Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
HUBUNGAN GRIT DAN
KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI MILENIAL
Lia Aulia Fachrial, Riffa Nuranisa
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Depok,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya
hubungan grit dengan keterikatan kerja pada karyawan generasi
milenial. Responden penelitian ini adalah 100 orang yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan dengan usia 20-38 tahun, serta telah lama bekerja minimal
dua tahun di wilayah Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dalam mengukur grit dan
keterikatan kerja, peneliti
mengadaptasi Urtecht Work Engagement Scale-9 (UWES-9) dan Short Grit
Scale (GRIT-S). Hasil analisis dengan menggunakan Pearson’s
Product Moment Correlation menunjukkan korelasi r = 0,369
dengan taraf signifikansi sebesar 0,001
(p<0,01). Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara grit dengan keterikatan kerja
artinya, semakin tinggi grit maka semakin tinggi
pula keterikatan kerja karyawan generasi milenial. Hal ini menyatakan bahwa grit memiliki peran penting untuk karyawan
agar memiliki keterikatan kerja, khususnya pada generasi milenial.
Kata Kunci: grit, keterikatan kerja, karyawan,
generasi milenial.
Abstract
This study aims to examine the relationship between
grit and work engagement in millennial generation employees. The respondents of
this study were 100 men and women aged 20-38 years, and had worked for a
minimum of two years in the areas of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and
Bekasi. In measuring grit and work engagement, the researcher adapted the Urtecht Work Engagement Scale-9 (UWES-9) and the Short Grit
Scale (GRIT-S). The results of the analysis using Pearson's Product Moment
Correlation showed a correlation of r = 0.369 with a significance level of
0.001 (p <0.01). This shows that there is a significant positive
relationship between grit and work engagement, meaning that the higher the
grit, the higher the work engagement of millennial generation employees. This
states that grit has an important role for employees to have work engagement,
especially for the millennial generation.
Keywords: grit, work engagement, employees, millennial
generation.
Pendahuluan
Pada zaman sekarang, dimana perkembangan teknologi
dan globalisasi semakin luas sehingga menciptakan
pertumbuhan perusahaan industri, khususnya industri
pelayanan keuangan semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan setiap perusahaan berusaha menciptakan keunggulan-keunggulan yang kompetitif (Azizah & Ratnaningsih, 2018),
sehingga menyebabkan tingginya tuntutan kerja
pada karyawan dan lamanya waktu bekerja yang melebihi jam kerja pada umumnya,
yaitu lebih dari delapan jam perharinya (Sitepu, 2013). Sumber daya manusia menjadi salah satu sumber utama
bagi perusahaan untuk menghadapi persaingan
yang kompetitif tersebut
(Woo & Chelladurai, 2012).
Faktanya pada tahun 2017, Badan
Pusat Statistik mengatakan bahwa dalam beberapa
tahun ini Indonesia memasuki era bonus demografi dimana penduduk produktif saat ini merupakan generasi
milenial yang memiliki jumlah lebih banyak
dari generasi sebelumnya. Selain itu, Aini (dalam Hidayati,
Jufri, & Indahari, 2017) pun
menyebutkan bahwa sumber daya manusia di beberapa industri saat ini sudah mulai didominasi oleh generasi milenial
dan diperkirakan mempunyai ukuran dua kali
lebih besar daripada generasi X. Robert
Half International (2008), membuat survei
bahwa generasi milenial adalah generasi terbesar dalam sejarah dengan sekitar 79,8 juta anggota.
Dalam penulisan oleh Oktariani, Hubies,
dan Sukandar (2016),
ketika bekerja, generasi milenial memiliki karakteristik peduli dengan teknologi
baru, aktif mencoba hal-hal baru, bersifat
individualis, egosentris, tidak peduli, dan cepat bosan, serta memiliki
kecenderungan yang rendah
terhadap kominten dan kesetiaan mereka dalam bekerja. Hal ini berhubungan
dengan artikel Yolania (2016) yang mengatakan bahwa
generasi milenial memiliki
karakter diri dinamis
dan terkadang berani mengambil risiko untuk menentang
aturan, sehingga generasi ini sering berpindah
pekerjaan.
Hasil riset pada artikel Jobplanet
Indonesia, yang ditulis oleh Arjanti (2017) pun menjelaskan bahwa sebanyak 76,7% dari generasi
milenial hanya bertahan
satu hingga dua tahun di
tempat bekerjanya, sebelum memutuskan untuk berpindah kerja. Sama pula dengan penelitian yang dilakukan Utomo dalam
IDN Research Institute (2019), menunjukkan bahwa tiga dari 10 (35,1%)
karyawan generasi milenial mengatakan dua hingga tiga tahun adalah waktu yang ideal untuk bertahan dalam perusahaan. Hal ini, didukung pula
oleh ulasan Rachman dan Jakob (2016) mengenai
generasi milenial yang dimuat dalam Kompas, mengemukakan bahwa bagi generasi milenial dua tahun di posisi
yang sama tanpa perkembangan sudah cukup membosankan. Sejalan dengan pendapat
Crans (2014) bahwa generasi milenial rata-rata akan berganti pekerjaan
sampai 20 kali semasa hidup mereka dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang dapat bekerja
dii perusahaan yang sama sampai mereka pensiun.
Fenomena-fenomena tersebut bertolak
belakang pada kebutuhan sumber daya manusia yang dibutuhkan, dimana hal ini
penting dalam memberikan pelayanan berkualitas yang tinggi agar perusahaan
dapat bersaing dengan kompetitif. Smulder (dalam Schaufeli, 2011) menyatakan
bahwa pekerjaan yang menuntut kualitas pelayanan, sebagai modal utamanya
membutuhkan keterikatan kerja yang tinggi.
Keterikatan kerja telah menjadi
perhatian bagi banyak pihak di dunia industri selama beberapa tahun belakangan
ini karena dinilai dapat memberikan dampak positif bagi perusahaan (Tiara &
Rostiana, 2018). Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang telah
menunjukan bahwa karyawan yang terikat membawa keuntungan bagi perusahaan
karena dapat menampilkan performansi yang baik dalam bekerja (Christian, Garza,
& Slaughter, 2011). Schaufeli, Taris, dan Bakker (dalam Burke, 2006)
menjelaskan keterikatan kerja adalah keadaan positif dan memenuhi diri, keadaan
pikiran yang berkaitan dengan pekerjaan dikarakteristikan dengan adanya
semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan absorbsi (absortion). Karyawan yang memiliki
keterikatan tinggi memiliki tiga keuntungan. Pertama, karyawan menjadi lebih
bahagia dan antusias, sehingga dapat menghasilkan job resources yang berdampak pada penyelesaian tugas dengan hasil
lebih baik. Kedua, karyawan akan lebih sehat baik secara fisik maupun
psikologis, sehingga karyawan dapat
bekerja dengan lebih fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya. Ketiga, karyawan
akan menyalurkan keterikatan kerja itu kepada karyawan lain, sehingga hubungan
interpersonal dan kinerja kelompok dapat terjalin dengan baik (Bakker, 2011).
Kemudian, adapula Kahn (1990) yang
mengatakan ada dua bentuk reaksi keterikatan karyawan dengan pekerjaan, yaitu
karyawan yang engagement (terikat)
dan karyawan yang disengagement (tidak
terikat). Karyawan yang engaged dicirikan
sebagai karyawan yang memiliki rasa antusias, semangat, dan bergairah ketika
berhubungan dengan pekerjaan, loyal, memiliki motivasi, berkomitmen, dan selalu
produktif. Sementara karyawan yang disengaged
(tidak terikat) merupakan karyawan yang hanya ingin mengetahui apa saja
hal-hal yang harus dikerjakan daripada berfokus pada hasil kerjanya. Selain
itu, karyawan yang disengagement akan
lebih cenderung memiliki niat untuk keluar dari perusahaan (Santosa, 2012). Di
Indonesia sendiri hanya delapan persen karyawan yang memiliki keterikatan
kerja, ini merupakan hasil penelitian dari Gallup (2013). Selain itu, data
tersebut turut didukung dengan hasil survey Global Workforce Study (GWS) yang
dilakukan pada tahun 2012 juga menunjukkan hasil yang serupa, yaitu sebanyak
66% karyawan di Indonesia tidak memiliki engagament dan cenderung memiliki
keinginan untuk meninggalkan perusahaan dalam jangka waktu dua tahun kedepan
(Rudi, 2012).
Menurut
Schaufeli dan Bakker (2003), keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh
dua hal yaitu job resources dan personal resources. Job resources meliputi beberapa aspek seperti lingkungan fisik,
sosial dan organisasi, gaji, peluang untuk berkarir, dukungan supervisor dan rekan kerja, serta umpan
balik dari performa kerja. Job resources yang
beberapa diantaranya adalah variasi keahlian (skills varienty), otonomi (autonomy),
dan kesempatan untuk berkembang (developmental
opportunities), kualitas kehidupan kerja (quality of work life) menjadi fokus utama salah satu permasalahan
sebagai startegi tempat tempat kerja yang mendukung dan memilihara kepuasaan
kerja guna untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan dan organisasi (Schaufeli
dan Bakker, 2003). Menurut Yadav dan Khanna (2014), kepuasan kerja karyawan
kepada perusahaan dan
dengan sendirinya
merasa terikat (engaged) sehingga
dapat pula membantu mengurangi keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan.
Selain job resources, keterikatan juga dipengaruhi oleh personal resources. Menurut Schaufeli
dan Bakker (2003), personal resources meliputi
keyakinan akan kemampuan diri (self-efficacy),
rasa optimis (optimism), harapan
mengenai masa depan (hope), dan
resiliensi (resilience). Dalam
penelitian Von Culin, Tsukayama, dan Duckworth (2014), mengatakan bahwa grit termasuk dalam personal resources. Grit sendiri
didefinisikan sebagai ketekunan (perseverance)
dan gairah (passion) dalam waktu
jangka panjang dan grit tidak ada
hubungan positif dengan IQ tapi sangat berhubungan dengan Big Five Conscientiousness (Duckworth, Peterson, Matthews, &
Kelly, 2007). Berkaitan dengan hal itu, grit
memiliki dua dimensi utama yaitu, perseverance
of effort (ketekunan dalam berusaha) dan consistency of interest (konsistensi terhadap minat). Perseverance of effort yang dimaksud
adalah ketabahan dan ketekunan dalam mencapai tujuan yang walaupun dihadapkan
pada tantangan, masalah, dan hambatan lainnya. Grit memungkinkan individu untuk tekun dan gigih dalam mencapai
tujuan meskipun dengan tantangan dalam waktu yang panjang (Duckworth, Peterson,
Matthews, & Kelly, 2007). Lalu, consistency
of interest yaitu, suatu gambaran seberapa konsisten usaha seseorang dalam
mencapai tujuan. Hal ini dapat dilihat dari minat yang diinginkan tidak berubah
dan tetap fokus dengan apa yang telah ditentukan (Duckworth, 2016). Grit akan memunculkan daya kerja yang
kuat terhadap tantangan yang dihadapi, mempertahankan usaha dan ketertarikan
dari tahun ke tahun walaupun mengalami kegagalan serta hambatan dalam
prosesnya.
Penelitian
mengenai grit oleh Suzuki, Tamesue,
Asahi, dan Ishikawa (2015) menunjukkan bahwa grit adalah prediktor kuat untuk performansi kerja. Individu dengan
grit yang tinggi, akan lebih tekun
dalam bekerja, tidak mudah menyerah jika mengalami kegagalan, bahkan dapat
menjadikan kegagalan sebagai cambuk untuk semakin berusaha mencapai tujuan.
Pada penelitian Von Culin, Tsukayama, & Duckworth (2014), meyatakan bahwa grit berhubungan pada keterikatan dengan
yang dikerjakan dan makna dari yang dilakukan. Adapula hasil penelitian Tiara
dan Rostiana tentang peran kualitas kehidupan kerja dan grit terhadap ketertikatan kerja pada
generasi milenial di industri perbankan (2018), dapat dikatakan ada peranan
dari grit dan kualitas kehidupan
kerja terhadap keterikatan kerja pada generasi milenial dalam industri
perbankan. Penelitian tersebut menyatakan bahwa adanya peranan grit terhadap keterikatan kerja. Grit memberikan sumbangan sebesar 21,5%
terhadap keterikatan kerja. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui
apakah ada hubungan grit terhadap keterikatan kerja pada generasi milenial
dalam perbankan?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menguji hubungan dua variabel. Sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 karyawan dengan karakteristik yaitu berjenis kelamin laki- laki dan perempuan dengan usia 20 tahun – 38 tahun, dan merupakan karyawan yang telah bekerja selama minimal dua tahun.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobality
sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang
atau kesempatan yang sama pada setiap unsur atau anggota
populasi untuk dipilih
menjadi sampel (Azwar,
2012). Teknik nonprobality sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil sampel sesuai karakteristik yang telah ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2014).
Dalam penelitian ini, skala keterikatan kerja yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah
skala yang di adaptasi dari Utrecht Work
Engagement Scale (UWES-9) yang
dibuat dari Schaufeli dan Bakker (2006). Skala UWES-9 meliputi tiga dimensi, yaitu vigor, dedication, dan
absorption. Pengujian
reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan bantuan
SPSS for windows dan
didapatkan hasil realibitas statistik Cronbach’s Alpha
sebesar 0.90. Pada vigor 0.72, pada dedication 0.84, dan
pada absorption 0.77 (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Dalam
penelitian ini, skala grit yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah
skala yang di adaptasi dari Short Grit Scale (Grit-S) oleh Duckworth dan Quinn (2009)
yang meliputi dimensi
konsistensi minat (consistency of interest) dan ketekunan
dalam berusaha (perseverance of effort).
Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan
dengan menggunakan bantuan SPSS for
windows dan didapatkan hasil reliabilitas statistik
Cronbach’s Alpha sebesar 0.80. Pada konsistensi minat (consistency
of interest) 0.78 dan pada ketekunan dalam berusaha (perseverance of effort) 0.72 (Duckworth & Quinn, 2009).
Hasil Dan Pembahasan
Uji hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan uji korelasi parametrik, yaitu uji korelasi Pearson Product Moment menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,369 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan diterima yang artinya ada hubungan positif yang signifikan antara grit dengan keterikatan kerja. Hubungan korelasi positif mengartikan bahwa semakin tinggi grit pada karyawan generasi milenial maka semakin tinggi pula keterikatan. kerja. Sebaliknya, jika semakin rendah grit pada karyawan generasi milenial maka semakin rendah keterikatan kerja.
Karyawan dengan grit tinggi dapat digambarkan dengan memiliki ketekunan dalam bekerja dan tidak mudah menyerah serta menunjukkan stamina yang ekstrem dalam hal ketertarikatan tertentu dan menerapkan usaha terhadap keterikatan tersebut (Suzuki, Tamesue, Asahi, & Ishikawa, 2015). Grit merupakan sifat non kognitif positif dimana timbul dari rasa semangat untuk tujuan jangka panjang dan diiringi motivasi yang kuat (Duckworth, 2008). Berkaitan dengan hal itu, keterikatan kerja yang tinggi dibutuhkan antusiasme dan dedikasi serta secara penuh terlibat dalam berbagai tugas perusahaan (Bakker, Schaufeli, Leiter & Taris, 2008). Keterikatan kerja merupakan keadaan mental yang positif dan memuaskan terkait pekerjaan, ditandai oleh semangat, dedikasi, dan penghayatan (Bakker, 2011). Hal ini dapat menjelaskan bahwa grit yang tinggi, memiliki hubungan positif dengan keterikatan kerja yang tinggi juga.
Hal tersebut serupa dengan
penelitian Tiara dan Rostiana (2018) mengatakan bahwa terdapat peran grit dan
kualitas kehidupan kerja mempengaruhi keterikatan kerja karyawan generasi
milenial. Semakin tinggi
grit individu, maka akan semakin tinggi keterikatan kerja, lalu semakin
tinggi pula kualitas kehidupan kerja. Suzuki,
Tamesue, Asahi, dan Ishikawa (2015),
yang dilakukan di Jepang. Dalam penelitianya,
mendapatkan hasil yang sesuai dengan hipotesis yaitu, individu yang memiliki grit tinggi akan lebih terikat dengan pekerjaan dibandingkan
individu yang memiliki girt rendah, tidak berkaitan dengan jenis kelamin,
pendidikan terakhir, usia,
pendapatan, peluang bahagia, sifat-sifat Big Five, dan kontrol diri. Selanjutnya, individu yang terlihat
bahagia akan lebih
terikat dengan pekerjaannya. Ini mungkin berkaitan
dengan lingkungan bekerja,
individu yang diberikan
kesempatan untuk merasakan
dan berpikir dalam pekerjaan, serta dianggap penting
dalam pekerjaan, individu
akan lebih terikatan
dengan pekerjaan.
Adapula Von Culin, Tsukayama, dan
Duckworth (2014) mengatakan bahwa hubungan positif
antara grit dan keterikatan kerja mendapat dorongan
oleh dimensi consistency of interest, sedangkan
hubungan antara grit dan
kebahagiaan didapatkan oleh dimensi perseverance of effort. Individu yang memiliki grit tinggi akan lebih melihat tujuan,
meskipun perusahaan hanya berukuran kecil atau sedang.
Terutama untuk individu yang memiliki ketabahan. Dengan kata lain, suatu
sikap keterikatan kerja dapat dikembangkan oleh grit dengan cara mengembangkan upaya berkelanjutan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan hasil perhitungan kategorisasi keterikatan kerja termasuk
dalam kategori tinggi. Responden pada penelitian ini memiliki
keterikatan kerja dengan baik, dimana responden
penelitian ini memiliki
keinginan untuk memberikan dedikasi kepada perusahaan, memiliki sifat positif,
dan tidak berencana untuk meninggalkan perusahaan.
Hal ini serupa dengan definsi yang dikatakan
oleh Bakker (2011) yaitu individu dikatakan memiliki keterikatan kerja jika dalam keadaan mental yang positif dan
memuaskan terkait pekerjaan yang ditandai dengan semangat, dedikasi,
dan penghayatan.
Kemudian, berdasarkan hasil perhitungan kategorisasi grit termasuk ke dalam kategori tinggi. Responden pada penelitian ini memiliki grit dengan baik, yang dimana responden penelitian ini memiliki
keinginan untuk berusaha
keras dan konsisten terhadap apa yang dikerjakan
dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini serupa
dengan definisi yang diberikan oleh Duckwworth, Pettrson, Matthews, dan Kelly (2007) grit adalah
sifat dari ketekunan
dalam berusaha dan konsistemsi dalam minat untuk tujuan jangka panjang.
Berdasarkan data yang diperoleh
dari 100 karyawan
generasi milenial berusia 20 – 38 tahun, peneliti
mendapatkan hasil bahwa sampel keterikatan kerja yang berada pada rentang usia 23 – 25 tahun dan usia 29 - 31
tahun memiliki kategori tinggi dan
pada sampel grit yang berada pada
rentang usia 23 – 25 tahun, usia 26 – 28 tahun, usia 29 -31 tahun, dan usia 32 -34 tahun tinggi. Hal ini berkaitan dengan Howe dan Strauss (2007),
generasi milenial adalah
individu yang lahir pada rentang kelahiran tahun 1982 – 2000, yang
dimana individu tersebut memiliki karakteristik
seperti cenderung individualis, memiliki loyalitas yang rendah, dan sangat peduli dengan keseimbangan
kehidupan kerja, hal ini dikemukakan oleh Garvey (dalam Putri & Handoyo, 2014). Hasil di atas menjelaskan bahwa keterikatan
kerja generasi milenial tidak dominan, dari enam kategori usia, hanya dua yang
masuk dalam kategori
tinggi Berdasarkan analisis data deskripsi
responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa pada variabel keterikatan kerja, responden perempuan lebih tinggi di bandingkan dengan laki-laki.
Sedangkan, pada variabel grit,
responden perempuan dan laki-laki ada
pada kategori tinggi. Menurut Schaufeli dan Bakker, terdapat perbedaan tipis dalam keterikatan kerja pada kategori
jenis kelamin, namun
penelitian ini tidak cukup signifikan. Menurut Peter (2008), jenis
kelamin dalam keterikatan kerja merupakan
hal yang sensitif
karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
reward, hubungan dan perawatan
anak.
Berdasarkan analisis data deskripsi
responden berdasarkan wilayah
bekerja, menunjukkan bahwa variabel keterikatan kerja
dan variabel grit tertinggi berada
di Jakarta, Depok,
dan Bekasi. Berdasarkan survey
World Population Review, wilayah
Jakarta memiliki 10.770.487 penduduk, Bogor memiliki
1.159.719 penduduk, Depok memiliki 2.727.209 penduduk,
Tangerang memiliki 2.338.547 penduduk, Bekasi
memiliki 3.394.273 penduduk. Berdasarkan hal tersebut, wilayah-wilayah tersebut
memiliki penduduk yang sangat banyak sehingga bisa mendapatkan responden
yang sesuai.
Berdasarkan analisis data deskripsi
responden berdasarkan lama bekerja, menunjukkan
bahwa variabel keterikatan kerja dengan lama bekerja selama 2 – 5 tahun dan 10 – 13 tahun berada di kategori
tinggi. Sedangkan, pada variabel grit dengan lama bekerja 2 – 5 tahun berada
di kategori tinggi.
Hal ini berkaitan dengan penelitian yang dibuat oleh IDN Research Institute (2019) yang
menunjukkan bahwa dua hingga tiga dari 10 (35,1%) karyawan
generasi milenial mengatakan dua hingga tiga
tahun adalah waktu yang ideal untuk bertahan dalam perusahaan. Peneliti
mengambil data tersebut
dengan tujuan untuk mengukur grit dengan keterikatan kerja dengan lama bekerja minimal 2 tahun.
Berdasarkan analisis data deskripsi
berdasarkan pendidikan terakhir,
menunjukkan pada variabel keterikatan kerja responden yang memiliki
jenjang pendidikan tinggi yaitu S1
dan S2. Sedangkan pada variabel grit responden
yang memiliki jenjang pendidikan
tinggi yaitu SMA/SMK, D1, D4, dan S1. Hal ini
berkaitan dengan teori dari Schueller
dan Seligman (2010),
menemukan bahwa orang dewasa
yang mendapatkan jenjang pendidikan yang tinggi, lebih memiliki kemungkinan untuk mengembangkan grit dan
keterikatan kerja.
Berdasarkan analisis data deskripsi
berdasarkan pertanyaan terbuka,
jawaban responden terbanyak menyukai pekerjaan yang bersifat fleksibel
dalam jam kerja. Hal ini berkaitan
dengan Magdalena (2018), generasi milenial dalam dunia pekerjaan sering kali menginginkan adanya jadwal kerja
yang fleksibel, menuntut kreativitas,
dan memberikan kesempatan bagi individu untuk memiliki dampak bagi perusahaan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa hipotesis
dalam penelitian ini diterima. Hasil yang diperoleh kesimpulan yaitu terdapat hubungan positif yang signifikan
antara grit dan keterikatan kerja
pada karyawan generasi milenial. Maka
dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa semakin
tinggi grit, maka semakin tinggi
keterikatan kerja. Sebaliknya, semakin rendah grit, maka
semakin rendah keterikatan kerja.
Berdasarkan penelitian ini
mendapatkan hasil positif dimana, semakin tinggi grit maka
semakin tinggi pula keterikatan kerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada mean empirik, pada kedua variabel terdapat pada kategori tinggi. Jadi, bagi para karyawan generasi
milenial dapat mempertahankan serta meningkatkan
keinginan untuk tidak mudah menyerah dan konsisten dengan apa yang ingin dicapai dalam waktu jangka
panjang.
Berdasarkan penelitian ini, pihak
perusahaan dapat melihat bahwa semakin tinggi
grit maka akan semakin tinggi
keterikatan kerja pada karyawan generasi milenial. Maka dari itu, peneliti menyarankan kepada pihak perusahaan agar menerapkan jam kerja fleksibel, santai dalam bekerja,
lingkungan kerja yang kondusif,
dan pekerjaan yang bersifat menantang. Hal tersebut berguna untuk meningkatkan grit karena individu yang memiliki grit tinggi akan lebih menyukai pekerjaan
yang menantang dan bekerja di lingkungan yang kondusif, sehingga dapat memungkinkan
untuk meningkatkan keterikatan kerja pada perusahaan. Penerapan
jam kerja fleksibel dan santai dalam bekerja adalah hal yang diinginkan generasi milenial dalam
bekerja. Hal tersebut akan membuat peluang individu bertahan
dengan pekerjaan.
Penelitian grit dengan keterikatan kerja masih sedikit dilakukan, khususnya di Indonesia. Bagi peneliti yang ingin
meneliti variabel yang sama, disarankan untuk
menambahkan macam-macam responden penelitian, misal rata-rata pemasukan (gaji) dan mobilitas
ke kantor. Selain itu, peneliti
selanjutnya dapat mengembangkan penelitian tentang variabel grit dengan variabel y lainnya, misal dengan self-control dan motivasi kerja.
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan Grit-S yang dimana terdapat
delapan aitem pertanyaan, yang kemudian selama penelitian berlangsung
harus digugurkan menjadi empat aitem.
Hal tersebut, dapat dikaji kembali oleh peneliti lain untuk dapat
menggunakan Grit-S dengan
delapan aitem yang ada, karena
Grit- S tersebut
sebenarnya bersifat reliabel.
BIBLIOGRAFI
Anastasi, A., & Urbina, S. (2007). Tes psikologi edisi ketujuh. Jakarta: PT. Indeks.
Arjanti, R. (2017).
Tingkat kesetiaan karyawan
dari berbagai generasi di dunia kerja. http:www.blog.id.jobplanet.com. Diakses
pada 16 September 2019.
Azizah, R., & Ratnaningsih, I.Z. (2018). Hubungan
antara job crafting dengan keterikatan kerja. Jurnal Empati, 7(2).
167-173.
Azwar, S. (2012). Metode
penelitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2013). Reliabilitas
dan validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badan Pusat Statistik.
(2017). Proyeksi penduduk
indonesia 2010-2035. http:www.demografi.bps.go.id.
Diakses pada 16 September 2019.
Bakker, A. B., & Demerouti, E. (2008). Toward a
model of work engagement. Career Development International, 13(3), 209-223.
Bakker, A.B. (2011). An evidence-based model of work
engagement. Current Directions in Psychological Science. 20(04), 265-269.
Bakker, A.B., Schaufeli, W.B., Leiter, M.P., &
Taris, T.W. (2008). Work engagement: An emerging concept in occupational health
psychology. Journal Work & Stress. 22, 187-200.
Duckworth, A.L, Peterson, C., Matthews., M.D., &
Kelly, D.R. (2007). Grit: perseverance and passion for long-term goals. Journal
of Personality and Social Psychology, 92(6). 1087-1101.
Duckworth, A.L., & Quinn, P.D. (2009). Development
and validation of the short grit scale (grit-s). Journal Pers Assessment,
91(2). 166-174.
Gallup. (2013). State of the global workplace.
www.gallup.com. Diakses pada 16 September 2019.
Hidayati, N., Jufri, M. & Indahari, N. A.
(2017). Hubungan organizational learning dengan komitmen organisasi karyawan fresh
graduate di makassar. Prosiding
Temu Ilmiah Nasional APIO
2017. 38-41.
Hidayati, N., Jufri, M., & Indahari, N.A.
(2017). Hubungan organizational learning dengan komitmen organisasi karyawan fresh
graduation di makassar. Prosiding
Temu Ilmiah Nasional APIO
2017. 38-41.
Howe, N., & Strauss, W. (2000). Milenials Rising: The Next Great Generation. New
York: Vintage Books.
KBBI Daring. (2016). https://kbbi.kemdikbud.go.id/. Diakses pada 16 September 2019.
Kahn. (1990). Psychological conditions of personal
engagement at work. Academy of Management Journal. 33(4). 692-724.
Kupperschmidt, B.R.,
(2000). Multigeneration employees: strategies for effective management. Health
Care Manager, 19(1). 65-76.
Lancaster, L.C., & Stillman, D. (2002). When
Generation Collide: Who They Are. Why They Clash. How to Slove
the Generational Puzzle at Work. New York: HarperCollins.
Nawawi. (2011). Manajemen
Sumber Daya Manusia: untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Oktariani, D., Hubies, A.V.S., & Sukandar,
D. (2016). Kepuasan kerja generasi x dan generasi y terhadap komitmen kerja di bank mandiri Palembang. Jurnal Aplikasi Bisnis dan Manajemen, 3(1).
2460-7819, 2528-5149.
Ozcelik, G. (2015).
Engagement and retention of the milenial generation
in the workplace through internal branding. International Journal of Business
and Management, 10(3). DOI:10.5539/ijbm.v10n33p99.
Prabowo, H., & Fakhrurrozi,
M. (2005). Skala psikologi. Jakarta: Gunadarma.
Putri, N.R.A., & Handoyo,
S. (2014). Perbedaan resistensi
terhadap perubahan ditinjau dari generasi
kohort dan pemenuhan kontrak psikologis pada karyawan pt. Telkom area Surabaya metro (witel jatim-suramadu). Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 3(1).
227-235.
Robert Half International. (2008). Generation Y.
California: Robert Half International.
Rudi. (2012). GWS 2012 Mencengangkan
2/3 Karyawan Indonesia Disengaged! www.portalhr.com. Diakses pada 16 September 2019.
Sarwono, P.,
(2009). Ilmu Kebidanan.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). Job
demands and job resources and their relationship with burnout and engagement: A
multi sample study. Jurnal of Organizational Behavior.Wiley InterScience.
293-315.
Schaufeli, W.B., & Bakker, A.B., (2006). The
measurement of work engagement with short questionnaire. Journal Educational
and Psychological Measurement, 66(4). 701-716
Schaufeli, W.B., & Salanova,
M. (2007). Work engagement: an emerging psychology concept and its implications
for organizations. Managing Social and Ethical Issues in Organizations, 5.
137-177.
Simbula, S., & Guglielmi, D. (2013). I am engaged, I feel good, and I got
the extra- mile. Reciprocal relationship between work engagement and
consequences. Journal of Work and Organzitational
Psychology, 29. 117-125.
Singh, J., Chopra, V.G., (2018). Workplace
spirituality, grit and work engagement. Asia-Pacific Journal of Management
Research and Innovation, 14(1-2). 50-59.
Sitepu, A.T.
(2013). Beban kerja dan motivasi
pengaruhnya terhadap kinerja karyawan pada pt. bank tabungan negara tbk cabang manado. Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi, 1(4). 2302-1174.
Solnet, D., &
Hood, A., (2008). Generation y as hospitality employees: framing a research
agenda. Journal of Hospitality and Tourism Management, 15(59-68). DOI:10.1377/jhtm.
Sugiyono., (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suzuki, Y., Tamesue, D.,
Asahi, K., & Ishikawa, Y., (2015). Grit and work engagement: a
cross-sectional. PLoS ONE, 10(9). E0137501.
Tapscott, D. (1998). Digital Economy: Promise and
Peril in the Age of Networked Intelligence. New York: McCraw-Hill.
Tiara, S., & Rostiana.
(2018). Peran kualitas kehidupan
kerja dan grit terhadap keterikatan kerja pada generasi milenial di industry perbankan. Jurnal Muara Sosial, Humaniora, dan Seni, 2(1). 342-349.
Utomo, W.P. (2019). Indonesia milenial report 2019. http:www.cdn.idntimes.com.
Diakses pada 16 September 2019.
Wesner, M.S., & Miller, T. (2008). Boomers and milenials have much in common. Organizatinon
Development Journal. 26(3). 89-96.
Woo, B., & Chelladurai,
P. (2012). Dynamics of oerceived support and work
attitudes: the case of fitness club employees. Human Resources Management
Research, 2(1). 6-18.
Woo, B., & Chelladurai,
P. (2012). Dynamics of perceived support and work attitudes: the case of
fitness club employees. Human Resource Management Research, 2(1), 6-18.
Yadav, R., & Khanna, A. (2014). Literature review
on quality of work life and their dimensions 1 2, 19(9). 71-80.
Copyright holder: Lia Aulia Fachrial, Riffa Nuranisa (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |