Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
10, Oktober 2022
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA MENINGITIS BAKTERIAL PADA ANAK
Cindy Adityoputri
Fakultas Kedokteran, Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Meningitis bakterial merupakan infeksi pada meningen, yang mematikan dan membutuhkan penanganan medis segera. Manifestasi klinis meningitis pada bayi dan anak-anak dapat bersifat tidak spesifik berupa demam, hipotermia, lesu, irritability, nafsu
makan yang buruk, muntah, diare, gangguan pernapasan, kejang, sakit kepala,
dan fotofobia. Pungsi lumbal harus segera dilakukan jika curiga meningitis bakterial dan tidak ada kontraindikasi. Pemahaman karakter pasien dibutuhkan untuk pemberian antibiotik yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gejala yang terjadi dalam meningitis pada anak. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa meningitis menunjukkan
keterlibatan primer dari
meninges. Manifestasi klinis
meningitis pada bayi dan anak-anak
dapat bersifat tidak spesifik. Pada bayi, gejala klinis
yang sering ditemukan adalah demam, hipotermia,
lesu, irritability,
nafsu makan yang buruk, muntah, diare, gangguan pernapasan, kejang, atau fontanel yang menggembung.
Kata Kunci: meningitis bakterial, diagnosis, tatalaksana, anak
Abstract
Bacterial
meningitis is an infection of the meninges, which is deadly and requires
immediate medical attention. The clinical manifestations of meningitis in
infants and children may not be specific, such as fever, hypothermia, lethargy,
irritability, poor appetite, vomiting, diarrhea,
respiratory distress, convulsions, headache, and photophobia. Lumbar puncture
should be performed immediately if bacterial meningitis is suspected and when
there is no contraindication. Understanding the patient's character is needed
for appropriate antibiotic administration. This study aims to
find out the symptoms that occur in meningitis in children. The results of this
study stated that meningitis shows the primary involvement of the meninges.
Clinical manifestations of meningitis in infants and children can be of an
unspecified nature. In infants, clinical symptoms that are often found are
fever, hypothermia, lethargy, irritability, poor appetite, vomiting, diarrhea, respiratory distress, seizures, or bulging
fontanelles.
Keywords: bacterial
meningitis, diagnosis, treatment, children
Pendahuluan
Meningitis bakterial atau meningitis piogenik adalah infeksi pada meningen, selaput yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang. Meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit yang mematikan dan membutuhkan perhatian medis segera. Kejadian dan tingkat fatalitas kasus bervariasi berdasarkan wilayah, negara, patogen, dan kelompok umur. Berdasarkan World Health Organization (WHO), meningitis bakterial merupakan salah satu penyakit yang berkontribusi pada kematian anak, dimana insiden meningitis bakterial lebih tinggi terjadi pada anak-anak, terutama yang berusia < 2 tahun (WHO, Alam et al., 2016). Berdasarkan pembagian regional dari WHO, Asia tenggara menduduki peringkat kedua untuk meningitis bakterial setelah Afrika (Robertson et al.,2018). Di Indonesia, kasus tersangka meningitis bakterialis sekitar 158/100.000 per tahun, dengan etiologi Haemophilus influenzae tipe b (Hib) 16/100.000 dan bakteri lain 67/100.000, angka yang tinggi apabila dibandingkan dengan negara maju (Alam et al., 2016). Tanpa pengobatan, angka fatalitas kasus bisa setinggi 70%, dan dapat menyebabkan komplikasi jangka panjang seperti epilepsi, hidrosefalus, defisit kognitif, dan kematian (Giovane et al., 2018). Tingginya tingkat fatalitas kasus dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat (SSP) menunjukkan pentingnya petugas kesehatan dalam mengenali dan memberikan tatalaksana yang cepat.
Hasil dan Pembahasan
Etiologi
Mikroorganisme yang menyebabkan meningitis bakterial bervariasi berdasarkan kelompok usia (Tabel 1)(Kim et al., 2018).
Pengenalan vaksin terhadap Hib, Neisseria meningitidis
dan Streptococcus pneumoniae
selama tiga dekade terakhir telah menyebabkan penurunan drastis dalam tingkat
kejadian meningitis bakterial di luar periode
neonatal di negara dengan vaksin termasuk sebagai bagian dari rutinitas program
imunisasi bayi dan anak (Zainel et al., 2021).
Tabel
1. Patogen Tersering Pada
Meningitis Bakterialis Berdasarkan
Usia, Status Imunisasi, Dan
Faktor Risiko
Usia, Status Imunisasi, Faktor Risiko |
Patogen tersering |
< 1 bulan |
Streptococcus Grup B, E. coli,
L.monocytogenes (patogen neonatal) |
1-3 bulan, belum imunisasi |
Patogen neonatal, S.pneumoniae,
N.meningitidis, H.influenzae |
3-6 bulan -
belum imunisasi -
Setidaknya 2
dosis vaksin Haemophilus influenzae B
dan Oral Polio Vaccine |
S.pneumoniae, N.meningitidis,
H.influenzae S.pneumoniae, N.meningitidis |
7 bulan - 5 tahun |
S.pneumoniae, N.meningitidis, H.influenzae |
6-21 tahun |
S.pneumoniae, N.meningitidis |
Kebocoran
liquor cerebrospinal (LCS), implan
koklear, sindroma nefrotik |
S.pneumoniae |
Defisiensi komplemen |
S.pneumoniae, N.meningitidis |
Asplenic, sickle cell disease |
S.pneumoniae, N.meningitidis,
H.influenzae |
Sumber: Feigin and
Cherry Textbook of Pediatric Infectious Disease
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis meningitis bakterial pada bayi dan anak-anak dapat bersifat tidak spesifik. Pada anak usia kurang dari 3 bulan, gejala klinis yang ditemukan adalah hipertermia atau hipotermia, perubahan kebiasaan tidur atau makan, irritability atau lesu, muntah, tangisan bernada tinggi, atau kejang. Anak dengan usia lebih dari 3 bulan menunjukkan gejala demam, muntah, irritability, lesu, atau perubahan perilaku. Setelah usia 2-3 tahun, anak dapat mengeluh sakit kepala, leher kaku, dan fotofobia (Emedicine Medscape, 2022). Tanda-tanda iritasi meningeal positif pada 75% anak-anak dengan meningitis bakterial pada saat presentasi (Prober et al, 2015; Kenneth et al, 2017). Tidak adanya tanda iritasi meningeal dengan meningitis bakterial dapat terjadi dan lebih umum pada mereka yang lebih muda dari 12 bulan (Thomas et al, 2016; Prober et al, 2015; Kenneth et al, 2017).
Anak dengan meningitis dapat memiliki tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, dengan manifestasi klinis seperti sakit kepala atau fontanel yang menggembung. Papilledema jarang terjadi pada meningitis bakterial, dan jika ada, venous sinus occlusion, subdural empyema, atau abses otak harus dicari karena meningitis bakterial berkembang dengan cepat sehingga papilledema tidak mempunyai waktu untuk terbentuk (Thomas et al, 2016; Kim et al, 2018). Faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan tekanan intrakranial pada meningitis bakteri adalah perkembangan edema serebri. Edema vasogenik terjadi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas sawar darah otak. Edema interstitial dapat terjadi sekunder akibat penurunan penyerapan LCS di vili arachnoid dan hidrosefalus obstruktif. Edema otak sitotoksik yang dimediasi oleh pelepasan faktor-faktor toksik dari neutrofil, sel glial, dan bakteri menyebabkan peningkatan konsentrasi air dan natrium intraseluler dan hilangnya kalium intraseluler. Dalam banyak kasus, meningitis dikaitkan dengan pelepasan ADH, menyebabkan retensi air dan pembuangan natrium relatif oleh ginjal. Jika pasien diberikan air berlebihan selama terapi, peningkatan tekanan intrakranial lebih lanjut dapat terjadi. (Kim et al, 2018)
Keterlibatan saraf kranial dapat terjadi dengan meningitis bakterial, dan meskipun sering bersifat sementara, namun bisa permanen. Saraf pendengaran paling sering dipengaruhi, menyebabkan tuli atau gangguan fungsi vestibular. Kebutaan telah dilaporkan tetapi jarang terjadi. Anak-anak juga mungkin mengalami kelumpuhan saraf ekstraokular atau wajah (Thomas et al, 2016; Kim et al, 2018).
Sebanyak 15% anak-anak yang menderita meningitis bakterial adalah komatosa atau semikomatosa pada saat dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi lebih sering dengan S. pneumoniae atau N. meningitidis daripada dengan Hib. Kejang terjadi sebelum atau dalam 1 hingga 2 hari setelah masuk pada sekitar 30% anak-anak. Tanda-tanda neurologis fokal, yang terdapat pada sekitar 16% anak-anak. (Thomas et al, 2016)
Efusi subdural terjadi pada sekitar 50% anak-anak yang menderita meningitis bakterial, tetapi jarang bermakna secara klinis. Oleh karena itu, kecuali tanda-tanda neurologis fokal atau tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial terjadi, keberadaan efusi tidak perlu dicari melalui subdural taps atau pemindaian computed tomographic (CT). Infeksi efusi subdural sangat jaran. (Thomas et al, 2016)
Arthralgia dan mialgia sering terjadi pada anak-anak yang memiliki meningitis, terutama mereka yang memiliki meningococcemia. Vaskulitis dapat dilihat pada anak-anak yang memiliki semua jenis meningitis bakteri, tetapi petekie dan purpura lebih sering dikaitkan dengan penyakit meningokokus. Anak-anak yang memiliki ruam harus dipertimbangkan dalam bahaya yang akan segera terjadi akibat syok septik dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya (Thomas et al, 2016). Remaja dengan meningitis dapat datang dengan kelainan perilaku yang mungkin dikacaukan dengan penyalahgunaan obat atau gangguan kejiwaan. (Kim et al, 2018)
Diagnosis
Ketika meningitis dicurigai pada anak yang tidak memiliki papilledema, pungsi lumbal harus dilakukan, tekanan pembukaan diukur, dan LCS segera diperiksa. Situasi klinis harus memengaruhi jumlah data yang diperlukan sebelum keputusan terapeutik dibuat. Jika LCS dari anak yang tampak sakit dan demam adalah keruh atau purulen, maka terapi antimikroba harus dimulai sebagai pengobatan untuk meningitis bakteri sebelum hasil laboratorium lebih lanjut tersedia. Jika jumlah sel darah nukleasi LCS tidak di atas 6/μL, maka satu-satunya tes lain yang mungkin berguna dalam mendiagnosis meningitis bakterial adalah pewarnaan Gram dan kultur namun, sebagian besar ahli menyarankan bahwa pewarnaan Gram, kultur bakteri, jumlah sel, jumlah sel diferensial, dan konsentrasi total protein dan glukosa LCS harus dilakukan pada LCS dari semua sampel yang diambil oleh pungsi lumbal. Jika memungkinkan, glukosa darah harus diukur sesaat sebelum pungsi lumbal dilakukan sehingga rasio LCS terhadap glukosa darah dapat ditentukan; mengukur kadar glukosa darah sebelum pungsi lumbal adalah yang terbaik karena tekanan prosedur sementara dapat meningkatkannya. Jika hanya sejumlah kecil LCS yang diperoleh, maka tes yang paling penting untuk dilakukan adalah pewarnaan Gram dan kultur bakteri (Thomas et al, 2016; Prober et al, 2015) Temuan karakteristik LCS tercantum pada Tabel 2.
Secara umum, pungsi lumbal harus dilakukan setiap kali diagnosis meningitis diketahui atau dicurigai. Terdapat beberapa kontraindikasi pungsi lumbal: (1) kompromi kardiorespirasi secara klinis, paling sering diamati pada neonatus; (2) tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan (misalnya, perubahan retina, perubahan respons pupil, tanda-tanda neurologis fokal selama pemeriksaan fisik, atau peningkatan tekanan darah dengan bradikardia dan hiperpnea) (3) infeksi pada kulit, jaringan lunak, atau area epidural di lokasi pungsi lumbal; (4) kecurigaan atau riwayat gangguan perdarahan (misalnya, hemofilia, trombositopenia berat); (5) riwayat penyakit SSP (LCS shunt, hidrosefalus, known space-occupying lesion). Dalam keadaan ini, kultur darah harus diperoleh, sebaiknya sejumlah 2-4 kultur (Miller et al, 2018). Antibiotik harus diberikan secara empiris tanpa melakukan pungsi lumbal (Tacon et al, 2012). Dalam kasus dugaan peningkatan tekanan intrakranial, pengaturan harus dibuat untuk studi neuroimaging (misalnya, CT scan kranial dengan dan tanpa peningkatan kontras) selama atau segera setelah pemberian antibiotik, dan jika studi pencitraan menunjukkan bahwa itu aman untuk dilanjutkan, maka pungsi lumbal mungkin terjadi (Thomas et al, 2016; Tacon et al, 2012). Namun, melakukan CT scan secara rutin sebelum pungsi lumbal tidak diperlukan pada anak-anak dengan dugaan meningitis, meskipun semua anak-anak dengan meningitis memiliki beberapa peningkatan tekanan intrakranial berdasarkan proses penyakit. (Thomas et al, 2016)
Pengukuran protein C-reaktif (CRP) telah diusulkan sebagai tes yang dapat membedakan meningitis bakterial dari meningitis virus. Dalam beberapa penelitian, tumpang tindih dalam penentuan CRP di antara kelompok pasien ini telah diamati, dan orang tidak dapat mengandalkan hasil CRP untuk membedakan meningitis bakterial dari meningitis virus dengan kepastian yang cukup. Namun serum CRP lebih unggul dari parameter LCS dalam membedakan bakteri Gram negatif dari meningitis virus. Peningkatan konsentrasi serum prokalsitonin polipeptida terbukti bermanfaat dalam membedakan antara meningitis bakterial dan virus. (Thomas et al, 2016)
Tabel 2. Karakteristik liquor cerebrospinal (LCS)
Kondisi |
Tekanan (mmH2O) |
Leukosit (mm3) |
Protein (mg/dL) |
Glukosa (mg/dL) |
Keterangan |
Normal |
50-80 |
<5, ≥75% limfosit |
20-45 |
>50 (atau 75% serum glukosa) |
|
Meningitis bakterial |
100-300 |
100-10.000 atau lebih; biasanya 300-2.000; dominan PMN |
100-500 |
Menurun, biasanya <40 (atau <50% serum glukosa) |
Bakteri biasanya terlihat dari pewarnaan Gram dan kultur |
Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics
20th edition
Tatalaksana
Pada meningitis bakterial terapi antimikroba, penatalaksanaan cairan, dan terapi tambahan antiinflamasi sangat penting. Meningitis bakterial akut selalu merupakan keadaan darurat medis, dan semua bayi dan anak-anak yang memiliki kondisi kesadaran yang berubah harus diamati dengan cermat dan kebutuhan akan perawatan intensif diantisipasi. (Thomas et al, 2016)
Seleksi antibiotik harus mencakup pertimbangan faktor-faktor seperti kemungkinan patogen, penetrasi antibiotik LCS, aktivitas obat dalam LCS purulen, cara pemberian obat, dan hubungan farmakodinamik intrinsik konsentrasi obat LCS dengan aktivitas bakterisida. Seleksi awal selalu harus dilakukan sebelum biakan definitif tersedia, dan regimen antimikroba empiris harus mencakup kemungkinan patogen berdasarkan usia pasien dan faktor risiko spesifik (Tabel 1) dengan modifikasi jika LCS Gram positif, serta didasarkan pada pola insiden dan kerentanan dalam komunitas local. (Kim et al, 2018)
Pengembangan sefalosporin generasi ketiga dan antibiotik lain yang memiliki aktivitas bakterisidal yang sangat baik terhadap H. influenzae tipe b, N. meningitidis, dan S. pneumoniae dalam LCS serta munculnya isolat pneumokokus yang resisten terhadap penisilin menyebabkan pendekatan saat ini untuk terapi awal meningitis masa kanak-kanak. Sefotaksim dan seftriakson termasuk dalam regimen pengobatan empiris pilihan di sebagian besar pusat. (Kim et al, 2018)
Tabel 3. Tatalaksana Antimikroba Berdasarkan Patogen
Patogen |
Antibiotik |
Rekomendasi dosis (IV) |
Enterobacter, Klebsiella, Escherichia
coli |
Sefotaksim Seftriakson Meropenem Ampisilin Gentamisin Amikasin |
200 mg/kg/hari dalam 4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis 120 mg/kg/hari dalam 3 dosis 300 mg/kg/hari dalam 6 dosis 7.5 mg/kg/ hari dalam 3 dosis 15 mg/kg/ hari dalam 3 dosis |
Haemophilus influenzae |
Sefotaksim Seftriakson Kloramfenikol Ampisilin |
200 mg/kg/hari dalam 4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis 100 mg/kg/hari dalam 4 dosis 300 mg/kg/hari dalam 6 dosis |
Listeria monocytogenes |
Ampisilin Gentamisin TMP-SMX |
300 mg/kg/hari dalam 6 dosis 7.5 mg/kg/hari dalam 3 dosis 20 mg/kg/hari dalam 4 dosis (komponen TMP) |
Neisseria meningitidis |
Penisilin G Sefotaksim Seftriakson |
300,000 U/kg/hari
dalam 6 dosis 200 mg/kg/hari dalam 4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis |
Staphylococcus aureus (penicillinase
negative) |
Penisilin G |
300,000 U/kg/hari
dalam 6 dosis |
S. aureus (penicillinase-positif) |
Oksasilin
atau Nafsilin |
200 mg/kg/ hari dalam 4 atau 6 dosis |
S. aureus (resistant to semisynthetic
penicillins) |
Vankomisin + Rifampin |
80 mg/kg/hari dalam 4 dosis 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis |
Staphylococcus (coagulase negatif) |
Vankomisin + Rifampin |
80 mg/kg/hari dalam 4 dosis 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis |
Streptococcus pneumoniae |
Sefotaksim Seftriakson Vankomisin Rifampin Penisilin G Kloramfenikol |
225–300 mg/kg/hari
dalam 3-4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis 60–80 mg/kg/hari
dalam 4 dosis 20 mg/kg/hari dalam 2 dosis 300,000 U/kg/hari
dalam 6 dosis 100 mg/kg/hari dalam 4 dosis |
Tidak diketahui
(<1 bulan) |
Ampisilin + Sefotaksim atau
Gentamisin |
300 mg/kg/hari dalam 6 dosis 200 mg/kg/hari dalam 4 dosis 7.5 mg/kg/hari dalam 3 dosis |
Tidak diketahui
(>1 bulan) |
Sefotaksim atau
Seftriakson + Vankomisin Oksasilin
atau Nafsilin (jika curiga infeksi staphylococcal) |
225–300 mg/kg/hari
dalam 4 dosis 100 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis 60–80 mg/kg/hari
dalam 4 dosis 200 mg/kg/hari dalam 6 dosis |
Sumber: Feigin and
Cherry Textbook of Pediatric Infectious Disease
Kortikosteroid telah disarankan sebagai tambahan terapi untuk meningitis bakterial (dosis 0,15 mg/kg per dosis intravena setiap 6 jam selama tidak lebih dari 4 hari) yang berguna untuk (1) menurunkan tekanan intrakranial dengan mengurangi peradangan meningeal dan kadar air otak; (2) memodulasi produksi sitokin, yang mengurangi respon inflamasi meningeal; dan (3) mengurangi insiden gangguan pendengaran sensorineural atau komplikasi neurologis lainnya dari meningitis (Kim et al, 2018). Komplikasi neurologis meliputi peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dengan herniasi, kejang, dan lingkar kepala yang membesar karena efusi subdural atau hidrosefalus. Tanda-tanda peningkatan TIK harus ditangani secara darurat dengan intubasi dan hiperventilasi endotrakeal (untuk mempertahankan pCO2 sekitar 25 mm Hg). Selain itu, furosemide intravena (1 mg/kg) dan manitol (0,5-1,0 g/kg) osmoterapi dapat mengurangi TIK. Apabila terdapat kejang, pemberian obat anti kejang dapat diberikan. (Prober et al, 2015)
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat dibuat kesimpulan bahwa meningitis menunjukkan keterlibatan primer dari meninges. Manifestasi klinis meningitis pada bayi dan anak-anak dapat bersifat tidak spesifik. Pada bayi, gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam, hipotermia, lesu, irritability, nafsu makan yang buruk, muntah, diare, gangguan pernapasan, kejang, atau fontanel yang menggembung. Pada anak-anak, gambaran klinis yang ditemukan adalah demam, sakit kepala, fotofobia, mual, muntah, kebingungan, kelesuan, atau irritability. Ketika mencurigai meningitis, pungsi lumbal harus dilakukan, tekanan pembukaan diukur, dan LCS segera diperiksa. Hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang mempengaruhi tatalaksana dari meningitis. Tatalaksana meningitis bakterial akan pemberian antimikroba.
Alam A. Kejadian
Meningitis Bakterial pada Anak usia
6-18 bulan yang Menderita Kejang Demam Pertama.
Sari Pediatri. 2016;13(4):293 Google Scholar.
Bacterial Meningitis [Internet]. 2022 [diunduh pada 24 September 2022]. Didapat
dari: https://www.cdc.gov/meningitis/bacterial.html Google
Scholar.
Giovane RA, Lavender PD. Central nervous system
infections. Prim Care. 2018;45:505–18 Google Scholar.
Kenneth F, Stephen AM, Donna M, dkk. Swaiman’s pediatric
neurology: principles and practice. Edisi keenam. Edinburgh ; New York:
Elsevier; 2017. h. 883-8 Google Scholar.
Kim KS. Bacterial meningitis beyond the
neonatal period. Dalam: James C, Gail J, Sheldon L, William J SM, Peter
J. Feigin and Cherry’s textbook of
pediatric infectious diseases. Edisi kedelapan. Philadelphia: Elsevier; 2018.h.309-36 Google Scholar.
Meningitis [Internet].
Who.int. 2022 [diunduh pada 24 September 2022]. Didapat dari:
https://www.who.int/health-topics/meningitis#tab=tab_1 Google Scholar.
Miller JM, Binnicker MJ, Campbell S, dkk. A guide to utilization of the microbiology laboratory
for diagnosis of infectious diseases: 2018 update by the Infectious Diseases
Society of America and the American Society for Microbiology. Clin Infect Dis
2018;67:e1–94 Google Scholar.
Pediatric Bacterial Meningitis Clinical
Presentation: History, Physical Examination, Complications [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2022 [diunduh dari 24 September 2022]. Didapat dari:
https://emedicine.medscape.com/article/961497-clinical Google Scholar.
Prober CG, Srinivas NS, Mathew R. Central
nervous system infections. Dalam: Robert
M, Bonita S, Joseph S, Nina F, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatrics. Edisi keduapuluh.
Philadelphia: Elsevier; 2015. h.2936-48 Google Scholar.
Robertson FC, Lepard
JR, Mekary RA, dkk.
Epidemiology of central nervous system infectious diseases: a meta-analysis and
systematic review with implications for neurosurgeons worldwide. J Neurosurg. 2018;1–20 Google Scholar.
Tacon CL, Flower O. Diagnosis
and management of bacterial meningitis in the paediatric
population: a review. Emerg Med Int (serial online).
(diunduh pada 28 Juli 2022);2012. Didapat dari: URL:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3461291/
Google Scholar.
Thomas K, Henry M, Deborah E, dkk. American academy of pediatrics textbook of pediatric
care. Edisi kedua. American
Academy of Pediatrics; 2016. h.2295-308, 3030 Google Scholar.
WHO | Meningitis (serial online). WHO. (diunduh pada 28 Juli 2022). Didapat dari: URL:
http://www.who.int/emergencies/diseases/meningitis/en/ Google Scholar.
Zainel A, Mitchell H, Sadarangani M. Bacterial Meningitis in Children:
Neurological Complications, Associated Risk Factors, and Prevention.
Microorganisms. 2021;9(3):535 Google Scholar.
Copyright
holder: Cindy
Adityoputri (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |