatient hospital, Decrease outpatient hospital,
Reduced visits hospital.
Abstract
Facing
such severe challenges, the Indonesian legal system actually
has rules that can be used for justice seekers to resolve disputes both
in the judicial environment and outside the courts. In the judicial environment
a peaceful path can be taken through the mediation process, the judge is
involved to reconcile the parties to the dispute. Outside the court,
arbitration, mediation, or negotiation can be taken as an alternative form of
dispute resolution. The purpose of
this study is to determine the effectiveness of formalization of mediation as a
civil dispute resolution mechanism. This study uses a descriptive qualitative
approach by observing the formalization of mediation as a civil dispute
resolution mechanism. The data collection method in this qualitative research
consists of interviews and observations and the data used comes from literature
studies. The results of this study state that the dispute resolution process
through Meidasi is an effort to resolve conflicts to
reduce the burden of judicial cases. The implementation of PERMA Number 1 of
2016 concerning Mediation is an improvement in the regulations on Mediation
that have previously been treated.
Keywords: Outpatient
hospital, Reduced outpatient hospital, Decrease outpatient hospital, Reduced
visits hospital.
Pendahuluan
Mediasi
adalah satu diantara sekian banyak alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) yang dapat juga berwujud mediasi pengadilan (court
mediation). Penyelesaian konflik
(sengketa) secara damai sebenarnya telah dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabada-abad
tahun lalu. Masyarakat
Indonesia merasakan penyelesaian
sengketa secara damai telah mengantarkan
mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang dan terpeliharanya nilai-niIai kebersamaan (komunitas) dalam masyarakat. (Abbas, 2017)
Mediasi,
dengan landasan musyawarah menuju kesepakatan/damai, ternyata memang sudah lama berkembang di
Indonesia. Mediasi mendapat
pengaturan tersendiri dalam sejumlah produk hukum Hindia
Belanda maupun dalam produk hukum setelah
Indonesia merdeka sampai hari ini. Pengaturan
alternatif sengketa dalam aturan hukum
amat penting, mengingat Indonesia adalah negara
hukum (rechtsstaat). Mediasi sebagai institusi penyelesaian sengketa dapat dilakukan oleh Mediator atas perintah hakim (aparatur negara) di pengadilan atau pihak lain diluar pengadilan, sehingga keberadaannya memerlukan aturan hukum.
Masih terkait dengan ketentuan dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 4 ayat
(2) dan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pengadilan
membantu pencani keadilan dan berusaha mengatasi hambatan dan nintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Pada praktiknya, penerapan asas sedenhana, cepat dan biaya ringan mengalami kendala, karena banyaknya perkara yang masuk, terbatasnya tenaga hakim, dan minimnya dukungan fasilitas bagi lembaga peradilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/kota.
Penumpukan
perkara ini tidak hanya terjadi
pada tingkat pertama dan
banding, tetapi juga pada tingkat
kasasi di Mahkamah Agung.
Hal ini disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan peluang setiap perkara dapat dilakukan upaya hukum, baik
upaya hukum banding, kasasi bahkan peninjauan
kembali. Akibat tersendatnya perwujudan asas ini, telah
mengakibatkan pencari keadilan mengalami kesulitan mengakses keadilan (acces to justice) guna mendapatkan hak-hak secara cepat. Keadaan
ini tentu tidak dapat dibiarkan,
karena berdampak buruk pada penegakan hukum di Indonesia.
Dengan melihat kondisi seperti ini, pencari
keadilan sangat mungkin mencari cara bagaimana
agar permasalahan yang dihadapi
dapat segera terselesaikan, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang berkelanjutan bagi para pencari keadilan.
Menghadapi tantangan
yang begitu berat, sistem hukum Indonesia sebenarnya memiliki aturan yang dapat dipergunakan bagi para pencari keadilan untuk menyelesaikan sengketa secara baik di lingkungan peradilan maupun di luar pengadilan. Di lingkungan peradilan dapat ditempuh jalur damai melalui
proses mediasi, hakim terlibat
untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Di luar pengadilan dapat ditempuh jalur arbitrase, mediasi, atau negosiasi
sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa.
Ketentuan-ketentuan
hukum tersebut tidak menegaskan secara kongkret mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian
sengketa baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Ketentuan mengenal mediasi baru ditemukan
dalam Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur dua hal utama,
yaitu arbitrase dan alternaif penyelesaian sengketa. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalul prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Ketentuan
dan Pasal 1 dan 2 Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dapat dipahaini beberapa hal, yaitu :
Pertama,
objek sengketa yang dapat diselesaikan dengan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah sengketa perdata atau beda pendapat
antara para pihak dalam satu hubungan
hukum. Bahkan, untuk arbitrase, undang-undang ini hanya memfokuskan sengketa perdagangan dan mengenai hak-hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Kedua,
sengketa tersebut baru dapat diselesaikan
melalui arbitrase bila dalam suatu
perjanjian tertulis secara tegas menyatakan
bahwa bila tersengketa atau beda pendapat yang timbul atau mungkin
dan suatu hubungan hukum akan diselesaikan
secara arbitrase.
Pengaturan
mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih terperinci ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahn 2000 tentang Lembaga Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 ini mengatur penyelesaian
sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui proses mediasi atau arbitrase. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 ini juga telah menetapkan konsep yang jelas mengenai mediasi, mediator, persyaratan
mediator dan beberapa hal seputar mekanisme mediasi dalam penyelesaian
sengketa Iingkungan hidup. Jadi, pengaturan mediasi dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 jauh lebih lengkap bila
dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Pasal 1 Peraturan Pemenintah Nomon 54 Tahun 2000 disebutkan bahwa mediator atau pihak ketiga
lainnya adalah seseorang atau lebih yang ditunjuk dan ditenima oleh para pihak yang bersengketa dalam rangka penyelesaian sengketa Iingkungan hidup yang tidak meiniliki kewenangan mengambil keputusan (butir 4).
Filosofi
yang mendasari mediasi adalah memberikan wewenang kepada para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka sendiri dan mediator tidak membuat suatu keputusan
terhadap sengketa dan para pihak. Mediator melaksanakan filosofi ini dengan
membantu para pihak untuk melakukan negosiasi secara kooperatif. Mediator tetap netral dan tidak memihak terhadap salah satu pihak termasuk
hasil yang dicapai. Jadi, hasil mediasi yang adil, berharga dan dapat diterima untuk para pihaklah yang pada akhirnya akan menjadi
kesepakatan. Seorang
mediator hanya boleh memberikan saran-saran penyelesaian
kepada para pihak, membantu mereka untuk mencapai hasil dan meyakinkan mereka agar dapat melaksanakannya dengan baik.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan mengamati formalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa perdata. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini terdiri dari wawancara
(interview) dan observasi (observation) dan data yang
digunakan berasal dari studi pustaka.
Pada tahap analysis, peneliti memodelkan proses penelitian mulai dari hasil identifikasi
masalah berdasarkan studi literatur dan studi lapangan, dilanjutkan untuk membuat latar belakang.
Setelah itu membuat rumusan masalah berdasarkan batasan masalah dalam penelitian yang dilakukan. Dari analisa tersebut, peneliti dapat mengetahui analisa kebutuhan yang akan digunakan sebagai acuan dalam
tahapan selanjutnya. Dan terkahir menggunakan metode evaluasi, hal ini dilakukan
untuk membuktikan keakuratan dan kevalidan dari keputusan yang dihasilkan.
Hasil dan Pembahasan
Kata mediasi
berasal dari bahasa Inggris “mediation”, yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian
sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan “mediator” atau orang
yang menjadi penengah. Ada beberapa batasan mediasi yang dikemukakan oleh
para ahli, di antaranya: Gary goodpaster mengemukakan bahwa:
“mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luas
yang tidak memihak
(impartial) dan netral bekerja
dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.berbeda dengan hakim atau arbiter,
mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa antara pihak. Namun,
dalam hal ini para pihak menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya bahwa pihak ketiga
akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara memengaruhi
kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan
pengetahuan atau dengan menggunakan proses negosiasiyang lebih efektif, dan dengan demikian membantupara peserta untuk mwenyelsaikan
persoalan-persoalan yang dipersengketakan”.(Hirdayadi & Diansyah, 2017)
Selanjutnya,
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengatakan
bahwa:
“Mediation, mediasi: salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan jasa seorang mediator atau penengah; sama seperti konsiliasi.
Mediator, penengah: seorang
yang menjalankan fungsi sebagai penengah terhadap pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya.”(ELIPS, 1997)
Kamus Besar
Bahasa Indonesia memberikan
batasan bahwa:
“Mediasi: proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam
penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediator: Perantara (penghubung, penengah) bagi pihak-pihak yang bersengketa itu.”
Sehubungan
dengan pengertian mediasi, ketentuan dalam pasal 6 ayat
(3) UUAAPS menyatakan sebagai
berikut:
“Dalam
hal sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan,
maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat
ahli maupun melalui seorang mediator.”
Dari beberapa
rumusan pengertian mediasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi adalah
cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non intervensi)
dan tidak berpihak (impartial) kepada
pihak-pihak yang bersengketa
serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak
yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut dinamakan “mediator” atau “menengah”, yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan perkataan lain, mediator disini hanya bertindak
sebagai fasilitor belaka. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu
penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak yang bersengketa, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada ditangan mediator, tetapi ditangan para pihak yang bersengketa.
Adapun pemutusan perkara, baik melalui
pengadilan maupun arbitrase bersifat formal, memaksa, menengok kebelakang, berciri pertentangan, dan berdasar hak-hak. Artinya, apabila pihak melitigasi
suatu sengketa, prosedur pemutusan perkara diatur dalam ketentua-ketentuan yang ketat dan suatu konklusi pihak ketiga menyangkut kejadian-kejadian yang lampau dan
hak serta kewajiban legal masing-masing pihak
akan menentukan hasilnya. Kebalikannya, mediasi sifatnya tidak formal, sukarela, melihat kedepan, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
dan memenuhi standar kejujuran mereka sendiri. Seperti halnya para hakim dan arbiter, mediator harus
tidak berpihak dan netral, tetapi mereka tidak mencampuri
untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran subtantif, serta para pihak sendiri memutuskan apakah mereka akan
setuju atau tidak.(KARMITA, 2012)
Karena itu, mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi. Hal ini disebabkan para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sengketanya sendiri sehingga menggunakan jasa pihak ketiga
yang bersikap netral untuk membantu mereka mencapai suatu kesepakatan. Tidak seperti proses ajudikasi, di mana pihak ketiga menerapakan hukum terhadap fakta-fakta yang ada untuk mencapai suatu hasil, maka
dalam mediasi pihak ketiga akan
membantu pihak-pihak yang bertikai dengan menerapkan nilai-nilai terhadap fakta-fakta untuk mencapaiu hasil akhir. Nilai-nilai itu dapat
meliputi hukum, rasa keadilan, kepercayaan, agama, etika, moral, dan lain-lain.(Soemartono, 2006)
Cristopher
W. Moore, menyebutkan beberapa keuntungan yang sering kali didapatkan dari hasil mediasi,
yaitu:
§ Keputusan
yang hemat.
§ Penyelesaian
secara cepat.
§ Hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak.
§ Kesepakatan-kesepakatan
komprehensif dan “Customized”.
§ Praktik
dan belajar prosedur-prosedur
penyelesaian masalah secara kreatif.
§ Tingkat
pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga
§ Pemberdayaan
individu (Personal
Empowermen.)
§ Melestarikan
hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri
hubungan dengan cara yang lebih ramah.
Di
samping kelebihan-kelebihannya,
institusi mediasi ini juga ada kelemahannya,
di antaranya:
1. Biasa memakan waktu yang lama;
2. Mekanisme eksekusi yang sulit karena cara eksekusi
putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak;
3. Sangat
digantungkan dari iktikad baik para pihak untuk menyelesaikan
sengketanya sampai selesai;
4. Mediasi tidak akan membawa
hasil yang baik, terutama jika informasi
kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya, dan
5. Jika
lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator sehingga putusannya menjadi bias.(Fuady, 2000)
Peran dan Fungsi Mediator dalam Mediasi
Pada
dasarnya seorang mediator berperan sebagai “penengah” yang membantu para pihak untuk menyelesaikan
sengketa yang dihadapinya. Seorang mediator juga akan membantu para pihak untuk membingkai persoalan yang ada agar menjadi masalah yang perlu dihadapi secara bersama. Selain itu, guna
menghasilkan kesepakatan, sekaligus seorang mediator harus membantu para pihak yang bersengketa untuk merumuskan berbagai pilihan penyelesaian sengketanya. Tentu saja pilihan
penyelesaian sengketanya harus dapat diterima
dan juga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Setidaknya peran utama yang mesti dijalankan seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan-kepentingan yang saling
berbeda tersebut agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai pangkal tolak pemecahan
masalahnya.
Seorang mediator mempunyai peran membantu para pihak dalam memahami
pandangan masing-masing dan membantu
mencari (locate)
persoalan-persoalan yang dianggap
penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan serta membiarkan, tetapi mengatur pengungkapan emosi. Di samping itu, seorang
mediator membantu para pihak
memprioritaskan persoalan-persoalan
dan menitikberatkan pembahasan
mengenai tujuan dan kepentingan umum. Mediator pun akan sering bertemu
dengan para pihak secara pribadi. Dalam pertemuan ini yang disebut caucus, mediator
biasanya dapat memperoleh informasi dari pihak yang tidak bersedia saling membagi informasi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator akan mempunyai lebih banyak informasi
mengenai sengketa dan persoalan-persoalan dibandingkan
para pihak dan akan mampu menentukan apakah terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu perjanjian atau kesepakatan.
Mediator
juga memberikan informasi baru bagi para pihak atau sebaliknya
membantu para pihak dalam menemukan cara-cara yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk
menyelesaikan perkara. Mereka dapat menawarkan
penilaian yang netral dari posisi masing-masing pihak. Mereka juga dapat mengajarkan para pihak bagaimana terlibat dalam negosiasi pemecahan masalah secara efektif, menilai alternatif-alternatif, dan menemukan
pemecahan yang kreatif terhadap konflik mereka.
Dengan
demikian, seorang mediator tidak hanya bertindak
sebagai penengah belaka yang hanya bertindak sebagai penyelenggara dan pemimpin diskusi, tetapi ia juga harus membantu
para pihak untuk mendesain menyelesaikan sengketanya sehingga dapat menghasilkan kesepakatan bersama. Dalam hal ini
seorang mediator harus memiliki kemampuan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang nantinya akan dipergunakan
sebagai bahan untuk menyusun dan mengusulkan berbagai pilihan penyelesaian masalah yang disengketakan. Kemudian, mediator ini pun akan membantu para pihak dalam menganalisis
sengketa atau pilihan penyelesaiannya sehingga akhirnya dapat menemukan rumusan kesepakatan bersama sebagai solusi penyelesaian masalah yang akan ditindak lanjuti bersama pula.
Tipologi Mediator
Beraneka ragam tipologi mediator yang dikemukakan oleh para ahli. Christopher W. Moore diantaranya, yang menyebutkan ada tiga tipe
tipologi mediator, yaitu:
§ Tipologi Pertama
Mediator sosial (social network mediator);
Mediator berperan
dalam sebuah sengketa atas dasar
adanya hubungan sosial antara mediator dan para pihak yang bersengketa. Mediator dalam tipologi ini sebagai
bagian sebuah jalinan atau hubungan
sosial yang ada atau tengah berlangsung.
Seseorang yang membantu menyelesaikan sengketa, misalnya, anatara dua tetangganya, rekan sekerjanya, teman usahanya, atau antara kerabatnya
digolongkan dalam tipologi pertama ini. Begitu pula, jika seorang tokoh
masyakat atau agama yang dikenal oleh pihak-pihak yang bertikai membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi, dapat digolongkan ke dalam mediator hubungan sosial.
§ Tipologi Kedua
Mediator otoritatif (authoritative mediator)
Mediator berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara mereka dan memiliki posisi kuat atau
berpengaruh sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas
untuk memengaruhi hasil akhir dari
sebuah proses mediasi. Akan
tetapi, seorang mediator otoritatif selama menjalankan perannya tidak menggunakan kewenagan atau pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau pandangannya bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh atau berwenang, melainkan harus dihasilkan upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri. Namun, dalam situasi-situasi
tertentu, mediator otoritatif
akan memberikan batasan-batasan kepada para pihak dalam upaya
mereka mencari pemecahan masalah. Selain itu, mediator otoritatif mungkin juga memberikan semacam ancaman kepada para pihak bahwa jika
para pihak sendiri tidak dapat mencari
pemecahan masalah melalui pendekatan kolaboratif atau kooperatif, mediator otoritatiflah
yang akhirnya membuat keputusan untuk penyelesaian yang harus diterima oleh para pihak.
§ Tipologi Ketiga
Mediator mandiri (independent
mediator)
Mediator
mandiri adalah mediator
yang menjaga jarak, baik antara pihak
maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak.
Mediator tipologi ini lebih banyak ditemukan
dalam masyarakat atau budaya yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediator-mediator profesional.
Anggota-anggota dalam masyarakat seperti cenderung lebih menyukai permintaan bantuan kepada ‘orang luar’ yang tidak memiliki hubungan sosial sebelumnya dengan mereka dan tidak memilki kepentingan
pribadi tertentu dengan para pihak atau terhadap masalah
yang timbul. Anggota-anggota
masyarakat itu lebih mengandalkan para profesional spesialis dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Keadaan ini dapat dilihat
atau dibuktikan dengan telah lahir
dan berkembangnya profesi
mediator seperti halnya protesi pengacara, akuntansi, dan dokter. Model mediasi inl dipraktikkan
atau berkembang di Amerika
Utara. Di Amerika Serikat sendiri
telah berdiri kantor-kantor profesional
mediator, misalnya CDR di Boulder, The Institute
of Environmental Mediation di Seattle,
JAMSen Dispute di seattle, Confluence North West di Portland Oregon, dan Community
Dispute Resolution Center di Ithaca. Dengan
telah lahirnya asosiasi mediator professional di Amerika Serikat tersebut, maka lahirnya yang disebut Socienty in
Professional Dispute Resolution (SPIDER).
Model-model
serta Jenis-jenis Mediasi
Ada
4 (empat) model mediasi
yang perlu diperhatikan
oleh praktisi mediasi, yaitu: settlement mediation, facilitative meditiat/on, transformative mediation, dan evaluative
mediation.(Boulle & Rycrof, 1998)
- Settlement
mediation yang juga dikenal
sebagai kompromi merupakan mediasi yang tujuan utamanya untuk mendorong terwujudnya kompromi dan tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Dalam mediasi model ml tipe mediator yang dikehendaki adalah yang berdedikasi tinggi sekalipun tidak terlalu ahli
di dalam proses dan teknik-teknik
mediasi.
- Facilitative
mediation yang juga dikenal
sebagal mediasi yang berbasis kepentingan (interest basea) dan problem solving merupakan
mediasi yang bertujuan untuk menghindarkan disputants
dan posisinya dan menegosiasikan
kebutuhan dan kepentingan
para disputants dan hak-hak legal mereka
secara kaku. Dalam model mi, mediator harus ahil dalam proses dan harus menguasai teknik-teknik mediasi, meskipun penguas aan terhadap materi
tentang hal-hal yang dipersengketakan tidak terlalu penting. Mediator juga harus dapat memimpin
proses mediasi dan mengupayakan
dialog yang konstruktif di antara
disputants, serta meningkatkan
upaya-upaya negosiasi dan mengupayakan kesepakatan.
- Transformative
mediation yang juga dikenal
sebagai mediasi terapi dan rekonsiliasi, merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab yang mendasari munculnya permasalahan di antara mereka melalul pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dan resolusi (jalan keluar) dan pertikaian yang ada. Dalam model mi sang mediator
harus dapat menggunakan terapi dan teknik profesional sebelurn dan selama proses mediasi serta mengangkat
isu relasi/hubungan melalui pemberdayaan dan pengakuan.
- Evaluative
mediation yang juga dikenal
sebagai mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan
berdasarkan hak-hak legal
dan para disputans dalam
wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.
Dalam hal ini sang mediator harus seorang yang ahli dan menguasai bidang-bidang yang dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam
teknik-teknik mediasi.
Peran yang biasa dijalankan
oleh mediator dalam hal mi ialah memberikan saran serta mempersuasifkan kepada para disputans, serta memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan didapat.
Jenis-jenis Mediasi
Terdapat 2
(dua) model mediasi, yaitu mediasi yang dilakukan diluar pengadilan (non litigasi) dan mediasi yang dilaksanakan di dalam pengadilan (litigasi) atau yang dikenal dengan court connected
mediation.
1. Mediasi diluar pengadilan dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mediasi diluar pengadilan diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Pengaturan mediasi secara formal memang baru dilakukan beberapa tahun lalu, tetapi bukan
berarti pola penerapan semacam mediasi tidak dikenal
dalam penyelesaian sengketa masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia sebenarnya telah
mempraktikkan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Mediatornya adalah para tokoh adat, ulama dan tokoh masyarakat yang berwibawa dan dipercaya, sehingg mereka dapat menyelesaikan
sengketa dikalangan.
2. Mediasi pengadilan di banyak negara merupakan bagian dari proses litigasi. Hakim meminta para pihak untuk mengusahakan penyelesaian sengketa dengan menggunakan proses mediasi sebelum proses pengadilan dilanjutkan. Inilah yang disebut mediasi di pengadilan. Dalam mediasi ini,
seorang hakim atau ahli ditunjuk oleh para pihak untuk bertindak
sebagai mediator. Di Amerika Serikat,
telah lama berkembang suatu mekanisme bahwa pengadilan meminta para pihak untuk mencoba menyelesaikan
sengketa mereka melalui cara mediasi
sebelum diadakan pemeriksaan perkara. Dari segi tujuan pembuatannya,
mediasi di pengadilan dan mediasi luar pengadilan
berbeda. Perbedaan lain antara mediasi di pengadilan dan luar pengadilan terletak pada pelaksanaan mediasi jika tercapai kesepakatan
dalam menyelesaikan sengketa. Dalam mediasi di pengadilan, penyelesaian sengketa tersebut berupa suatu penetapan dari hakim dan penetapannya harus dilaksanakan oleh para pihak yang berpekara seolah-olah telah diputus oleh hakim, termasuk kekuatan mengikatnya. Dalam mediasi luar
pengadilan, hasilnya berbentuk suatu kontrak (perjanjian), baik kontrak baru
maupun dalam bentuk revisi, yang apabila salah satu pihak gagal memenuhi
kewajibannya sebagaimana tersebut di dalam kontrak (perjanjian), pihak yang lain harus melakukan gugatan hukum untuk pelaksanaan
kontrak tersebut.
Proses Pelaksanaan Mediasi
Proses pelakasanaan
mediasi yang dilakukan oleh
mediator dilakukan dalam beberapa tahapan. Masing-masing ahli membagi panahapan
proses pelaksanaan mediasi tersebut secara berbeda. Sesungguhnya penahapan proses ini dimaksudkan memberikan kemudahan kepada para pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator untuk mencapai kesepakatan bersama yang merupakan akhir dari penyelesaian konflik melalui me diasi. Pembagian penahapan proses pelaksanaan mediasi menurut para ahli tersebut adalah
sebagai berikut:
§ Christopher W. Moore(Istinah & SH, n.d.)
Menurut
Christopher W. Moore, proses mediasi dan kegiatan mediator dilakukan dalam beberapa tahapan :
1. Mediator menjalin hubungan awal dengan pihak-pihak
yang bersengketa. Seorang mediator di dalam praktik mediasi, akan lebih dapat
terlibat ke dalam sengketa dan proses perundingan melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Berdasarkan inisiatif langsung para pihak;
b. Saran
dan pihak lain, tetapi diterima oleh para pihak;
c. Inisiatif/tawaran langsung dan mediator kepada pana pihak
dan diterima;
d. Penunjukan
oleh badan/pejabat yang berwenang.
Kemudian,
mediator membangun kepercayaan
di mata para pihak. Membangun kepercayaan mi diantaranya menyangkut hubungan personel dengan para pihak, membangun hubungan institusional dan prosedural. Tugas dan mediator pada tahap awal mediasi adalah
membangun citra din, serta memberikan wawasan kepada para pmhak tentang prosedur
atau tata cara mediasi dan peran mediator.
2.
Memilih Strategi untuk Membimbing Proses Mediasi
Mediator
membantu para pihak dalam menganalisis pendekatan-pendekatan sebagal sarana dalam pengelolaan
konflik. Pendekatan yang dapat dipilih oleh para pihak dengan bantuan
mediator adalah apakah mekanisme mediasi dilakukan secara formal atau informal, dan bersifat terbuka untuk umum,
atau bersifat tertutup (private).
Mekanisme mediasi berlangsung formal apabila diselenggarakan dengan aturan perundingan yang ketat.
Sebaliknya, mekanisme mediasi dikatakan bersifat informal jika tidak didasarkan aturan yang ketat. Mediator perlu menjelaskan kekuatan dan kelemahan dan tiap-tiap pendekatan itu. Mediator juga perlu memberikan wawasan kepada para pihak bahwa proses mediasi dapat berlangsung berdasarkan pendekatan kompetitif, kompromistis, akomodatif, atau kolaboratif. Pendekatan tersebut masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan.
3.
Mengumpulkan dan Menganalisis Informasi Latar Belakang Sengketa
Pengumpulan data dan penganalisisan
konflik memungkinkan
mediator untuk mengidentifikasi
pihak-pihak utama yang terlibat konflik, menentukan pokok masalah dan kepentingan-kepentingan
para pihak. Dan data yang diperoleh,
mediator dapat memahami asal muasal dan dinamika sebuah sengketa. Melalui pengumpulan data dan analisis konflik, mediator dapat menyusun rencana/strategi mediasi.
Pengumpulan data dapat dilakukan oleh mediator melalui teknik-teknik pengamatan langsung, kunjungan lapangan, dan wawancara terhadap para pihak atau menggunakan sumber-sumber sekunder. Sedangkan analisis konflik dapat dilakukan
dengan cara memahami apa yang oleh Moore disebut “lingkaran konflik” atau “circle of conflict “.
4.
Menyusun
Rencana Mediasi.
Mediator
dalam mempersiapkan rencana mediasi, harus menjawab persoalan-persoalan berikut:
a. Siapa sajakah yang boleh terlibat dalam proses perundingan?
b. Di
manakah proses perundingan mediasi sebaiknya di selenggarakan?
c. Bagaimanakah
sebaiknya penataan atau pengaturan susunan tempat duduk para peserta perundingan dilakukan?
d. Prosedur-prosedur
apa yang perlu dipergunakan?
e. Masalah,
kepentingan apa dan kemungkinan penyelesaian apa yang perlu bagi para pihak?
f. Bagaimana aturan-aturan perundingan dibuat atau ditetapkan?
g. Apakah rencana umum untuk
pertemuan perundingan yang pertama;
h. Bagaimana kondisi psikologis para pihak;
i. Bagaimanakah
cara mengarahkan atau memberi Wawasan
kepada para pihak tentang proses mediasi;
j. Apakah ada kemungkinan menghadapi jalan buntu dan bagaimana cara mengatasi jalan buntu kalau
memang terjadi?
5.
Membangun Kepercayaan dan Kerja Sama di antara Para Pihak
Ada
lima masalah yang dapat menciptakan dinamika psikologis negatif dalam sebuah proses perundingan. Kelima masalah itu adalah:
a. Emosi kuat atau tidak
terkendali;
b. Adanya persepsi keliru atau stereotipe yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak tentang diri lawan
mereka atau tentang masalah tertentu;
c. Masalah Legitimasi;
d. Kekurangpercayaan;
e. Komunikasi
yang jelek.
Agar
dapat membantu para pihak menghasilkan kesepakatan, mediator pertama-tama
harus berusaha mengatasi atau memecahkan kelima masalah yang dapat menghambat jalannya proses mediasi. Dan kelima masalah tersebut, yang paling perlu mendapat perhatian adalah legitimasi dan masalah komunikasi.
Masalah legitimasi berkaitan dengan pengakuan dan satu pihak terhadap keabsahan dan kerugian dan kepentingan dan pihak lainnya. Tanpa adanya pengakuan keabsahan itu, proses perundingan tidak mungkin berlangsung karena orang baru bersedia memasuki proses perundingan jika mereka mengakui atau menenima keabsahan
dan validitas dan masalah
dan kepentingan yang dikemukakan
pihak lawannya.
Oleh
karena itu, mediator diharapkan dapat melakukan upaya persuasif agar para pihak dapat mengakui legitimasi masing-masing. Untuk membangun kepercayaan para pihak satu sama
lainnya, mediator dianjurkan
untuk mendorong para juru runding agar menyampaikan ucapan-ucapan yang jelas dan konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya, mengadakan perundingan di tempat dan pada waktu yang dapat diterima semua pihak.
Komunikasi adalah unsur utama dalam
sebuah proses perundingan. Perlu juga diingat bahwa meskipun para pihak bersedia berbicara satu sama lain, tidak berarti dengan sendirinya perbedaan-perbedaan dapat diselesaikan. Hal yang penting adalah bagaimana pembicaraan atau komunikasi itu dapat terarah
dan produktif. Oleh sebab itu, mediator diharapkan dapat membantu para pihak dalam berkomunikasi
satu sama lainnya.
Hal
ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:(Amriani, 2012)
a. Mediator
mengadakan pertemuan dengan para pihak secara terpisah-pisah atau pertemuan kaukus, sebelum pertemuan lengkap diselenggarakan guna mengetahui informasi apa saja yang boleh
dan tidak boleh diungkapkan dalam pertemuan lengkap.
b. Mediator
dapat memengaruhi apa yang disampaikan oleh satu pihak kepada
pihak lawannya dengan memodifikasi pesan dalam bahasa
yang dapat diterima dan dipahami oleh kedua belah pihak.
c. Mediator
dapat membatasm atau menginterupsi pembicaraan satu pihak jika yang dibicarakannya menyangkut hal yang sensitif bagi pihak lainnya.
6.
Memulai Sidang Mediasi
Upaya penting mediator dalam memulai atau
membuka sidang mediasi adalah menciptakan suasana positif dan optimistis tentang pentingnya saling percaya dan adanya kepentingan serta kepedulian yang sama di antara para pihak. Pernyataan pembukaan mediator lazimnya memuat hal-hal berikut:
a. Perkenalan dengan mediator, dan jika suasana memungkinkan juga para pihak;
b. Penekanan adanya kemauan para pihak untuk menyelesaikan
masalah melalui proses perundingan;
c. Pengertian tentang mediasi dan peranan mediator;
d. Penjelasan prosedur mediasi;
e. Penjelasan pengertian kaukus;
f. Penjelasan tentang parameter kerahasiaan;
g. Uraian tentang tempat dan jadwal serta lama proses perundingan;
h. Saran-saran
tentang pedoman atau aturan perilaku
alam proses perundingan, memberi kesempatan kepada para pihak untuk bertanya dan menjawabnya.
7.
Merumuskan Masalah dan Menyusun Agenda
Tiga tugas penting
bagi mediator dan para perunding,
sebelum mereka membahas masalah-masalah substantif secara lebih intensif, terlebih dahulu mengidentifikasi topik-topik umum permasalahan yang menjadi kepedulian para pihak, menyepakati sub-sub topik permasalahan yang akan dibahas dalam
perundingan, dan menentukan
urusan sub topik yang akan
dibahas dalam proses perundingan.
Perumusan agenda perundingan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, yaitu:
a. Pihak
yang satu mengusulkan kepada pihak lainnya
untuk membahas masalah tertentu dan pihak lain ternyata menyetujuinya. Setelah masalah tersebut selesai, kemudian diikuti dengan pembahasan lainnya.
b. Dengan cara memberikan urutan dan segi pentingnya tiap masalah. Berdasarkan urutan nilai pentingnya
masalah, para pihak membahas tiap-tiap masalah.
c. Dengan cara membahas sebuah
masalah yang dianggap masalah pokok, sehingga jika para pihak dapat mencapai
kesepakatan tentang hal tersebut, dengan
sendirinya masalah kecil ikutan akan
dapat diselesaikan pula.
8.
Mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak
Para
pihak dalam sebuah sengketa tidak jarang mengalami
kesulitan untuk merumuskan kepentingan mereka secara jelas
dan lugas. Ketakjelasan ini dapat terjadi,
antara lain karena mereka tidak menyadari
kepentingan mereka sesungguhnya atau mereka secara sengaja
menyembunyikan kepentingan mereka dengan harapan
mereka akan memperoleh keuntungan yang Iebih besar, atau
mereka mencampuradukkan antara kepentingan dan posisi dalam proses perundingan. Tentunya, keadaan mi dapat menghambat tercapainya kemajuan dalam sebuah proses perundingan.
Oleh
sebab itu, mediator juga perlu mengungkapkan kepentingan tersembunyi para pihak. Upaya ini
dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni cara langsung dan cara tidak langsung. Cara Iangsung adalah dengan mengemukakan pertanyaan Iangsung kepada pihak yang bersangkutan. Cara tidak angsung adalah dengan mendengarkan dan merumuskan kembali pernyataan-pernyataan yang dikemukakan
para pihak, serta melakukan pengujian-pengujian.
9.
Membangkitkan pilihan penyelesaian
sengketa
Ketika
memasuki proses perundingan,
pihak-pihak yang bersengketa
seringkali telah memiliki keyakmnan bahwa masing-masing telah menemukan penyelesaian masalah. OIeh sebab
itu, para pihak cenderung bertahan pada bentuk penyelesaian masalah yang telah melekat pada alam pikiran mereka, tetapi secara objektif
penyelesaian itu belum tentu dapat
dan memuaskan pihak Iainnya. Sikap yang bersifat posisional ini sekaligus menutup
adanya kemungkmnankemungkin
pemecahan masalah Iainnya. Tugas mediator adalah mendorong para pihak untuk tidak
bertahan pada pola pikiran yang demikian, tetapi harus terbuka
dan secara bersama-sama mencari dan menjelajahi berbagam alternatif pemecahan masalah.
10.
Menganalisis Pilihan Penyelesaian
Sengketa
Pada
tahap ini, para pihak dengan bantuan
mediator menganalisms sejumlah
pilihan pemecahar, masalah yang diharapkan dapat mengakhmr sengketa. Para pihak menganalisis sejauh mana suatu pemecahan masalah atau kombinasi
pemecahan masalah dapat memuaskan atau memenuhi kepentingan
mereka.
Tugas mediator adalah membantu para pihak dalam mengevaluasi pilihan-pilmhan yang tersedia dan
membantu mereka dalam menentukan untung ruginya bagi penerimaan atau penolakan terhadap suatu pemecahan masalah.
Mediator
juga dapat mengingatkan
para pihak agar bersikap realistis, yakni apabila mereka memiliki harapan atau target yang begitu tinggi, sehingga mengemukakan tuntutan atau tawaran yang tidak masuk akal.
Upaya mengingatkan ini sebaiknya dilakukan
dalam pertemuan kaukus.
11.
Proses
Tawar Menawar
Dalam tahap ini, para pihak telah melihat
adanya peluang-peluang titik temu kepentingan
mereka, tetapi masih tetap ada
perbedaan-perbedaan. Mereka
masih harus lebih memperjelas letak kesamaan-kesamaan pandangan dan perbedaan-perbedaan
secara Iebih terpermnci dan jelas. Dalam tahap ini
pula,para pihak bersedia memberikan konsesi satu sama lainnya
tentang suatu masalah atau persoalan
untuk mengimbangi kerugian atau keuntungan
yang diperoleh dalam masalah lainnya.
Mediator
dalam situasi seperti ini, seharusnya
membantu para pihak dalam mengembangkan tawaran hipotetis atau tentatif yang dapat dipergunakan untuk menguji dapat
atau tidaknya tercapainya penyelesaian untuk masalah-masalah tertentu. Tawaran-tawaran tentatif dapat dibahas oleh para pihak dalam pertemuan lengkap, atau disampaikan
dalam pertemuan kaukus oleh mediator kepada para pihak, tanpa mengharuskan
para pihak terikat pada suatu bentuk pemecahan
masalah. Lazimnya, para pihak pertama-tama berusaha untuk mencapai kesepakatan dalam hal pokok
(agreement in principles). Berdasarkan formula umum atau pokok
itu, kemudian para pihak berusaha menyelesaikan sub-sub masalah.
12. Mencapai Penyelesaian
Formal
Tahap akhir proses mediasi mengharuskan para pihak untuk memformalisasi
kesepakatan dan menyusun prosedur atau rencana
pelaksanaan dan pemantauan kesepakatan. Rencana pelaksanaan kesepakatan mengacu pada langkah-langkah yang
akan ditempuh para pihak untuk merealisasikan
bunyi kesepakatan dan mengakhiri sengketa. Keberhasilan kesepakatan substantif sangat bergantung kepada rencana pelaksanaan kesepakatan. Buruknya rencana kesepakatan, tentu akan berpengaruh pada pelaksanaan kesepakatan, yang
pada akhirnya meniadakan makna dan sebuah kesepakatan dan tidak akan mampu mengakhiri
sengketa, tetapi dapat menimbulkan masalah baru.
Sebuah kesepakatan mengandung janji-janji atau komitmen para pihak. Sebagian dan janji atau komitmen itu
dapat bersifat “self executing”
dan sebagian lainnya dapat bersifat “non self executing’
Untuk pelaksanaan kesepakatan yang bersifat “self executing”,
misalnya, tentang pembayaran ganti kerugian, kesepakatan itu dikatakan telah
terealisasi bila pihak berjanji telah membayar sejumlah uang disepakati. Pelaksanaan ini, antara lain, dapat dibuktikan dengan penyerahan langsung kepada pihak yang berhak dihadapan mediator atau pejabat berwenang,
dengan disertai bukti pembayaran.
Berbeda dengan pelaksanaan kesepakatan “non-self executing”
tidak dengan mudah dapat diketahui.
Misalnya, kesepakatan yang mewajibkan sebuah industri untuk mengolah limbah atau membuang limbah
ke badan air sesual dengan baku mutu.
Untuk mengetahui apakah kesepakatan itu telah dilaksanakan,
diperlukan sebuah rencana pemantauan pelaksanaan kesepakatan. Rencana mi disusun bersama oleh para pihak untuk mengetahui, bahwa kesepakatan itu memang telah
dilaksanakan.
Uraian di atas, terlihat betapa pentingnya peranan seorang mediator di dalam memimpin proses mediasi. Namun, setiap intervensi
dan mediator mulai dan pertemuan
pertama dengan para pihak sampai diraihnya
hasil akhir memiliki tujuan dalam batasan menyukseskan
proses negosiasi di antara
para pihak. ini berarti bahwa dalam
setiap mediasi selalu terdapat negosiasi.
Oleh karena itu,
seorang mediator haruslah
orang yang mempunyai di samping
pengetahuan dan penguasaan materi sengketa, juga teknik-teknik dan ketrampilan serta kemampuan psikologis dalam menyelesaikan masalah. Seorang mediator harus memiliki kemampuan untuk mendengar, bertanya, mengamati, mewawancarai, konseling, dan Juga
negosiasi.
Implementasi PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi
Dalam penyelesaian sengketa perdata berupa gugatan di Pengadilan, saat pemeriksaan sidang pertama, majelis hakim memberitahukan para
pihak yang berperkara wajib menempuh mediasi. Perintah pelaksanaan mediasi meneurut ketentuan PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi adalah 30 hari sejak majelis hakim memerintahkan Mediasi dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi ada 2 (dua) kemungkinan yang dihasilkan yaitu berhasil mencapai kesepakatan atau gagal mencapai kesepakatan.(Astarini, 2013)
1. Apabila mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian para pihak dengan bantuan
mediator, mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
dan mediator. Jika dalam mediasi
para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan
secara terttulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai.
2. Apabila setelah batas waktu
maksimal 30 hari kerja sebagaimana atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam pasal 24 PERMA nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi, para pihak gagal mencapai
kesepakatan, mediator wajib
menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal
dan memberitahukan kepada
hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.
Dengan demikian dalam proses mediasi hanya ada
kemungkinan produk yang dihasilkan yaitu berhasil mencapai kesepakatan dalam proses mediasi atau gagal
dalam proses mediasi. Apabila kesepakatan perdamaian berhasil dicapai, berdasarkan PERMA Nomor 1 tahun 2016 Tentang Mediasi sebagaimana ketentuan pasala --- disebutkan para pihak dengan bantuan
mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
dan mediator. Kesepakatan Perdamaian
tersebut kemudian dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian.
Pasal 27 ayat
(1) PERMA Nomor
1 2016 Tentang Mediasi menyatakan :
“Jika mediasi berhasil mencapai kesepakatan, Para Pihak dengan bantuan Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh Para pihak
dan Mediator”
Akta perdamaian yang disepakati para pihak dalam mediasi
pengadilan, disamakan kedudukannya dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Jika dihubungkan dengan pasal 130 HIR (2) disebutkan bahwa :
“Jika perdamaian
terjadi, sehingga tentang hal itu
pada waktu sidang harus dibuat sebuah
akta bahwa kedua belah pihak
diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu, sehingga
surat (akta) itu berkekuatan dan akan dilakukan sebagai keputusan hakim yang biasa”.
Pasal diatas, dapat disimpulkan
bahwa akta perdamaian bersifat inkracht van gewisjde serta memiliki kekuatan eksekutorial. Dalam putusannya, terhadap akta perdamain
diawali dengan kalimat “Demi Keadalian Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” hakim juga akan memuat diktum:
“Menghukum kedua belah pihak (penggugat
dan tergugat) untuk melaksanakan isi akta perdaamaian tersebut”. Dictum ini merupakan periintah, yang wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Pasal 130
(2) HIR menyatakan bahwasanya
para pihak wajib menaati dan memenuhi isi perjanjian perdamaian yang dibuat. Putusan perdamaian tersebut diperlukan selayaknya putusan hakim. Selanjutnya, dalam ayat (3) disebutkan, terhadap putusan yang demikian tidak diizinkan pihak-pihak menggunakan upaya hukum. Oleh karena itu, dapat dikemukakan
keistimewaan putusan perdamaian, yaitu :
a. Tertutup upaya hukum banding dan kasasi;
b. Mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. Memiliki kekuatan eksekutorial.
Secara prinsif mediasi memiliki potensi untuk memberikan
perasaan kewenangannyayang lebih besar bagi
para pihak jika dibandingkan ketika para pihak berperkara di pengadilan. Pada proses mediasi
para pihak sepenuhnya mengontrol jalannya proses dan bersedia untuk memenuhi keputusan karena keputusan ini semata-mata disetujui dan diusulkan oleh para
pihak sendiri melalui mediator dan tidak diputus oleh orang lain.
Kesimpulan
1. Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dipandang paling efesien adalah mediasi. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui mediasi dengan menggunakan pihak ketiga untuk
membantu para pihak yang bersengketa didalam menyelesaiakan sengketanya. Proses mediasi
sangat penting dilakukan dalam proses pemeriksaan sengketa guna menghindari
proses birokrasi peradilan
yang panjang. Mediasi ini adalah upaya
Majelis Hakim menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau wakilnya
agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai.
2. Proses
penyelesaian sengketa dengan melalui Meidasi ini adalah
merupakan upaya pemecahan konflik untuk mengurangi bertumpuknya beban perkara peradilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan diharapkan dapat menjadi salah satu instrument efektif untuk mengatasi
masalah penumpukan perkara dipengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat adjudikatif (memutus) juga sebagai salah satu acces to justice bagi
masyarakat pencari keadilan.
3. Pemberlakuan
PERMA Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi merupakan penyempurnaan peraturan tentang Mediasi yang sebelumnya pernah diperlakukan, hal tersebut diharapkan
dapat lebih memudahkan penyelesaian sengketa yang memfungsikan lembaga peradilan sebagai “pemeriksa” dan “pemutus” perkara berdasarkan “win-win solution” yang dapat
secara adil memuaskan kedua belah pihak yang bersengketa.
BIBLIOGRAFI
Abbas, D. R. S. (2017). Mediasi: dalam hukum syariah,
hukum adat, dan hukum nasional. Prenada Media.
Amriani, N. (2012). Mediasi: Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perdata di Pengadilan.
Astarini, D. R. S. (2013). Mediasi Pengadilan Salah Satu
Bentuk Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat. Sederhana,
Biaya Ringan, Alumni, Bandung.
Boulle, L., & Rycrof, A. (1998). Mediation: principles,
process, practice. JS Afr. L., 167.
ELIPS, T. P. K. H. E. (1997). Kamus Hukum Ekonomi ELIPS. ELIPS
Project, Jakarta.
Fuady, M. (2000). Arbitrase Nasional: Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis. Citra Aditya Bakti.
Hirdayadi, I., & Diansyah, H. D. H. (2017). Efektivitas
Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008 (Studi Kasus Pada Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh). Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 1(1),
205–225.
Istinah, S. R. D., & SH, M. H. (n.d.). Dr. Hj. Aryani
Witasari, SH, M. Hum. Dr. Siti Rodhiyah Dwi Istinah, SH, MH Dr. Arpangi, SH, MH.
Karmita, A. (2012). Penyelesaian Sengketa Overlaping
Sertipikat Tanah Melalui Mediasi Akibat Permohonan Konversi Pengakuan Hak (Studi
Kasus Di Kantor Pertanahan Kabupaten Cirebon). Diponegoro University.
Soemartono, G. (2006). Arbritase Dan Mediasi di Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Copyright
holder: Dudung Hidayat (2022) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |