Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP PENCANTUMAN KOMPOSISI PRODUK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Stefanus Don Rade, Ernesta Uba Wohon
Universitas Katolik Widya Mandira, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pada era ini diperkirakan persaingan di Indonesia akan semakin tajam dalam memperebutkan pasar karena Indonesia merupakan pasar potensial bagi produksi luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum kepada konsumen terhadap pencantuman komposisi produk pada penandaan kemasan suplemen makanan. penelitian ini menjelaskan Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Komposisi Produk Pada Penandaan Kemasan Suplemen Makanan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka tipe penelitian yang digunakan yakni Penelitian Yuridis Normatif. Memproduksi suplemen makanan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan dengan menggunakan bahan baku sapi yang tercemar DNA babi. Memproduksi suplemen makanan yang tidak sesuai dengan produk yang didaftarkan di BPOM.
Kata Kunci: Konsumen, Produk, Perlindungan
Abstract
In this era, it is estimated that
competition in Indonesia will be sharper in competing for the market because
Indonesia is a potential market for foreign production. This study aims to
determine the forms of legal protection to consumers against the inclusion of
product composition on the marking of dietary supplement packaging. This study
explains Consumer Protection against the Inclusion of Product Composition in
the Marking of Dietary Supplement Packaging Reviewed from Law Number 8 of 1999
concerning Consumer Protection, the type of research used is Normative
Juridical Research. Producing dietary supplements that do not meet the
standards and/or requirements using raw materials contaminated with pig DNA.
Producing dietary supplements that are not in accordance with the products
registered with BPOM.
Keywords: Consumer, Product, Protection
Pendahuluan
Adanya globalisasi dan perdagangan bebas serta kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan sehingga barang dan/atau jasa yang dihasilkan menjadi lebih bervariasi. Pada era ini diperkirakan persaingan di Indonesia akan semakin tajam dalam
memperebutkan pasar karena
Indonesia merupakan pasar potensial
bagi produksi luar negeri (Zulyanto, 2016). Dalam pasar bebas dan persaingan global saat ini, hanya
pelaku usaha yang handal yang mampu menghasilkan barang dan/atau jasa yang mempunyai daya saing tinggi dan memenangkan persaingan baik di dalam maupun
di luar negeri (Irawan, 2020).
Di sisi lain, globalisasi dan perdagangan bebas cenderung mengakibatkan barang dan/atau jasa yang beredar belum tentu menjamin
keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen (Firmansyah & Hendra,
2015). Kondisi tersebut
dikarenakan posisi konsumen yang berada di pihak lemah dalam
menghadapi pelaku usaha.Hal ini
disebabkan tingkat kesadaran dan pengetahuan konsumen masih sangat rendah serta peraturan
perundang-undangan yang ada
belum memadai dan kurang menjamin adanya suatu kepastian
hukum dalam memberikan perlindungan kepada konsumen yang dirugikan. Salah satu pelaku usaha adalah
produsen suplemen makanan yang kadang melalaikan kesehatan konsumen dari produk
suplemen makanan yang mereka produksi dengan menambahkan bahanbaku tertentu dengantidak mencantumkan bahan baku tersebut
dalam penandaan komposisinya (Kandita, 2012). Hal tersebut bertujuan semata-mata hanya ingin mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.
Sejak
diundangkannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April
1999, yang merupakan salah satu
peraturan perundang-undangan
yang secara formal merupakan
benteng kekuatan para pelaku usaha luar
dan dalam negeri sehingga dengan demikian mereka menjadi aman dan terlindungi hak dan kewajibannya. Hal ini juga menunjukkan keseriusan pemerintah terhadap keselamatan konsumen, dimana kedudukan konsumen biasanya berada pada kedudukan yang lebih lemah. Konsumen selalu akan menjadi
sasaran aktifitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkankeuntungan
yang sebesar-besarnya sesuai
dengan prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Oleh
karena itu konsumen harus lebih selektif dalam membeli suatu
produk.
Empat
hal yang perlu diperhatikan oleh konsumen, pertama, dari aspek
ekonomi mikro misalnya perilaku dari unit-unit ekonomi
individual, seperti rumah tangga, perusahaan dan struktur industri.Kedua, dari aspek lingkungan
misalnya kemasan yang tercemar secara kimiawi maupun biologis atau kemasan
yang bahan bakunya langka dan dapat merusak lingkungan.Ketiga, dari aspek hukum
misalnya soal legalitas produk tersebut mengenai terdaftarnya produk pada instansi kesehatan misalnya produk makanan, kemudian tanggungjawab produsen tentang kerugian-kerugian yang diterima pembeli/konsumen, serta standardisasi pelabelan dan iklan.Keempat, dari aspek kesehatan dan keamanan (Listyawati, 2017).
Khusus
untuk aspek ketiga dan keempat, pada umumnya masyarakat atau konsumen dengan
mudahnya percaya dengan keterangan-keterangan yang
dicantumkan pada kemasan tanpa memikirkan apakah keterangan tersebut memang benar dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau tidak.Selain
itu, masyarakat atau konsumen juga penting untuk mempunyai
pengetahuan mengenai bahan tambahan serta takaran yang ditentukan, sehingga dapat lebih selektif
dalam membeli barang yang ingin dikonsumsi.
Dalam
masyarakat Indonesia, suplemen
makanan mempunyai kedudukan yang khusus karena merupakan penambah kebutuhan zat gizi. Suplemen
makanan merupakan salah satu produk yang sudah sangat terkenal khasiatnya karena dapat menunjang kesehatan serta memastikan telah terpenuhinya nutrien-nutrien penting yang diperlukan agar tubuh dapat berfungsi
dengan baik . Oleh karena itu,
secara turun temurun suplemen makanan sering digunakan oleh penduduk Indonesia.Suplemen makanan sangat
diperlukan oleh masyarakat,
terutama untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, memelihara keelokan tubuh serta kebugaran. Di samping itu ada
beberapa suplemen makanan yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit.
Menurut Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, Nomor: HK.00.05.23.3644,
ps. 1 angka 1(yang selanjutnya
disebut BPOM), suplemen makanan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi
makanan, mengandung satu atau lebih
bahan berupa vitamin,
mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau
bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek
fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi.
Dalam butir yang ke-2 disebutkan bahwa, komposisi produk adalah susunan kualitatif dan kuantitatif bahan utama dalam
suplemen makanan. Susunan kualitatif yaitu sebuah nilai
yang dikandung oleh sesuatu/sebuah produk, dimana penilaian yang dilakukan akan didasarkan pada mutu dan kualitas bahan-bahan yang terkandung didalamnya, sedangkan susunan kuantitatif yaitu sebuah penilaian yang dilakukan berdasarkan jumlah sesuatu/ sebuah produk diproduksi,
yang mana dalam hal ini kualitas bukanlah
sebagai faktor utama yang menjadi dasar dalam penilaian
tetapi lebih ditekankan pada jumlah produksi sebuah produk.
Pentingnya komposisi produk
bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk yang dikemas sebelum mereka membeli dan/atau mengonsumsi produk tersebut (Lestari & Zahra, 2020). Informasi yang dimaksud adalah informasi terkait dengan asal, keamanan,
mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan. Permasalahan terkait jika tidak
dicantumkan komposisipada sebuah produk adalah
masyarakat tidak mengetahui apa saja kandungan dalam produk tersebut,
bisa saja kandungan dalam produk tersebut mengandung bahan berbahaya bagi tubuh manusia maupun
mengandung bahan-bahan yang
dilarang oleh agama ataupun
kepercayaan tertentu.
Salah satu kasus
yang terjadi akhir-akhir ini adalah peredaran
suplemen makanan yang tidak memenuhi syarat pengawasan penandaan kemasan. BPOM melansir 2 merek suplemen makanan yang ternyata mengandung bahan baku tertentu
yang bersinggungan dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatannya. Melalui siaran pers BPOM tertanggal 5 Februari 2018, Kepala Badan POM
RI, Penny K. Lukito menyampaikan
bahwa dalam kasus temuan adanya
DNA (deoxyribonucleic acid) hewan babi
dalam Viostin DS produksi PTPharos Indonesia dengan nomor izin
edar (NIE) POM SD.051523771 nomor
bets BN C6K994H dan Enzyplex tablet produksi PTMediafarma Labolatories dengan NIE
DBL721404016A1 nomor bets 16185101
(https://www.pom.go.id/new/view/more/klarifikasi/78/Penjelasan-Badan-Pom-Ri-Tentang-Viralnya-Surat-Internal-Hasil-Pengujian-Sampel-Suplemen-Makanan.html,
diakses pada tanggal 28 Mei
2018).
Pengawasan obat dan suplemen
makanan dilakukan secara komprehensif melalui pengawasan produk sebelumberedar
(pre-market) dan pengawasan produk
setelah beredar
(post-market). Pengawasan pre-market merupakaan evaluasi terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk sebelum memperoleh nomor izin edar (NIE). Untuk produk yang mengandung bahan tertentu berasal dari babi maupun
bersinggungan dengan bahan yang bersumber babi dalam proses pembuatannya, wajib mencantumkan informasi tersebut pada label. Pengawasan
post-market bertujuan untuk
melihat konsistensi mutu, keamanan, dan khasiat produk, yang dilakukan dengan sampling produk yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, pemantauan farmakovigilan, pengawasan label dan iklan. Produk yang disampling kemudian diuji di labolatorium untuk mengetahui apakah obat dan suplemen makanan tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui pada saat evaluasi pre-market.
Masalah terkait perlindungan
konsumen atas tidak dicantumkan komposisi produk pada penandaan kemasan adalah hasil uji yang dilakukan yang menjadi dasar untuk
melakukan tindak lanjut terhadap produk yang disampling dan hasil uji samplingnya adalah bahwa adanya
ketidakkonsistenan informasi
data pre-market dengan hasil
pengawasan post-marketyangmenunjukan
positif DNA (deoxyribonucleic acid) babi namun tidak
mencantumkan peringatan
“MENGANDUNG BABI”, sementara data yang diserahkan dan lulus evaluasi
Badan Pengawas Obata dan Makanan
Republik Indonesia pada saat
pendaftaran produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum kepada konsumen terhadap pencantuman komposisi produk pada penandaan kemasan suplemen makanan.
Metode Penelitian
Bahwa penelitian ini
menjelaskan Perlindungan Konsumen Terhadap Pencantuman Komposisi Produk Pada Penandaan Kemasan Suplemen Makanan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, maka tipe penelitian
yang digunakan yakni Penelitian Yuridis Normatif (Jonaedi Efendi, Johnny
Ibrahim, & SE, 2018). Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk
kalimat yang teratur, runtun, logis, efektif, dan tidak tumpang tindih sehingga memudahkan implementasi data serta pemahaman hasil analisis.
Hasil dan Pembahasan
1.
Bentuk-Bentuk Pelanggaran Yang Dilakukan Pelaku
Usaha
Globalisasi dan perdagangan bebas serta kemajuan
teknologi dan informasi telah memperluas ruang gerak transaksi
barang dan/atau jasa yang ditawarkan dengan lebih bervariasi
(Werdhyasari, 2013). Pada era ini diperkirakan persaingan di
Indonesia akan semakin tajam dalam memperebutkan
pasar karena Indonesia merupakan
pasar potensial bagi produksi luar negeri. Dengan demikian, pelaku usaha suplemen
makananakan semakin bersaing dalam memproduksi dan mengedarkan produknya kepada konsumen.
Penegakan hukum atas kasus peredaran
suplemen makanan yang mengandung DNA babi belum berjalan optimal sehingga membuat pelaku usaha melakukan
aksinya secara leluasa (Muhlis, Muhadar, &
Mirzana, 2022). Produsen dan
distributor suplemen makanan
merupakan pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap suplemen makanan yang beredar di pasaran. Untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat pada
era globalisasi saat ini, terkadang pelaku usaha suplemen
makanan melakukan tindakan-tindakan yang menghalalkan
segala cara dengan melakukan berbagai pelanggaran dalam memproduksi suplemen makanan. Hal ini dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen.
Seperti kita ketahui, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melansir 2 merek suplemen makanan yang ternyata mengandung bahan baku tertentu
yang bersinggungan dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatannya. Melalui siaran pers BPOM tertanggal 5 Februari 2018, Kepala Badan POM
RI, Penny K. Lukito menyampaikan
bahwa dalam kasus temuan adanya
DNA babi dalam Viostin DS produksi PT. Pharos
Indonesia dengan nomor izin edar (NIE) POM SD.051523771 nomor bets BN C6K994H
yang merupakan supleman
makanan yang digunakan untuk meringankan osteoarthritis,
rematik dan gangguan pada persendiaan dan tulang rawan dan Enzyplex tablet produksi PT. Mediafarma Labolatories dengan NIE
DBL721404016A1 nomor bets 16185101 yang merupakan obat lambung dan saluran cerna yang mengandung enzim-enzim pencernaan,
multivitamin, dan mineral untuk melancarkan
pencernaan dan metabolisme.
Dua produk obat Viostin Ds dan Enzyplex ditarik dari pasaran karena
dalam proses pembuatanyang mengandung bahan baku tertentu yang bersinggungan dengan bahan bersumber babi. Terkait hal
tersebut Ketua Lembaga Pengawas Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia
(LPOM MUI) Lukmanul Hakim mengungkapkan
fakta bahwa kedua produk tersebut
tidak bersertifikat halal atau belum mengajukan
sertifikat halal. Kedua Produk tersebut hanya memiliki Nomor Izin Edar
(NIE) yang dicantumkan dalam
kemasannya. NIE ini didapatkan dari pendataan awal (pre-market) BPOM
dan LPOM.
Data awal inilah yang digunakan untuk mendapatkan Nomor Izin Edar
(NIE), setelah mendapatkan
NIE, produsen bisa memasarkan produk tersebut. Kemudian, LPOM MUI akan melakukan audit atau pengecekan dilapangan. Khusus produk yang menggunakan bahan baku hewan
dan turunannya, hasil pengecekan akan menghasilkan kesimpulan mengandung atau tidak mengandung babi. Pada kasus produk ini pada saat post-market(setelah penjualan), baru terindentifikasi positif (mengandung DNA babi). Sedangkan kedua produk juga tidak mencantumkan kandungan produk pada label kemasan. Terkait dengan sertifikasi halal, hingga kini sertifikasi masih bersifat sukarela. Sukarela artinya perusahaan yang harus bergerak aktif untuk mendaftarkan
dengan melampirkan semua dokumen terkait
produk.
Menurut Kepala BPOM, Penny K.Lukito berkata bahwa pihaknya sudah mencabut izin edar Viostin
Ds dan Enzyplex, sebagai langkah sanksi terhadap produsen PT. Pharos
Indonesia dan PT. Mediafarma Laboratory, setelah BPOM memberikan sanksi yakni mencabut izin edar dan dan
menarik produk dari pasaran, kemudian
memberikan kesempatan pada produsen untuk memperbaiki produknya, namun pada saat beredar kembali, masih ditemukan pelanggaran kembali sehingga izin edar
produk ditarik serta diberikan sanksi berupa produsen
tidak bisa meregister produk lain selama tiga tahun
(Siaran Pers Tindak Lanjut Terhadap Temuan Produk Viostis
Dan Enzyplex,
https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/397/Siaran-Pers-Tindak-Lanjut-Terhadap--Temuan-Produk-Viostin-Ds-Dan-Enzyplex.html,
dikases pada tanggal 24 Oktober 2018).
Dari keterangan
tersebut di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa
bentuk-bentuk pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, yaitu pelaku usaha:
a. Memproduksi suplemen makanan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan dengan menggunakan bahan baku sapi yang tercemar DNA babi.
Hal ini dapat menyebabkan produk tidak layak
dikonsumsi karena tidak memenuhi standar kesehatan sehingga membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen. Padahal, penggunaan suplemen makanan tersebut harus dengan pengawasan dan resep dokter. Penggunaan
suplemen makanan yang sembarangan atau tidak sesuai takaran
tertentu dan tanpa pengawasan dokter dapat membahayakan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Sebenarnya, khasiat yang dirasakan cepat tersebut belum tentu memberikan
efek yang baik bagi kesehatan karena pengaruh bahan tambahan yang digunakan tersebut yang digunakan tanpa pengawasan dokter akan berbahaya bagi kesehatan.
b. Memproduksi suplemen makanan yang tidak sesuai dengan produk yang
didaftarkan di BPOM.
Pelaku usaha memalsukan
komposisi suplemen makanan yang dijual dengan menggunakan bahan baku yang tercemar DNA babi sehingga tidak sesuai dengan komposisi
aslinya yaitu bahan baku Chondroitin Sulfate
yang berasal dari sapi. Padahal, pada saat registrasi sampel produk, suplemen makanan yang bersangkutan telah lulus uji sesuai dengan komposisi
dan cara pembuatan suplemen makanan yang baik. Akan tetapi, ketika suplemen makanan tersebut telah beredar di pasaran, komposisinya telah berubah atau
tidak sesuai dengan yang didaftarkan karena suplemen makanan tersebut dicampurkan dengan bahan baku sapi
yang tercemar DNA babi. Khasiat suplemen makanan memang tidak dapat langsung
dirasakan dengan cepat tetapi suplemen
makanan yang terbuat dari bahan-bahan yang sudah teruji di Lab. BPOM tidak berbahaya bagi kesehatan jika dikonsumsi. Oleh karena itu, produsen
yang tidak memproduksi suplemen makanan sesuai dengan produk
yang didaftarkan di BPOM maka
izin edarnya akan dicabut sehingga
suplemen makanan tersebut akan ditarik
dari peredaran (Surat Internasl Hasil Pengujian Sampel Suplemen Makanan, https://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/klarifikasi/78/Penjelasan-Badan-Pom-Ri-Tentang-Viralnya-Surat-Internal-Hasil-Pengujian-Sampel-Suplemen-Makanan.html,
diakses pada tanggal 16 Oktober 2018).
Hal tersebut
tidak sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UUPK yang mengatur bahwa distributor dilarang memperdagangkan suplemen makanan yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
c. Menggunakan kemasan suplemen makanan tanpa mencantumkan komposisi
kandungan produk pada label kemasan.
Hal
tersebut dapat dilihat dari kemasan
suplemen makanan berupa penggunaan bahan baku sapi
yang tercemar DNA babi yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan penandaan dan informasi sehingga melanggar ketentuan Pasal 8, 9 dan 10 UUPK. Oleh karena
itu, pelaku usaha yang memperdagangkan suplemen makanan tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
yang berlaku maka izin edarnya akan
dicabut sehingga BPOM menarik suplemen makanan ilegal tersebut dari peredaran.
BPOM menarik dan menyita suplemen makanan tersebut baik dari
gudang distributor suplemen
tersebut, apotik dan kios/warung obat
di pasaran.
Dengan begitu, pelaku usaha suplemen
makanan berbahan baku sapi yang tercemar DNA babi telah melakukan perbuatan yang dilanggar sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a- i UUPK, yaitu pelaku usaha
dilarang memperdagangkan suplemen makanan yang :
1) tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2) tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket;
3) tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4) tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan
5) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu;
6) tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan;
7) tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8) tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan pada label;
9) tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
Selain itu, sesuai dengan Pasal
8 ayat (3) UUPK pelaku usaha dilarang memperdagangkan suplemen makanan yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Sedangkan dalam Pasal 9 UUPK mengatur bahwa pada dasarnya produsen suplemen makanan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suplemen makanan secara tidak benar,
seperti menawarkan suplemen makanan seolah-olah seperti aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung risiko, atau efek
samping tanpa keterangan yang lengkap.
Hal yang sama
juga diatur dalam Pasal 10 UUPK, yaitu bahwa dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, produsen dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai kegunaan dan bahaya penggunaan suplemen makanan. Akibat dari pelanggaran tersebut, produsen yang melakukan pelanggaran tersebut dilarang memperdagangkan suplemen makanan berbahan baku yang tercemar DNA babi tersebut serta
wajib menariknya dari peredaran.
Dari pelangggaran
yang dilakukan pelaku usaha tersebut, maka pelaku usaha
tersebut terbukti telah mengedarkan suplemen makanan yang tidak memenuhi persyaratan sehingga pelaku usaha dapat
dikenakan sanksi pidana berupa pidana
penjara 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- bahkan ancaman pidana dapat ditambah
seperempat jika menimbulkan luka berat dan sepertiga apabila menyebabkan kematian sesuai dengan Pasal 82 ayat (2) dan Pasal 83 Undang-Undang Kesehatan jo. Pasal
76, 77, dan 78 PP No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan. Selain itu, pelaku usaha tersebut
juga dapat dikenakan ancaman pidana sesuai dengan Pasal
80 ayat (4) Undang-Undang
Kesehatan jo. Pasal 74 PP No. 72 Tahun
1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan yaitu pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- karena telah mengedarkan suplemen makanan yang tidak memenuhi syarat Farmakope Indonesia.
B. Bentuk-bentuk
Kerugian Yang Dialami Konsumen
Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha telah menimbulkan
banyak kerugian yang diderita oleh konsumen, baik kerugian materil
maupun immateril. Kerugiaan materil ialah kerugiaan yang nyata-nyata diderita oleh konsumen dan keuntungan yang seharusnya diperoleh. Dalam hal ini
ialah suplemen yang seharusnya dikonsumsi untuk mengatasi beberapa keluhan pada kondisi kesehatan dari konsumen seperti
mencegah nyeri sendi, mengatasi gangguan Osteoarthritis, mengurangi
peradangan sendi, membantu pembentukan tulang rawan, membentuk
kolagen, menyembuhkan asam urat, dan menyembuhkan sakit pinggang serta rematik, tetapi malah suplemen makanan yang dikonsumsi tersebut digunakan bahan baku sapi
yang tercemar DNA babi yang
dalam hal ini konsumen yang mempunyai riwayat sakit tertentu seperti menderita sakit hipertensi yang dapat mengalami gangguan pada tekanan darah, mengalami pengerasan urat nadi, nyeri dada yang mencekam (Angina pectoris), radang
(nyeri) pada sendi-sendi tubuh, menyebabkan peningkatan kolesterol, memperlambat proses penguraian
protein dalam tubuh, dan pembawa (carrier) virus/penyakit
Flu Burung (Avian influenza) dan Flu Babi (Swine
influenza). Sedangkan kerugian
immateril ialah kerugian yang nyata-nyata dialami oleh konsumen tetapi tidak dapat
dinilai dengan uang dalam hal ini
seperti rasa bersalah atau beban psikologis
yang dialami oleh seseorang
karena telah mengkonsumsi suplemen makanan tersebut dengan bahan baku
sapi yang tercemar DNA babi yang tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama bagi konsumen yang beragama muslim maupun non-muslim serta pantangan
bagi kosumen yang mempunyai riwayat penyakit tertentu.
Dengan demikian, pelaku usaha, baik
produsen maupun
distributor, seharusnya dapat
melakukan kewajiban-kewajibannya
yang harus ditaati dengan dalam menjalankan
usahanya sebagaimana yang diatur dalam pasal
7 UUPK yaitu beitikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya,memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan sehingga tidak akan terjadi
bentuk-bentuk pelanggaran
yang pada akhirnya akan merugikan konsumen (Bidang Informasi dan Edukasi http://pelayanan.ylki.or.id/bidanginformasi&edukasi/wawancara&permohonandata/187601,
diakses pada tanggal 22 Oktober 2018).
C. Perlindungan
Hukum Kepada Konsumen Terhadap Pencantuman Komposisi Produk Pada Penandaan Kemasan Suplemen Makanan.
Salah satu upaya untuk menyelenggarakan
perlindungan konsumen sebagaimana yang dikehendaki oleh
UUPK adalah melalui pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pembinaan perlindungan konsumen diselenggarakan oleh pemerintah dalam upaya untuk
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilakukannya kewajiban
masing-masing. Sedangkan pengawasan
perlindungan konsumen dilakukan secara bersama oleh Pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.
Pembinaan terhadap pelaku usaha dan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar tidak semata-mata ditunjuk untuk melindungi kepentingan konsumen tetapi sekaligus bermanfaat bagi pelaku usaha
dalam upaya meningkatkan daya saing barang dan/atau jasa di pasar global. Di samping itu, diharapkan
pula tumbuhnya hubungan usaha yang sehat antara pelaku usaha
dengan konsumen sehingga dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Jika ditinjau
dari sudut UUPK maka pemerintah dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kelalaian melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Hal ini sesuai dengan Pasal
29 UUPK yang menyatakan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha, serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Selain
itu, dalam Pasal 30 ayat (1) UUPK dijelaskan bahwa pemerintah juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Tanpa pengawasan yang baik dari semua
pihak maka berbagai peraturan yang dikeluarkan menjadi sia-sia.
Pada akhirnya
pemerintah sebagai penengah yang adil akan mencari jalan
keluar jika terjadi sengketa konsumen dengan pelaku usaha. Untuk
itu, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk mengambil
suatu kebijakan di bidang perlindungan konsumen. Pengawasan oleh pemerintah dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait lainnya sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UUPK. Dalam hal peredaran suplemen
makanan, yang dikatakan Pemerintah adalah Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, dan BPOM.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, penulis mempunyai simpulan Memproduksi suplemen makanan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan dengan menggunakan bahan baku sapi yang tercemar DNA babi. Memproduksi suplemen makanan yang tidak sesuai dengan produk
yang didaftarkan di BPOM. Menggunakan
kemasan suplemen makanan tanpa mencantumkan
komposisi kandungan produk pada label kemasan. Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha telah menimbulkan
banyak kerugian yang diderita oleh konsumen, baik kerugian materil
maupun immateril.Kerugian materil dalam hal
ini ialah suplemen yang seharusnya dikonsumsi untuk mengatasi beberapa keluhan pada kondisi kesehatan dari konsumen, tetapi malah suplemen makanan yang dikonsumsi tersebut ditambahkan bahan baku sapi
yang tercemar DNA babi yang
dalam hal ini konsumen yang mempunyai riwayat sakit tertentu seperti menderita sakit hipertensi dapat mengalami gangguan tekanan darah. Sedangkan kerugian immateril dalam hal ini
seperti rasa bersalah atau beban psikologis
yang dialami oleh seseorang
karena telah mengkonsumsi suplemen makanan tersebut dengan bahan baku
sapi yang tercemar DNA babi.
Firmansyah, Herlan, & Hendra, Endang.
(2015). Implikasi globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas terhadap stabilitas
nilai rupiah. Asy-Syari’ah, 17(2), 45–54.
Irawan, Dandan. (2020). Peningkatan Daya
Saing Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Melalui Jaringan Usaha. Coopetition:
Jurnal Ilmiah Manajemen, 11(2), 103–116.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim,
S. H., & SE, M. M. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris.
Prenada Media.
Kandita, Puspita Laxmi. (2012). Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen Obat Tradisional Yang Mengandung Bahan Kimia Obat Keras
(Studi di Kota Yogyakarta).
Lestari, Dini Martinda, & Zahra, Surti.
(2020). Introduksi Produk Banana Chip Aren Sugar Dan Banana Puding Pada Ibu-Ibu
Dan Remaja Nyapah Walantaka, Serang. Jurnal Abdimas Bina Bangsa, 1(1),
87–97.
Listyawati, Indri Hastuti. (2017). Pengaruh
lokasi, kelengkapan produk, kualitas produk dan promosi terhadap keputusan beli
konsumen di pamella empat yogyakarta. Jurnal Bisnis, Manajemen, Dan
Akuntansi, 4(2).
Muhlis, Lisa Nursyahbani, Muhadar, Muhadar,
& Mirzana, Hijrah Adhyanti. (2022). Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku
Peredaran Kosmetik Ilegal Di Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 22(1),
82–100.
Werdhyasari, Ni Nengah. (2013). Perlindungan
Konsumen Dalam Kontrak Baku E-Commerce Lintas Negara Di Indonesia. UAJY.
Zulyanto, Aan. (2016). Kesiapan Dalam
Menghadapi Era Perdagangan Bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ekspansi:
Jurnal Ekonomi, Keuangan, Perbankan, Dan Akuntansi, 8(1), 29–45.
Copyright holder: Stefanus Don Rade, Ernesta Uba Wohon (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |