Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
PRODUKSI PADI SAWAH (Oriza sativa L.) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus L.) PADA BERBAGAI SISTEM TANAM DAN KEPADATAN IKAN DALAM MINA PADI
Ketut Murtika, Elkawakib
Syam’un, Sharifuddin Bin
Andy Omar
Program Studi Sistem-Sistem Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Universitas Hasanuddin
Makassar, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penurunan produksi padi disebabkan oleh degradasi lahan sawah, sementara program intensifikasi relatif tidak mengalami perbaikan. Saat ini diperlukan upaya untuk mengembangkan teknologi budidaya padi yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan petani dan optimalisasi lahan. Usaha tani sistem mina padi merupakan perpaduan antara usaha pertanian dan perikanan. Perubahan strategi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan termasuk dari segi protein dan menyejahterakan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh integrasi ikan nila (O. niloticus) dan padi sawah (O. sativa) pada berbagai sistem tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi, kelangsungan hidup dan pertambahan bobot ikan nila di Desa Cendana Hitam Timur, Kecamatan Tomoni Timur, Kabupaten Luwu Timur. Penelitian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok faktorial dua faktor. Faktor pertama adalah sistem tanam yang terdiri atas sistem tanam tegel, jajar legowo 2:1, dan legowo 4:1. Faktor kedua adalah kepadatan tebar ikan nila yang terdiri atas kepadatan 22 ekor bibit ikan/36 m2, kepadatan 28 ekor bibit ikan/36 m2, dan kepadatan 36 ekor bibit ikan/36 m2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi, kelangsungan hidup, dan pertambahan bobot ikan nila. Sistem tanam legowo 4:1 menghasilkan rata-rata jumlah anakan maksimum terbanyak (24,22) dan bobot 1000 butir gabah tertinggi (29,42 g). Sistem tanam legowo 2:1 menghasilkan rata-rata bobot biomassa tanaman tanpa gabah (70,21 g) dan produksi gabah kering tertinggi (25,52 kg.36 m2 atau 7,09 ton.ha-1), sedangkan sistem tanam tegel menghasilkan pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3288,62 g) dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (3,65%). Kepadatan tebar ikan 36 ekor per 36 m2 menghasilkan rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3344,04 g) dan kepadatan tebar ikan 22 ekor per 36 m2 menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (4,37%) pada budidaya mina padi.
Kata Kunci: padi sawah, ikan nila, mina padi, sistem tanaman padi, kepadatan ikan
Abstract
The decline in rice production was caused by the degradation of
paddy fields, while the intensification program had relatively not improved.
Currently, efforts are needed to develop rice cultivation technology that is able to make a positive contribution to farmers' welfare
and land optimization. Mina padi farming system is a
combination of agriculture and fisheries. This change in strategy is expected
to meet food needs, including in terms of protein and improve the welfare of
farmers. This study aims to determine and analyze the effect of integration of nile tilapia (O. niloticus) and
lowland rice (O. sativa L.) on various cropping systems on rice plant growth
and production, survival and weight gain of nile tilapia in Cendana Hitam Timur Village, East Tomoni
District, East Luwu Regency. The study was arranged
in a 2-factor factorial Randomized Block Design. The first factor is the
planting system, which consists of a tiled, jajar legowo 2:1, and legowo 4:1
planting system. The second factor was the stocking density of tilapia which
consisted of a density of 22 fish seeds/36 m2, a density of 28 fish
seeds/36 m2, and a density of 36 fish seeds/36 m2. The
results showed that there was no interaction between the planting system and
fish stocking density on the growth and production of rice plants, survival,
and weight gain of tilapia. The 4:1 legowo planting
system produced the highest average number of tillers (24.22) and the highest
weight of 1000 grains (29.42 g). The legowo 2:1
planting system produced an average weight of plant biomass without grain
(70.21 g) and the highest dry grain production (25.52 kg.36 m2 or
7.09 tons.ha-1), while the tile planting
system resulted in the highest absolute weight growth of tilapia (3288,62 g)
and the highest specific growth rate of tilapia (3.65%). The stocking density
of 36 fish per 36 m2 resulted in the highest absolute weight growth
of tilapia (3344,04 g). The stocking
density of 22 fish per 36 m2 resulted in the highest average
specific growth rate of tilapia (4.37%) in the Mina Padi
cultivation.
Keywords: rice paddy, nile tilapia, mina padi, rice cultivation system, fish density
Pendahuluan
Pembangunan pertanian selama satu dekade terakhir lebih identik pada pembangunan dengan fokus perhatian utama terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri. Terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri merupakan hal yang penting dalam suatu negara karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Salah satu alternatif upaya yang dilakukan pemerintah dalam optimalisasi pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah divesifikasi pangan dalam negeri.
Kebijakan pangan nasional diarahkan pada upaya diversifikasi pangan ke arah konsumsi pangan beragam, bergizi, dan berimbang. Diversifikasi pangan pada dasarnya mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Padi adalah komoditas pangan strategis nasional dan memiliki sensitivitas yang tinggi ditinjau dari aspek politis, ekonomi, dan kerawanan sosial (Dzikrillah et al., 2017). Asupan bahan pangan pokok seperti beras dapat memenuhi kebutuhan zat gizi berupa karbohidrat, namun kebutuhan akan asupan protein juga penting diperhatikan untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Selain beras sebagai kebutuhan pokok yang mendukung ketahanan pangan dari sektor pertanian, ikan juga menjadi komoditas unggulan di sektor perikanan (Lestari & Bambang, 2017).
Upaya peningkatan produksi padi pada era revolusi hijau melalui penggunaan pupuk dan pestisida kimia dinilai berhasil dalam mewujudkan swasembada pangan, terutama beras. Dalam jangka panjang, penerapan program intensifikasi pertanian berbasis teknologi revolusi hijau yang mencakup varietas unggul, pupuk kimia, dan pestisida telah mengubah pola pengelolaan tanam menjadi tidak ramah lingkungan.
Penurunan produksi padi akhir- akhir ini disebabkan antara lain oleh degradasi lahan sawah, sementara program intensifikasi padi relatif tidak mengalami perbaikan. Varietas unggul yang digunakan petani tidak dapat berproduksi lebih tinggi karena keterbatasan kemampuan genetik tanaman. Penggunaan pupuk dan pestisida secara tidak terkendali oleh sebagian petani, baik di lahan kering atau tegalan maupun sawah irigasi, tidak hanya menurunkan efisiensi usaha tani padi, tetapi juga merusak keseimbangan hara dan mencemari lingkungan. Kalau keadaan ini terus dibiarkan masalah yang dihadapi dalam berproduksi akan semakin kompleks. Menurut Lantarsih (2016), saat ini diperlukan upaya untuk mengembangkan teknologi budidaya padi yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan petani dan ketahanan pangan.
Mina padi merupakan sistem pemeliharaan tanaman padi yang diintegrasikan dengan ikan menawarkan solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Mina padi cenderung berpengaruh positif terhadap peningkatan produksi padi dan ikan (Ujoh et al., 2016). Sistem pertanian terintegrasi cocok dilaksanakan petani yang memiliki sumber daya terbatas sehingga dapat memaksimalkan kinerja. Petani di negara-negara berkembang seperti di Indonesia umumnya memiliki lahan yang sempit sehingga pemanfaatannya harus efisien. Dalam budi daya mina padi, ikan diintegrasikan dengan padi sehingga pemanfaatan lahan dan air terjadi pada waktu yang bersamaan dan menyebabkan terjadi penghematan kedua faktor produksi ini.
Mina padi telah terbukti sebagai salah satu bentuk budidaya ramah lingkungan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, mengoptimalkan dalam penggunaan lahan dan air, meningkatkan produktivitas, keanekaragaman hayati, intensifikasi, diversifikasi, dan gizi keluarga, serta merupakan pertanian berkelanjutan dalam memproduksi padi dan ikan yang efisien menggunakan tanah dan air (Sumarsih et al., 2020). Secara umum mina padi memiliki manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial (Chen & Hu, 2018; Nayak et al., 2018; Li et al., 2019). Keuntungan yang diperoleh dari budidaya mina padi antara lain meningkatkan pendapatan petani secara ekonomis (Nurhayati et al., 2016), meningkatkan diversifikasi hasil pertanian dan perikanan (Lestari & Bambang, 2017), meningkatkan kesuburan tanah dan air serta dapat mengurangi hama penyakit pada tanaman padi (Lestari & Rifai, 2017).
Mina padi selain menyediakan pangan sumber karbohidrat, sistem ini juga menyediakan protein hewani sehingga cukup baik untuk meningkatkan mutu makanan penduduk pedesaan. Jenis ikan yang dibudidayakan juga bisa bermacam-macam, mulai dari nila atau mujair, bawal atau jenis ikan air tawar lainnya. Aliyas et al. (2016) menyatakan bahwa ikan nila merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang populer di kalangan masyarakat. Oleh karena kepopulerannya itu membuat ikan nila memiliki prospek usaha yang cukup menjanjikan. Apabila ditinjau dari segi pertumbuhan, ikan nila merupakan jenis ikan yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan dapat mencapai bobot tubuh yang jauh lebih besar dengan tingkat produktivitas yang cukup tinggi.
Teknologi budidaya padi terus berkembang sehingga mendukung pengembangan mina padi. Teknologi tanam padi jajar legowo, misalnya, tidak hanya diterapkan pada padi monokultur tetapi juga pada mina padi. Sistem tanam jajar legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling dua atau lebih (biasanya dua atau empat) baris tanaman padi dan satu baris kosong (Supredi et al., 2018). Teknologi sistem tanam jajar legowo 2:1 maupun 4:1 memberikan hasil yang lebih tinggi yaitu 12-22% dibandingkan dengan sistem tanam biasa (tegel) (Bobihoe, 2013). Selain itu, satu baris kosong jajar legowo pada mina padi berfungsi sebagai ruang pemeliharaan ikan (Juari, 2020). Sumarsih et al. (2020) melaporkan bahwa model mina padi dengan sistem tanam jajar legowo meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya lahan, tenaga kerja dan modal, serta meningkatkan hasil padi 18,25%, hasil ikan 32%, dan meningkatkan pendapatan 40%. Model mina padi dengan sistem tanam jajar legowo lebih baik daripada model mina padi dengan sistem tanam tegel.
Penentuan jenis ikan yang akan dipelihara pada mina padi perlu diperhatikan. Ikan nila merupakan ikan air tawar yang dibudidayakan dan menjadi salah satu komoditas ekspor. Habitat ikan nila adalah air tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawa-rawa, tetapi karena toleransi ikan nila tersebut sangat luas terhadap salinitas (euryhaline) sehingga dapat pula hidup dengan baik di air payau dan air laut (Ghufran, 2011). Ikan nila cocok digunakan pada sawah mina padi karena ikan nila dinilai mudah hidup dan memiliki nilai ekonomis.
Populasi ikan yang hidup di lahan sawah dalam sistem mina padi sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan ikan maupun tanaman padi secara normal. Penentuan populasi ikan yang tepat pada sistem mina padi, selain untuk menghindarkan gangguan ikan terhadap tanaman padi, diharapkan adanya manfaat ganda bahwa ikan digunakan pada pengelolaan tumbuhan air di sawah dan efisiensi pemberian pakan ikan akan tercapai. Hal ini dapat dihubungkan pula dengan tujuan tanaman padi tidak terganggu oleh ikan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh berbagai kepadatan tebar ikan nila pada berbagai sistem tanam terhadap produksi tanaman padi serta kelangsungan hidup ikan nila.
Metode Penelitian
Penelitian disusun dalam bentuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dua faktor dengan perlakuan sebagai berikut:
1. Faktor pertama adalah sistem tanam jajar legowo (I) terdiri atas tiga taraf yaitu:
l0 : Sistem tanam tegel
l1 : Sistem tanam jajar legowo 2 : 1
l2 : Sistem tanam jajar legowo 4 : 1
2. Faktor kedua adalah kepadatan tebar ikan nila (P) yang digunakan, terdiri atas tiga taraf yaitu:
p1 : Kepadatan 22 ekor bibit ikan/36 m2
p2 : Kepadatan 28 ekor bibit ikan/36 m2
p3 : Kepadatan 36 ekor bibit ikan/36 m2
Sistem tanam tegel menggunakan jarak tanam 25 cm × 25 cm, jajar legowo 2 : 1 dengan jarak tanam 25 cm × 12,5 cm × 50 cm dan jarak tanamn untuk jajar legowo 4 : 1 adalah 25 cm × 12,5 cm × 25 cm × 50 cm. Kepadatan tebar ikan didasarkan pada Susanto (1996) yang menyatakan bahwa kepadatan penebaran ikan pada sistem mina padi antara lain dipengaruhi oleh ukuran ikan 1-3 cm dan berat 0,5-1 g dengan populasi 100.000-120.000 ekor.ha-1, ukuran ikan 3-5 cm dan berat 3-5 g dengan populasi 50.000-60.000 ekor.ha-1, ukuran ikan 5-8 cm dan berat 8-10 g dengan kepadatan 10.000-12.000 ekor.ha-1, ukuran ikan 8-12 cm dan berat 20-25 g dengan populasi 25.000-30.600 ekor.ha-1, serta ukuran ikan lebih dari 12 cm dan berat lebih dari 25 g, dengan populasi 20.000- 25.000 ekor.ha-1 atau 2-2,5 ekor.m-2 .
Setiap perlakuan dikombinasikan sehingga terdapat 9 (3 taraf sistem tanam jajar legowo × 3 taraf kepadatan tebar ikan nila) kombinasi perlakuan dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 27 unit percobaan.
Model Statistika
Penelitian
Model statistik untuk percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dalam faktorial dengan dua faktor adalah sebagai berikut:
Yijk = µ +
Kk + Aj + Bi + (AB)ij + εijk
dimana:
Yijk |
= |
Nilai respon pada pengamatan ke-k dari pelakukan sistem tanam ke-i dan kepadatan tebar ikan nila ke-j |
µ |
= |
Nilai tengah populasi |
Kk |
= |
Pengaruh aditif dari kelompok ke-k |
Ai |
= |
Pengaruh perlakuan
sistem tanam ke-i |
Bj |
= |
Pengaruh perlakuan
kepadatan tebar ikan nila ke-j |
(AB)ij |
= |
Pengaruh interaksi antara perlakuan sistem tanam ke-i dan kepadatan tebar ikan nila ke-j |
εijk |
= |
Pengaruh galat pengamatan ke-k dari perlakuan sistem tanam ke-i dan kepadatan tebar ikan nila ke-j |
Rancangan Analisis
Keseluruhan data yang diperoleh pada penelitian dianalisis dengan sidik ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) dan jika terdapat pengaruh nyata atau sangat nyata perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) atau uji LSD (Least Significance Different).
Hasil
Dan Pembahasan
Hasil
Jumlah anakan maksimum dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 3a dan 3b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam sangat berpengaruh nyata, kepadatan tebar ikan serta interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum tanaman padi.
Tabel 2 menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 4:1 (I2) menghasilkan rata-rata jumlah anakan maksimum terbanyak (24,22) dan berbeda nyata dengan sistem tanam tegel (l0) dan sistem tanam legowo 2:1 (I1).
Tabel 2. Rata-rata jumlah anakan maksimum tanaman padi
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
21,33 |
20,67 |
22,67 |
21,56b |
1,3255 |
Legowo 2:1 (l1) |
22,00 |
22,67 |
23,33 |
22,60b |
|
Legowo 4:1 (l2) |
24,67 |
23,33 |
24,67 |
24,22a |
Keterangan:Angka-angka yang diikuti
oleh huruf yang sama (a, b)
berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji BNTa=0,05
Berat biomassa tanaman tanpa gabah dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 4a
dan 4b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam
sangat berpengaruh nyata, kepadatan tebar ikan serta interaksi
antara sistem tanam
dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap berat biomassa tanaman padi tanpa gabah.
Tabel 3 menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 2:1 (I1) menghasilkan rata-rata berat biomassa tanaman tanpa gabah tertinggi (70,21 g) dan berbeda nyata dengan sistem tanam tegel (l0) dan sistem tanam legowo 4:1 (I2).
Tabel
3. Rata-rata berat biomassa (g) tanaman padi tanpa
gabah
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
67,57 |
67,50 |
68,07 |
67,71c |
0,6143 |
Legowo 2:1 (l1) |
70,00 |
70,50 |
70,13 |
70,21a |
|
Legowo 4:1 (l2) |
70,27 |
69,10 |
69,07 |
69,48b |
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama (a, b) berarti tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNTa=0,05
Bobot 1000 butir gabah dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 5a dan 5b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam sangat berpengaruh nyata, kepadatan tebar ikan serta interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir gabah tanaman padi.
Tabel 4 menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 4:1 (I2) menghasilkan rata-rata Bobot 1000 butir gabah tertinggi (29,42 g) dan berbeda nyata dengan sistem tanam tegel (l0) dan sistem tanam legowo 2:1 (I1).
Tabel
4. Rata-rata bobot
1000 butir gabah (g) tanaman padi
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
26,90 |
27,10 |
27,17 |
27,06c |
0,9612 |
Legowo 2:1 (l1) |
27,23 |
28,20 |
28,97 |
28,13b |
|
Legowo 4:1 (l2) |
29,23 |
29,43 |
29,60 |
29,42a |
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama (a, b) berarti tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNTa=0,05
Produksi berat gabah kering per petak, per hektar dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 6a, 6b dan 6c. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam
sangat berpengaruh nyata, kepadatan tebar ikan serta interaksi
antara sistem tanam
dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi berat gabah kering
tanaman padi.
Tabel 5 menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 2:1 (I1) menghasilkan rata-rata produksi berat gabah kering tertinggi (25,52 kg.petak-1 atau 7,09 ton ha-1) dan berbeda nyata dengan sistem tanam tegel (l0) dan sistem tanam legowo 4:1 (I2).
Tabel 5. Rata-rata produksi berat gabah kering (kg.petak-1
ton ha-1) tanaman padi
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
23,53 |
23,43 |
23,70 |
23,56c |
0,3629 |
(6,54) |
(6,51) |
(6,58) |
(6,54) |
(0,1008) |
|
Legowo 2:1 (l1) |
25,50 |
25,33 |
25,73 |
25,52a |
|
(7,08) |
(7,04) |
(7,15) |
(7,09) |
|
|
Legowo 4:1 (l2) |
24,67 |
24,53 |
24,33 |
24,51b |
|
(6,85) |
(6,81) |
(6,76) |
(6,81) |
|
Keterangan: - Angka-angka
yang diikuti oleh huruf
yang sama (a, b) berarti tidak berbeda nyata
pada taraf uji BNTa=0,05
- Angka-angka
yang berada dalam kurung adalah hasil
konversi ke ton ha-1
Pertumbuhan bobot mutlak
ikan dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 7a
dan 7b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam
dan kepadatan tebar ikan sangat
berpengaruh nyata, sedangkan interaksi antara sistem tanam
dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot mutlak ikan nila.
Tabel 6 menunjukkan bahwa sistem tanam tegel (I0) menghasilkan rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3288,62 g) dan berbeda nyata dengan sistem tanam legowo 2:1 (l1) dan sistem tanam legowo 4:1 (I2).
Kepadatan ikan 36 ekor per 36 m2 (p3) menghasilkan rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3344,04 g) dan berbeda nyata dengan kepadatan ikan 22 ekor (p1) dan 28 ekor per 36 m2 (p2).
Tabel
6. Rata-rata pertumbuhan
bobot mutlak ikan nila (g)
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
3033,18 |
3233,09 |
3599,60 |
3288,62a |
117,5761 |
Legowo 2:1 (l1) |
2966,52 |
3033,09 |
3132,93 |
3044,18b |
|
Legowo 4:1 (l2) |
2899,85 |
3033,09 |
3299,60 |
3077,51b |
|
Rata-rata |
2966,52b |
3099,76b |
3344,04a |
|
|
NP BNT0,05 |
117,5761 |
|
|
|
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama (a, b) berarti tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNTa=0,05
Laju pertumbuhan spesifik ikan dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 8a dan 8b.
Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam dan kepadatan tebar ikan sangat berpengaruh nyata, sedangkan interaksi antara sistem tanam
dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik ikan nila.
Tabel 7 menunjukkan bahwa sistem tanam tegel (l0) menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (3,6518%) dan berbeda nyata dengan sistem tanam legowo 2:1 (I1) dan sistem tanam legowo 4:1 (I2).
Kepadatan ikan 22 ekor per 36 m2 (p1) menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (4,3668%) dan berbeda nyata dengan kepadatan ikan 28 ekor (p2) dan 36 ekor per 36 m2 (p3).
Tabel
7. Rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila (%)
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
NP BNT0,05 |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
|||
Tegel (l0) |
4,2276 |
3,6420 |
3,0860 |
3,6518a |
0,0566 |
Legowo 2:1 (l1) |
4,2005 |
3,5504 |
2,8898 |
3,5469b |
|
Legowo 4:1 (l2) |
4,1636 |
3,5525 |
2,9630 |
3,5597b |
|
Rata-rata |
4,1972a |
3,5816b |
2,9796c |
|
|
NP BNT0,05 |
0,0566 |
|
|
|
|
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama (a, b) berarti tidak berbeda nyata
pada taraf uji BNTa=0,05
Kelangsungan hidup ikan dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 9a dan 9b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam dan kepadatan tebar ikan, serta interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan.
Tabel
8. Rata-rata kelangsungan
hidup ikan nila (%)
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
||
Tegel (l0) |
87,88 |
84,52 |
89,81 |
87,41 |
Legowo 2:1 (l1) |
90,91 |
84,52 |
86,11 |
87,18 |
Legowo 4:1 (l2) |
86,36 |
84,52 |
86,11 |
85,67 |
Rata-rata |
88,38 |
84,52 |
87,35 |
|
Mortalitas ikan nila dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 10adan 10c. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam dan kepadatan tebar ikan, serta interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas ikan nila.
Tabel
9. Rata-rata mortalitas
ikan nila (%)
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
||
Tegel (l0) |
3,89 |
3,91 |
3,92 |
3,91 |
Legowo 2:1 (l1) |
3,90 |
3,91 |
3,93 |
3,91 |
Legowo 4:1 (l2) |
3,88 |
3,89 |
3,93 |
3,90 |
Rata-rata |
3,89 |
3,91 |
3,93 |
|
Oksigen terlarut dan sidik ragamnya disajikan pada Tabel Lampiran 11a dan 11b. Sidik ragam menunjukkan bahwa sistem tanam dan kepadatan tebar ikan, serta interaksi antara sistem tanam dan kepadatan tebar ikan tidak berpengaruh nyata terhadap oksigen terlarut.
Tabel
10. Rata-rata oksigen
terlarut (ppm)
Sistem tanam |
Kepadatan tebar ikan (ekor/36 m2) |
Rata-rata |
||
22 (p1) |
28 (p2) |
36 (p3) |
||
Tegel (l0) |
12,12 |
15,48 |
10,19 |
12,59 |
Legowo 2:1 (l1) |
9,09 |
15,48 |
13,89 |
12,82 |
Legowo 4:1 (l2) |
13,64 |
15,48 |
13,89 |
14,33 |
Rata-rata |
11,62 |
15,48 |
12,65 |
|
Rincian nilai biaya produksi dan nilai produksi pada usaha monokulltur padi serta sistem tanam tanaman padi dan kepadatan tebar ikan nila dalam luasan hektar pada setiap perlakuan yang dicobakan tersaji pada Tabel Lampiran 12, 13 dan 14. Berdasarkan data nilai produksi dan total biaya produksi maka dapat dihitung analisis R/C ratio untuk menguji kelayakan usahatani. Tabel Lampiran 14 menyajikan R/C ratio masing-masing dari mina padi, serta R/C ratio secara terpisah antara padi dan ikan.
Tabel 11 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang dicobakan menghasilkan R/C ratio lebih besar dari 1 yang berarti semua perlakuan tersebut layak untuk dikembangkan dan menguntungkan. Sebagian besar perlakuan memiliki nilai R/C ratio yang tidak jauh berbeda. Nilai R/C ratio pada monokultur padi yakni sebesar 2,50 yang berarti untuk setiap Rp 1 biaya produksi yang dikeluarkan maka akan diperoleh hasil Rp 2,50. Sedangkan perlakuan mina padi nilai R/C ratio tertinggi diperoleh dari perlakuan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan kepadatan tebar ikan nila 22 ekor/36 m2 yakni sebesar 2,37. Hal ini berarti untuk setiap Rp 1 biaya produksi yang dikeluarkan maka akan diperoleh hasil Rp 2,37.
Tabel 11
Analisis biaya
dan pendapatan usahatani monokultur padi (non mina padi) serta sistem tanam
tanaman padi dan kepadatan tebar ikan nila
Perlakuan |
Nilai Produksi
(Rp) |
Biaya Produksi
(Rp) |
Pendapatan (Rp) |
R/C Ratio |
|||||
Monokultur Padi (Non Minapadi) |
35,122,500 |
14,070,000 |
21,052,500 |
2.50 |
|||||
Sistem Tanam |
Kepadatan tebar
Ikan Nila (Ekor/m2) |
Nilai Produksi
(Rp) |
Biaya Produksi
(Rp) |
Pendapatan (Rp) |
R/C Ratio |
||||
Mina Padi |
Padi dan Ikan |
Mina Padi |
Padi dan Ikan |
||||||
Tegel |
22 |
54,694,444 |
23,491,205 |
31,203,239 |
16,956,017 |
(Padi) |
2.33 |
2.36 |
(Padi) |
14,247,222 |
(Ikan) |
|
2.29 |
(Ikan) |
|||||
28 |
56,236,111 |
24,316,308 |
31,919,803 |
16,839,247 |
(Padi) |
2.31 |
2.35 |
(Padi) |
|
15,080,556 |
(Ikan) |
|
2.27 |
(Ikan) |
|||||
36 |
59,625,000 |
25,449,367 |
34,175,633 |
17,150,633 |
(Padi) |
2.34 |
2.37 |
(Padi) |
|
17,025,000 |
(Ikan) |
|
2.31 |
(Ikan) |
|||||
Jajar Legowo 2 : 1 |
22 |
56,597,222 |
23,878,071 |
32,719,151 |
19,027,485 |
(Padi) |
2.37 |
2.48 |
(Padi) |
13,691,667 |
(Ikan) |
|
2.24 |
(Ikan) |
|||||
28 |
56,944,444 |
24,697,687 |
32,246,758 |
18,832,869 |
(Padi) |
2.31 |
2.47 |
(Padi) |
|
13,413,889 |
(Ikan) |
|
2.13 |
(Ikan) |
|||||
36 |
58,277,778 |
25,841,720 |
32,436,058 |
19,299,947 |
(Padi) |
2.26 |
2.50 |
(Padi) |
|
13,136,111 |
(Ikan) |
|
2.01 |
(Ikan) |
|||||
Jajar Legowo 4 : 1 |
22 |
55,000,000 |
23,809,484 |
31,190,516 |
18,054,405 |
(Padi) |
2.31 |
2.41 |
(Padi) |
13,136,111 |
(Ikan) |
|
2.19 |
(Ikan) |
|||||
28 |
55,944,444 |
24,631,843 |
31,312,601 |
17,898,712 |
(Padi) |
2.27 |
2.40 |
(Padi) |
|
13,413,889 |
(Ikan) |
|
2.13 |
(Ikan) |
|||||
36 |
57,916,667 |
25,726,493 |
32,190,173 |
17,665,173 |
(Padi) |
2.25 |
2.39 |
(Padi) |
|
14,525,000 |
(Ikan) |
|
2.12 |
(Ikan) |
Pembahasan
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan berbagai sistem tanam sangat berpengaruh pada komponen jumlah anakan maksimum, berat kering tanaman, bobot 1000 butir gabah, produksi berat kering gabah, pertumbuhan bobot mutlak ikan, dan laju pertumbuhan spesifik ikan. Perlakuan berbagai kepadatan tebar ikan nila sangat berpengaruh nyata pada pertumbuhan bobot mutlak ikan dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila. Sebaliknya, interaksi antara perlakuan berbagai sistem tanam dan berbagai kepadatan tebar ikan nila tidak berpengaruh pada semua komponen yang diamati.
Pengaruh perlakuan
sistem tanam
Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 4:1 menghasilkan rata-rata jumlah anakan maksimum terbanyak (24,22). Jumlah anakan maksimum pada perlakuan jajar legowo 4:1 menunjukkan hasil lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan tegel dan jajar legowo 2:1. Pada saat memasuki fase vegetatif maksimum, perlakuan jajar legowo 4:1 menghasilkan jumlah anakan maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tegel dan jajar legowo 2:1. Hal ini diduga pada sistem tanam jajar legowo ada pengaturan populasi tanaman sehingga tanaman seolah-olah berada di pinggir yang dapat lebih memperoleh ruang tumbuh dan sinar matahari dibandingkan sistem tanam tegel yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan vegetatif semakin pesat dan menghasilkan jumlah anakan maksimum lebih tinggi. Menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2012) bahwa sistem tanam jajar legowo dapat meningkatkan jumlah anakan pada tanaman padi sawah karena sistem tanam jajar legowo memberikan ruang tanaman padi untuk menghasilkan anakan yang lebih banyak. Selain itu, jajar legowo dapat memudahkan dalam hal pemeliharaan tanaman. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Zubair et al. (2012) yang melaporkan bahwa sistem tanam jajar legowo menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan sistem tanam tegel di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Suriapermana et al. (2000) menambahkan bahwa pada sistem tanam jajar legowo, tanaman juga memperoleh ruang tumbuh dan sinar matahari yang optimum.
Jumlah anakan maksimum pada jajar legowo 4:1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan jajar legowo 2:1 diduga disebabkan jumlah populasi pada jajar legowo 4:1 lebih sedikit (528 rumpun) dibandingkan dengan jajar legowo 2:1 (616 rumpun). Jumlah populasi tanaman yang lebih sedikit akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak. Hal ini dipengaruhi oleh hasil fotosintesis. Pada jumlah populasi tanaman yang lebih banyak akan memungkinkan persaingan lebih tinggi untuk memperoleh ruang tumbuh dan penyinaran sehingga dapat menyebabkan partumbuhan dan perkembangan anakan terganggu. Menurut Masdar et al. (2006), tanaman yang tumbuh dengan populasi yang besar dapat mengakibatkan stres sehingga perkembangan anakan terhambat. Selanjutnya Yetti & Ardian (2010) menambahkan bahwa jumlah anakan maksimum juga ditentukan oleh jumlah populasi, sebab jumlah populasi menentukan radiasi matahari, hara mineral, dan budidaya tanaman itu sendiri.
Sistem tanam legowo 4:1 juga menghasilkan rata-rata bobot 1000 butir gabah tertinggi (29,42 g) dibandingkan dengan sistem tegel. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya pengaturan populasi tanaman. Sesuai dengan prinsip sistem tanam jajar legowo, yaitu setiap barisan tanaman tertentu dikondisikan sebagai tanaman pinggir yang memberikan hasil lebih tinggi daripada tanaman di dalam barisan, karena sistem tanam jajar legowo memberikan peluang bagi tanaman untuk mendapat sinar matahari secara merata dengan adanya lorong-lorong di antara barisan tanaman. Lorong-lorong yang tersedia juga akan memberikan efek kompetisi hara yang rendah bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Magfiroh et al. (2017) yang menyatakan tanaman pinggir menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena persaingan tanaman antar barisan berkurang.
Rata-rata bobot 1000 butir gabah yang lebih tinggi pada sistem tanam legowo 4:1 dibandingkan sistem tanam legowo 2:1 diduga masih terkait dengan jumlah populasi. Jumlah populasi pada sistem tanam legowo 4:1 lebih sedikit dibandingkan sistem tanam legowo 2:1 sehingga lebih memungkinkan kebutuhan nutrisinya tercukupi karena kurangnya kompetisi antar tanaman, bentuk dan ukuran biji yang dihasilkan lebih seragam. Persaingan antar tanaman serumpun dan antar rumpun lainnya terhadap cahaya, ruang, dan unsur hara, disebabkan oleh populasi tanaman yang tinggi. Nararya et el. (2017) menyatakan pada jumlah populasi yang optimal dengan jarak tanam yang lebih lebar proses fotosintesis berlangsung optimal, sehingga akumulasi dari asimilat yang dihasilkan dan dialokasikan untuk pengisian biji juga lebih banyak dan berdampak pada bobot dari biji lebih berat serta persentase gabah hampa cenderung lebih sedikit. Selanjutnya, Masdar (2008) dan Bima et al. (2017) menambahkan bahwa berat ringannya biji tergantung dari banyak atau tidaknya bahan kering yang terkandung dalam biji. Bahan kering dalam biji diperoleh dari hasil fotosintesis yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengisian biji.
Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa sistem tanam legowo 2:1 menghasilkan rata-rata berat bimoassa tanaman tanpa gabah tertinggi (70,21 g). Hal ini diduga karena sistem tanam legowo 2:1 lebih banyak memberikan ruang kosong bagi tanaman sehingga dapat memberikan sirkulasi udara, cahaya matahari, dan penyebaran unsur hara yang lebih merata. Akibatnya, hasil pertumbuhan tanaman lebih baik yang ditandai dengan meningkatnya berat kering tanaman.
Berat biomassa tanaman merupakan indikator pertumbuhan tanaman secara keseluruhan, sehingga terdapat kecenderungan bila berat biomassa semakin tinggi berarti tanaman juga mengalami pertumbuhan yang lebih baik. Sitompul & Guritno (1995), menyatakan bahwa berat kering tanaman merupakan ukuran yang paling sering digunakan untuk menggambarkan dan mempelajari pertumbuhan tanaman. Ini didasarkan atas kenyataan bahwa taksiran berat (biomassa) tanaman relatif mudah diukur dan merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tanaman sebelumnya, sehingga parameter ini merupakan indikator pertumbuhan yang paling representatif apabila tujuan utamanya adalah mendapatkan penampilan keseluruhan tanaman atau suatu organ tertentu. Hal lain yang mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik adalah adanya kenaikan pH tanah dari agak masam menjadi netral, kandungan karbon tanah mengalami peningkatan dari kategori rendah menjadi kategori sedang dan nilai tukar kation juga mengalami peningkatan dari kategori sangat rendah menjadi kategori sedang. Dengan meningkatnya nilai tukar kation maka dimungkinkan tanaman dapat dengan mudah menyerap unsur hara yang tersedia di dalam tanah. Keadaan yang terjadi ini ditunjukan dari hasil analisis tanah sebelum dan sesudah penelitian (Tabel Lampiran 10).
Semakin tinggi hasil fotosintesis, semakin besar pula penimbunan cadangan makanan yang ditranslokasikan untuk menambah berat kering tanaman. Subronto et al. (1991) mengemukakan bahwa produksi bahan kering ditentukan pada besarnya penangkapan cahaya oleh kanopi (tajuk) dan efisiensi pengalihan energi surya menjadi bahan kering. Goldswothy & Fisher (1992), menambahkan bahwa komponen yang bersama-sama menentukan berat bahan kering yang tertimbun dalam bagian tanaman dan secara ekonomi berguna adalah ukuran luas permukaan fotosintesis yang menghasilkan berat kering, laju kegiatannya, pembagian hasil fotosintat kepada organ-organ hasil dan lamanya waktu penimbunan berlangsung. Selanjutnya Harjadi (1993) menambahkan bahwa hasil bahan kering tanaman hijau hampir 90% dibentuk dari fotosintesa. Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa peningkatan berat kering sangat dipengaruhi oleh laju fotosintesis, dan laju fotosintesis dapat berjalan jika tanaman dapat menerima dan menggunakan cahaya matahari secara optimal.
Berat kering tanaman padi menggambarkan kemampuan tanaman dalam mengikat energi dari cahaya matahari melalui proses fotosintesis, dan interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan lainnya, karena 90% berat kering tanaman berasal dari fotosintesa. Akumulasi bahan kering tanaman terdistribusi ke bagian akar, batang, daun, dan bagian generatif tanaman, yang menggambarkan produksi tanaman. Kondisi seperti ini memberikan gambaran pada sistem tanam legowo 2:1 yang menghasilkan rata-rata berat kering tanaman tertinggi akan menghasilkan pula produksi berat kering gabah tertinggi (25,52 kg.petak-1 atau 7,09 ton.ha-1). Pemanfaatan ruang kosong pada pola jajar legowo sistem tanam legowo 2:1 menyebabkan proses fotosintesis berlangsung efektif pada fase generatif, hasil fotosintesis lebih banyak dibawa ke biji sehingga hasil gabah lebih tinggi .
Menurut Triny et al. (2004), sistem tanam legowo 2:1 akan menjadikan semua barisan rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di pinggir galengan sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect). Tanaman yang mendapat efek samping produksinya lebih tinggi daripada yang tidak mendapat efek samping. Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia, seperti cahaya matahari, air, dan CO2, dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil, karena kompetisi yang terjadi relatif kecil.
Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa sistem tanam tegel menghasilkan rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3288,62 g) dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (3,6518%). Hal ini diduga disebabkan pada sistem model mina padi dengan sistem tegel pergerakan ikan lebih aman dan pelan karena lebih banyak tempat untuk berlindung. Akibatnya, ikan tidak mengalami tekanan atau stres sehingga pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan spesifik yang dihasilkan lebih tinggi. Berbeda dengan sistem legowo, pergerakan ikan lebih lincah karena adanya parit sehingga pada saat ada orang atau burung yang mendekat ke petak penelitian, ikan tampaknya mengalami tekanan (stres) karena bergerak cepat sehingga bertabrakan dengan ikan lain dan batang tanaman padi. Menurut Lestari & Syukriah (2020), stres pada ikan umumnya merupakan suatu keadaan terganggunya homeostasis tubuh ikan yang menghasilkan suatu respons adaptif untuk mengompensasi adanya gangguan/stresor yang dapat menyebabkan gangguan fisiologis, penyakit, hingga kematian pada ikan.
Stres pada ikan bisa berjangka lama dan panjang (kronis) serta yang tiba-tiba dan pendek (akut), dan dapat berupa fisik, psikologis maupun lingkungan. Davis (2006) menyatakan bahwa stres pada ikan dapat ditandai dengan perubahan fisiologis, seperti kortisol plasma, glukosa, laktat, dan konsentrasi elektrolit, terkait dengan keparahan dan lama paparan stresor. Untuk mempertahankan homeostasis membutuhkan sangat banyak energi, dan hal ini akan menghabiskan cadangan energi.
Pengaruh kepadatan
tebar ikan
Hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa kepadatan ikan 36 ekor per 36 m2 menghasilkan pertumbuhan bobot mutlak tertinggi (3344,04 g) dan kepadatan ikan 22 ekor per 36 m2 menghasilkan rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (4,37%). Hal ini diduga disebabkan oleh semakin tinggi kepadatan ikan semakin besar populasi ikan pada media pemeliharaan, maka semakin besar persaingan terhadap oksigen dan makanan di antara individu ikan, sehingga semakin tinggi tingkat kematian ikan. Hal ini ditunjang oleh kosentrasi oksigen terlarut yang lebih rendah pada kepadatan yang tinggi. Oksigen yang diperlukan dalam proses pernapasan ikan untuk metabolisme ikan diperlukan kosentrasi oksigen sekitar 2-4 mg.L-1. Hasil pengukuran oksigen terlarut berdasarkan kepadatan tebar ikan nila pada penelitian ini (Tabel Lampiran 9a) diperoleh rata-rata kepadatan 22 ekor/36 m2 adalah 3,89 mg.L-1; 28 ekor/36 m2 adalah 3,91 mg.L-1 dan 36 ekor/36 m2 adalah 3,93 mg.L-1. Menurut Ajitama (2017), oksigen terlarut menjadi parameter penting karena dibutuhkan pada proses oksidasi amonia dan menjadi faktor pembatas utama bagi kelangsungan hidup ikan. Syamsudari (2013) menambahkan bahwa tingkat konsumsi oksigen ikan bervariasi tergantung pada suhu, konsentrasi oksigen terlarut, ukuran ikan, tingkat aktivitas, dan tingkat metabolisme juga bervariasi antarindividu, karena dibatasi oleh kandungan oksigen yang tersedia.
Laju pertumbuhan spesifik ikan nila semakin menurun dengan semakin meningkatnya kepadatan tebar. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 7, di mana kepadatan tebar 22 ekor/36 m2 diperoleh laju pertumbuhan spesifik ikan nila sebesar 4,1972%, 28 ekor/36 m2 sebesar 3,5816%, dan 36 ekor/36 m2 sebesar 2,98%. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Kristanto & Kusrini (2007), bahwa ikan yang dipelihara dengan kepadatan rendah mempunyai laju pertumbuhan yang baik dibandingkan ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Ini berarti bahwa semakin tinggi kepadatan benih nila maka semakin rendah nilai pertambahan biomassa benih ikan nila tersebut.
Kepadatan tebar ikan berhubungan langsung dengan kompetisi pakan yang dihasilkan dari tanaman padi sehingga dengan kepadatan tebar ikan yang lebih banyak pertumbuhan ikan menurun, dibandingkan dengan kepadatan tebar ikan yang lebih rendah. Diduga rendahnya pertumbuhan bobot mutlak ikan nila dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila pada kepadatan tebar ikan yang lebih tinggi disebabkan oleh meningkatnya hasil ekskresi ikan dan sisa pakan yang tidak termanfaatkan pada sawah karena kepadatan yang tinggi, sehingga dapat mengganggu kondisi fisiologis dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang dapat berpengaruh pada penurunan kondisi fisiologis dan pemanfaatan pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2006), bahwa kematian yang terjadi pada pemeliharaan dengan padat penebaran yang tinggi terjadi karena ruang gerak yang semakin sempit memberikan tekanan terhadap ikan, sehingga ikan menjadi stres dan dapat memengaruhi daya tahan ikan bahkan dapat menimbulkan kematian. Tahir & Pasaribu (2003) menyatakan bahwa ikan akan tumbuh dengan baik pada ruang gerak yang lebar. Alfia et al. (2013) menambahkan apabila ruang gerak ikan menjadi terbatas maka akan menghambat mendapatkan makanan yang dapat menurunkan daya tahan tubuh ikan.
Interaksi perlakuan
sistem tanam dengan kepadatan tebar ikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan kepadatan tebar ikan berdasarkan analisis sidik ragam tidak memberikan interaksi yang nyata terhadap semua parameter yang diamati. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan respon antar kedua faktor yang diteliti. Keadaan ini dapat terjadi disebabkan tidak adanya kondisi yang sinergis antara sistem tanam yang digunakan dan kepadatan tebar ikan nila.
Sistem tanam jajar legowo, baik itu legowo 2:1 maupun 4:1, sebenarnya merupakan sistem tanam yang ideal diterapkan dalam mina padi. Pada sistem tanam jajar legowo 2:1, setiap dua barisan tanam terdapat lorong selebar 50 cm, jarak antar barisan 25 cm, tetapi jarak dalam barisan lebih rapat yaitu 12,5 cm. Pada sistem tanam jajar legowo 4:1, setiap empat barisan tanam terdapat lorong selebar 50 cm, jarak antarbarisan 25 cm, dan jarak dalam barisan tengah 25 cm. Lorong atau parit yang ada merupakan jalan bagi ikan untuk mencari makan. Namun demikian, hasil analisis statistik menunjukkan berapapun kepadatan tebar ikan nila yang dicobakan dalam penelitian ini tidak memengaruhi atau dipengaruhi oleh sistem tanam yang digunakan.
Hasil analisis usaha tani menunjukkan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usahatani monokultur padi (non mina padi) adalah Rp 21,052,500, sedangkan pada masing-masing perlakuan mina padi berada pada nilai rata-rata Rp 32,154,881 per hektar untuk sekali musim tanam. Selanjutnya hasil analisis usaha tani menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1, yang berarti semua perlakuan menghasilkan keuntungan dan layak untuk dikembangkan. Suatu usaha tani layak untuk dikembangkan apabila usaha tani tersebut memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan selama usaha tani tersebut dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho & Mas’ud (2021) secara garis besar dapat dimengerti bahwa suatu usaha akan mendapatkan keuntungan apabila penerimaan lebih besar dibandingkan dengan biaya usaha. R/C adalah singkatan dari (Revenue/Cost Ratio) atau dikenal sebagai perbandingan antara penerimaan dan biaya. Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah usahatani itu menguntungkan atau tidak dan layak atau tidak layak untuk dikembangkan. Jika hasil R/C Ratio lebih dari satu maka usahatani tersebut menguntungkan, sedangkan jika hasil R/C Ratio sama dengan satu maka usahatani tersebut dikatakan impas atau tidak mengalami untung dan rugi dan apabila hasil R/C Ratio kurang dari satu maka usahatani tersebut mengalami kerugian.
Nilai R/C ratio tertinggi pada perlakuan mina padi diperoleh dari perlakuan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan kepadatan tebar ikan nila 22 ekor/ 36 m2 yakni 2,37 artinya setiap Rp 1 biaya produksi yang dikeluarkan maka akan diperoleh hasil Rp 2,37. Hal tersebut berarti perlakuan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan kepadatan tebar ikan nila 22 ekor/ 36 m2 memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan perlakuan lainnya. Tujuan akhir dari suatu usaha tani adalah memperoleh keuntungan yang memadai, dalam arti hasil yang diterima lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Untuk tetap memperoleh keuntungan yang memadai maka petani harus tetap berupaya untuk memaksimalkan produksi dengan berbagai usaha, seperti perbaikan sistem budidaya, tetapi tetap mengefisienkan biaya produksi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh
maka dapat disimpulkan bahwa:
1.
Rata-rata jumlah anakan maksimum
terbanyak (24,22) dan bobot
1000 butir gabah tertinggi (29,42 g) diperoleh dari sistem tanam
legowo 4:1. Sedangkan rata-rata bobot biomassa tanaman tanpa gabah (70,21 g) dan produksi gabah kering tertinggi (25,52 kg.petak-1 atau 7,09
ton ha-1) diperoleh dari
sistem tanam legowo 2:1.
2.
Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3288,62 g) dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (3,6518%) diperoleh dari sistem tanam tegel.
3.
Rata-rata pertumbuhan bobot mutlak ikan nila tertinggi (3344,04 g) diperoleh dari kepadatan tebar ikan 36 ekor per 36 m2.
Rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila tertinggi (4,37%) pada sistem budidaya mina padi diperoleh dari kepadatan tebar ikan 22 ekor per 36 m2.
BIBLIOGRAFI
Abdulrachman, S., M.J. Mejaya, N. Agustiani, I. Gunawan, P. Sasmita, & A. Guswara. 2013. Sistem Tanam Legowo. Editor: Suharna. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Ajitama, P. 2017. Pemanfaatan Selada Kepala Mentega (Lactuca sativa) untuk Memperbaiki Kualitas Air dari Limbah Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Akuaponik. Tesis. Bogor, Indonesia: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Akbar A. 2017. Peran intensifikasi mina padi dalam menambah pendapatan petani padi sawah di Gampong Gegarang, Kecamatan Jagong Jeget , Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal S Pertanian. 1(1): 28-38.
Alfia, A, R., E, Arini, & T. Elfitasari. 2013. Pengaruh kepadatan yang berbeda terhadap kelulushidupan dan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) pada sistem resirkulasi dengan filter bioball. Journal of Aquaculture Management and Technology, 2(3): 86-93
Aliyas, S. Ndobe., & Z.R. Ya’la. 2016. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis sp.) yang dipelihara pada media bersalinitas. Jurnal Sains dan Teknologi Tadulako, 5(1): 19-27.
Anggraini, F., A, Suryanto., N, Aini. 2013. Sistem tanam dan umur bibit pada tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) Varietas Inpari 13. Jurnal Produksi Tanaman 1(2): 52-60
Aprilia, K., D, Kusnadi., & Harniati. 2020. Persepsi petani padi terhadap sistem tanam jajar legowo di Desa Sukaharja, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor. Jurnal Inovasi Penelitian. 1(3): 435-444
Arafah. 2009. Pengelolaan dan Pemanfaatan Padi Sawah. Bumi Aksara. Bogor.
Ardianti, L.K. & Suratman. 2020. Evaluasi perbandingan dampak teknik pertanian padi monokultur dan minapadi terhadap lingkungan di Desa Candibinangun. JAGAT (Jurnal Geografi Aplikasi dan Teknologi) 4(2): 29-44.
Asmarani, M. 2017. Analisis Adaptasi Padi Sawah Beras Merah yang Digogokan. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. 2009. Teknologi Budidaya Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jambi. Hal 22.
Bima, S., E.M. Harahap, & Jamilah. 2017. Peningkatan produktifitas padi sawah (Oryza sativa L.) melalui penerapan beberapa jarak tanam dan sistem tanam. Jurnal Agroekoteknologi 80: 629-637.
Bobihoe, J. 2013. Sistem Tanam Padi Jajar Legowo. BPTP Jambi
Bobihoe, J., N, Asni, & Endrizal. 2015. Kajian teknologi mina padi di Rawa Lebak di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Jurnal Lahan Suboptimal 4(1): 47-56.
Cahyaningrum, W., Widiatmaka, & K. Soewardi. 2014. Arahan spasial pengembangan mina padi berbasis kesesuaian lahan dan analisis SWOT di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Majalah Ilmiah Globe, 16(1): 77-88.
Cendrawasih, R.R. 2019. Efisiensi Teknis dan Pendapatan Usahatani Padi Sistem Tanam Jajar Legowo di Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur. Tesis (Tidak dipublikasikan) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Chen, X., & L.L. Hu. 2018. Rice-fish co-culture system, p. 175-179 In: S.M. Luo. Agroecological Rice Production in China: Restoring Biological Interactions. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Ciyo, M.B. 2008. Efektivitas bahan organik dan tinggi genangan terhadap perubahan Eh, Ph, dan status Fe, P, Al terlarut pada tanah ultisol. J. Agroland 15(4): 257-263.
Davis, B.K. 2006. Management of physiological stress in finfish aquaculture. North American Journal of Aquaculture, 68(2): 116-121.
DJPB. 2018. Mina Padi. Dirjen Perikanan Budidaya Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
Dzikrillah, G.F., S. Anwar, & S.H. Sutjahjo. 2017. Analisis keberlanjutan usaha tani padi sawah di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (JPSL) 7(2): 107-113
Effendi, H. 2006. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan Perairan. Kanasius. Yogyakarta.
Gardner, F., R.B. Pearce, & R.L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya: Terjemahan Herawati Susilo). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Ghufran, M. 2011. Pemeliharaan Nila Secara Intensif. Akademia. Jakarta
Goldsworthy, P.R., & N.M. Fisher. 1992. The Physiology of Tropical Field Crops (Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik, Terjemahan Tohari). Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hardjanto, K. 2021. Implementasi budidaya mina padi di Kota Magelang. Jurnal Chanos chanos, 19(1): 115-124
Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.
Herawati, W.D. 2012. Budidaya Padi. Javalitera. Jogjakarta.
Ikhwani, R.P. Gagad, P. Eman, & A.K. Makarim. 2013. Peningkatan produktivitas padi melalui penerapan jarak tanam jajar legowo. Iptek Tanaman Pangan 8(2): 72-79.
Juari, H. 2020. Budidaya Ramah Lingkungan Sistem Minapadi. Tasikmalaya: BPP Leuwisari.
Khairuman, & K. Amri. 2018. Buku Pintar Budidaya Ikan Konsumsi. PT. Agromedia Pustaka, Tangerang
KKP. 2018. Peraturan Direktur Jendral Perikanan Budi Daya Nomor 64/PER-DJPB/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jendral Perikanan Budi Daya Nomor 209/PER-DJPB/2017 tentang Pedoman Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah Budi Daya Ikan Sistem Mina Padi Tahun Anggaran 2018 pada Direktorat Jendral Perikanan Budi Daya.
Kristanto, A, H., & E. Kusrini. 2007. Peranan faktor dalam pemuliaan ikan. Media Akuakultur, 2: 183-188
Lantarsih, R. 2016. Pengembangan “mina padi kolam dalam” di Kabupaten Sleman. Jurnal Agraris 2(1): 17-27.
Lestari, S. & A.N. Bambang. 2017. Penerapan mina padi dalam mendukung ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proceeding Biology Education Conference, 14(1): 70-74.
Lestari, S., & M. Rifai. 2017. Analisis faktor eksternal dan internal pelaksanaan mina padi di Desa Payaman Nganjuk. J. Terapan Abdimas, 2(1): 27-32.
Lestari, D.F., & Syukriah. 2020. Manajemen stres pada ikan untuk akuakultur berkelanjutan. Jurnal Ahli Muda Indonesia (JAMI), 1(1): 97-105.
Li, F., Z. Sun, H. Qi, X. Zhou, C. Xu, D. Wu, & N. Zhang. 2019. Effects of rice-fish co-culture on oxygen consumption in intensive aquaculture pond. Rice Science 26(1): 50-59.
Magfiroh, N. Iskandar, M. Lapanjang, & U. Made. 2017. Pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) pada pola jarak tanam yang berbeda dalam sistem tabela. e-J. Agrotekbis 5(2): 212-221.
Masdar, K. Musliar, R. Bujang, H. Nurhajati, & Helmi. 2006. Tingkat hasil dan komponen hasil sistem intensifikasi padi (SRI) tanpa pupuk organik di daerah curah hujan tinggi. J. Ilmu Pertanian. 8(2): 126-131.
Masdar. 2008. Interaksi jarak tanam dan jumlah bibit per titik tanaman pada sistem intensifikasi padi terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Jurnal Akta Agrosia, 1: 92-98.
Megasari, R., R. Asmuliani, M. Darmawan, I.M. Sudiarta, & D. Andrian. 2021. Uji beberapa sistem tanam jajar legowo terhadap pertumbuhan dan produksi padi varietas ponelo (Oryza sativa L.). Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 9(1): 1-9
Mubaroq, I.A. 2013. Kajian Bionutrien Caf dengan Penambahan Ion Logam Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Padi. Universitas Pendidikan Indonesia. repositori.upi.edu.
Nararya, M.B.A., M. Santoso, & A. Suryanto, 2017. Kajian beberapa macam sistem tanam dan jumlah bibit per lubang tanam pada produksi tanaman padi sawah (Oryza sativa L.) varietas Inpari 30. Jurnal Produksi Tanaman, 5(8): 1338-1345.
Nayak, P.K., A.K. Nayak, B.B. Panda, B. Lal, P. Gautam, A. Poonam, & N.N. Jambhulkar. 2018. Ecological mechanism and diversity in rice based integrated farming system. Ecological Indicators 91: 359-375.
Norsalis, E. 2011. Padi gogo dan sawah. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Subang. Jawa Barat.
Nugraha A. R. 2009. Penerapan Teknologi minapadi pada Lahan Persawahan, CV Arfino Raya. Bandung.
Nugroho, A, Y., & A, A, Mas’ud. 2021. Proyeksi BEP, RC ratio dan R/L ratio terhadap kelayakan usaha (studi kasus pada usaha taoge di Desa Wonoagung Tirtoyudo Kabupaten Malang). Journal koperasi dan manajemen 2(1): 26-37
Nurhayati, A., W. Lili, T. Herawati, & I. Riyantini. 2016. Derivatif analysis of economic and social aspect of added value minapadi (paddy-fish integrative farming) a case study in the village of Sagaracipta Ciparay subdistrict, Bandung West Java Province, Indonesia. Aquatic Procedia 7: 12-18.
Rosadi, F.N. 2013. Studi Morfologi dan Fisiologi Galur Padi (Oryza sativa L.) Toleran Kekeringan. Tesis (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sitompul, S.M. & B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press.
Subronto, Maskuddin & Pamin K. 1991 Efisiensi pengalihan energi pada tanaman kelapa sawit. Buletin Perkebunan 22 (1): 33 – 49
Suharso. 2014. Pengaruh sistem tanam jajar legowo dan macam varietas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Oryza sativa L.). Saintis, 6(1): 27-40
Sumarsih, E., R.S. Natawidjaja, & A. Silmi. 2020. Efisiensi penggunaan sumber daya dan pendapatan usahatani minapadi dengan sistem tanam jajar legowo. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 4(1): 35-41
Supredi, E., W.D. Parwati, & E. Firmansyah. 2018. Pengaruh tanam jajar legowo pada pertumbuhan dan hasil padi sawah sistem mina padi. Jurnal Agromast, April 2018 3(1).
Suriapermana, S., N. Indah, & Y. Surdianto. 2000. Teknologi budidaya padi dengan cara tanam legowo pada lahan sawah irigasi. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV: Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Susanto, H. 1996. Usaha Pembenihan dan Pembesaran Tawes. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syamsundari, S. 2013. Analisis penerapan biofilter dalam sistem sirkulasi terhadap mutu kualitas air budidaya ikan sidat (Anguilla bicolor). Jurnal GAMMA, 8(2): 86-97.
Tahir, A.G. & A.M. Pasaribu. 2003. Kajian adaptasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii) dan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan sistem mina padi jajar legowo di lahan sawah irigasi. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6(2): 167-175
Taukhid, A.M. Lusiastuti, & T. Sumiati. 2014. Aplikasi vaksin Streptococcus agalactiae untuk pencegahan penyakit streptococcosis budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus). Berita Biologi. 13(3):245-253.
Thenu, J.L., & L.H.J. Tinglioy. 2021. Laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan komposisi kimia ikan nila (Oreochromis niloticus) hasil rekayasa dari air tawar ke air laut. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan 1(1): 40-48.
Tjitrosoepomo, G., 2010. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). UGM-Press, Yogyakarta
Triny, S., Kadir, E. Suhartatik, & E. Sutisna. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya PTB cara PTT. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB lainnya. 31 Maret-3 April 2014 di Balitpa, Sukamandi.
Turiono, Zamroni, & D.H. Pamungkas. 2019. Pengaruh sistem tanam jajar legowo dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi (Oryza sativa L.) Ciherang. Jurnal Ilmiah Agroust. 3(1): 55-64
Ujoh, F., F. Ujoh, & I. Kile. 2016. Integrated production of rice and fish: toward a sustainable agricultural approach. Journal of Scientific Research and Reports 10(6): 1-9.
Utama, M.Z.H. 2015. Budidaya Padi Lahan Marjinal Kiat Meningkatkan Produksi Padi. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Yetti, H., & Ardian. 2010. Pengaruh penggunaan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah (Oryza sativa L.) varietas IR 42 dengan metode SRI (System of Rice Intensification). Sagu, Maret 2010 9(1): 21-27
Zubair, A., S. Jaka, & M.Yusuf. A. 2012. Keragaan varietas unggul baru pada SL-PTT di Kabupaten Bone Bolango. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2011. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi: 611–616.
Ketut Murtika, Elkawakib Syam’un, Sharifuddin Bin Andy Omar (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |