Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

ANALISIS LOGO ANARKIS MELALUI PENDEKATAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

 

Eliana Frisca

Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Anarkis secara umum dikenal sebagai istilah yang menunjukkan orang atau ekspresi desktruktif, chaos, dan huru-hara. Namun sebenarnya, anarkis sebagai ideologi, anarkisme, merupakan sebuah teori politik atau ideologi yang bertujuan menciptakan suatu masyarakat tanpa lembaga yang menguasai mereka. Anarkisme lahir sebagai alternatif dalam melawan penindasan kelas penguasa kepada yang dikuasai. Logo anarkis dengan logo “A” dengan lingkaran hitam melekat menjadi lambang dari ideologi ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna logo anarkis melalui pendekatan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan objek penelitian adalah logo anarkis. Analisis yang digunakan dalam mengungkapkan makna logo anarkis menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Analisis melalui pendekatan semiotika Roland Barthes membagi dua tataran makna yakni pertama denotatif dan kedua konotatif serta mitos. Hasil penelitian menunjukkan bahwa logo anarkis menunjukkan makna denotatif yang mengungkapkan informasi fundamental dari logo tersebut kepada masyarakat luas. Pada pemaknaan konotatif logo anarkisme menunjukkan makna tentang perlawanan, kekerasan, huru-hara, dan kerusuhan. Terakhir, pada tataran mitos logo anarkis memunculkan mitos akan pemberontakan, teror, aktivitas subversif, serta barbarisme.

 

Kata kunci: anarkis; logo; semiotika

 

Abstract

Anarchy is generally known as a term that denotes destructive people or expressions, chaos, and riots. But actually, anarchism as an ideology, anarchism, is a political theory or ideology that aims to create a society without institutions that govern them. Anarchism was born as an alternative against the oppression of the ruling class to the ruled. The anarchist logo with the “A” logo with a black circle attached is a symbol of this ideology. The purpose of this study was to determine the meaning of the anarchist logo through a semiotic approach. The research method used is descriptive qualitative with the object of research is the anarchist logo. The analysis used in revealing the meaning of the anarchist logo uses Roland Barthes' semiotic analysis. Analysis through Roland Barthes' semiotic approach divides two levels of meaning, the first is denotative and the second is connotative and myth. The results of the study show that the anarchist logo shows a denotative meaning that reveals the fundamental information of the logo to the wider community. In the connotative meaning of the anarchism logo, it shows the meaning of resistance, violence, riots, and riots. Finally, at the mythical level, the anarchist logo raises myths about rebellion, terror, subversive activities, and barbarism.

 

Keywords: anarchy; logo; semiotics

 

Pendahuluan

Anarkis secara umum dikenal sebagai suatu paham atau gerakan yang anti-ketertiban dan cenderung merusak. Anarkis atau anarkisme sebenarnya tidaklah sepenuhnya bermakna seperti itu, melainkan bahwa anarkisme adalah filsafat politik yang menganjurkan masyarakat tanpa negara atau sering didefinisikan sebagai lembaga sukarela yang mengatur diri sendiri (Reyhan, 2021). Pada konsepnya, anarkisme merupakan pola organisasi hidup secara kolektif yang berorientasi pada kepemilikan alat produksi yang dikuasai dan dikelola masyarakat secara bersama-sama. Anarkisme meyakini bahwa kemerdekaan atau kebebasan hanya mampu diraih melalui kekuatan dan upaya sendiri, dan bukan dengan dukungan suatu otoritas gigantik seperti negara atau bentuk lainnya.

Sebagaimana setiap komunitas, institusi, ideologi, gerakan, dan lain-lain, anarkis juga memiliki tanda identitas yang melekat pada dirinya. Tanda identitas ini dapat disebut sebagai logo. Logo adalah elemen grafis yang berbentuk ideogram, simbol, emblem, ikon, tanda yang digunakan sebagai lambang sebuah brand. Logo merupakan atribut inti yang dapat ditangkap secara indrawi. Meski demikian, logo juga biasanya memuat nilai-nilai visi dan misi, budaya, serta sejarah dari brand yang ia tandai (Christina, 2017).

Sebagai suatu tanda, logo dapat diuraikan maknanya melalui pendekatan semiotika. Salah satu penggagas teori semiotika yang termahsyur adalah Roland Barthes yang membagi tanda ke dalam dua tahapan, yakni tahapan denotasi dan kedua tahapan konotasi. Kedua tahap ini kemudian menentukan mitos sebagai tanda denotatif yang mengakar dalam alam pikiran suatu masyarakat (Fariji, 2020).

Anarkis, yang ditandai oleh sebuah logo, memiliki maknanya sendiri dalam setiap tahapan semiotika Roland Barthes dalam masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan makna secara denotatif, konotatif, dan mitos pada logo anarkis yang erat kaitannya dengan paradigma serta praktik anarkisme. Kebaruan yang didapat adalah sistemasi makna melalui pendekatan semiotika Roland Barthes ke dalam dua tahapan serta argumen yang mengkritik konotasi dan mitos yang sudah melekat dalam masyarakat sehubungan dengan representasi anarkisme (Putra, 2016).

 

Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif (Yuliani, 2018). Metode ini dipilih oleh penulis lantaran pertimbangan objek kajian dalam penelitian yang menuntut penguraian makna. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan studi kepustakaan, artinya penulis mengumpulkan berbagai bahan seperti buku, jurnal, serta penelitian lain yang relevan serta kemudian menganalisisnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes yang membagi makna objek penelitian ke dalam dua tahap; tahap pertama yakni makna denotatif, tahap kedua yakni makna konotatif dan mitos. Tahap terakhir adalah menyusun konsklusi secara deduktif dari data-data yang didapatkan (Agung, 2018).

 

Hasil dan Pembahasan

Dari hasil analisis melalui literature review maka didapatkan beberapa data yang dapat dirumuskan untuk membahas hubungan logo dan ideologi, kemudian logo anarkis, dan pembahasan mengenai logo anarkis itu melalui pendekatan semiotika Roland Barthes yang membagi tanda ke dalam dua tataran, yakni denotasi dan konotasi serta mitos.

 

1.     Logo dan Ideologi

Logo merupakan simbol khusus yang menjadi penanda dari identitas suatu hal, baik itu komunitas, perusahaan, ideologi, dan lain sebagainya. Logo berkaitan erat dengan sistem tanda atau simbol yang berkaitan dengan kajian semiotika. Dengan demikian, logo tidak dapat dipisahkan dari bahasa (Maulana, 2017). Menurut Roland Barthes bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.

Dari penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan bahwa logo, sebagai sistem tanda dan juga merupakan bagian integral dari bahasa, tidak terlepas dari pemikiran suatu masyarakat. Pada taraf tertentu, logo dapat menjadi representasi dari suatu ideologi masyarakat (Riduwan, Triyuwono, Irianto, & Ludigdo, 2014). Dalam sebuah gambar, tak terkecuali logo, terdapat dua pesan: pesan tertunjukkan (denoted message) yang merupakan analogon itu sendiri, dan pesan terartikan (connoted message) yang dipengaruhi oleh konvensi komunikasi masyarakat.

Uraian di atas mengacu pada semiotika Roland Barthes yang mengemukakan bahwa semiotik dibagi menjadi dua aspek, pertama adalah denotasi dan kedua adalah konotasi. Denotasi adalah makna sebenarnya atau dapat disebut sebagai sebuah fenomena yang dapat ditangkap oleh panca indra (Yuliza, 2022). Sementara itu, konotasi merupakan deskripsi hasil interaksi tanda dengan perasaan atau emosi subjek yang memikirkannya berlandaskan dengan nilai kultural yang ia anut. Maka dengan demikian dapat dianggap bahwa konotasi adalah makna yang terbentuk dari konstruksi persepsi subjek yang memikirkannya. Pada dasarnya, citra yang didapat oleh seseorang dalam melihat suatu tanda tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kultural dan norma yang ia jadikan pedoman. Terakhir, mitos merupakan konotasi yang telah menjadi perspektif populer dalam suatu masyarakat, yang dengan demikian telah membuat suatu tanda menjadi mitos.

Contoh kecil yang dapat dirujuk adalah logo palu dan arit di Indonesia yang secara denotatif merupakan perkakas untuk bekerja di sawah dan di pabrik, kemudian pada tataran konotatif menjadi suatu representasi dari perjuangan kelas, dan akhirnya pada tataran mitos menjadi suatu lambang dari komunisme terlepas dari perspektif positif dan negatifnya dalam suatu masyarakat. Mitos komunisme di Indonesia, misalnya, telah menjadi pemikiran populer di masyarakatnya karena dianggap tabu atau bahkan kriminal. Demikianlah suatu tanda, suatu logo, dapat mewakili ideologi tertentu yang membuatnya dapat menjadi sebuah identitas yang tidak terlepas dari sejarah dinamika konkret ideologi itu sendiri (Arnawa, 2008).

 

2.     Makna Denotatif Logo Anarkis

Anarki memiliki logo yang menggambarkan secara denotatif istilah filsafat politik itu sendiri. Logo anarkis diawali dengan huruf “A” yang berada di dalam lingkaran hitam atau abjak “O” dengan bendera berwarna hitam. Huruf “A” sendiri merupakan karakter pertama dalam alfabet, yang juga merupakan huruf awal dari anarki itu sendiri. Sementara itu, lingkaran atau huruf “O” mengawali makna order atau perintah. Mengacu pada selogan Proudhon, “Anarchy is Order”, berarti bahwa logo ini secara denotatif menggambarkan anarki sebagai suatu keharusan. Sementara itu, bendera hitam yang kerap digunakan bersama logo ini memiliki makna penentangan pada batasan-batasan, baik itu batasan negara, bangsa, dan lain-lain. Bendera hitam kerapkali digunakan oleh kaum anarkis untuk melambangkan peringatan mereka pada negara yang mereka nilai menindas dan merupakan semacam bendera pernyataan perang tanpa hendak menyerah.


Gambar 1

Simbolisasi Anarkis

 

3.     Makna Konotatif Logo Anarkis

Logo anarkis sebagai representasi dari ideologi anarkisme mendapatkan makna konotasi yang kurang lebih sebagai pemberontakan pada negara (Basarah, 2017). Hal ini dapat dirujuk pada uraian Bakunin dalam McLaughlin (2002) sebagai berikut:

 

Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur.

Dari uraian di atas maka tidak dapat dielakkan bahwa pada akhirnya suatu persepsi negatif terhadap sistem bernama negara cenderung melahirkan gerakan-gerakan subversif (Novitasari, 2017). Negara memang merupakan sasaran utama kritik terhadap otoritas para anarkis klasik. Bagi kaum anarkis klasik, negara merupakan penindasan fundamental dalam masyarakat, dan karena itu harus dilenyapkan pada saat aksi revolusi yang pertama kali (Ramin, 2017).

Maka tidak heran apabila istilah anarkis sering digolongkan sebagai suatu cara berpikir, gerakan, atau ideologi yang berbahaya bagi negara, yang dengan demikian mengancam keutuhan negara. Dalam konteks ini, tentu anarkisme sudah sepatutnya dilenyapkan karena mengancam kedaulatan bangsa. Pemerintah dan aparatur negara yang kerapkali menggunakan melarang sikap anarkis melahirkan suatu cara berpikir kultural bahwa anarkis secara per se merupakan hal yang negatif dan subversif, sehingga mendapatkan makna konotasi yang buruk pada sebagian subjek yang memandang logo anarkis (Yusdani, 2016).

 

4.     Makna Mitos Logo Anarkis

Mitos dalam pengertian Barthes tidak seperti pengertian tradisional yang mengartikan kepada mistis atau klenik. Barthes menyebut mitos sebagai suatu sistem komunikasi atau suatu pesan (Barthes, 2010). Mitos berada pada penandaan tingkat kedua dalam menghasilkan makna konotasi yang kemudian berkembang menjadi denotasi, pada perubahan menjadi denotasi ini, disebut dengan mitos. Barthes mengartikan mitos tidak sebagai objek pesannya tetapi cara menyatakan pesan (Barthes, 2010).

Dari konteks ini ditemukan makna mitos dalam logo anarkis. Apabila kita mendengar istilah “anarkis”, yang ada dalam pikiran kita barangkali bukanlah sebagai suatu ideologi, apalagi suatu filsafat politik, melainkan suatu istilah untuk menyebutkan ekspresi yang desktruktif, yang merusak. Dapat kita telusuri bahwa begitu banyak aparatur negara, polisi, militer, menggunakan istilah anarkis untuk menggambarkan sikap agresif dan kekerasan. Dalam demonstrasi mahasiswa, misalnya, polisi kerap berkata, “jangan berlaku anarkis!”, dan dalam konteks ini istilah anarkis digunakan untuk merujuk pada makna negatif. Masyarakat juga sudah memahami bahwa konotasi anarkis sudah menjadi mitos atau denotasi, yakni memiliki makna buruk. Satu hal yang pasti, mitos di masyarakat ini dapat disimpulkan terdistorsi cukup jauh, karena istilah anarkis tidak melulu merujuk pada perilaku agresif dan kekerasan.

Dari uraian di atas, maka kita mendapat hipotesis bahwa makna mitos ini beredar karena penggiringan opini struktural. Namun, pandangan lain yang mengasumsikan bahwa mitos ini terbentuk dari ketidaktahuan aparatur negara dijelaskan oleh Anjani (2020) sebagai berikut:

 

Minimnya literasi aparat mengenai paham anarkisme juga mengaburkan kekerasan ‘biasa’ (penganiayaan, penculikan, pembunuhan) dengan tindakan kekerasan simbolik (perusakan, vandalisme) yang dikenal dalam paham anarkisme. Akibatnya, pelanggaran ketertiban umum melalui vandalisme, perusakan, dan seterusnya sering ditanggapi secara tidak proporsional. Terlebih aparat terlalu mudah mengeluarkan klaim bahwa anggota kelompok anarko berada di balik suatu kejadian tanpa terlebih dahulu mengusut secara tuntas tentang keterkaitan individu dengan paham dan kelompok anarkisme.

 

Hal ini dapat kita rujuk pada lingkaran para pemikir anarkis sendiri, kekerasan tidaklah bersifat mutlak, dan bahkan ada yang menentangnya. Salah satu pemikir anarkis yang menentangnya adalah Alexander Berkman (1929) dengan ucapan sebagai berikut:

 

Anarkisme bukan bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula yang sedikit melawan semuanya. Bukan berarti kembali pada kehidupan barbarisme atau kondisi manusia yang liar. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa Anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorang pun yang boleh memperbudak Anda, menjadi majikan Anda, merampok Anda, ataupun memaksa Anda. Itu berarti bahwa harus bebas untuk melakukan apa saja yang Anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jalan hidup serta menjalaninya tanpa ada yang mengganggu, memiliki hak yang setara, serta hidup damai dan harmonis seperti keluarga. Itu berarti bahwa tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, sehingga dapat menikmati hidup bersama-sama dengan setara.

 

Dari uraian di atas, maka mitos yang beredar di masyarakat yakni bahwa anarkis adalah suatu gerakan yang diilhami oleh barbarisme tidak sepenuhnya tepat. Tentu dalam fenomena membaca tanda dalam masyarakat, terlebih yang sifatnya ideologis, muncul dari begitu banyak variabel yang memengaruhi. Misalnya, suatu ideologi kalah dominan oleh ideologi yang berseberangan, maka ideologi tersebut bisa saja “dijelek-jelekkan” sehingga mendapat makna konotatif yang negatif. Apabila doktrin semacam ini dilakukan secara intens dan kontinyu, maka tidak mungkin konotasi negatif itu akan melekat dan menjadi pemikiran populer sehingga menjadi mitos.

 

Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini yakni bahwa logo anarkis merupakan representasi dari gerakan anarkisme. Logo tersebut menunjukkan makna denotatif yang mengungkapkan informasi fundamental dari logo tersebut kepada masyarakat luas. Pada pemaknaan konotatif logo anarkisme menunjukkan makna tentang perlawanan, kekerasan, huru-hara, dan kerusuhan. Terakhir, pada tataran mitos logo anarkis memunculkan mitos akan pemberontakan, teror, aktivitas subversif, serta barbarisme, meski dalam beberapa bagian tidak merepresentasikan sepenuhnya kenyataan mengenai ideologi anarkisme.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Agung, Arif Ferdian. (2018). Analisis Pengaruh Harga dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Konsumen Dalam Perspektif Ekonomi Islam (Studi Komparatif Pada Konsumen Indomaret dan Swalayan Surya Jalur 2 Korpri). UIN Raden Intan Lampung.

 

Arnawa, Nengah. (2008). Wawasan linguistik dan pengajaran bahasa. Pelawa Sari.

 

Basarah, Finy Fitrya. (2017). Feminisme Eksistensialis Tokoh Katniss Everdeen dalam Serial Film The Hunger Games (Analisis Semiotika Roland Barthes). SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi, 11(1).

 

Christina, Christina. (2017). Sebuah Analisis Semiotik Logo Koko Cici Indonesia. SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi, 10(2).

 

Fariji, Fariji. (2020). Nilai Budaya Dalam Foto Jurnalistik Pada Rubrik EXPOSURE Di Koran Jawa Pos Radar Madiun Edisi Imlek 18 Februari 2018 (Analisis Semiotika Roland Barthes). IAIN Ponorogo.

 

Maulana, Egy Rizky. (2017). Analisis Semiotika Pada Logo Hits Radio. Perpustakaan.

Novitasari, N. (2017). Konsep Demokrasi Menurut Mahfud Md Dalam Perspektif Siyasah Islam. UIN Raden Intan Lampung.

 

Putra, Okky Ganesha. (2016). Vandalism In Photojournalism of Online Media. Prosiding Jurnalistik, 97–102.

 

Ramin, Maghfur M. (2017). Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab. Anak Hebat Indonesia.

 

Reyhan, Muhammad. (2021). Mekanisme Pembubaran Ormas Hti Ditinjau Dari Undang Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Tinjauan Perspektif Siyasah Dusturiah. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

 

Riduwan, Akhmad, Triyuwono, Iwan, Irianto, Gugus, & Ludigdo, Unti. (2014). Semiotika Laba Akuntansi: Studi Kritikal-Posmodernis Derridean. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia, 7(1), 38–60.

 

Yuliani, Wiwin. (2018). Metode penelitian deskriptif kualitatif dalam perspektif bimbingan dan konseling. Quanta, 2(2), 83–91.

 

Yuliza, Fresti. (2022). Makna Tari Kontemporer Barangan Karya Otniel Tasman: Suatu Tinjauan Semiotika Tari. Bercadik: Jurnal Pengkajian Dan Penciptaan Seni, 5(2), 83–97.

 

Yusdani, M. Ag. (2016). Relasi Islam dan Negara di Indonesia Era Reformasi Perspektif Fikih.

                                                

Copyright holder:

Eliana Frisca (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: