Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

PENGARUH ASUHAN KEFARMASIAN TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN TUBERKULOSIS PADA PUSKESMAS

KABUPATEN TANGERANG

 

Deswien Heriyanto1, Ros Sumarny1, Prih Sarnianto1, Nova Ardianto2

1Jurusan Ilmu Kefarmasian, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila

2Puskesmas Gunung Kaler Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang

Email: [email protected].,[email protected].,[email protected]., [email protected])

 

Abstrak

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular diakibatkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala utama batuk berdahak yang tidak jelas penyebabnya selama 2-3 minggu atau lebih. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui asuhan kefarmasian dapat meningkatkan kualitas hidup pasien TB di Puskesmas Gunung Kaler sebagai kelompok yang mendapatkan asuhan kefarmasian. Penelitian ini menggunakan studi quasi exsperimental non equivalent control group design yang bersifat prospektif. Subjek penelitian adalah pasien TB rawat jalan yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian dilakukan di Puskesmas Gunung Kaler dan Puskesmas Kresek. Data pasien dari bulan Mei - Juli 2021. Pengumpulan data menggunakan kuesioner EQ-5D. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase sosiodemografi pasien, nilai indeks EQ-5D (utility) dan nilai EQ-5D VAS. Nilai utility dan EQ-5D VAS dianalisis dengan uji Wilcoxon (α=5%) dan Mann Whitney untuk melihat perubahan bermakna sebelum dan setelah asuhan kefarmasian. Hasil uji Wilcoxon terdapat perbedaan kepatuhan (p<0,05) dan kualitas hidup (p<0,05) pasien TB kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan kefarmasian. Pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan tentang kepatuhan (p>0,05) dan ada perbedaan kualitas hidup (p<0,05) pasien sebelum dan sesudah penelitian.Hasil uji Mann-Whitney pada kepatuhan (p<0,05) dan kualitas hidup (0,00<0,05) terdapat perbedaan antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah asuhan kefarmasian dapat meningkatkan kepatuhan dan kualitas hidup pasien TB kelompok intervensi.

�

Kata Kunci: Tuberkulosis, asuhan� kefarmasian, kepatuhan, kualitas hidup

 

Abstract

Tuberculosis (TB) is a kind of infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis with the main symptom of coughing up phlegm with no clear cause for 2-3 weeks or more. This study aims to determine the effect of pharmaceutical care to improve the quality of life of TB patients at Gunung Kaler CHC as a group that received pharmaceutical care. This was a prospective quasi-experimental study with non-equivalent control group design. The study subjects were outpatient TB patients who met the inclusion criteria. The study was conducted at Gunung Kaler and Kresek CHCs. Data were collected from May - July 2022 using the EQ-5D questionnaire. The patient's socio-demographic percentage, the EQ-5D index value (utility) and the EQ-5D VAS value were calculated. The utility and EQ-5D VAS values were analyzed by Wilcoxon test (α=5%) and Mann Whitney test to determine the significant changes before and after pharmaceutical care. The study findings based on Wilcoxon test showed differences in compliance (p<0.05) and quality of life (p<0.05) of TB patients in the intervention group before and after pharmaceutical care. Furthermore, there was no difference in compliance (p>0.05) and there was a difference in quality of life (p<0.05) of patients before and after the study. The study findings based on Mann-Whitney test showed that there were differences in compliance (p<0.05) and quality of life (0.00<0.05) between the control group and the intervention group. It can be concluded that pharmaceutical care could improve compliance and quality of life of TB patients in the intervention group.

 

Keywords: Tuberculosis, pharmaceutical care, compliance, quality of life


 

Pendahuluan

Setiap tahun, 10 juta orang terinfeksi tuberkulosis (TB). Meskipun merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, 1,5 juta orang meninggal setiap tahun, menjadikannya penyakit menular terkemuka di dunia. Pada tahun 2013, WHO melaporkan bahwa Indonesia memiliki 700.000 kasus tuberkulosis, tertinggi ketiga setelah India dan Cina. Secara statistik diperkirakan terdapat 130 kasus baru TB BTA (+) per 100.000 penduduk di Indonesia. Dalam upaya pengendalian tuberkulosis, WHO telah menetapkan target lebih dari 70% temuan kasus tuberkulosis �dengan angka kesembuhan di atas 85% melalui strategi DOTs. Pencegahan infeksi tuberkulosis penting untuk mencegah terjadinya kasus TB baru (Gero S, dkk 2017).

Pada umumnya, pasien yang memasuki fase lanjutan seolah merasa sembuh sehingga kemudian menghentikan pengobatannya. Pengetahuan dinilai sangat penting untuk keberhasilan pengobatan TB, karena pasien lebih memahami cara penularan, tahapan pengobatan, tujuan pengobatan, efek samping obat, dan komplikasi penyakit. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh pada bagaimana orang tersebut bersikap, berencana, dan mengambil keputusan (Mientarini EI, dkk.2018).

Kualitas hidup merupakan salah satu kriteria utama untuk mengetahui intervensi pelayanan kesehatan seperti morbiditas, mortalitas, fertilitas dan kecacatan. Di negara berkembang pada beberapa dekade terakhir ini, insidensi penyakit kronik mulai menggantikan dominasi penyakit infeksi di masyarakat. Sejumlah orang dapat hidup lebih lama, namun dengan membawa beban penyakit menahun atau kecacatan, sehingga kualitas hidup menjadi perhatian pelayanan kesehatan (Yunianti, 2012). Kualitas hidup akan membaik ketika klien atau penderita mulai menerima tentang penyakit yang dideritanya dan patuh terhadap proses pengobatan yang akan dijalaninya (Alfid Tri Afandi, Enggal Hadi Kurniyawan.2017). Penderita dapat mengalami gangguan fisiologis, keuangan, dan psikologis akibat pengobatan yang lama dan efek samping obat. Penderita dan keluarga memerlukan konseling, edukasi kesehatan, dan dukungan sosial untuk memastikan keberhasilan program pengobatan. Faktor lain yang memengaruhi kualitas hidup adalah faktor sosiodemografi dan faktor klinik (Abrori I, Ahmad​ RA, 2018).

Salah satu cara mengukur kualitas hidup adalah melalui wawancara (survei), menggunakan kuesioner EQ-5D (EuroQoL five dimensions questionnaire). Saat ini, kuesioner EQ-5D merupakan alat pengukuran yang paling banyak dikenal dan paling umum digunakan dalam mengukur status kesehatan secara umum, serta telah berlaku secara internasional (Suwendar S,et all,2017).

Asuhan pada individu dengan TB diterapkan dengan melibatkan keluarga sebagai pemberi perawatan langsung pada anggota keluarga dengan TB. Keluarga memberikan perawatan kepada penderita TB tidak terlepas dari pelaksanaan pelayanan kesehatan keluarga yang harus dijalankan oleh keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup anggota keluarga (A Fenti,2018).

Kabupaten Tangerang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten yang memiliki beban kasus TB tertinggi. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.541.000 jiwa diperkiran terdapat 11.615 kasus TB. Pada tahun 2018 estimasi insiden kasus TBC di Kabupaten Tangerang sebesar 324/100.000 penduduk atau sebanyak 11.615 kasus. Di kawasan Kabupaten Tangerang, di Kecamatan Gunung Kaler. Puskesmas Gunung Kaler berdasarkan data tahun 2018 angka pengobatan lengkap masih 0 persen. untuk angka keberhasilan pengobatan 97,14 persen. (Kementerian Kesehatan,2018).

Dari data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian asuhan kefarmasian terhadap pasien TB rawat jalan di Puskesmas Gunung Kaler. �Penelitian asuhan kefarmasian yang dilakukan difokuskan pada pelayanan informasi obat (PIO) dan konseling. Hal tersebut dilakukan karena pengkajian dan pelayanan resep sudah terlaksana dengan baik oleh puskesmas. �Selain asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat (PIO) dan konseling, berbagai faktor lain, seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, penyakit penyerta juga perlu menjadi perhatian untuk mengetahui, apakah hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien TB (Kementerian Kesehatan,2018). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui asuhan kefarmasian dapat meningkatkan kualitas hidup pasien TB di Puskesmas Gunung Kaler sebagai kelompok yang mendapatkan asuhan kefarmasian.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi quasi exsperimental non equivalent control group design yang bersifat prospektif. Penelitian ini dilakukan pada pasien Tuberkolosis pada Mei 2021 � Juli 2021. Data dalam penelitian ini berupa data primer yang diperoleh �dari data rekam medik dan hasil data sekunder dari pengisian kuesioner pasien TB yang melakukan kontrol di Puskesmas Gunung Kaler dan Puskesmas Kresek. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan yang telah menjalani terapi pengobatan TB pada periode Mei 2021 sampai dengan Juli 2021. Teknik Sampling dalam penelitian ini menggunakan total sampling. Pasien yang dilibatkan adalah yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang diperoleh berupa kualitas hidup dan kepatuhan selanjutnya dianalisis menggunakan SPSS. Adapun analisis yang digunakan adalah analisis univariat untuk data sosiodemografi dana analisis bivariat untuk kualitas hidup dan kepatuhan. Uji normalitas dengan uji Kolmogorov Smirnov dilakukan untuk mengetahui data terdistribusi normal atau tidak. Apabila data terdistribusi normal digunakan uji parametrik Independen T test dan data yang tidak terdistribusi normal menggunakan uji non parametrik Wilcoxon.Perbedaan penilaian tingkat kepatuhan, kualitas hidup pasien dianalisis dengan menggunakan uji Independen T test apabila data terdistribusi normal,� dan untuk data yang tidak terdistribusi normal digunakan uji� non parametrik Mann Withney. Penelitian ini mendapatkan izin penelitian dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dengan Nomor 423.5/3602-Dinkes. Pengumpulan data pasien dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pasien (pasien telah menandatangani lembar persetujuan pasien atau informed consent).

 

Hasil dan Pembahasan

A.     Karakteristik Sosiodemografi

Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, tingkat pendidikan, pekerjaan pasien TB di Puskesmas Gunung Kaler dan Puskesmas Kresek �disajikan pada tabel 1.

Berdasarkan kategori umur pasien yang paling dominan yaitu ≥ 57 tahun dari kelompok kontrol sebanyak 17 responden (47,2%) dan umur� 37 - 56 tahun kelompok intervensi sebanyak 12 responden (33,3%) dengan jumlah total 72 responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian Malik Fajar Rozaqi dkk tentang �Kepatuhan Minum Obat Pada Pasien Tb Paru bahwa hampir sebagian besar responden (64,86%) berusia 51 -84 tahun (Rozaqi Fajar Malik,dkk.2018). Juga penelitian Rizki Intan Suhada (2018) responden yang berumur 35-48 tahun sebanyak 18 pasien (45,0%) (II). Berdasarkan penelitian Panjaitan (dalam Deska Jasmiati,dkk.,2017), insiden tertinggi TB paru biasanya mengenai usia dewasa. Penyakit TB paru sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah mendapatkan infeksi primer padawaktu kecil dan tidak ditangani dengan baik. Usia dewasa dan diikuti usia tua merupakan kelompok yang paling sering terkena TB. Hal yang sama terjadi pada tahun 2015 dimana kasus TB paru di Indonesia lebih banyak terjadi pada usia dewasa awal karena pada usia dewasa awal manusia cenderung mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman TB lebih besar (Kemenkes �dalam Deska Jasmiati,dkk.,2017) (Jasmiati Deska, dkk.2017).

Karakteristik jenis kelamin responden pada seluruh kelompok penelitian baik kelompok kontrol maupun kelompok intervensi yang terbanyak adalah jenis kelamin perempuan. Masing-masing untuk kelompok kontrol sebanyak 20 responden (55,6 %) dan kelompok intervensi sebanyak 19 responden (52,8 %).dengan jumlah total 72 responden. Hasil ini sejalan dengan penelitian Rizki Intan Suhada (2018) bahwa responden terbanyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 27 pasien (67,5%) (Suhada Intan Rizki.2018).

Karakteristik pendidikan responden yang paling dominan pada pendidikan SMA kelompok kontrol sebanyak 16 responden (44,4 %) dan kelompok intervensi sebanyak 23 (63,9 %). Sejalan dengan penelitian Deska Jasmiati dkk (2017) bahwa responden pada tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA sebanyak 33,1% (14 responden) (V). Pada setiap individu tingkat pengetahuan salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan yang lebih tinggi seseorang dapat dengan mudah memahami sesuatu, salah satunya mengenai penyakit TB dan efeknya terhadap kesehatan. Hal ini berpengaruh terhadap kepatuhan minum obat TB dan mampu mengatasi gejala yang muncul dengan penanganan kesehatanan yang tepat serta mencegah terjadinya komplikasi. Akan tetapi pendidikan tinggi tidak menjamin bahwa pengalaman yang didapat tinggi juga.� Pengalaman dipengaruhi oleh faktor sosial budaya yang dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan berdasarkan pengalamannya. Adat-istiadat, norma, dan dorongan dari orang-orang terdekat juga merupakan faktor-faktor yang membuat seseorang bertindak dalam mengambil suatu keputusan.

Karakteristik pekerjaan responden terbanyak pada semua kelompok yaitu pekerjaan� pegawai swasta/wiraswasta dengan rincian �pada kelompok kontrol sebanyak 16 responden (44,4%) dan kelompok intervensi yaitu 19 responden� (52,8 %). Pekerjaann swasta/wiraswasta memiliki resiko terhadap penularan pada penyakit TB. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB paru (Rini dalam Deska Jasmiati� dkk, 2017). Penelitian Zuliana (dalam Deska Jasmiati dkk, 2017), yang mengemukakan bahwa pekerjaan akan mempengaruhi pemanpaatan pelayanan kesehatan, selain itu pekerjaan seseorang akan mencerminkan sedikit banyaknya informasi yang diterima, diantaranya terkait informasi tentang pelayanan kesehatan. Tingkat pekerjaan yang baik, maka seseorang akan berusaha untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik, berbeda dengan orang yang memiliki tingkat pekerjaan rendah yang lebih memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya (Sari dkk dalam Deska Jasmiati dkk, 2017) (Jasmiati Deska,dkk.2017).

Karakteristik penghasilan pada penelitian ini menunjukan responden terbanyak� tidak ada penghasilan pada kelompok kontrol yaitu 12 responden (33.3 %) dan kelompok intervensi penghasilan > 2.000.000 yaitu 15 orang (41,7 %). Hal ini menggambarkan keadaan ekonomi pasien tuberkulosis paru rendah, tetapi karena informasi dari petugas kesehatan bahwa pengobatan untuk tuberkulosis paru diberikan secara gratis, maka banyak pasien tuberkulosis paru yang ekonomi rendah berusaha untuk mencari pengobatan (Amran, Rosmala.dkk 2021). Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Mutmainah dan Setyowati (dalam Amran, et al., 2021)� mengatakan biaya pengobatan yang gratis berdampak positif terhadap psikologis pasien, karena tuberkulosis biasanya menyerang masyarakat menengah kebawah dimana penghasilan rata-rata ktiap bulannya juga sedikit. Dengan biaya pengobatan yang gratis, para penderita tuberculosis merasa tidak terbebani dan semakin meningkatkan keinginan mereka untuk sembuh (Amran, Rosmala.dkk 2021).

 

Tabel 1

Karakteristik Pasien TB pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

 

B.    Respon Pasien Terhadap Tiap Dimensi Pada Kuisioner EQ-5D

Berdasarkan data yang diperoleh penderita mengalami masalah yang dirasakan pada saat pretest baik pada tingkat cukup kesulitan (CK) ataupun merasa cukup (MC). Masalah (jumlah SK) tertinggi yang dirasakan rasa kesakitan/ketidaknyamanan dilakukan dirasakan oleh 63,9% pasien. Paling sedikit adalah perawatan diri dan rasa kesakitan/ketidaknyamanan hanya dirasakan oleh 2,8% pasien. Dengan kata lain sebelum pretest Sebagian besar pasien masih mampu untuk melakukan perawatan diri secara mandiri.

Berdasarkan data perawatan diri dapat dilihat bahwa persentase pasien yang merasakan masalah dalam perawtan diri sedikit kesulitan sebelum di intervensi yakni sebsear 58,3 %. Setelah dilaksnakan intervensi rasa kesakitan/nyaman mengalami penurunan.� Hal ini terlihat dari peningkatan persentase pasien yang tidak merasakan kesakitan sebagai masalah sebelum intervensi 5,6 % (TM) dan setelah intervensi yaitu 86,1%. Hal ini juga dapat disebabkan pelayanan yang baik selama perawatan. Kecemasan dapat ditimbulkan akibat lamanya minum obat TB, karena membayangkan hal-hal buruk hal ini terlihat dari menigkatnya persentase pasien tidak merasa cemas sebagai masalah sebelum intervensi yaitu 0 % setelah mendapatkan intervensi yaitu 80,6%. Hal ini terjadi karena pelayanan yang baik, adanya edukasi yang baik terhadap pasien maupun keluarganya yang turut berperan dalam menurunkan rasa cemas pada pasien.

C.   Pengaruh Asuhan Kefarmasian Terhadap Tingkat Kepatuhan

Salah satu faktor keberhasilan suatu pengobatan adalah kepatuhan minum obat. Kepatuhan merupakan kedisiplinan pasien TB dalam menggunakan obat antituberkulosis, yaitu tepat waktunya, tepat jumlahnya, dan benar cara minum obatnya. Tingkat kepatuhan antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi disajikan pada tabel 2.

 

Tabel 2

Nilai Tingkat Kepatuhan Pasien TB �Dengan Uji Wilcoxon

Kepatuhan

Kelompok pasien TB

Kontrol

Intervensi

Pre test

Pos test

Sig

Pre test

Pos test

Sig

Rata-rata

6,31

6,58

0,061

6,25

8,03

0,000

Tinggi (nilai 8-10)

0

3

 

0

31

 

Sedang (6 - 7)

32

29

 

33

5

 

Rendah (< 6)

4

4

 

3

0

 


 


Berdasarkan data yang disajikan pada tabel� 2 diatas dapat dilihat hasil pre-test dengan tingkat kepatuhan sedang pada kelompok kontrol sebanyak 32 orang� dan kemudian terjadi peningkatan pada hasil post-test menjadi 29 orng kepatuhan seang dan 3 orang responden tingkat kepatuhannya dari sedang menjadi tinggi. Sebelum dilakukan asuhan kefarmasian tingkat kepatuhan tinggi pada kelompok intervensi sebanyak 0 orang. Kemudian setelah dilakukan intervensi jumlah responden dengan nilai tingkat kepatuhan tinggi meningkat dari 0 orang menjadi 31 orang.

Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon menunjukkan nilai tingkat kepatuhan sebelum dan sesudah dilakukan test tidak ada perbedaan yang signifikan dengan nilai p-value� yaitu 0,061 (p>0,05) untuk kelompok kontrol. Sementara pada kelompok intervensi terdapat perbedaan tingkat kepatuhan yang signifikan setelah dilakukan asuhan kefarmasian yaitu dengan nilai 0,000 (p<0,05). Sejalan dengan penelitian Amran, et al., 2021 tentang tingkat kepatuhan penggunaan obat anti tuberkulosis pada pasien di Puskesmas Tombulilato Kecamatan Bone Raya Kabupaten Bone Bolango dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan pasien tuberkulosis paru di Puskesmas Tombulilato termasuk dalam kategori patuh dengan presentase 86,8% (I). Juga sejalan dengan hasil penelitian Rizki Intan Suhada (2018) bahwa dari 40 orang responden yang patuh minum obat sebanyak 21 pasien (52,5%) dan responden yang tidak patuh minum obat sebanyak 19 pasien (47,5%) (Suhada Intan Rizki.2018). Begitu juga sejalan dengan penelitian Malik Fajar Rozaqi. dkk bahwa hasil penelitian di Puskesmas kunti dan Puskesmas Kauman sejumlah 37 responden disimpulkan bahwa:17 responden (45,94%) memiliki sikap kepatuhan tingggi, 12 responden (32,43%) memiliki sikap kepatuhan sedang dan 8 responden (21,62%) memiliki sikap kepatuhan rendah (Rozaqi Fajar Malik,dkk.2018).

Selanjutnya hasil Uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa ada perbedaan nilai tingkat kepatuhan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Hal ini dapat menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling yang diberikan farmasis kepada pasien TB pada kelompok intervensi meningkatkan tingkat kepatuhan pasien. Hasil Uji Mann-Whitney disajikan pada tabel 3.

Tabel 3

Hasil Perbedaan rata-rata Nilai Tingkat Kepatuhan Pada Pasien TB Dengan Uji Mann-Whitney

Variabel

Pasien

Rata-rata

Kelompok

Sig

Kontrol

Intervensi

Kepatuhan

TB

Pos test

6,58

8,03

 

Pre test

6,31

6,25

 

D Postest � Pretest

0,27�0,748

1,78�1,092

0,000

 


Asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling dapat meningkatkan pengetahuan pasien mengenai obat, cara penggunaan obat, mekanisme kerja obat, serta resiko menggunakan obat tidak sesuai aturan. Dengan meningkatnya pengetahuan pasien maka akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap perilaku pasien untuk patuh dalam menjalani pengobatan.

Perbedaan nilai kepatuhan antara kelompok kontrol dan intervensi menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling yang diberikan farmasis kepada pasien TB meningkatkan tingkat kepatuhan pasien. Perbedaan Nilai Tingkat Kepatuhan Pada Pasien TB Sebelum dan Sesudah Intervensi disajikan pada gambar 1 dibawah ini.

 

Gambar 1� Perbedaan Nilai Tingkat Kepatuhan Pada Pasien TB Sebelum dan Sesudah Intervensi.

 

D. Pengaruh Asuhan Kefarmasian Terhadap Kualitas Hidup

Kualitas hidup pasien TB merupakan perasaan tentang berjalan/bergerak, perawatan diri kegiatan yang biasa dilakukan rasa kesakitan/tidak nyaman, rasa cemas/depresi. Tingkat kualitas hidup pasien TB kelompok kontrol dan kelompok intervensi disajikan pada tabel 4.

Berdasarkan hasil yang disajikan tabel 4, peningkatan kualitas hidup dengan nilai indeks kondisi kesehatan (utility) pada saat pre-test dan post-test dengan nilai baik sekali terjadi perubahan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol nilai baik pada hasil pretest 4 orang menjadi 9 orang sedangkan pada kelompok intervensi sebelum diberikan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling tidak ada yang nilai baik (0 orang) kemudian setelah �dilakukan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling meningkat menjadi 35 orang. Tingkat kualitas hidup dengan nilai baik saat pre-test dan post-test pada kelompok kontrol tejadi penurunan dari 32 orang menjadi 27 orang . Pada kelompok intervensi� tetap sama dari 1 orang tetap 1 orang. Tingkat kualitas hidup dengan nilai cukup pada saat pretest dan post-test tidak terjadi perubahan pada kelompok kontrol yaitu tetap tidak ada (0 orang), sedangkan pada kelompok intervensi terjadi penurunan dari 35 orang menjadi tidak ada (0 orang) dikarenakan kualitas hidup pasien TB kelompok intervensi meningkat.Tingkat kualitas hidup dengan nilai kurang pada saat pretest dan post-test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak ada perubahan yaitu tidak ada seorang responden pun dengan nilai tingkat kualitas hidup kurang.

�

Tabel 4

Nilai indeks kondisi kesehatan (utility) Kualitas Hidup Sebelum Dan Sesudah

Intervensi Farmasi Pada TB� dengan Uji Wilcoxon

Kualitas Hidup

Kelompok pasien TB

Kontrol

Intervensi

Pre test

Pos test

Sig

Pre test

Pos test

Sig

Rata-rata

0,48

0,53

0,002

0,37

0,87

0,000

Baik sekali (0,76 - 1)

1

1

 

0

29

 

Baik (0,51 � 0,75)

17

21

 

4

7

 

Cukup (0,26 � 0,5)

18

14

 

25

0

 

Kurang (0 � 0, 25)

0

0

 

7

0

 

 

Hasil Uji Wilcoxon sebagaimana disajikan tabel 4, pada kelompok intervensi diperoleh nilai p-value yaitu 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan nilai kualitas hidup yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling. Pada kelompok kontrol diperoleh nilai pengukuran kualitas hidup sebelum dan sesudah dilakukan penelitian ada perbedaan yang signifikan yaitu dengan nilai signifikansi yaitu 0,002 p<0,05.

Selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perbedaan kualitas hidup kelompok kontrol dan kelompok intervensi dilakukan uji Mann Whitney dengan hasil sebagaimana disajikan pada tabel 5

 

Tabel 5

Hasil Perbedaan Peningkatan Kualitas Hidup dengan Nilai indeks kondisi kesehatan

(utility) Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi dengan Uji Mann-Whitney

Variabel

Pasien

Rata-rata

Kelompok

Sig

Kontrol

Intervensi

Kualitas hidup

TB

Pos test

0,53

0,87

 

Pre test

0,480

0,37

 

D Postest - Pretest

0,05�0,0354

0,50 �0,354

0,000

Sig

0,114

0,000

 

 

Hasil uji Mann Whitney diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai kualitas hidup yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Perbedaan nilai kualitas hidup antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang signifikan menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian yang diberikan farmasis kepada pasien TB kelompok intervensi dapat meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut.

 

Gambar 2 Hasil Perbedaan Peningkatan Kualitas Hidup dengan Nilai indeks kondisi kesehatan (utility) Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

 

E.    Pengaruh Asuhan Kefarmasian Terhadap Kualitas Hidup dengan Nilai EQ-5D VAS Perbedaan nilai kualitas hidup dengan nilai EQ-5D VAS kesehatan (Utility) kelompok kontrol dan kelompok intervensi disajikan tabel 6.

 

Tabel 6

Nilai EQ-5D VAS sebelum dan� Sesudah Intervensi Farmasi

Pada Pasien TB dengan Uji Wilcoxon

Kualitas Hidup

Kelompok pasien TB

Kontrol

Intervensi

Pre test

Pos test

Sig

Pre test

Pos test

Sig

Rata-rata

73,06

74,92

0,001

74,39

84,89

0,000

Baik sekali (76 - 100)

6

12

 

18

36

 

Baik (51 � 75)

30

24

 

18

0

 

Cukup (26 - 50)

0

0

 

0

0

 

Kurang (0 - 25)

0

0

 

0

0

 


 

Nilai Peningkatan kualitas hidup dengan nilai VAS kesehatan (utility) pada saat pre-test dan post-test dengan nilai baik sekali terjadi perubahan pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol terjadi peningkatan dari 6 orang menjadi 12 orang. Pada kelompok intervensi terjadi peningkatan yaitu sebelum dilakukan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling sebanyak 18 orang, kemudian meningkat menjadi 36 orang� setelah dilakukan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling.

Nilai tingkat� VAS kualitas hidup dengan nilai baik saat pre-test dan post-test pada kelompok kontrol terjadi penurunan dari 30 orang menjadi 24 orang artinya ada 6 orang setelah postest meningkat menjadi kategori nilai baik sekali . Pada kelompok intervensi� terjadi penurunan dari 18 menjadi 0 orang.Hal ini menunjukkan bahwa asuhan kefarmasian memberikan hasil yang positif dengan meningkatnya nilai baik menjadi nilai baik sekali pada 18 orang tersebut. �Nilai tingkat VAS kualitas hidup dengan nilai cukup pada saat pretest dan post-test tidak terjadi perubahan pada kelompok kontrol� dan intervensi yaitu tetap tidak ada (0 orang). Nilai tingkat VAS kualitas hidup dengan nilai kurang pada saat pretest dan post-test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak ada perubahan yaitu tidak ada seorang responden pun dengan nilai tingkat kualitas hidup kurang.

Hasil uji Wilcoxon pada kelompok intervensi diperoleh nilai p-value yaitu 0,00 (p<0,05) yang menunjukkan terdapat perbedaan nilai kualitas hidup yang signifikan sebelum dan �sesudah dilakukan asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling. Sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai pengukuran kualitas hidup sebelum dan sesudah dilakukan penelitian ada perbedaan yang signifikan yaitu dengan nilai signifikansi yaitu 0,001 p<0,05 pada tabel juga terlihat adanya peningkatan rata-rata nilai kualitas hidup pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan asuhan kefarmasian yaitu sebesar 10,5. Pada kelompok kontrol terjadi peningkatan tidak terlalu tinggi yaitu 1,86. Hasil perbedaan rata-rata peningkatan kualitas hidup pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi disajikan pada gambar 3.

 

Gambar 3 �Hasil Perbedaan Peningkatan Kualitas Hidup Pada Kelompok Kontrol dan Intervensi

 

Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui perbedaan nilai VAS antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi disajikan pada tabel 7


 

Tabel� 7

Hasil Perbedaan Peningkatan Kualitas Hidup Pada Kelompok Kontrol

dan Intervensi dengan Uji Mann-Whitney

Variabel

Pasien

Rata-rata

Kelompok

Sig

Kontrol

Intervensi

Kualitas hidup

TB

Pos test

74,92

84,89

 

Pre test

73,06

74,39

 

D Postest � Pretest

1,86 �0,288

10,5�6,731

0,000

Sig

0,002

0,000

 



 

Dari hasil uji Mann Whitney sebagaimana disajikan pada tabel 7, diperoleh signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai VAS kualitas hidup yang signifikan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Perbedaan nilai kualitas hidup antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang signifikan menggambarkan bahwa asuhan kefarmasian yang diberikan farmasis kepada pasien TB kelompok intervensi dapat meningkatkan kualitas hidup pasien tersebut. Hasil ini sejalan dengan penelitian� Hendrik dkk.(2015) bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup pasien TB yang signifikan sebelum dan selama menjalani pengobatan dengan nilai p<0,05 (Hendrik, dkk.2015).

 

Kesimpulan

Kelompok intervensi dari katagori usia mayoritas berusia 37-56 tahun sedangkan pada kelompok kontrol ≥ 57 tahun, sedangkan kelompok intervensi dan kontrol dari segi jenis kelamin perempuan lebih dominan dibandingkan dengan laki-laki, tingkat pendidikan terbanyak tingkat Sekolah Menengah Atas, pekerjaan terbanyak sebagai swasta/wiraswasta,penghasilan lebih dominan tidak punya penghasilan pada kelompok kontrol dan kelompok interensi penghasilan� ≥ 2.000.000 lebih dominan. Asuhan Kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling pada kelompok intervensi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan dan kualitas hidup, sedangkan pada kelompok kontrol tidak lebih memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kepatuhan� kualitas hidup sebelum dan sesudah dilakukan penelitian. Adanya hubungan antara kepatuhan dan kualitas hidup pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol� tidak ada hubungan antara kepatuhan dan kualitas hidup. Hal ini menunjukkan, bahwa asuhan kefarmasian berupa pelayanan informasi obat dan konseling yang diberikan farmasis dapat meningkatkan kepatuhan sehingga tercapai kualitas hidup yang optimal.

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Abrori I, Ahmad​ RA.(2018) Kualitas hidup penderita tuberkulosis resisten obat di kabupaten Banyumas. Ber Kedokt Masy. 2018;34(2):56�61.

 

Alfid Tri Afandi, Enggal Hadi Kurniyawan.(2017).� Efektivitas Self Efficacy Terhadap Kualitas Hidup Klien Dengan Diagnosa Penyakit Kronik. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop Publikasi Ilmiah ISSN. 2579-7719 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember diakses dari : https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle /123456789/80263/PSIK_Alfid%20TA_ Prosiding_Efektivitas%20Self%20Efficacy.pdf?sequence=1&isAllowed=y. diunduh 2 oktober 2022

 

A Fenti.(2019) . Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Penderita Tbc Di Kecamatan Selebar Kota Bengkulu Tahun 2018. JNPH. 2019;7(1):46�51.

 

Amran, Rosmala.dkk (2021). Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien di Puskesmas Tombulilato Kabupaten Bone Bolango. Indonesian Journal of Pharmaceutical Education ISSN: 2775-3670 (online) Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo diakses dari https://repository.ung.ac.id/get/karyailmiah/8772/Tingkat-Kepatuhan-Penggunaan-Obat-Anti-Tuberkulosis-Pada-Pasien-Di-Puskesmas-Tombulilato-Kabupaten-Bone-Bolango.pdf. diunduh 1 oktober 2022

 

Gero S, Sayuna M, Kupang JK, Kupang PK.(2017). Pencegahan Penyakit Tbc Paru Yang Utama Dimulai Dari Dalam Rumah Penderita. J info Kesehatan. 2017;vol 15(1):120�8.

 

Hendrik, Perwitasari DA, Mulyani UA, Thobari JA.(2015). Pengukuran Kualitas hidup Pasien Tuberkulosis menggunakan instrumen S.Seminar Nasional Peluang Herb Sebagai Altern Medicine Tahun 2015. 2015;28�34.

 

Jasmiati Deska,dkk.(2017). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup
Pada Pasien TB Paru.
Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau Jurnal Ners Indonesia, Vol.7 No.2, Maret 2017 .diakses dari https://jni.ejournal.unri.ac.id/ index.php/JNI/article/download/6902/6105

 

Kementerian Kesehatan.(2018). Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang Tahun 2018. 2018

 

Lili Diana Fitri , Jenny Marlindawani , Agnes Purba .(2018). Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru . Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat . Vol. 07, No. 01, Maret 2018 Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sari Mutiara Indonesia. diakses pada : https://journals.stikim.ac.id/index.php/jikm/article/view/50/42. diunduh 2 Oktober 2022

 

Mientarini EI, Sudarmanto Y, Hasan M.(2018) Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Kepatuhan Minum Obat Pasien Tuberkulosis Paru Fase Lanjutan Di Kecamatan Umbulsari Jember. Ikesma. 2018;14(1):11.

 

Rozaqi Fajar Malik,dkk.(2018). Kepatuhan Minum Obat Pada Paien Tb Paru. Health Science Jurnal. Penerbitan Artikel Ilmiah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Ponorogo Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiya Ponorogo. Diakses dari �ttps://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/HSJ/article/view/81diunduh 1 Oktober 2022

 

Suhada Intan Rizki.(2018). Tingkat Kepatuhan Minum Obat Pada PasienTuberkulosis (TBC) Rawat JalanDi Rumah Sakit Umum Haji Medan Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Program Studi D3 FarmasiFakultas Farmasi Dan Kesehatan Institut Kesehatan Helvetia Medan. diakses dari http://repository.helvetia.ac.id/1222/25/KTI%20RIZKI %20INTAN%20SU HADA%201515194047.pdf diunduh 1 Oktober 2022

 

Suwendar S, Fudholi A, Andayani TM, Sastramihardja HS.(2017) Quality of Life Evaluation of Cervical Cancer Inpatients Before and After Chemotherapy by Using the EQ-5D Questionnaire. Indones J Clin Pharm. 2017;6(1):1�10.

�

Copyright holder:

Deswien Heriyanto, Ros Sumarny, Prih Sarnianto, Nova Ardianto (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: