Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
10, Oktober 2022
ANALISIS DAMPAK SOSIAL, EKONOMI
DAN LINGKUNGAN PADA MODEL USAHATANI TERPADU DI DESA SINDU AGUNG KECAMATAN
MANGKUTANA KABUPATEN LUWU TIMUR
Maria,
Hazairin Zubair, Syatrianty A. Syaiful
Universitas Hasanuddin
Email: [email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak sosial,
ekonomi dan lingkungan pada model usaha tani terpadu di Desa Sindu Agung, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur dan berlangsung April
sampai Juni 2021. Penelitian ini
menggunakan metode diskriptif (deskriftive analysis) kuantitatif maupun
kualitatif. Untuk mengkaji dampak
sosial digunakan analisis
kuantitatif deskriptif dan
modal sosial.dengan skala ordinal. Untuk mengetahui dampak ekonomi
menggunakan analisis penerimaan, pendapatan dan analisis kelayakan usaha serta
efisiensi tenaga kerja, sedangkan dampak lingkungan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dampak sosial diketahui dari
karakteristik petani dan modal sosial meliputi sebagian besar petani yang
terlibat dalam usahatani terpadu maupun monokultur berumur produktif,
berpendidikan tinggi, lama berusahatani 1 – 10 tahun, luas lahan kepemilikan
< 1 ha serta jumlah tanggungan keluarga 4 – 8 orang. Modal
sosial dari model usahatani
terpadu dan monokultur terdiri dari kepercayaan dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masing-masing
berkategori tinggi dan cukup tinggi, jaringan sosial dan tindakan proaktif
berkategori tinggi, norma sosial berkategori cukup tinggi. Dampak ekonomi diketahui dari penerimaan dan
pendapatan petani usahatani terpadu yang lebih tinggi dengan penerimaan per
tahun Rp 633,378,000 dan pendapatan Rp 294,731,000 dibandingkan monokultur
dengan penerimaan Rp 19,900,000 - 409,500,000 dan pendapatan Rp 8,075,500 - 126,166,667. Nilai rasio R/C usahatani terpadu 1,87,
sedangkan monokultur yakni 1,39 sampai 3,50.
Tingkat efisiensi tenaga kerja pada usahatani terpadu antara
0,0044 sampai 45,74 sedangkan pada monokultur antara 0,05 sampai 44,82. Indeks produktivitas tenaga kerja usahatani
terpadu sebesar Rp 40.451/HKO sampai 1,073,888/HKO sedangkan usahatani
monokultur 137,037/HKO sampai 15,933,193/HKO.
Dampak lingkungan dari model usahatani terpadu maupun monokultur dapat
dilihat dari limbah yang dihasilkan.
Limbah yang dihasilkan oleh usahatani terpadu meliputi jerami, dedak,
sekam, buah tomat busuk serta kotoran ayam termanfaatkan. Sedangkan pada usahatani monokulktur, hanya
sebagian limbah seperti jerami, sisa pertanaman kangkung serta kotoran ayam
yang termanfaatkan.
Kata Kunci: Pertanian terpadu, dampak sosial, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan
Abstract
This study aims to analyze the social, economic and
environmental impacts of an integrated farming model in Sindu Agung Village,
Mangkutana Subdistrict East Luwu District and will take place from April to
June 2021. This study uses quantitative and qualitative descriptive analysis
methods. To assess the social impact used descriptive quantitative analysis and
social capital with an ordinal scale. To determine the economic impact using
revenue analysis, income and business feasibility analysis and labor
efficiency, while the environmental impact using descriptive analysis. The
results show that the social impact is known from the characteristics of
farmers and social capital includes most of the farmers involved in integrated
and monoculture farming of productive age, highly educated, farming duration of
1-10 years, land area of ownership <1 ha and the number of dependents of the
family 4-8. person. The social capital of the integrated and monoculture
farming model consists of trust and concern for others and the environment in
the high and moderate categories, social networks and proactive actions in the
high category, and social norms in the moderately high category. The economic
impact is known from the income and income of farmers in integrated farming
which is higher with an annual income of IDR 633,378,000 and an income of IDR
294,731,000 compared to monoculture with an income of IDR 19,900,000 -
409,500,000 and an income of IDR 8,075,500 - 126,166,667. The value of the R/C
ratio of integrated farming is 1.87, while that of monoculture is 1.39 to 3.50.
The level of labor efficiency in integrated farming is between 0.0044 to 45.74
while in monoculture it is between 0.05 to 44.82. The labor productivity index
for integrated farming is IDR 40,451/HKO to 1,073,888/HKO while monoculture
farming is 137,037/HKO up to 15,933,193/HKO. The environmental impact of both
integrated and monoculture farming models can be seen from the waste produced.
Waste generated by integrated farming includes straw, bran, husks, rotten
tomatoes and chicken manure. Meanwhile, in monoculture farming, only some
wastes such as straw, kangkung plantation residues and chicken manure are
utilized.
Keywords: Integrated agriculture,
social impact, economic impact, and environmental impact
Pendahuluan
Pertanian merupakan salah satu
sektor utama yang
menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Pada saat ini, sektor
pertanian merupakan sektor penghasil devisa
bagi negara Indonesia.
Banyak masyarakat di Indonesia yang menggantungkan hidupnya di
sektor pertanian. Jumlah petani di
Indonesia tahun 2020 (data per bulan Februari 2020) pada sektor pertanian sebanyak
35.003.156 orang, subsektor tanaman pangan
17.222.812 orang, hortikultura
3.169.242 orang, peternakan 4.297.474 orang dan perkebunan
10.313.628 orang (Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2020).
Pembangunan pertanian tidak dapat dilaksanakan hanya
oleh petani sendiri. Meningkatnya
produksi pertanian adalah
akibat pemakaian teknik– teknik atau metoda-metoda di dalam usahatani. Memang
tidaklah mungkin untuk memperoleh hasil yang banyak dengan hanya menggunakan tanaman,
hewan, tanah dan cara yang tetap seperti
dulu. Teknologi usaha tani
sangat mempengaruhi pembangunan
pertanian. Teknologi usahatani berarti bagaimana cara melakukan pekerjaan
usahatani. Di dalamnya termasuk cara-cara
bagaimana petani menyebarkan
benih dan memelihara
tanaman. Termasuk pula di
dalamnya alat dan sumber tenaga.
Peningkatan produksi seringkali diberi perhatian utama
dalam pembangunan di bidang pertanian, namun ada batas maksimal produktivitas ekosistem. Jika batas ini dilampaui, maka ekosistem akan
mengalami degradasi. Seringkali pula
penggunaan sumberdaya pertanian, selalu menjadikan pertimbangan keuntungan
ekonomi sebagai dasar pertimbangan utama, artinya apabila dihadapkan pada
beberapa pilihan penggunaan lahan, maka keputusan akan diambil pada aktivitas yang memberikan keuntungan
ekonomi yang terbesar. Hal ini cenderung
mengabaikan aspek lingkungan. Agar
sistem bertanian bisa berkelanjutan, maka harus mempertimbangkan tidak hanya
aspek keuntungan ekonomi semata, dan juga tidak hanya mengejar produksi yang
tinggi semata, namun juga harus memperhatikan aspek ekologis, produktivitas
jangka panjang serta sosial ekonomi yang lainnya.
Kegiatan produksi biomassa semakin meningkat yang
memanfaatkan tanah yang tak terkendali mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan
mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan dapat disebabkan karena
penggunaan agrokimia (pupuk dan pestisida) yang tidak proporsional. Dampak negatif dari penggunaan agrokimia
antara lain berupa pencemaran air, tanah, kesehatan petani, menurunnya
keanekaragaman hayati.
Petani-petani di negara yang sedang berkembang
menghadapi berbagai masalah salah satunya adalah usahatani mereka semakin
tergantung pada teknologi pertanian modern yang tidak ramah lingkungan
(Soetrisno, 1998). Meningkatnya kegiatan
produksi biomassa (tanaman yang dihasilkan kegiatan pertanian, perkebunan dan
hutan tanaman) yang memanfaatkan tanah yang tak terkendali dapat mengakibatkan
kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi
tanah yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
(Diperta, 2012).
Sektor pertanian di Indonesia secara umum dan secara
khusus di Kabupaten Luwu Timur saat ini menghadapi berbagai permasalahan yang
melilit diantaranya permasalahan dari segi lingkungan yang terlihat dari
kesuburan tanah yang semakin menurun, hal ini disebabkan oleh penggunaan
bahan-bahan kimia yang terlampau berlebih dan dalam jangka waktu lama untuk
meningkatkan produktivitas. Permasalahan lainnya yakni produktivitas pertanian
menurun akibat tanah yang tidak subur sehingga memberi efek pada aspek sosial
dan ekonomi seperti kesejahteraan petani. Kemudian, sektor pertanian lebih
banyak diisi oleh tenaga kerja angkatan tua, sementara angkatan kerja muda
tidak memiliki ketertarikan untuk terjun di sektor pertanian. Hal ini berpengaruh terhadap produktivitas
pertanian, karena kondisi fisik angkatan tua tidak sekuat angkatan muda.
Kemudian pemasaran produksi pertanian masih menjadi permasalahan karena petani
masih bergantung dengan tengkulak di mana justru keberadaan tengkulak merugikan
petani itu sendiri.
Solusi yang dilakukan untuk keluar dari masalah
pertanian seperti yang disebutkan di atas salah satunya adalah melakukan
perubahan sistem pertanian dari cara bertanam monokultur yaitu menanam satu
macam tanaman, ke cara bertanam yang terintegrasi atau lebih dikenal dengan
istilah pertanian terpadu. Sistem pertanian
terpadu merupakan salah satu bentuk dari sistem pertanian berkelanjutan. Sistem
pertanian terpadu adalah
suatu sistem pengelolaan
tanaman, hewan ternak,
dan ikan dengan
lingkungannya untuk menghasilkan
suatu produk yang optimal dan sifatnya cenderung tertutup terhadap masukan
luar.
Usahatani
terpadu baik dalam
satu unit usahatani maupun dalam
satu wilayah, melibatkan
berbagai macam aktivitas
usahatani dengan pola pengusahaan yang berbeda-beda. Keterpaduan dalam
sistem usahatani dicirikan dengan adanya
hubungan sinergis antara
satu kegiatan atau
cabang usahatani dengan kegiatan usahatani lainnya.
Kegiatan pembangunan pertanian dinyatakan
berkelanjutan, jika kegiatan tersebut secara ekonomis, ekologis dan sosial
bersifat berkelanjutan (Srageldin, 1996 dalam Dahuri, 1998). Berkelanjutan secara ekonomis berarti suatu
kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan
capital (capital maintenance) dan penggunaan sumber daya serta investasi secara
efisien. Berkelanjutan secara ekologis
mengandung arti bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas
ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumber daya alam
termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity).
Sementara itu berkelanjutan secara sosial, mensyaratkan bahwa suatu
kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan,
mobilitas sosial, kohesi sosial dan pengembangan kelembagaan.
Aspek ekonomi ditekankan terhadap kontribusi usahatani
terpadu dalam memberikan manfaat ekonomi sebesar-besarnya bagi petani dalam
bentuk peningkatan pendapatan dan ketenagakerjaan. Aspek sosial ditekankan pada dampak sosial
yang ditimbulkan dari usahatani terpadu terhadap masyarakat, sedangkan aspek
lingkungan ditekankan pada pemanfaatan limbah dan penggunaan bahan organik
dapat digunakan sebagai tolak ukur pada sistem pertanian terpadu.
Siswati dan Nizar (2012), melaporkan hasil penelitiannya
bahwa pola usahatani terpadu
mampu meningkatkan pendapatan petani
dari hortilkultura
perperiode tanam Rp 9.731.147,- dari
usaha ternak Rp 9.345.328,-per tahun. Nurhidayah (2018),
juga melaporkan bahwa pertanian terpadu yang digagas oleh Joglo Tani dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat karena pertanian terpadu tidak
bergantung pada satu kegiatan,
tetapi beberapa kegiatan
diantaranya pertanian, perikanan, peternakan dan
budidaya tanaman. Kadir (2020) selanjutnya menyatakan bahwa
usaha yang dilakukan secara terpadu
memiliki pengaruh terhadap pendapatan petani karena terdapat
hubungan saling menguntungkan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pertanian
monokultur padi diperoelh B/C Ratio sebesar 1,38, sedangkan petani monokultur sapi diperoleh
B/C Ratio sebesar
0,89 dan petani
yang menerapkan usahatani padi-sapi
secara terpadu diperoleh
nilai B/C Ratio sebesar 1,73.
Zamroni (2010) melaporkan adanya dampak sosial dari
usahatani terpadu. Diantara perubahan
sosial tersebut adalah
budaya tergantung pada pupuk
kimia buatan pabrik
menjadi budaya mandiri dalam membuat pupuk organik, adanya
pemanfaatan sampah dan aneka bahan alam untuk
pembuatan pupuk organik,
terbentuknya komunitas sosial yang
solid dalam bertani secara organik, terbentuknya pertanian terintegrasi dalam
masyarakat, adanya budaya
beternak untuk mendukung pertanian
organik, kesadaran kolektif
untuk melestarikan
lingkungan dan lain
sebagainya. Selanjutnya Anggraeni
et al (2015), menyatakan bahwa penerapan konsep integrasi pertanian dan peternakan
terpadu berbasis kambing PE memberikan efisiensi usaha yang lebih tinggi
dikarenakan limbah hasil produksi bidang tertentu dapat digunakan sebagai input
untuk produksi lainnya. Pemanfaatan limbah khususnya pakan disesuaikan dengan
potensi daerah setempat.
Desa Sindu Agung merupakan salah satu desa di wilayah
Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur yang telah menerapkan model usahatani
terpadu, dimana di dalamnya terdapat budidaya tanaman pangan dan hortikultura,
peternakan dan perikanan. Berdasarkan
hal tersebut di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan pada model usaha tani
terpadu di Desa Sindu Agung, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur.
Metode
Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
jenis data primer dan data sekunder baik untuk data yang bersifat kualitatif
dan kuantitatif. Data primer diperoleh dari
hasil pengamatan di lokasi dan wawancara dan diskusi terhadap pelaku atau
kelompok usaha tani terpadu yang
relevan dengan tujuan
penelitian. Data sekunder
diperoleh dari data yang dikumpulkan
dari pihak-pihak terkait
dalam menjawab tujuan
penelitian ini, hasil penelitian
terdahulu, lembaga, artikel, jurnal, buku, literatur, dan internet yang
mendukung untuk pengolahan data sesuai
dengan tujuan penelitian.
Data sekunder diperoleh
dengan melakukan studi
kepustakaan untuk menunjang dan
meyempurnakan data primer. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode yaitu: 1). Metode pengumpulan
data dengan melakukan
penyebaran kuisioner kepada pihak
yang memiliki usaha tani terpadu maupun monokultur di Desa Sindu Agung
Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur, dengan cara
pengambilan sampel dari
anggota kelompok tani, serta melibatkan para pengurus kelompok tani,
aparat desa, pelaku agribisnis
dan para penyuluh
pertanian. 2). Wawancara
mendalam (indepth interview)
yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara dengan
mendapatkan informan kunci yaitu pihak – pihak yang berkompeten yang dapat memberikan
gambaran dan informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada
dalam penelitian ini seperti pengurus atau anggota kelompok tani serta penyuluh
yang mengetahui betul tentang usahatani terpadu dan monokultur yang sedang
dijalankan. Wawancara tersebut memakai pedoman wawancara interview yang
dilakukan dengan bantuan kuisioner terhadap responden. Metode
ini menggunakan daftar
pertanyaan terhadap responden
atau informan lainnya. 3). Observasi atau pengamatan langsung yaitu mengumpulkan
data dengan melakukan pengamatan langsung
ke lokasi penelitian
untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang usaha tani terpadu
yang diteliti dan
untuk mengetahui secara
langsung mengenai dampak
sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap
usaha tani terpadu tersebut. 4). Fokus grup atau Discussion adalah diskusi yang
berbasis wawancara untuk menghasilkan data kualitatif dan mengeksplorasi
masalah–masalah yang spesifik serta teknik ini dimaksudkan untuk diperoleh data untuk suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi pada
permasalahan tertentu. Metode ini dilakukan
dengan tujuan menghindari pemaknaan
yang salah dari peneliti
terhadap masalah yang
diteliti. FGD digunakan untuk
menarik kesimpulan terhadap makna intersubjektif yang sulit dimaknakan
sendiri oleh peneliti. 5). Studi Dokumentasi, merupakan sumber data yang
digunakan untuk melengkapi penelitian, dimana data diperoleh dari arsip atau
dokumentasi dari lokasi penelitian. 6). Studi kepustakaan dilakukan dalam
bentuk teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap
buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, laporan-laporan, informasi
dari dokumen-dokumen resmi instansi yang telah dipublikasikan yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Hasil
dan Pembahasan
Karakteristik Petani
Reponden
Umur responden menentukan tingkat pengalaman dalam
usahataninya, petani berumur muda dan sehat jasmaninya, mempunyai kemampuan
fisik yang besar dibanding petani yang berumur lebih tua (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata umur
responden masih produktif sehingga mempunyai fisik yang kuat untuk mengelolah
usahataninya. Umur petani responden
terbanyak berada pada kelompok umur 35 – 55 tahun baik pada model usahatani
terpadu (100%) maupun monokultur (92%).
Menurut undang-undang tenaga kerja No. 13. Tahun 2003, usia produktif
adalah usia antara 15 sampai 64 tahun. Mantra
(2004) menambahkan bahwa sebaran
petani berdasarkan umur produktif dibagi
menjadi 3 klasifikasi yaitu, kelompok
umur 0-14 tahun merupakan usia
belum produktif, kelompok umur
15-64 tahun merupakan kelompok usia
produktif, dan kelompok umur
diatas 65 tahun
merupakan kelompok usia tidak
lagi produktif..
Umur
merupakan salah satu faktor
penentu yang dapat mempengaruhi seorang
individu mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan
dalam menerapkan inovasi baru
pada usahanya. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan dalam
mempengaruhi daya ingat dan
pola pikir dalam menerima inovasi. Umur merupakan
salah satu indikator
produktif atau tidaknya seseorang
dalam mengelola usahanya. Menurut
Mardikanto (2009), petani yang
tergolong muda lebih cekatan,
produktif serta lebih mudah
menerima adopsi inovasi dibandingkan
dengan petani yang tergolong
tua.
Sektor
pertanian di Desa Sindu Agung masih
menjadi pilihan pekerjaan bagi
sebagian masyarakat yang tinggal
di Desa Sindu Agung. Pada usia
35 tahun, kekuatan
fisik petani dalam keadaan
prima dan kegiatan bertani sudah
menjadi pilihan profesi yang
tetap. Usia 55
tahun, para petani sudah mulai kurang aktif mengolah pertanian
ditandai dengan kekuatan fisik
mulai lemah. Individu
yang berusia pada kategori
15 - 65 tahun tergolong produktif
dimana petani sangat aktif
bekerja.
Tingkat pendidikan responden yang terbesar pada tingkat pendidikan SMA baik pada model usahatani terpadu (50%) maupun monokultur (42%), namun terdapat sebagian kecil petani yang memiliki tingkat pendidikn diploma/sarjana pada model usahatani terpadu (10%) maupun monokultur (33%) seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3. Faktor pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani dalam mengelola usahataninya. Pendidikan membuat seseorang berpikir ilmiah sehingga mampu untuk membuat keputusan dari berbagai alternatif dalam mengelola usahataninya dan mengetahui kapan ia harus menjual hasil usahataninya sebanyak mungkin untuk memperoleh pendapatan. Menurut Mamboai, (2003), petani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam memahami dan menerapkan teknologi produktif sehingga produktivitasnya menjadi tinggi. Selain itu juga dengan pendidikan maka akan memberikan atau menambah kemampuan dari petani untuk dapat mengambil keputusan, mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Dalam hal ini adalah masalah-masalah yang terjadi dalam bidang pertanian seperti pengendalian hama penyakit, pengambilan keputusan dalam faktor produksi dan pemeliharaan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir petani maka wawasan dan pola pikir akan semakin tinggi dan terbuka, sehingga kemungkinan untuk terbuka terhadap hal-hal baru yang mereka temui terutama dalam merespon akan lebih baik jika dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki pendidikan tinggi. Hasyim (2006), menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang luas untuk petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan usahataninya.
Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor
yang dapat dikategorikan sebagai penunjang keberhasilan suatu usahatani. Dengan pengalaman berusahatani yang lama
berarti petani telah terbiasa dihadapkan oleh masalah dengan faktor resiko yang
tinggi.
Pengamalan berusahatani petani baik pada model
usahatani terpadu maupun monokultur didomiunasi pada kisaran waktu 1 – 10 tahun
yakni 33% dan 80%. Lama berusahatani
merupakan salah satu indikator yang secara tidak langsung
turut mendukung keberhasilan berusahatani yang dilakukan petani secara
keseluruhan. Megalina dan Nurrochmat (2009)
menyatakan bahwa, petani yang
memiliki pengalaman berusaha tani
yang lebih lama
akan cenderung lebih mampu
untuk merencanakan usaha tani
lebih baik karena sudah
lebih paham aspek
dalam berusaha tani. Sumantri et
al., (2004) menambahkan bahwa pengalaman
berusahatani akan membantu
para petani dalam
mengambil keputusan
berusahatani. Semakin lama
pengalaman yang dimiliki
oleh petani maka petani tersebut akan
cenderung memiliki tingkat keterampilan yang tinggi. Pengalaman berusahatani
yang dimiliki oleh
petani juga akan
mendukung keberhasilan dalam berusahatani.
Luas lahan pada model usahatani terpadu maupun
monokultur didominasi oleh kepemilikan lahan petani < 1 ha yaitu sekitar 80
– 83%. Luas lahan berpengaruh terhadap produksi
usahatani. Semakin luas lahan semakin besar peluang meningkatkan produksi yang
menentukan tingkat penerimaan dan modal
usaha. Meningkatnya modal
usahatani memberikan peluang bagi
petani untuk mengadopsi teknologi. Status kepemilikan lahan juga
berpengaruh terhadap adopsi
teknologi. Petani pemilik penggarap cenderung
berupaya menjalankan usahatani dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkan hasil yang tinggi dan cenderung menerima inovasi dibanding petani
penggarap (bagi hasil).
Petani responden yang memiliki jumlah tanggungan
keluarga < 4 baik pada model usahatani terpadu maupun monokultur
masing-masing yaitu 40% dan 30%, sedangkan jumlah tanggungan keluarga 4 – 8 orang
masing-masing yaitu 60% dan 70%. Jumlah tanggungan
keluarga adalah jumlah seluruh
anggota keluarga yang masih
sekolah dan tidak sekolah atau
tidak bekerja yang dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung
oleh kepala keluarga atau kepala rumah
tangga. Jumlah tanggungan keluarga
secara langsung mempengaruhi tingkat pendapatan perkapita keluarga. Menurut Apriansyah et al., (2016),
keluarga yang memiliki
jumlah anggota lebih banyak,
dipastikan memiliki
pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan keluarga
yang memiliki jumlah anggotanya yang sedikit.
Jumlah anggota keluarga yang
dimaksud adalah anggota keluarga
yang masih menjadi tanggungan
seorang kepala keluarga.
Unsur Modal Sosial
Modal sosial menjadi syarat yang harus dipenuhi bagi
pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik. Modal
sosial memiliki unsur pokok yang terdiri dari kepercayaan, norma
sosial, tindakan proaktif dan Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan. Hasbullah
(2006), menyatakan bahwa modal sosial lebih menekankan pada potensi
kelompok dan pola-pola
hubungan antar individu
dalam suatu kelompok dan antar
kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan
kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Inayah (2012), menambahkan bahwa modal sosial yang lemah akan meredupkan
semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran,
kriminalitas, dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk.
Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat
dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam
masyarakat. Oleh karena itu modal sosial
diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan,
mobilitas ide, saling kepercayaan dan saling menguntungkan untuk mencapai
kemajuan bersama.
Kelompok tani pada model usahatani terpadu dan
monokultur terdiri dari individu-individu yang tergabung untuk melakukan
kegiatan bersama dalam sebuah kelompok dalam sebuah hubungan sosial dengan
melakukan interaksi yang ditopang oleh kepercayaan, norma dan jaringan yang
memungkinkan efisiensi dan efektifitas koordinasi dan kerjasama untuk
keuntungan dan kemajuan bersama.
Pemberdayaan masyarakat tidak
selalu harus diberikan modal berupa dana bergulir maupun dana bantuan langsung
masyarakat lainnya. Tetapi yang paling
penting adalah bagaimana masyarakat
tersebut untuk dapat selalu berpartisipasi dalam segala kegiatan, saling percaya, menjunjung
norma dan nilai yang ada serta selalu aktif dalam melakukan program
pemberdayaan.
a.
Kepercayaan
Kepercayaan
adalah sikap saling mempercayai didalam kelompok maupun di masyarakat yang
memungkinkan masyarakat tersebut saling bersatu dengan yang lain dan memberikan
kontribusi pada peningkatan modal sosial.
Robert (2002) dalam Azhari (2013), menyatakan bahwa kepercayaan adalah
suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial
yang didasari oleh perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu
sesuai yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan
yang saling mendukung atau minimal orang lain tidak akan melakukan tindakan yang merugikan diri
dan kelompoknya .
Berbagai
tindakan kolektif yang di dasari atas rasa saling mempercayai yang tinggi akan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam berbagai
ragam bentuk dan dimensi
terutama dalam konteks membangun
kemajuan bersama. Modal sosial kelompok tani model usahatani terpadu dan
monokultur di Desa Sindu Agung berdasarkan kepercayaan terdiri
dari 5 indikator dengan 5 skala skala penilaian
(Tabel Lampiran 2).
Kepercayaan yang
dimiliki oleh kelompok tani
model usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu Agung masing-masing
memperoleh skor 4.08 dan 3.46 dengan kategori tinggi dan cukup tinggi.
Kepercayaan tersebut terdiri dari tingkatan individual, tingkatan relasi sosial,
tingkatan sistem sosial, tingkat
kepedulian sosial, dan sikap
saling membantu. Tingkatan individual
anggota kelompok Tani model usahatani terpadu dan monokultur
dalam kepercayaan di
Desa Sindu Agung masing-masing memperoleh skor 4.13 dan 4.00
(Tinggi). Tingkatan individual tersebut
berdasarkan kepercayaan terhadap anggota kelompok sepenuhnya, serta memiliki
tujuan yang sama,
dan percaya informasi yang
disampaikan anggota kelompok. Jones (2010)
menyatakan bahwa orang yang cenderung percaya terhadap sesama dari suatu
kelompok akan lebih bersedia untuk berpartisipasi dalam memecahkan masalah
lingkungan sekitar
Tingkatan relasi
sosial yang dimiliki anggota
kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu
masing-masing memperoleh skor 4.00 dan 3.60 dengan kategori
tinggi. Tingginya tingkat relasi
sosial yang dimiliki oleh sebagian anggota kelompok
tani berdasarkan kepercayaan
terhadap kelompok lain, dan kepercayaan terhadap
orang yang ikut serta
dalam kelompok.
Tingkatan sistem sosial
yang dimiliki oleh
anggota kelompok tani usahatani terpadu dan monokultur di Desa
Sindu masing-masing memperoleh skor 4.13
dan 3.50 dengan kategori tinggi, tingkatan sistem
sosial berdasarkan kepercayaan
terhadap kelompok lain dari luar desa,
mempercayai pelaksana
kegiatan dari kecamatan dan dari kabupaten.
Tingkat kepedulian
sosial yang dimiliki oleh anggota kelompok tani usahatani terpadu dan
monokultur di Desa Sindu masing-masing memperoleh skor 4.13 dan 3.10
dengan kategori tinggi dan cukup tinggi. Tingginya tingkat
kepedulian sosial
berdasarkan sikap dalam memberikan bantuan kepada anggota lain yang
tertimpa musibah,
meminjamkan uang kepada
anggota lain, serta kesiapan apabila kelompok menghadapi suatu
permasalahan. Kategori cukup tinggi menunjukkan belum semua anggota memiliki
tingkat kepedulain sosial.
Sikap saling
membantu yang dimiliki oleh
kelompok tani usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu masing-masing
memperoleh skor 4.00 dan 3.10 dengan kategori tinggi dan cukup tinggi. Tingginya sikap sebagian anggota untuk saling
membantu berdasarkan bertindak
cepat dalam memberikan bantuan, sedangkan kategori cukup tinggi itu berkaitan
dengan sering tidaknya memberikan bantuan, dan tulus atau tidaknya dalam
memberikan bantuan.
b.
Norma-norma
Sosial
Norma
sosial dapat dikatakan sebagai patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan
dalam situasi tertentu. Menurut Mawardi
(2007), norma merupakan sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi
dan diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu
entitas sosial tertentu.
Norma-norma ini biasanya
mengandung sanksi sosial yang dapat mencegah individu berbuat
sesuatu yang menyimpang dari
kebiasaan. Aturan kolektif tersebut
biasanya tidak tertulis tapi
dipahami oleh setiap anggota
masyarakat dan menentukan pola
tingkah laku yang diharapkan dalam
konteks hubungan sosial.
Norma-norma sosial
terdiri dari empat indikator,
yaitu norma formal, norma
non formal, nilai kompetisi, dan
nilai kejujuran (Tabel Lampiran
3). Norma formal
dalam kelompok tani usahatani terpadu dan monokultur di Desa
Sindu dicontohkan pada aturan
tertulis yang disepakati bersama dan
ada sanksi jika dilanggar oleh
tiap kelompok tani.
Norma non formal
dilihat dari kebiasaan individu
dalam bersikap. Nilai kompetisi dilihat dari ada atau tidaknya anggota
kelompok tani berkompetisi dengan
sesama anggota kelompok taninya ataupun
dengan antar-kelompok tani. Nilai
kejujuran dilihat dari kejujuran
anggota kelompok tani dalam
pelaksanaan kegiatan kelompok tani.
Kelompok tani model usahatani terpadu dan
monokultur memiliki aturan-aturan
yang berlaku dan telah disepakati bersama oleh seluruh
anggota kelompok dalam menjalankan
kelompok tani usahatani terpadu
dan monokultur yang mereka ikuti.
Aturan-aturan itu mengikat
seluruh anggota baik secara
langsung atau tidak langsung. Kesepakatan
yang telah dibuat harus
dilaksanakan oleh anggota kelompok
dan kesepakatan tersebut tidak
hanya ada diantara anggota kelompok
tani saja tetapi juga
diantara pihak-pihak yang berhubungan dengan
kelompok tani seperti penyuluh
pertanian yang bertugas di Desa
Sindu Agung, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur.
Norma formal
pada kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur di
Desa Sindu Agung masing-masing memperoleh
skor 2.38 dan 2.30 dengan
kategori rendah. Rendahnya
norma formal tersebut dikarenakan norma
formal berisi tentang aturan
tertulis yang telah
di sepakati bersama oleh
anggota kelompok cukup sering
di langgar dan tidak
terlalu diindahkan oleh sebagian anggota. Hal
tersebut dikarenakan
banyaknya anggota yang
sering melanggar dan tidak ada sanksi yang tegas dari
kelompok itu sendiri. Meskipun telah
ada sanksi yang diberikan namun
tidak dapat membuat jera
anggota yang melanggar karena
lebih banyak dimaafkan. Sehingga
sanksi yang ada tidak berfungsi untuk
mengatasi pelanggaran yang terjadi
di dalam kelompok.
Penilaian norma
non formal pada kelompok
tani model usahatani terpadu dan
monokultur di Desa Sindu Agung masing-masing memperoleh skor
2.75 dan 2.20 dengan kategori cukup
tinggi dan rendah. Rendah sampai cuklup tingginya norma non formal di
Desa Sindu Agung disebabkan
karena masih ada sebagian anggota yang belum menghiraukan norma non formal yang
merupakan adat dan kebiasaan berupa tata krama yang dimiliki oleh individu di
dalam kelompok. Sanksi pada
norma non formal tidak
tertulis namun jika dilanggar maka
yang melakukan pelanggaran akan
merasa malu atas pelanggaran yang
dia lakukan. Misalnya, berbuat
tidak jujur dalam menjalankan kegiatan kelompok tani yang
diikuti.
Nilai
kompetisi kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu
Agung masing-masing memperoleh skor 2.38 dan 2.30 dengan kategori
rendah. Hal ini dikarenakan kurangnya kompetisi di dalam
kelompok tani baik pada usahatani terpadu maupun monokultur di Desa Sindu
Agung, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur.
Nilai kejujuran kelompok tani model usahatani
terpadu dan monokultur di Desa Sindu Agung masing-masing memperoleh skor
3.63 dan 3.40 dengan kategori
cukup tinggi. Cukup tingginya nilai
kejujuran anggota kelompok
tani yang ada di Desa Sindu Agung di sebabkan oleh terdapat sebagian anggota kelompok
tani menjunjung tinggi kejujuran
dan bersikap jujur dalam
mengikuti kegiatan kelompok tani, namun masih ada pula sebagian kecil
yang belum jujur.
Norma menggambarkan
tata tertib atau
aturan permainan yang
dapat memberikan petunjuk tentang standar untuk bertingkah laku dan
menilai tingkah laku. Norma digunakan untuk menilai perilaku individu dan
kelompok. Apabila tingkah laku seseorang dipandang wajar dan sesuai dengan
norma yang berlaku dalam
kelompoknya maka interaksi
dalam kelompok tersebut
akan berlangsung dengan wajar sesuai dengan ketetapan bersama. Misalnya
dengan bersikap saling menghargai pendapat orang lain masyarakat dapat
menghindari konflik yang timbul akibat
perbedaan pendapat. Melalui
cara ini masyarakat
akan menciptakan rasa aman satu sama lain. Sejalan dengan Rachmawati et al., (2011),
yang menyatakan bahwa norma sosial dapat dikatakan sebagai patokan tingkah laku
yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi tertentu. Unsur norma merupakan
komponen sistem sosial yang dianggap paling kritis untuk memahami tindakan
manusia.
c.
Jaringan
Jaringan
sosial juga menggambarkan jaring-jaring hubungan antara sekumpulan orang yang
saling terkait baik langsung maupun tidak langsung. Jaringan
merupakan kemampuan sekelompok orang untuk terlibat dan
ikut serta dalam
suatu jaringan hubungan sosial,
melalui berbagai kegiatan. Jaringan
terdiri dari 5 indikator,
yaitu kesukarelaan,
kesamaan, keadaban, inisiatif,
dan informative (Tabel Lampiran 4).
Jaringan memiliki skor 3.95 dan 3.72 kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur
di Desa Sindu Agung masing-masing dengan kategori tinggi.
Partisipasi
anggota kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur dalam jaringan
untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosialnya sudah tinggi. Baik
itu dilihat dari prinsip dasar kesukarelaan, kesamaan, maupun keadaban.
Tingkat
kesukarelaan (skor 3.50) sebagian anggota yang bergabung dengan kelompok tani
karena letak lahan mereka yang sudah termasuk kawasan kelompok tani yang sudah
ditetapkan sehingga secara tidak langsung mereka memang harus bergabung dengan
kelompok tani yang telah ditetapkan tersebut.
Diikuti dengan kesamaan (skor 3.88 dan 3.80) dan keadaban (skor 4.13 dan
3.30) sebagian anggota masih rendah ditujukan dengan kurangnya antusias sebagian
anggota dalam mencapai tujuan kelompok serta kurangnya sikap saling menghargai
sesama sebagian anggota karena sikap saling menghargai ini hanya kepada
beberapa orang seperti ditunjukkan dengan teman dan keluarga saja.
Tingkat
inisiatif yang tinggi (masing-masing skor 4.13 dan 4.10) ditunjukkan oleh
sebagian anggota yang memiliki sikap langsung bertindak cepat dalam
menyelesaikan masalah sehingga banyak anggota yang aktif memberikan ide dan
saran dalam musyawarah. Demikian pula
tingkat informatif (skor 4.13 dan 3.90) sebagian anggota kelompok tani cukup
tinggi ditunjukkan dengan memiliki sikap saling berbagi informasi yang tinggi,
bagi sebagian anggota informasi sangatlah penting untuk kemajuan kelompok dan
anggota karena informasi tersebut sangat banyak manfaatnya bagi orang lain
maupun diri sendiri.
d.
Tindakan
Proaktif
Tindakan
proaktif anggota kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur di Desa
Sindu Agung termasuk tinggi dengan skor
3.78 dan 3.73. Salah satu unsur penting
dalam modal sosial keinginan kuat
dari anggota kelompok
untuk tidak saja
berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan
bagi keterlibatan masyarakat
dalam suatu kegiatan
masyarakat. Penilaian tindakan
proaktif anggota kelompok tani di Desa
Sindu Agung dapat dilihat pada Tabel Lampiran 5.
Keinginan
untuk menambah dan berbagi informasi anggota kelompok tani model usahatani
terpadu dan monokultur di Desa Sindu Agung
termasuk tinggi dengan masing-masing skor 4.13 dan 4.00. Sebagian anggota memiliki keinginan untuk
menambah pengalaman. Namun ada beberapa anggota yang kurang pro aktif, karena
merasa masih kurang dalam ilmu pengetahuan dan modal. Masyarakat
biasanya lebih senang
jika diajak untuk
menambah sebuah pengalaman baru,
seperti dalam hal
menambah pengetahuan dengan
mengikuti kegiatan
penyuluhan pertanian, berkomunikasi
dengan tamu asing,
dan berbagi pengalaman bertani.
Organisasi
sosial dan formal berkembang di Desa Sindu Agung. Organisasi sosial berupa
kerja bakti sosial. Organisasi bersifat
formal yaitu kelompok
tani dan perangkat
desa. Jumlah organisasi
yang diikuti oleh anggota kelompok tani usahatani terpadu
dan monokultur dengan masing-masing skor 3.88 dan 4.00 dengan kategori tinggi. Sebagian anggota kelompok tani tergabung dalam 1 – 2 organisasi, yaitu kerja
bakti dan kelompok tani. Sebagian anggota kelompok tani mengikuti
organisasi sosial dengan
frekuensi tinggi (skor 3.75 dan
3.60), artinya ada anggota kelompok tani yang tidak selalu mengikuti kegiatan
organisasi, dan bahkan tidak
mengikuti kegiatan organisasi
karena lebih banyak
beraktivitas di lahan usahatani sebagai petani. Namun
demikian, masyarakat yang tidak ikut serta dalam aktivitas tidak begitu saja lepas
tangan. Misalnya, masyarakat yang tidak ikut dalam kegiatan kerja bakti akan
secara sukarela menyediakan minuman dan makanan ringan untuk masyarakat yang
sedang melakukan kerja bakti.
Partisipasi
dalam pengambilan keputusan oleh kelompok tani usahatani terpadu dan monokultur
di Desa Sindu Agung cukup tinggi dengan
masing-masing skor 3.38 dan 3.30.
Sebagian anggota hanya
mengikuti saja sebuah
keputusan yang telah dibuat,
cenderung pasif dan
jarang ikut andil
dalam pengambilan keputusan.
Umumnya anggota kelompok yang
memiliki partisipasi tinggi
dalam pengambilan keputusan merupakan warga yang memiliki
wibawa dan kedudukan.
e.
Kepedulian terhadap sesama dan lingkungan
Kepedulian
terhadap sesama dan lingkungan anggota kelompok tani model usahatani terpadu dan
monokultur di Desa Sindu Agung termasuk
tinggi dan cukup tinggi dengan skor 3.98 dan 3.44. Penilaian kepedulian terhadap sesama dan
lingkungan di Desa Sindu Agung
dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6.
Tingkat
kepedulian sesama anggota kelompok tani model usahatani terpadu dan monokultur
di Desa Sindu Agung masing-masing
termasuk tinggi dan cukup tinggi dengan
skor 3.63 dan 3.10. Hal ini tercermin
dalam perhatian atau bantuan yang diberikan kepada sesama anggota saat ada anggota
yang mendapatkan musibah.
Kedekatan
untuk memberi bantuan kepada sesama anggota, sebagian anggota kelompok tani
model usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu Agung masing-masing termasuk tinggi dan cukup tinggi dengan skor 3.63 dan 3.10 ditunjukkan
dengan sebagian anggota bersedia secara sukarela untuk
membantu anggota lain hal
ini karena tingkat
kepedulian sosial anggota
kelompok tani terhadap sesama masih tinggi, sedangkan kategori cukup tinggi
karena terdapat anggota yang kurang peduli.
Kepedulian
tinggi terhadap lingkungan anggota kelompok tani model usahatani terpadu dan
monokultur di Desa Sindu Agung juga termasuk tinggi dengan skor 4.13 dan 3.70
untuk menjaga lingkungan, yang diwujudkan dalam kegiatan gotong royong dan
kerja bakti untuk membersihkan lingkungan sekitar.
Motivasi untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan bagi anggota kelompok
tani model usahatani terpadu dan monokultur di Desa Sindu Agung juga termasuk
tinggi dengan skor 4.50 dan 3.70. Motif
ekonomi masih menjadi motivasi sebagian anggota untuk menjaga
dan melestarikan lingkungan.
Dampak
Ekonomi
a.
Analisis
Penerimaan dan Pendapatan
Penerimaan
dan pendapatan petani yang melakukan usahatani terpadu dengan mengintegrasikan
beberapa usahatani seperti tanaman pangan (padi), tanaman hortikltura (tomat),
peternakan ayam petelur, serta pemeliharaan ikan mas dan ikan nila di sawah
(mina padi) serta ikan lele dan belut secara umum lebih tinggi rata-ratanya
dibandingkan petani yang berusahatani secara monokultur dengan satu jenis
usahatani saja. Penerimaan dan
pendapatan usahatani per tahun pada luasan per hektar untuk tanaman, populasi
1.000 ekor untuk ternak ayam dan luasan m2 untuk ikan pada model usahatani terpadu dan monokultur
dapat dilihat pada Tabel 5.
Penerimaan
dan pendapatan petani dengan model usahatani terpadu lebih tinggi dengan total penerimaan
setiap tahun dari semua kegiatan usahatani adalah Rp 633,378,000 dengan pendapatan
setiap tahun pada semua kegiatan usahatani adalah Rp 294,731,000 dibandingkan dengan
model usahatan monokultur dengan penerimaan berkisar antara Rp 19,900,000
sampai Rp 409,500,000 dan pendapatan berkisar antara Rp 8,075,500 sampai 126,166,667.
Penerimaan
usahatani adalah jumlah yang dihasilkan dari usahatani yang dilakukan. Penerimaan
usahatani terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai
(diperhitungkan). Penerimaan tunai merupakan hasil yang diterima secara tunai
karena adanya penjualan, sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan hasil yang
diterima oleh petani bukan dalam bentuk tunai, penerimaan tersebut diterima
oleh petani dalam bentuk manfaat yang diperoleh petani sendiri, walaupun tidak
dijadikan uang.
Penerimaan
tunai merupakan hasil yang diterima oleh petani model usahatani terpadu maupun
monokultur secara tunai karena adanya penjualan. Penjualan yang dilakukan oleh
petani model usahatani terpadu maupun monokultur adalah penjualan komoditi yang
diusahakan. Komoditi yang dijual oleh petani model usahatani terpadu adalah
beras, tomat, telur, Ikan Lele, Ikan Mas, Ikan Nila dan belut.
Penerimaan
yang diperoleh oleh petani model usahatani terpadu dalam menjalankan usaha
taninya selama satu tahun adalah sebesar Rp 633,378,000 sedangkan petani dengan
model usahatani monokultur adalah rata-rata sebesar Rp 193,010,733. Penerimaan selama setahun tersebut diperoleh
dari dua kali panen untuk tanaman pangan (padi), tiga kali panen untuk tanaman
hortikultura (tomat dan kangkung), 12 bulan pada usahatani ayam petelur dan
tiga kali panen pada usaha perikanan air tawar. Selain penerimaan tunai terdapat penerimaan
tidak tunai yang dihasilkan oleh petani model usahatani terpadu. Penerimaan tidak tunai adalah manfaat yang
diterima oleh petani namun tidak dalam bentuk tunai. Manfaat yang diperoleh
secara tidak tunai oleh petani model usahatani terpadu dalam menjalankan
usahanya digunakan oleh petani model usahatani terpadu untuk menunjang
produksinya. Penerimaan tidak tunai tersebut adalah penggunaan pupuk kandang
yang berasal dari limbah kotoran ternak dalam hal ini dari peternakan ayam
petelur, untuk pemupukan dasar dan bahan baku pembuatan kompos bersama dengan
jerami yang dihasilkan dari pertanaman padi.
Selain itu penerimaan tidak tunai yang diperoleh oleh petani model
usahatani terpadu dalam menjalankan usahanya adalah penggunaan kompos yang
dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak dan limbah usahatani padi yang
diakukan oleh petani model usahatani terpadu.
Pendapatan
usahatani merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam menjalankan
usahatani. Nilai pendapatan diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan
biaya usahatani. Indikator suatu usahatani dapat berhasil yaitu dapat dilihat
dari besarnya pendapatan yang diterima oleh petani model usahatani terpadu
maupun monokultur dan usahatani dapat dikatakan menguntungkan jika penerimaan
yang diterima lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Analisis
yang digunakan merupakan analisis pendapatan yang terdiri dari biaya produksi
dan penerimaan tunai untuk menghasilkan nilai pendapatan atas biaya produksi
dan pendapatan atas biaya total. Menurut
Tumoka (2013), pendapatan didalam
usahatani dibagi menjadi
dua, yaitu pendapatan
kotor dan pendapatan
bersih. Pendapatan kotor adalah
pendapatan yang belum dikurangi dengan biaya produksi atau yang
biasanya disebut dengan
penerimaan. Pendapatan bersih
adalah pendapatan yang sudah dikurangi oleh biaya produksi.
Pemanfaatan
pertanian terpadu pendapatan yang diterima cukup besar dari masing masing unit
usaha yang dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7. Dari sistem keterpaduan petani
bisa memperoleh pendapatan harian dari telur ayam, pendapatan per tiga bulan
dari sayuran tomat dan pembesaran lele, ikan mas, ikan nila dan belut serta
pendapatan diatas tiga bulan dari tanaman padi.
Sistem pertanian terpadu merupakan sistem pertanian yang mampu
memberikan nilai ekonomi yang menguntungkan dan tidak merusak lingkungan akibat
kegiatan pertanian yang dikembangkan.
Sistem
pertanian terpadu petani menyebabkan semakin sejahtera petani karena telah ada
peningkatan pendapatan. Jika harga beras atau sayuran turun petani masih punya
penghasilan lain yaitu dari ternak ayam petelur, ikan dan belut yang setiap
panennya dapat menghasilkan produksi dan pupuk kandang ayam. Menurut Devendra (1993) dan Behera at al.,
(2008) bahwa usaha tani dengan berbagai jenis antara pertanian, peternakan,
perikanan dapat memiliki output dari salah satu kegiatan menjadi input bagi
kegiatan lain sehingga produk akhir dapat menjadi bahan baku bagi usaha lainnya
atau produk intermedit dan dapat menghasilkan output yang sangat besar (nilai
ekonomi yang sangat baik).
b.
Analisis
Kelayakan usahatani (R/C Ratio)
Parameter
keberhasilan usahatani yang dilakukan, selain analisis penerimaan dan
pendapatan adalah analisis R/C rasio.
Parameter ini dinilai dari besarnya perbandingan penerimaan dan biaya
yang dikeluarkan dalam menjalankan usaha tersebut (Tabel 6).
Nilai
rasio R/C yang dimiliki oleh petani model usahatani terpadu atas biaya tunai
adalah 1,87. Sedangkan nilai rasio R/C
yang dimiliki petani model usahatani terpadu atas biaya tunai pada unit-unit
usahataninya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 7. Nilai rasio R/C yang dimiliki oleh petani
model usahatani monokultur berkisar 1,39 sampai 3,50. Nilai ini menunjukkan dari biaya tunai yang
dikeluarkan sebanyak satu rupiah dapat menghasilkan 1,87 rupiah pada model
usahatani terpadu serta biaya tunai yang dikeluarkan sebanyak satu rupiah dapat
menghasilkan 1,39 rupiah sampai 3,50 rupiah pada model usahatani
monokultur. Menurut Hernanto (2012), R/C
rasio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya yang
dikeluarkan dalam usahatani padi. Semakin tinggi nilai R/C, semakin
menguntungkan dan efisien usahatani tersebut.
Nilai
R/C rasio pada model usahatani monokultur lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata
R/C rasio pada model usahatani terpadu,
namun jika dilihat dari nilai R/C ratio dari setiap unit usahatani pada model usahatani terpadu (Tabel Lampiran 7), masing-masing
nilai R/C ratio pada masing-masing unit usahatani relative tinggi. Namun demikian, nilai R/C rasio pada semua
unit usahatani baik model usahatani terpadu maupun model usahatani monokultur
menunjukkan R/C rasio yang lebih besar dari 1.
Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan
menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
c.
Efisiensi
Tenaga Kerja atau Produktivitas Tenaga Kerja
Perhitungan
tingkat efisiensi tenaga kerja sering disebut produktifitas tenaga kerja pada
pada model usahatani terpadu dan monokultur di
Desa Sindu Agung ini yakni
membandingkan tingkat produktivitas
dengan jumlah tenaga kerja yang dicurahkan (Tabel 7).
Tingkat
efisiensi tenaga kerja atau produktivitas
tenaga kerja model usahatani terpadu pada unit usahatani
tanaman padi, tanaman hortikultura dan ikan lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat efisiensi tenaga kerja atau
produktivitas tenaga kerja pada model usahatani monokultur,
sedangkan tingkat efisiensi tenaga kerja
atau produktivitas tenaga
kerja masing-masing model usahatani
baik terpadu maupun monokultur pada unit usahatani ternak ayam petelur adalah
sama. Menurut Wahyuningsih dan Baparki
(2020), efisiensi tenaga kerja merupakan satuan
kerja untuk mengukur jumlah pekerjaan
produktif yang berhasil diselesaikan oleh
seorang untuk mencapai tujuan dengan
menggunakan sumber-sumber
seminimal mungkin. Sedangkan
satuan yang sering dipakai
dalam perhitungan kebutuhan tenaga kerja adalah man days atau HKO (hari kerja orang)
Jika tidak membedakan
tenaga kerja pria atau wanita dinyatakan dengan orang yaitu (HKO). Hernanto (2012) menambahkan bahwa salah satu
cara untuk mengukur
efisiensi adalah dengan
melihat produktivitas tenaga kerja.
Produktivitas tenaga kerja
adalah perbandingan antara pendapatan yang
diterima dengan besarnya
curahan tenaga kerja
yang dicurahkan petani. Produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan
menunjukkan penggunaan faktor produksi yang efisien bagi usahatani.
Indeks
produktivitas tenaga kerja pada model usahatani terpadu diperoleh nilai sebesar Rp 40.451/HKO sampai 1,073,888/HKO
yang berarti bahwa setiap penambahan satu satuan tenaga
kerja yang dicurahkan
akan menambah peningkatan penerimaan sebesar Rp 40.451 sampai Rp 1,073,888. Dengan asumsi penambahan faktor produksi
lainnya secara proporsional. Sedangkan indeks produktivitas tenaga kerja
pada model usahatani monokultur diperoleh
nilai sebesar 137,037/HKO sampai 15,933,193/HKO yang berarti bahwa
setiap penambahan satu satuan
tenaga kerja yang
dicurahkan akan menambah
peningkatan penerimaan sebesar Rp 137,037 sampai Rp 15,933,193/HKO. Nilai Indeks produktivitas tenaga kerja pada model
usahatani terpadu maupun monokultur menunjukkan
nilai yang cukup besar,
yang berarti nilai
tersebut secara ekonomis menunjukkan efisiensi tenaga kerja atau tenega
kerja ini termasuk produktif.
d.
Dampak Lingkungan
Kegiatan
usahatani baik model terpadu maupun monokultur berpotensi mengubah kualitas
lingkungan karena limbah yang dihasilkan dari usahatani tersebut jika tidak ditangani
dengan baik. Limbah yang dihasilkan dari
model usahatani terpadu dan monokultur serta penanganan atau pemanfaatan dari
limbah usahatani seperti yang disajikan pada Tabel 8.
Tanaman
padi menghasilkan limbah berupa jerami pada saat panen, dari hasil penelitian
Badan Litbang Pertanian diketahui dari satu hektar lahan sawah dihasilkan 5 – 8
ton jerami padi. Limbah padi berupa
jerami sekitar 80,8% dari tanaman padi tersebut. Limbah jerami tersebut pada model usahatani
terpadu dimanfaatkan dengan berbagai cara yakni dijadikan sebagai sumber bahan
organik tanah. Sebagai sumber bahan
organik tanah, pemberian jerami padi diberikan dalam bentuk brangkasan kering
setelah panen.
Jerami
padi merupakan sumber hara yang potensial dalam menambah unsur hara dan memperbaiki
sifat-sifat tanah. Ketersediaan jerami
padi di lahan sawah bervariasi antara 2 ± 8 ton/ha per musim tanam tergantung
varietas dan pengolahan yang dilakukan.
Peningkatan bahan organik tanah dari tanah yang terdegradasi akan
meningkatkan hasil tanaman budidaya melalui tiga mekanisme yaitu peningkatan
kapasitas air tersedia, peningkatan suplai unsur hara, dan peningkatan struktur
tanah tanah dan sifat fisik lainnya.
Menurut Setyanto (2008), pengembalian sisa panen (jerami) sebagai bahan
organik merupakan sumber karbon (C) serta energi yang diperlukan untuk
pertumbuhan populasi dan aktivitas jasad renik tanah. Namun sampai saat ini belum banyak petani
yang memanfaatkan sisa panen sebagai sumber bahan organik dilahan sawah tetapi
memilih membakarnya. Pembakaran bagian tanaman sisa panen ini tidak hanya akan
dapat menurunkan kandungan bahan organik tanah, tetapi juga menyebabkan
hilangnya unsur CO2, CO dan NO2 yang merugikan kesehatan
manusia dan ekosistem.
Pemanfaatan
jerami padi lainnya selain sebagai bahan organik adalah sebagai kompos. Pengomposan jerami ini dilakukan untuk
mempercepat proses penguraian jerami tersebut, komponen jerami
padi terutama selulosa, hemiselulosa,
lignin serta protein
dalam jumlah kecil yang
membuat nilai C/N
tinggi. Gaur (1981) dalam Sitepu et l., (2017), menyatakan nilai
C/N jerami padi
segar adalah 80-130, hal
ini menyebabkan proses
dekomposisi jerami padi memerlukan waktu yang lama.
Jerami
yang telah dikomposkan berfungsi sebagai pupuk organik. Jika diberikan kembali ke sawah sebelum tanam
dapat memperbaiki perkembangan perakaran
tanaman, sehingga akan terjadi perbaikan sifat kimia
dan menciptakan kondisi yang ideal bagi perkembangan akar
tanaman. Menurut Mandal et al.,
(2004), pupuk organik dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memperbaiki
sifat fisik, biologi, dan kimia tanah seperti meningkatkan KTK tanah sehingga
hara pupuk dapat terjerap atau dapat tersimpan.
Pemanfaatan
jerami padi selain sebagai bahan organik dan pupuk organik, juga digunakan
sebagai mulsa organik pada model usahatani terpadu. Mulsa organik dari jerami dapat diberikan
pada tanaman hortikultura yang menjadi unit usaha tani lainnya dalam model
usahatani terpadu. Pemberian mulsa
organik yang sesuai dapat merubah iklim mikro tanah sehingga dapat meningkatkan
kadar air tanah dan menekan pertumbuhan gulma. Penggunaan mulsa organik dapat
mempercepat produksi, meningkatkan hasil per satuan luas, efisien penggunaan
pupuk dan air, mengurangi erosi akibat hujan dan angin, mengurangi serangan
hama dan penyakit, menghambat pertumbuhan gulma dan mencegah pemadatan
tanah. Dwiyanti (2005) melaporkan bahwa
mulsa setebal 4 cm mampu menekan fluktuasi suhu tanah dan menjaga kelembapan
tanah sehingga dapat mengefisienkan jumlah pemberian air. Selanjutnya Herlina dan Sulistyono (1990)
dalam Dewantari et al., (2015), menyatakan bahwa mulsa jerami mampu menekan
evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan kehilangan
air dari permukaan tanah dan mengurangi adanya cekaman kekeringan.
Limbah
jerami pada model usahatani monokultur hanya dimanfaatkan sebagai sumber bahan
organik tanah saja yakni dalam bentuk brangkasan kering setelah panen.
Limbah
padi selain jerami adalah dedak, dedak
padi merupakan hasil
ikutan penggilingan padi
atau sisa penumbukan padi.
Dedak padi berasal
dari gabah. Menurut Rasyaf (2002), gabah jika
digiling akan menghasilkan beras
sebanyak 50-60%, sisanya
menir 1-17%, sekam
20-25%, dedak 10-15%
dan bekatul 3%.
Dedak
padi pada model usahatani terpadu dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas
(ayam petelur) dan ikan. Dedak padi
merupakan hasil sampingan dari
proses penggilingan padi, dapat digunakan
sebagai bahan penyusun
ransum unggas karena mempunyai kadungan
zat – zat pakan
cukup tinggi serta tidak bersaing dengan konsumsi manusia, realita dedak
padi telah banyak digunakan oleh
peternak sebagai bahan penyusun ransum
ayam. Penggunaan dedak padi bagi
pakan ternak terutama unggas
rata-rata berkisar 10-20 persen
porsinya. Hal ini
karena dedak padi mempunyai banyak
keunggulan dibandingkan
bahan baku lainya
diantara keunggulan dedak padi
halus adalah kandungan
energinya yang bisa mencapai
2.980 kcal/kg. Menurut Garsetiasih et al., (2003) dedak padi
mempunyai kandungan gizi yaitu
bahan kering 86,5%, abu
8,7%, protein kasar
10,8%, serat kasar
11,5%, lemak 5,1%, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
50,4%, kalsium 0,2% dan phosfor
2,5%.
Dedak
selain sebagai pakan ternak unggas, juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan
ikan. Penggunaan dedak padi sebagai
pakan ikan juga merupakan salah
satu upaya mengatasi
ketergantungan bahan baku
pakan impor dengan pemanfaatan bahan
baku lokal. Bahan
baku lokal yang
dimaksud memiliki nilai gizi
yang tinggi, tidak
beracun, harga relatif
murah, sangat melimpah dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia, diantaranya adalah dedak padi.
Dedak padi
sudah banyak digunakan sebagai
bahan pakan, namun
penggunaanya sangat terbatas. Lestari et al., (2013), melaporkan
hasil penelitiannya pada ikan nila bahwa penggunaan dedak
padi 10% dalam
formulasi pakan ikan
memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan
lainya.
Sekam
merupakan limbah padi yang dimanfaatkan dalam pada model usahatani terpadu
selain jerami dan dedak. Sekam padi
merupakan lapisan keras yang meliputi kariopsis, terdiri dari
belahan lemma dan palea yang
saling bertautan, umumnya ditemukan di areal penggilingan
padi. Menurut Sipahutar (2012), dari
proses penggilingan padi, biasanya diperoleh sekam 20 – 30% dari
bobot awal gabah.
Sekam memiliki kerapatan
jenis bulk density
125 kg/m3, dengan nilai kalori 1 kg sekam padi sebesar
3300 k.kalori dan ditinjau dari
komposisi kimiawi, sekam mengandung karbon (zat arang) 1,33%,
hydrogen 1,54%, oksigen 33,645, dan Silika (SiO2) 16,98%. Ismail dan
Waliuddin (1996) menambahkan bahwa sekam
padi terdiri atas 50% selulosa, 25-30% lignin, 15-20%
silika, dan kadar air 9,02%.
Sekam
padi dimanfaatkan sebagai bahan tambahan untuk pembuatan kompos pada model
usahatani terpadu. Kompos yang
dihasilkan selanjutnya diberikan pada lahan sawah dan untuk lahan yang akan
ditanami tanaman hortikultura. Menurut
Dewi et al., (2017), sekam padi memiliki
kandungan kadar air, protein,
lemak, serat, abu,
karbohidrat. Dilihat dari kandungan
kimia yang terdapat pada sekam padi,
sekam padi memiliki
potensi digunakan sebagai bahan
tambahan pembuatan kompos karena
sekam padi memiliki
unsur utama protein, lemak, serat
kasar, dan karbohidrat.
Limbah
usahatani yang digunakan selanjutnya selain limbah dari tanaman padi adalah
limbah tomat berupa buah tomat yang telah membusuk. Buah tanaman tomat sering berguguran di lahan
dan hanya dibuang begitu saja tanpa ada proses pengolahan. Akibatnya
banyak limbah tomat yang
tidak terpakai dan
hanya dibiarkan begitu saja.
Namun pada model usahatani terpadu Kelompok Tani Usaha Makmur
memanfaatkan buah tomat yang telah membusuk tersebut sebagai pupuk organik cair
atau digunakan sebagai mikroorganisme lokal (MOL).
Buah
tomat yang busuk merupakan bahn baku yang baik untuk pupuk organik cair karena
buah tomat memiliki kandungan air yang tinggi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Purwendro dan Nurhidayat (2006) bahwa
bahan baku pupuk cair yang sangat bagus
dari sampah organik
adalah bahan organik
basah atau bahan
organik yang mempunyai kandungan
air tinggi seperti sisa
buah-buahan atau sayur-sayuran. Selain mudah terdekomposisi, bahan ini
juga kaya akan
nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Semakin besar kandungan
selulosa dari bahan organik (C/N rasio)
maka proses penguraian
bakteri akan semakin lama.
Limbah
buah tomat busuk selain dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair, juga dapat
digunakan sebagai media bagi pengembangan mikroorganisme lokal (MOL). Tomat
yang telah busuk
menjadi media yang
baik bagi pertumbuhan bakteri pengurai. Limbah tomat merupakan
limbah organik yang dapat digunakan sebagai media biakan (inokulan) bagi
mikroorganisme lokal (MOL) tertentu yang mampu
mendegradasi bahan-bahan organik.
Menurut Pratiwi (2013), mikroorganisme
Lokal (MOL) merupakan salah
satu bioaktivator yang
dapat mempercepat dan
dapat meningkatkan mutu kompos.
Sofyan (2007) menambahkan bahwa MOL merupakan mikroorganisme lokal yang ditemukan diberbagai
macam jenis bahan organik yang membusuk dan biasanya dapat
dimanfaatkan untuk mempercepat proses
degradasi sampah organik dalam
pembuatan kompos. Dengan demikian limbah tomat sebagai media MOL diharapkan
dapat berperan sebagai
bioaktivator seperti misalnya
EM4. MOL dari limbah tomat dapat
dimanfaatkan sebagai bioaktivator pada
proses pengomposan, maka
akan dapat menghemat pengeluaran karena limbah tomat mudah diperoleh dengan
harga murah dan dapat diproduksi sendiri sebagai MOL.
Limbah
dari tanaman kangkung pada usahatani monokultur berupa sisa tanaman yang
tertinggal dimanfaatkan petani sebagai bahan organik dicampur dengan pupuk
kandang untuk dijadikan sebagai pupuk organik pada lahan budidaya. Umumnya bagian tanaman kangkung lunak karena
memiliki kadar air tinggi sehingga cepat terdekomposisi.
Limbah
usahatani lainnya yang dimanfaatkan baik pada usahatani terpadu maupun
monokultur adalah limbah dari peternakan ayam petelur berupa kotoran ayam. Pada usahatani terpadu selain dijadikan sebagai
pupuk organik, limbah peternakan ayam juga dijadikan sebagai bahan tambahan
pada pakan ikan, selain itu dapat meningkatkan pendapatan petani dengan menjual
kotoran ayam yang telah menjadi pupuk kandang.
Dampak negatif
yang ditimbulkan usaha
peternakan ayam terutama
berasal dari limbah kotoran
ayam. Limbah yang
dihasilkan dari usaha
peternakan ayam terutama berupa kotoran
ayam dan bau
yang kurang sedap.
Menurut Charles dan
Hariono, (1991), jumlah kotoran
ayam yang dikeluarkan setiap harinya banyak,
rata-rata per ekor
ayam 0,15 kg
. Sedangkan Fontenot et
al., (1983) melaporkan bahwa
rata rata produksi
buangan segar ternak
ayam petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan
kering sebanyak 26% yang dapat menimbulkan gas yang berbau.
Rata-
rata produksi buangan
segar ternak ayam
petelur per harinya adalah 60 kg
dari 1.000 ekor ayam petelur sesuai dengan hasil penelitian Fontenot et
al., (1983), yang berarti dihasilkan buangan segar
ternak ayam petelur
sebesar 1.800 kg setiap bulannya, sehingga berpeluang untuk dimanfaatkan.
Kotoran
ayam yang terdapat di pinggir-pinggir
kandang, dapat diolah
menjadi bahan baku
pembuatan kompos kotoran
ayam. Menurut Sudarmono (2003),
kandungan nutrisi pada feses ayam petelur yakni memiliki protein kasar sebesar
19,94%, serat kasar 8,47-14,90%, abu 3,0-3,5%, calium 13,2%, phosphor 1-3,2%,
garam 0,20%, TDN 90.
Kompos
kotoran ayam dicampur dengan limbah dari tanaman padi dimanfaatkan sebagai pupuk organik
dan juga dapat menanggulangi masalah
limbah peternakan ayam
baik pada usahatani terpadu maupun monokultur. Pada usahatani monokultur, kotoran ayam tersebut
dijual dalam bentuk pupuk kandang sehingga kotoran ayam tersebut dapat
meningkatkan pendapatan petani pada usahatani monokultur.
Kotoran
ayam pada model usahatani terpadu, selain dimanfaatkan sebagai pupuk organik
juga digunakan sebagai bahan bagi pakan ikan. Kotoran ayam mengandung nutrisi sehingga
masih dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan pada ikan. Selama ini, kotoran ayam hanya dimanfaatkan
sebatas pada bidang pertanian sebagai pupuk organik. Padahal, kotoran ternak
tersebut juga sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan alternatif ikan.
Kotoran
ayam akan memicu pertumbuhan mikro plankton, dimana mikro plankton adalah pakan
ikan alami yang bernilai gizi tinggi. Jika mikro plankton pada kolam tumbuh
dengan cepat dan jumlahnya berlimpah, secara alami kebutuhan pakan ikan
terpenuhi. Ketersediaan pakan alami
sangat penting pada budidaya ikan, karena perannya belum dapat tergantikan oleh
pakan buatan. Sebagian besar pakan alami adalah plankton, baik fitoplankton
maupun zooplankton.
Fitoplankton
sangat penting keberadaannya di kolam karena berfungsi sebagai pakan larva dan
penyangga kualitas air, bahkan beberapa jenis fitoplankton efektif menyerap
beberapa senyawa beracun bagi larva, dapat meningkatkan oksigen terlarut karena
aktivitas fotosintesa dan mengendalikan kandungan CO2 (Dhert dan
Sorgelos dalam Yurisman dan Sukendi, 2004).
Ikan
mas dan ikan nila dipelihara dengan sistem minapadi, sedangkan pembesaran ikan
lele dan belut berada pada tempat atau kolam tersendiri pada model usahatani terpadu. Sedangkan pada model usahatani monokultur,
ikan mas dipelihara secara tersendiri tanpa sistem minapadi, pembesaran ikan
lele juga berada pada tempat atau kolam tersendiri.
Limbah
yang dihasilkan dari unit usahatani perikanan (ikan mas, nila, lele dan belut)
berupa limbah budidaya ikan (air).
Limbah budidaya ikan
biasanya langsung dibuang, padahal air
bekas budidaya ikan masih mengandung bahan-bahan organik dan anorganik
yang tinggi. Bahan-bahan organik dan
anorganik yang tinggi
tersebut dapat dimanfaatkan
untuk menumbuhkan
mikroorganisme plankton yang
dapat dijadikan sumber
makanan bagi ikan.
Belum ada penanganan limbah budidaya ikan baik pada model usahatani
terpadu maupun monokultur. Makfirah et
al., (2018), melaporkan bahwa limbah
budidaya ikan mas
dapat dimanfaatkan sebagai
pakan alami ikan peres.
Kesimpulan
Dampak sosial diketahui
dari karakteristik petani dan modal sosial meliputi sebagian besar petani yang
terlibat dalam usahatani terpadu maupun monokultur berumur produktif,
berpendidikan tinggi, lama berusahatani 1 – 10 tahun, luas lahan kepemilikan
< 1 ha serta jumlah tanggungan keluarga 4 – 8 orang. Modal
sosial dari model usahatani
terpadu dan monokultur terdiri dari kepercayaan dan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan masing-masing
berkategori tinggi dan cukup tinggi, jaringan sosial dan tindakan proaktif
berkategori tinggi, norma sosial berkategori cukup tinggi.
Dampak ekonomi diketahui
dari penerimaan dan pendapatan petani usahatani terpadu yang lebih tinggi
dengan penerimaan per tahun Rp 633,378,000 dan pendapatan Rp 294,731,000
dibandingkan monokultur dengan penerimaan Rp 19,900,000 - 409,500,000 dan
pendapatan Rp 8,075,500 -
126,166,667. Nilai rasio R/C usahatani
terpadu 1,87, sedangkan monokultur yakni 1,39 sampai 3,50. Tingkat
efisiensi tenaga kerja pada
usahatani terpadu antara 0,0044 sampai 45,74 sedangkan pada monokultur antara
0,05 sampai 44,82. Indeks produktivitas
tenaga kerja usahatani terpadu sebesar Rp 40.451/HKO sampai 1,073,888/HKO
sedangkan usahatani monokultur 137,037/HKO sampai 15,933,193/HKO.
Dampak lingkungan dari
model usahatani terpadu maupun monokultur dapat dilihat dari limbah yang
dihasilkan. Limbah yang dihasilkan oleh
usahatani terpadu meliputi jerami, dedak, sekam, buah tomat busuk serta kotoran
ayam termanfaatkan. Sedangkan pada
usahatani monokulktur, hanya sebagian limbah seperti jerami, sisa pertanaman
kangkung serta kotoran ayam yang termanfaatkan.
BIBLIOGRAFI
Anggraeni,
A, Y., Karimy MF, Herdian H, Sakti AA, Damayanti E. 2015.
Penerapan Sistem Pertanian Terpadu Berbasis Kambing Peranakan Etawah di
Kabupaten Gunungkidul. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, 2015.
Apriansah,
A., E, Sayamar., R. Yulida. 2016. Peran Modal Sosial Terhadap Keberdayaan
Petani Karet Di Desa Kuntu Kecamatan Kampar Kiri Kabupaten Kampar. Jom Faperta UR Vol 3 No. 2 Oktober 2016. Hal 1 -15.
Arimbawa,
I, W, P. 2015. Bahan Ajar Mata Kuliah
Pertanian Terpadu. Jurusan
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar.
Azhari Y,
2013. Modal Sosial
Masyarakat dalam Mengembangkan
Ekowisata Bahari di Pulau
Pramuka DKI Jakarta
[skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Bagas,A;
Tarmisi; Uthruva,T. 2015. Sistem
Pertanian Terpadu.
wwwacademia.edu/8621874/Sistem pertanian terpadu diakses pada tanggal 05
November 2020.
Berliana.Y.S.,& Mahra.A.H
2018. Tudi Komparasi Pendapatan Petani Lokal
Dengan Petani Modern Padi
Sawah Di Desa Mekarjaya, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten
Purwakarta . Jurnal Ilmiah Mahasiswa Agroinfo
Galuh Volume 4 Nomor 3, Mei 2018, 920-926.
Burt
RS. 1992. Excerpt from The Sosial Structure of Competition, in
Structure Holes: The
Social Structure of Competition.
Cambridge, MA and London:
Harvard University. In
Elinor Ostrom and T.K.
Ahn. 2003. foundation of social capital. Massachusetts: Edward
Elgar Publishing Limited.
Charles,
R-T dan B. Hariyono, 1991, Pencernaran Lingkungan oleh Limbah Peternakan dan
Pengelolaannya. Bull, FKG-UGM,
X(2):71-75.
Cohen S, and Prusak
L. 2001. in good company: how
social capital makes organization
Work. London: Harvard Business Pres.
Devendra.
1993. Development of Sustainable Animal Production in Integrated Small Farm
Systems in Asia. Di dalam Sustainable Agriculture Developmentin Asia. Report on
APO study meeting 23rd February-5th March 1993. Tokyo: APO (Asian Productivity
Organization). hlm 124-125
Dewi,
N, M, E, Y., Y, Setiyo., I, M, Nada.
2017. Pengaruh Bahan Tambahan
pada Kualitas Kompos Kotoran Sapi.
Jurnal Beta (Biosistem dan Teknik Pertanian) Volume 5, Nomor 1, Maret,
2017.
Dokhi, M.,
Theodora Hadumaon Siagian, Sukim,
Wulansari, I. Y., Hadi,
D. W., &
Sambodo, N. 2016. Analisis
Kearifan Lokal Ditinjau dari
Keragaman Budaya. Pusat Data Dan Statistik Pendidikan Dan Kebudayaan
(PDSPK), 1–67 http://publikasi.data.kemdikbud.go.id.
Dwiyanti.
2005. Respon Pengaturan Ketebalan Mulsa Jerami Padi dan Jumlah Pemberian Air
pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau. Jurnal Agrivita. 25 (1) :
22-30.
Fachrista,
I.A., R. Hendayana, dan Risfaheri. 2013.
Faktor Sosial Ekonomi Penentu Adopsi PTT Padi di Bangka Belitung.
Informatika Pertanian 22(2) : 113-120.
Fontenot,
J.P., W. Smith., and A.L. Sutton. 1983.
Altenative Utilization Of Animal Waste.
J. Anim, Sci, 57:221-223.
Garsetiasih, R.,
N.M. Heriyanto dan
J. Atmaja. 2003.
Pemanfaatan dedak padi sebagai
pakan tambahan rusa.
Buletin Plasma Nutfah
9(2): 23-27. Bogor.
Ginting,
G.S. 1991. Keterpaduan Ternak Ruminansia
dengan Perkebunan .Produksi dan Nilai Nutri.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BadanPenelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Grootaert
C. 1998. Social Capital: The Missing Link? Social Capital Iniatiative: Working
Paper 3. The World Bank.
Hamdani.
2008. Sistem Pertanian Terpadu untuk
Meningkatkan ProduktivitasLahan dan Kesejahtraan Petani. Makalah Workshop Teknologi untuk Masyarakat.
Hasbullah
J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta
(ID): MR United Press.
Hasyim,
H. 2006. Analisis Hubungan Karakteristik Petani Kopi Terhadap Pendapatan. Jurnal Komunikasi Penelitian. Volume 18 (1)
2006.
Hernanto,
F. 2012. Ilmu Usahatani. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya
Ismail,
M. S. dan Waliuddin, A. M. 1996. Effect of
Rice Husk Ash
on High Strength Concrete. Construction
and Building Materials. 10 (1):
521– 526.
Jones S. 2005. Community-based ecotourism:
the significance of
social capital. Annals of Tourism
Research, 32(2): 302–324.
Kadir,
M, J. 2020. Analisis Pendapatan Sistem Pertanian Terpadu
Integrasi Padi-Ternak Sapi di Kelurahan Tatae Kecamatan Duampanua Kabupaten
Pinrang. Jurnal Ilmu dan Industri
Peternakan (JiiP) Volume 6 Nomor 1: 42-56, Juni 2020.
Kariyasa,
K. 2005. Sistem Integrasi Tanaman Ternak
dalam Perspektif ReorientasiKebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan
Petani. Analisis KebijakanPangan. Vol.3.
No.1 Maret 2005. Pusat Penelitian dan
Pengembangan SosialEkonomi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian Jakarta.
_________.
dan Y.A Dewi. 2013. Analysis of Factors Affecting Adoption of Integrated Crop
Management Farmer Field School (ICM-FFS) In Swampy Areas. International Journal of Food and
Agricultural Economics. a1(2): 29-38
Kusnadi,
U. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan dalam
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) untuk Menunjang Swasembada Daging
Tahun 2010. OrasiPengukuhan
Profesor. Riset Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertaanian. Jakarta.
Lawang
RMZ. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik. FISIP UI Press : Depok
Lestari
SF,
Yuniarti S, Abidin
Z. 2013. Pengaruh
Formulasi Pakan Berbahan Baku
Tepung Ikan, Tepung
Jagung, Dedak Halus
dan Ampas Tahu Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila
(Oreochromis sp). Jurnal kelautan. 6(1): 36-46
Makhfirah,
H., C, N, Defira., I, Hasri. 2018. Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Mas
(Cyprinus carpio) Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Peres
(Osteochilus kappeni) dengan Padat Tebar yang Berbeda. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah
Volume 3, Nomor 2: 55-65. April 2018.
Mamboai,
H. 2003. Sistem Pengelolaan Usahatani
Komoditi Kopi (Coffea sp) di Kampung Ambaidiru Distrik Angkaisera Kabupaten
Yapen Waropen. Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian dan
Teknologi Pertanian. Universitas Papua.
Papua.
Mandal, K,G.,
Misra, A, K., Hati, K, M.,
Bandyopadhyay., Mohanty, P, M.
2004. Rice residue-management options and
effects on soil
properties and crop productivity. Food,
Agriculture & Environment,
2 (1): 224-231.
Manjunatha
SB, D Shivmurthy, SA Satyareddi, MV. Nagaraj and KN Basavesha. 2014. Integrated Farming
System – An
Holistic Approach: A
Review. Journal of Agriculture and Allied Sciences 3 (4) : 30-38.
Manuwoto,
S 2010.
Pendidikan tinggi pertanian dalam pembangunan bangsa. IPB Press. Bogor.
Manwan.
1989. Farming sistems research in Indonesia its evolution and future out
look. In
Sukmana et al. (eds). Development
in Procedures for
farming System Research Proceeding
of an international
Workshop. Agency for Agricultural Research and Development,
Indonesia.
Mardikanto, T. 2009. Penyuluhan
Pembangunan Pertanian. UNS Press. Surakarta.
Massinai,
R., Putu S., Muhjidin M., dan Dwijono H. Darwanto. 2013. Analisis Sistem
Usahatani Terpadu di Lahan Pasang Surut untuk Mendukung Pengembangan
Agroindustri Wilayah. Agritech33 (3) : 346-354.
Megalina,
P. I., dan Nurrochmat, D. R. 2009. Peran Hutan Rakyat Dalam Perekonomian
Masyarakat Desa (Studi Kasus di Desa Wangunjaya Kecamatan Cugenang Kabupaten
Cianjur Propinsi Jawa Barat), IPB University Scientific Repository.
Nababan,
A. 1995, Kearifan Tradisional.dan
Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Analisis. CSIS, .tahun., XXIV, No.
,6, November-Desember 1995., hal. 421-435.
Nurhidayah.
2018.
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Berbasis Pertanian Terpadu di Joglo Tani. Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, Vol. 2, no.
1: 135-156
Nurhidayati, I
Pujiwati, A Solichah,
Djuharu, dan A
Basit. 2008. Pertanian Organik Suatu Kajian Sistem Pertanian
Terpadu Berkelanjutan. Progr Studi Agroteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang. Malang.
Pratiwi,
I. 2013. Analisis
Kualitas Kompos Limbah
Persawahan Dengan MOL Sebagai Dekomposer.
E-Jurnal Agroteknologi Tropika, 2(4): 195-203.
Prayitno,
G., B. Maulida., A. Tjahja, N. 2019.
Modal Sosial, Ketahanan Pangan dan Pertanian Berkelanjutan Desa
Ngadireso, Indonesia. Region, Vol. 14,
No.2, Januari 2019: 229-243
Preston, T.R. 2000.
Livestock Production from
Local Resources in an
Integrated Farming System; a Sustainable Alternative for the Benefit of Small
Scale Farmers and
the Environment. Workshop-seminar "Making better use of local feed resources" SAREC-UAF, January , 2000.
Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian, 2020. Statistik
Ketenagakerjaan Sektor Pertanian Tahun 2019 - Februari 2020. Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian Sekretariat
Jenderal - Kementerian Pertanian.
Jakarta.
Rachmawati,
E., Muntasib, EKSH., Sunkar, A. 2011. Sistem Sosial Pengembangan Wisata Alam Di
Kawasan Gunung Salak Endah.
Forum Pascasarjana. 34(1):23–32
Rasyaf,
M. 2002. Pakan Ayam Broiler. Cetakan I. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Riduwan.
2007. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung (ID): PT Penerbit
Alfabeta.
Rima Putri
Dewantari, R, P., N, E, Suminarti., dan S, Y, Tyasmoro. 2015.
Pengaruh Mulsa Jerami Padi dan Frekuensi Waktu Penyiangan Gulma Pada
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merril). Jurnal Produksi Tanaman, Volume 3, Nomor 6,
September 2015, hlm. 487 – 495.
Salikin, K.A, 2003. Sistem Pertanian
Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta
Setyanto,
P. 2008. Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian. Balingtan, Badan Litban Pertanian, Departemen
Pertanian RI.
Singarimbun,
M dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES
Sitepu,
R, B., I, Anas., dan S. Djuniwati.
2017. Pemanfaatan Jerami Sebagai
Pupuk Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Padi (Oryza
sativa). Buletin Tanah dan Lahan, 1 (1)
Januari 2017: 100-108
Sofyan. 2007.
Sukses Membuat Kompos dari Sampah.
Agromedia Pustaka. Jakarta. 54 p.
Sudarmono. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur.
Kanisius. Yogyakarta
Sugiyono.
2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung (ID): Alfabeta.
________.
2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta.
Sumantri.,
Bambang., Basuki., S. Priyono., Mery., Isronita. 2004. Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Lada
(Piper nigrum, L) di Desa Kunduran, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahat,
Sumatera Selatan. JIPI, 6 (1). pp. 32-42
Supangkat,
G. 2009.
Sistem Usaha Tani Terpadu, Keunggulan dan Pengembangannya. Workshop Pengembangan Sistem Pertanian
Terpadu. Dinas Pertanian Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, tanggal 14 Desember 2009.
Suryono.,
W. S. Dewi., Sumarno. 2014. Pemanfaatan Limbah Peternakan Dalam Konsep
Pertanian Terpadu Guna Mewujudkan Pertanian yang Berkelanjutan. Caraka Tani – Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Volume XXIX No. 2 Oktober 2014
Suyitman.
2012. Status Keberlanjutan Wilayah Berbasis Peternakan Sapi Potong Terpadu di
Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Jurnal Peternakan Indonesia 14 (1)
ISSN 1907-1760.
Triwulaningrum,
W. 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Fosfor terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris. L). J. Ilmiah
Pertanian. 23 (4) : 154 ± 162.
Tumoka,
N. 2013. Analisis
pendapatan usahatani tomat
di Kecamatan Kawangkoan Barat
Kabupaten Minahasa. Jurnal Emba. 1 (3): 345-354
Wahyuningsih,
Y, M., dan Baparki. 2020. Analisis efisiensi tenaga kerja usahatani
padi (Oryza sativa L) pada lahan kering dengan cara tanam jajar legowo di desa
sungai lurus. ZIRAA’AH, Volume 45 Nomor
3, Oktober 2020 Halaman 354-359.
Wicaksono,
K, S., M, Baskara, B., L, Q, Aini., Suhartini., K, Hairiah. 2011.
Penuntun Praktikum. Pertanian
Berlanjut. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya.
Yurisman
dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kultur Pakan Alami. UNRI Press. Pekanbaru. 140
hal.
Zamroni,
M. I. 2010. perubahan sosial-budaya
petani organik di Yogyakarta. Jurnal
Masyarakat & Budaya, Volume 12 No. 1 Tahun 2010
Copyright
holder: Maria,
Hazairin Zubair, Syatrianty A. Syaiful (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |