Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA PERUSAHAAN BONGKAR MUAT
DALAM PELAKSANAAN PELAKSANAAN PERJANJIAN DI KOTA
KUPANG
Stefanus Don Rade, Ernesta
Uba Wohon
Universitas
Katolik Widya Mandira, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
PT. Bhanda Ghara Reksa bertanggung jawab atas keselamatan penerima dan penyerahan barang, kebenaran laporan yang disampaikan dan mengatur penggunaan jasa tenaga kerja bongkar muat. Kelancaran arus barang dapat tercapai apabila dalam pelaksanaannya didukung oleh sumber daya manusia yang terampil dan penggunaan peralatan bongkar muat yang memadai. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana tanggung jawab perusahaan bongkar muat terhadap keselamatan barang dalam pelaksanaan perjanjian antara PT. Adhiguna Putera sebagai Costumer dengan PT. Bhanda Ghara Reksa Logistics (Persero) Divre Kupang sebagai Vendor nya, Apa Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan tanggung jawab perusahaan bongkar muat dan Bagaimana cara penanggulangan dalam pelaksanaan bongkar muat. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan menggunakan dua metodologi yaitu, pertama metode Interview (Wawancara) yaitu dengan melakukan wawancara langsung kepada pimpinan perusahaan dan karyawan. Kedua metode observasi atau pengamatan dilapangan guna untuk mengumpulkan data dari tempat kegiatan pelaksanaan bongkar muat berlangsung. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa, batas tanggung jawab perusahaan bongkar muat yaitu tercapainya kelancaran dan kegiatan keselamatan bongkar muat barang angkutan, tersedianya peralatan dan perlengkapan untuk kegiatan bongkar muat. Kekurangan dan kerugian yang disebabkan oleh perusahaan akibat kelalaian dari pihak perusahaan maka pihak perusahaan harus menganti kerugian tersebut sesuai kesepakatan yang dilakukan. Hambatan yang muncul pada saat pelaksanaan bongkar muat sangat bervariasi sehigga diperlukan koordinasi para pihak dalam menyelesaikan hambatan yang timbul dan apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan dengan cara musyawah dan mufakat. Hambatan yang dihadapi dalam proses bongkar muat diantaranya berupa Faktor Cuaca, Faktor Alat, Faktor Keterlambatan Angkutan Darat (waiting truck), Faktor Kondisi Muatan dan Faktor Keamanan. Perusahaan dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja dalam menangani pelaksanaan tanggung jawabnya tentang kerusakan/kekurangan muatan dalam proses bongkar muat.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Hambatan, Kekurangan, Kerugian Barang
Abstract
PT. Bhanda Ghara Reksa is taking responsible for the safety of the recipient
and delivery of commodity and the truth of reports submitted and regulates the
use of unload and payload services. There are the limits of the responsibility
of the unload and payload can be achieved if the implementation is supported by
skilled of human resources and the use of adequate unload and payload equipment.
The formulation of the problem in this study is how the responsibility of the
loading and unloading company for the safety of goods in the implementation of
the agreement between PT. Adhiguna Putera as a Customer with PT. Bhanda
Ghara Reksa Logistics
(Persero) Divre Kupang as
its Vendor, What are the factors that are an obstacle
in carrying out the responsibility of loading and unloading companies and how
to overcome them in the implementation of loading and unloading. This research
is an empirical juridical research using two
methodologies, the first is the Interview method, namely by conducting direct
interviews with company leaders and employees. The second method is observation
or field observations in order to collect data from where
loading and unloading activities take place. The results of this study indicate
that the limits of the responsibility of the loading and unloading company are
the achievement of smooth and safe loading and unloading of goods, the
availability of equipment and supplies for loading and unloading activities.
Shortages and losses caused by the company due to negligence on the part of the
company, the company must compensate for these losses according to the
agreement made. The obstacles that arise during loading and unloading vary
greatly, so coordination of the parties is needed in resolving the obstacles
that arise and if a dispute occurs, it can be resolved by deliberation and
consensus. Constraints faced in the loading and unloading process include
weather factors, equipment factors, delays in land transportation (waiting
trucks), loading conditions and safety factors. The company can maintain and
even improve performance in handling the implementation of its responsibilities
for damage/lack of cargo in the loading and unloading process.
Keywords: Responsibilities,
Obstacles, Shortages, Losses of Goods
Pendahuluan
Keadaan geografis
negara Indonesia terdiri atas
daratan yang membentuk beribu-ribu pulau, baik besar maupun
kecil yang sebagian besar wilayahnya adalah perairan (Soemarmi,
Indarti, Pujiyono, & Diamantina, 2019). Gabungan pulau-pulau
besar dan kecil yang dikelilingi oleh lautan, menjadi potensi yang besar dalam menunjang
pelaksanaan pengangkutan.
Agar kegiatan pengangkutan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien maka pemerintah
dalam kebijakannya melakukan pembinaan-pembinaan dalam hal pelayanan
pengangkutan agar tertib, teratur, aman dan lancar. Sesuai dengan wilayah di Indonesia yang terdiri
darat, laut, udara, maka pengangkutan
dapat dilakukan dengan menggunakan mobil, bus, kereta api, kapal laut
maupun pesawat terbang. Hampir 95% kegiatan distribusi barang dan jasa dilakukan melalui laut karena
lebih menguntungkan dibandingkan pengangkutan melalui darat ataupun
udara. Hal ini dikarenakan dapat memuat barang dalam
volume yang besar dengan biaya murah. Faktor
ekonomis yang dikehendaki dalam angkutan laut harus dapat
memenuhi persyaratan, yaitu kecepatan yang tinggi, daya muat
yang besar, kemudahan dalam bongkar muat
ataupun waktu perputaran kapal yang cepat (Wulandari,
2014).
Menghidupkan angkutan
laut bukan saja dapat memperlancar
arus barang dan penumpang dari suatu daerah kedaerah
lain, tetapi juga mengembangkan sumber pencaharian rakyat pada umumnya (Zulmaidi,
Kameo, & Rante, 2019). Oleh karena
itu, peningkatan frekuensi, regulitas atau kuantitas dan kualitas sektor perhubungan, diimplementasikan dalam pelaksanaan di sektor perhubungan laut. Usaha pemerintah diperlukan untuk memajukan sekaligus mengembangkan angkutan laut sebagai sarana
untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka
meningkatkan ketahanan nasional, perwujudan wawasan nusantara, dan menunjang perekonomian nasional (Wulandari,
2014). Salah satu pendukung badan usaha transportasi yaitu Ekspedisi Muatan Kapal Laut
(EMKL). Pada hakekatnya Ekspedisi
Muatan Kapal Laut dalam memperlancar
pengangkutan melalui laut bertanggungjawab dalam pengurusan kepentingan pengirim dan penerima yang akan menyelesaikan pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan
lain yang berhubungan dengan
penerimaan/praktek atau kenyataannya. Di sisi lain, dalam proses pengiriman barang tersebut terdapat pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu:
1. Pihak yang melakukan
pengiriman barang
2. Pihak yang pembawa
atau pengangkutan barang (pelayaran), dan
3. Pihak penerima
barang (Muhammad,1994).
Peran EMKL yaitu sebagai pihak pengirim
barang (shipper) atas dasar pemberian kuasa dari pengirim
dan kedudukan EMKL terpisah
dari pihak pengangkutan barang (pelayaran) (KANISIUS,
2019). EMKL sebagai
pihak Ekspeditur harus menjamin keselamatan barang yang dikuasakan oleh konsumen serta dapat melaksanakan
dengan baik sesuai dengan perjanjian
yang dikuasakan terhadapnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan Perairan menentukan bahwa salah satu perusahaan penunjang pengangkutan di perairan adalah perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (Perusahaan EMKL). Perusahaan
EMKL adalah perusahaan yang
kegiatannya :
a. Mengurus dokumen
muatan yang diangkut melalui laut;
b. Mengurus penerimaan
muatan yang diangkut melalui laut; dan
c. Mengurus penyerahan
muatan yang diangkut melalui laut
Berdasarkan Pasal
31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terdapat beberapa kegiatan usaha jasa di pelabuhan
sebagai penunjang kegiatan angkutan laut salah satunya yaitu kegiatan bongkar muat barang.
Menurut Pasal 1 ayat 14 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan Di Perairan, kegiatan bongkar muat barang
adalah kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar
dan muat barang dari dan ke kapal
di pelabuhan yang meliputi kegiatan stevedoring, cargodoring,dan
receiving/delivery.
Undang-undang Nomor
17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menetapkan 2 (dua) kelompok bidang
usaha yaitu Pasal 31 tentang usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan dari beberapa
sub bidang usaha, yang
salah satunya adalah usaha bongkar muat
yang dilakukan oleh PBM. Kegiatan
bongkar muat ini merupakan salah satu mata rantai
dari kegiatan pengangkutan barang melalui laut, dimana
barang yang akan diangkut ke kapal
memerlukan pembongkaran untuk dipindahkan baik dari gudang
lini I maupun langsung dari alat
angkutnya. Demikian halnya dengan barang
yang akan diturunkan dari kapal juga memerlukan pembongkaran dan dipindahkan ke gudang lini I maupun
langsung ke alat angkutan berikutnya.
Menurut (Setiawan,
2018) Tanggung
Jawab Pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan laut untuk
mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang
serta pihak ketiga. Sebagaimana diatur dalam Pasal
1366 Burgerlijk Wetboek
(BW) menyebutkan bahwa : “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja kerugian
yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Pasal 477 Wetboek van Koophandel (WvK) menyatakan bahwa “Pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian
yang disebabkan oleh penyerahan
barang yang terlambat, kecuali bila ia
membuktikan, bahwa keterlambatan itu adalah akibat suatu
kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah
atau dihindarinya”.
Apabila berbicara
tentang pengangkutan maka terlebih dahulu
yang akan dilihat adalah apa yang dimaksudkan dengan pengangkutan barang berdasarkan pasal 466 KUHD yang menyebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan pengangkut adalah seseorang atau badan hukum yang berdasarkan suatu perjanjian berupa perjanjian charter waktu maupun perjanjian
charter perjalanan ataupun perjanjian lainnya yang mengikat dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan melalui laut baik seluruhnya
maupun untuk sebagiannya”.
Dengan demikian berdasarkan pasal ini yang menjadi pengangkut bukan saja satu orang akan tetapi bisa
saja beberapa orang ataupun badan hukum. Dari uraian ini dapat
diambil suatu gambaran bahwa yang membuat perjanjian dengan pengangkut di sini bisa pemilik
barang sebagai pengirim atau pihak
ekspeditur atas nama pengirim dengan
pengangkut yang dikenal dengan istilah Perjanjian Pengangkutan.
Perihal ekspeditur
ini diatur dalam buku BAB V bagian II pasal 86 sampai dengan pasal
90 KUHD. Dalam pasal 86 ayat (1) KUHD menetapkan bahwa “Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan pengangkutan barang- barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan”.
Dengan demikian jelaslah bahwa ekspeditur menurut undang- undang hanya seorang perantara
yang bersedia mencarikan pengangkut yang baik bagi pengirim yang tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah diserahkan kepadanya itu.
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya bahwa dalam penulisan
ini akan dibahas mengenai tanggung jawab perusahaan bongkar muat maka dengan
demikian akan dilihat apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab (Aguw,
2013). Tanggung
jawab di sini diartikan sebagai suatu keadaan wajib
dari pihak perusahaan bongkar muat terhadap keselamatan
barang kiriman, apabila terdapat laporan dari pihak
perusahaan mengenai kerusakan, kekurangan, kehilangan dan keterlambatan dari barang kiriman
yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal
31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terdapat beberapa kegiatan usaha jasa di pelabuhan
sebagai penunjang kegiatan angkutan laut salah satunya yaitu kegiatan bongkar muat barang.
Kegiatan bongkar muat ini merupakan
salah satu mata rantai dari kegiatan
pengangkutan barang melalui laut, bahwa
barang yang akan diangkut ke kapal
memerlukan pembongkaran untuk dipindahkan baik dari gudang
lini I maupun langsung dari alat
angkutnya. Demikian halnya dengan barang
yang akan diturunkan dari kapal juga memerlukan pembongkaran dan dipindahkan ke gudang lini I maupun
langsung ke alat angkutan berikutnya.
Usaha bongkar muat yang dilakukan perusahaan bongkar muat merupakan
kegiatan jasa yang bergerak dalam kegiatan bongkar muat dari dan ke
kapal, yang kegiatan terdiri dari stevedoring, cargodoring, dan receiving/delivery. Dari semua rangkaian kegiatan bongkar muat barang dalam
hal ini yang dibebani tanggung jawab atas barang
tersebut adalah perusahaan bongkar muat yang berstatus badan hukum sesuai dengan
SK Menhub Nomor PM60 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Penguasaan Bongkar Muat Barang
Dari dan Ke Kapal (Setiono,
Baesens, & Mues, 2011).
Perusahaan bongkar muat dalam menjalankan
usahanya wajib mempunyai izin usaha yang dikeluarkan oleh
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Izin usaha tersebut diberikan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Perhubungan
atas nama Menteri.
Perusahaan bongkar muat wajib melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin usaha
perusahaan bongkar muat.
Pertanggungjawaban dalam
pengangkutan laut yang mengenai bongkar muat barang merupakan
hal yang sangat penting serta berhubungan erat dengan hak
dan kewajiban para pihak.
Hal ini harus diperhatikan karena apapun kesalahan atau kelalaian serta bentuk wanprestasi
lainnya dapat diselesaikan dengan berdasarkan aturan-aturan yang ada. Oleh sebab itu dibutuhkan aturan tersendiri mengenai pengangkutan laut ini, baik
yang diatur oleh dunia internasional
maupun aturan nasional. Salah satu perselisihan yang sering timbul dalam pengangkutan
laut adalah adanya kerusakan barang yang menimbulkan hak tuntutan ganti
rugi dari pemilik barang kepada pengangkut.
Setiap usaha pasti memiliki resiko dan tanggung jawab dalam pelaksanaannya,
begitu pula dengan usaha bongkar muat
barang angkutan laut yang memiliki resiko yang tinggi dalam pelaksanaan kegiatannya, dalam praktek di lapangan kerusakan barang dalam proses bongkar muat barang masing sering terjadi dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Pemilik barang yang tidak mau terima
dengan kejadian tersebut melakukan claim dan meminta ganti kerugian
atas kerusakan barang- barang tersebut. Timbulnya claim dari pemilik barang berupa kerusakan barang, penting di perhatikan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan untuk dapat menentukan pihak mana yang benar-benar bertanggung jawab terhadap tuntutan ganti rugi atas
kerusakan barang tersebut. Ada aturan yang dapat digunakan mengenai pertanggungjawaban dan perselisihan pengangkutan laut dalam kegiatan
bongkar muat barang yaitu KUHPerdata,
KUHD, UU NO. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran dan sumber hukum internasional United Nation
Convention The Carriage of Goods by Sea (The 1978
Hamburg Rules) sedangkan Indonesia belum meratifikasi Konvensi Hamburg 1978 hingga saat ini.
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya bahwa dalam penulisan
ini akan dibahas mengenai tanggung jawab perusahaan bongkar muat maka dengan
demikian akan dilihat apakah yang dimaksud dengan tanggung jawab. Tanggung jawab di sini diartikan sebagai suatu keadaan
wajib dari perusahaan bongkar muat terhadap keselamatan
barang kiriman, apabila terdapat laporan dari pihak
pengguna jasa mengenai kerusakan, kekurangan, kehilangan dan keterlambatan dari barang kiriman yang bersangkutan.
Dalam proses penyelenggaraan
pengiriman, maka harus didahului oleh suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat antara perusahaan dan pengirim disebut perjanjian pengangkutan. Perjanjian pengangkutan merupakan persetujuan timbal balik, dimana pihak
pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan atau orang ke tempat
tujuan tertentu, sedangkan pihak lainnya (pengirim, penerima, atau penumpang) berkeharusan untuk menunaikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.
Berdasarkan pengamatan
peneliti tehadap proses penyelenggaraan pengiriman barang pada PT. Bhanda Ghara Reksa Logistics (Persero) Divre Kupang yang merupakan lokasi penelitian peneliti masih terdapat hal-hal yang mengakibatkan kerugian bagi pengguna
jasa, seperti barang terlambat tiba sampai di tujuan, yang mana dengan keterlambatan tersebut mengakibatkan kerusakan pada barang atau cacat
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mestinya ataupun hilang.
Metode Penelitian
Penelitian hukum
ini dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan hukum sebagai
dasar untuk membuat keputusan hukum terhadap kasus konkret. Dalam proses bernalar digunakan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan yang dimulai dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi. Seluruh bahan hukum
yang diperoleh selanjutnya disistematiskan untuk dilakukan analisis. Analisis bahan hukum dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu mengkaji semua undang-undang dan pengaturan yang bersangkutan dengan isi hukum
yang sedang ditangani dan pendekatan konseptual (cenceptual approach) merupakan
pendekatan sesuai pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (cenceptual approach) (Prabawa, 2017) membuka kesempatan
bagi peneliti untuk mempelajari serta meneliti kesesuaian antara peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan bentuk tanggung
jawab perusahaan bongkar muat terhadap
keselamatan barang pada Pada PT. Bhanda Ghara Reksa Logistic (Persero) Divre Kupang
Metode pengumpulan data yang hendak digunakan oleh calon peneliti menggunakan dua cara yaitu
Studi Kepustakaan, dan studi Lapangan, yaitu penelitian yang akan dilakukan dengan cara wawancara
yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan maupun dengan
menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.
Hasil dan Pembahasan
1.
Tanggung
Jawab Perusahaan Bongkar Muat
Atas Terjadinya Kerusakan/Kekurangan Batu Bara
Berdasarkan
hasil wawancara dengan karyawan perusahaan Bapak Ady Taribila, Ia berpendapat
bahwa “Dalam tanggung jawab ini memakai 2 metode
yaitu metode Conveyor dan Metode Tracking. Kalau metode Conveyor jika kekurangan barang tidak ada sangkut
pautnya dengan perusahaan bongkar Muat tersebut karena
PBM hanya menyediakan
Loader alat berat di atas Tongkang tetapi yang mengangkat ke tempat
pembuangan akhir itu alat yang mereka
punya sendiri jadi jika terjadi kekurangan
itu tanggung jawab dari pengangkutan.
Sedangkan metode Tracking menyediakan truck yang menggunakan
2 Excavator dan 1. Loader, jadi jika
terjadi kekurangan nanti di lihat kekurangannya dari tumpahan ke laut
atau tumpahan ke jalan atau
memang susut dalam perjalanan kapal dari POL (Port Of Loading) atau Pelabuhan tempat dimana batu bara tersebut dimuat ke POD (Port Of Discharged) atau
Pelabuhan tempat tujuan dimana dilakukan pembongkaran batu bara tersebut.”
(Wawancara tanggal 03 Oktober 2022)
Hasil wawancara di atas menyatakan bahwa tanggung jawab yang dipakai PT. Bhanda Ghara Reksa yaitu
metode Conveyor dan metode
Tracking. Tetapi yang lebih
sering digunakan adalah metode Tracking, jika terjadi kekurangan
maka akan dilihat kekurangannya apakah tumpahannya ke laut atau
tumpahan kejalan yang mengakibatkan kekurangan muatan batubara tersebut.
Berdasarkan
Hasil wawancara dengan karyawan perusahaan Bapak Eko Warioso, Ia
berpendapat bahwa “Kita harus melihat proses pemuatannya disana dan dalam perjalanaannya. Setelah barangnya sampai di dermaga tujuan akan di lihat kembali draft berapa jumlah muatannya
dan di cocokan kembali dengan draft muatan waktu pengiriman tersebut. Jika terjadi kekurangan akibat pembongkaran ini maka tanggung jawabnya
adalah PBM, tetapi jika kekurangannya itu akibat susutnya
muatan dalam perjalanan sudah menjadi bagian tanggung jawab dari pengangkutan. Perusahaan bongkar muat hanya
sebatas bongkar saja, jika pembongkarannya
kurang kita mencari tahu dahulu
apakah kurangnya ini karena tumpahan
di jalan atau jatuh ke dalam
laut. Jika tidak ada muatan yang tumpahan di jalan atau jatuh ke
dalam laut kondisinya kurang, kita pihak perusahaan
bisa beragrument karena kekurangannya dari pihak pengiriman
barang.” (Wawancara tanggal 10 Oktober 2022)
Hasil wawancara di atas menyatakan bahwa jika terjadi kekurangan
akibat pembongkaran ini, maka tanggung
jawabnya ialah Perusahaan Bongkar Muat (PBM) tetapi jika kekurangannya
itu akibat susutnya muatan dalam perjalanan, maka tanggung jawabnya
ialah Pengangkutan.
Perusahaan Bongkar Muat
(PBM) hanya sebatas Bongkar Muatan saja, tetapi jika
terjadi kekurangan dan dilihat bahwa tidak
ada tumpahan yang tumpah ke jalan
atau jatuh ke dalam laut,
maka pihak perusahaan bisa berargument karena kekurangannya dari pihak pengiriman barang.
Dari hasil wawancara bersama Bapak Ady Taribila dan Bapak Eko Warioso sebagai informan, penulis berpendapat bahwa dalam kegiatan bongkar muat yang dilakukan oleh Perusahaan Bongkar
Muat (PBM) dari dan ke kapal pada dasarnya
mengandung resiko yang cukup tinggi seperti
adanya kekurangan dan kelebihan atas barang muatan sehingga
menimbulkan kerugian maupun keuntungan bagi Perusahaan Bongkar Muat atau pemilik/barang. Perusahaan Bongkar Muat (PBM) harus membayar ganti rugi atas klaim
yang diajukan oleh pengguna
jasa jika mengalami kekurangan barang (shortlanded).
2.
Batas Tanggung
Jawab PT. Bhanda Ghara Reksa Logistic (Persero) Divre Kupang
Sebagaimana telah di rumuskan tentang kebijakan kelancaran arus barang untuk menunjang
kegiatan ekonomi berikut pelaksanaannya, maka tanggung jawab
pelaksanaan Pemuatan dan pembongkaran barang angkutan dari dan ke kapal tidak
lagi menjadi beban pihak perusahaan
pelayaran (pengangkut), melainkan dilimpahkan kepada perusahaan Bongkar Muat Barang
(PBM). Dengan demikian batas tanggung jawab PBM dalam menyelenggarakan kegiatannya antara lain meliputi :
a.
Tercapainya
kelancaran dan keselamatan kegiatan bongkar muat barang angkutan,
berikut penyerahan barang dan penerimaan barang angkutan.
b.
Terjadinya
keselamatan kerja dari para tenaga kerja PBM selama melaksanakan kegiatan bongkar muat barang
angkutan.
c.
Tersedianya
peralatan dan perlengkapan untuk melaksanakan kegiatan bongkar muat barang angkutan
yang memadai.
d.
Terselesaikannya
kewajiban PBM terhadap perum pelabuhan.
e.
Terjaminnya
kebenaran dari isi laporan kegiatan
bongkar muat barang angkutan
Berdasarkan
rencana kedatangan kapal tersebut, PT. Bhanda Ghara Reksa
melapor kepada PPSA (Pusat Pelayanan Satu Atap) kemudian membahas mengenai waktu kedatangan kapal, dermaga yang digunakan serta pemberian izin kapal masuk ke
pelabuhan. Ketika izin masuk kapal telah
dikeluarkan oleh PPSA maka barulah dapat memasuki
wilayah pelabuhan. Apabila terjadi perubahan dalam tanggal masuknya
kapal, maka perusahaan bongkar muat haruslah mengurus
data mengenai perubahan tersebut kepada PPSA. PT. Bhanda Ghara Reksa
sebagai perusahaan bongkar muat juga menyiapkan persiapan-persiapan lainnya seperti :
a.
Merencanakan
peralatan bongkar muat yang digunakan
b.
Menyewa
peralatan bongkar muat yang diperlukan
c.
Menyiapkan
stowage plan (rencana pemuatan)
3.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Bongkar Muat
Berdasarkan hasil wawancara dengan Pimpinan perusahaan bagian Logistics
Bapak Muchtar Jamaludin, Ia berpendapat bahwa “Banyak hambatan yang terjadi
pada saat pembongkaran di PLTU Bolok, tetapi hambatan yang sering terjadi adalah pada Crane yang
macet dan karet pada Conveyor yang putus. Tetapi Perusahaan Bongkar Muat (PBM)
menyiapkan 2 Crane dalam proses pembongkaran tersebut. Jika terjadi kerusakan
pada salah satu Crane, maka masih bisa dilakukan pembongkaran dengan
menggunakan Crane cadangan.” (Wawancara 28 Oktober 2022).
Disisi lain juga terdapat beberapa faktor
penghambat yang dihadapi oleh Perusahaan Bongkar Muat, yaitu:
a.
Faktor Alam
Hambatan berupa faktor alam seperti cuaca yang buruk atau hujan. Dalam
keadaan hujan, kegiatan pembongkaran harus dihentikan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan barang dan buruh. Tidak menutup kemungkinan barang yang
terkena hujan akan mengalami kerusakan atau jumlahnya berkurang sehingga
mengakibatkan timbulnya kerugian.
b.
Faktor Alat
Peralatan bongkar muat seperti Loader, Excavator, Crane, Conveyor sering
mengalami kemacetan akibat kurangnya perawatan sehingga menghambat proses
pelaksanaan bongkar muat.
c.
Faktor
Keterlambatan Angkutan Darat (dump truk)
Dalam kegiatan pembongkaran sering terjadi keterlambatan angkutan
(waiting truk) akibat kemacetan yang juga dapat menghambat kelancaran proses pembongkaran karena
tidak bisa datang tepat waktu atau tidak sesuai dengan yang telah direncanakan.
d.
Faktor Kondisi
Muatan
Seperti jumlah muatannya sangat besar sehingga membutuhkan tenaga kerja
yang lebih banyak dan peralatan yang khusus.
e.
Faktor
keamanan
Seperti terjadinya pencurian barang muatan pada saat barang dibongkar di
pelabuhan.
Hasil wawancara di atas menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor
penghambat yang terjadi pada saat proses pembongkaran batubara.
Hambatan-hambatan tersebut berupa Faktor Cuaca, Faktor Alat, Faktor
Keterlambatan Angkutan Darat (Dump Truk), Faktor Kondisi Muatan dan Faktor
Keamanan. Dari 5 faktor penghambat ini, yang lebih sering terjadi adalah faktor
alat seperti, Crane yang dipakai terjadi kemacetan dan karet pada Conveyor
sering yang putus.
Dari hasil wawancara di atas, penulis berpendapat bahwa Proses bongkar
muat barang tidak selalu berjalan dengan lancar, pasti mengalami
hambatan-hambatan yang menyebabkan kegiatan pembongkaran mengalami keterlambatan.
Untuk mengatasi terjadinya hambatan pada saat pembongkaran, perlu adanya
koordinasi atau kesepakatan antara Perusahaan Bongkar Muat (PBM) dengan pemilik
barang.
4.
Cara Penanggulangan Hambatan dalam Bongkar Muat
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Muchtar Jamaludin, Ia
berpendapat bahwa “Cara mengatasi penanggulangan tersebut adalah menyiapkan
cadangan alat berat untuk proses pembongkaran batu bara. Faktor paling utama
adalah saling koordinasi antara tim, karena pada saat pembongkaran terbagi
menjadi 3 bagian yaitu bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah. Contohnya
melakukan penggusuran menggunakan Conveyor ke tempat penampungan, pada bagian
atas terdapat 1 Loader dan di bawah juga terdapat 1 Loader. Pada proses
pembongkaran melalui Conveyor pada bagian atas tumpukan batu baranya tinggi dan
Conveyor tidak bisa menampungnya lagi maka Loader tidak melakukan penggusuran
lagi dan akhirnya terjadilah kemacetan. Jadi koordinasi antar tim sangat di
perlukan dalam upaya mengatasi hambatan yang timbul tersebut.” (Wawancara 28
Oktober 2022) Cara
penanggulangan dari hambatan yang timbul yaitu :
a.
ATerhadap kendala berupa faktor alam maka yang dilakukan adalah
menghentikan kegiatan pembongkaran sehingga dapat mencegah terjadinya kerugian
yang lebih besar akibat kerusakan barang muatan.
b.
Terhadap
kendala berupa peralatan bongkar muat maka untuk menghindari terjadinya
kemacetan peralatan pada saat pembongkaran, perusahaan harus melakukan
perawatan yang lebih intensif dan
terhadap peralatan yang sudah rusak seharusnya diganti/tidak dipergunakan lagi
dan menyiapkan alat cadangan seperti Cranre dan Conveyor.
c.
Terhadap
kendala berupa keterlambatan truk maka pihak perusahaan harus lebih sering
melakukan komunikasi dengan pihak pengangkut sehingga memperoleh informasi
mengenai keadaan keberadaan Truck.
d.
Terhadap
kendala berupa kondisi barang yang bobotnya lebih besar maka pihak perusahaan
Bongkar Muat harus menambah tenaga kerjanya/TKBM yang melakukan kegiatan pembongkaran
dapat berjalan lancar dan tidak memakan waktu yang lama.
e.
Terhadap
kendala dari segi keamanan, seperti pencurian maka perusahaan harus lebih
meningkatkan keamanan pada saat kegiatan pembongkaran berlangsung, biasanya
pihak perusahaan membayar beberapa orang untuk menjaga keamanan pada saat
proses pembongkaran berlangsung di pelabuhan.
Hasil wawancara diatas menyatakan bahwa cara penanggulangan hambatan yang
terjadi pada saat proses pembongkaran, yaitu : Menghentikan kegiatan
pembongkaran jika cuacanya tidak mendukung, menyiapkan cadangan alat seperti
Crane dan Conveyor, melakukan komunikasi dengan pihak pengangkut sehingga
memperoleh informasi mengenai keberadaan truk, pihak perusahaan
harus menyediakan tenaga kerja harian dan lebih
meningkatkan keamanan pada saat pembongkaran berlangsung. Dari hasil wawancara di atas, penulis berpendapat
bahwa pada saat pembongkaran pasti ada hambatan yang dialami. Hambatan yang
dialami Perusahaan Bongkar Muat (PBM) sendiri juga sudah ada penanggulangannya
seperti kerusakan alat pada saat pembongkaran. Perusahan Bongkar Muat (PBM)
menyiapkan alat cadangan dan melakukan perawatan yang intensif serta alat yang
rusak harus diganti atau tidak dipergunakan lagi
Kesimpulan
Perusahaan Bongkar Muat (PBM) dalam
menangani bongkar barang menggunakan sistem truck lossing. Dimana melaksanakan
bongkar muatan di PLTU Bolok adalah selaku pihak yang melakukan kegiatan
pemindahan muatan angkutan dari tongkang ke mobil pengangkutan yaitu dump
truck. Tanggung
jawab atau solusi yang di ambil oleh perusahaan bongkar muat atas terjadinya
kerusakan/kekurangan, yaitum Solusi dari kekurangan muatan dalam tongkang dalam
perjalanan dari kalimantan ke kupang bukan pihak PBM yang bertanggung jawab
karena itu urusan dari pemilik batu bara dan pihak kapal. Solusi muatan
kurang/jatuh dijalan pihak PLTU Bolok sudah siapkan buruh/tenaga lepas harian
untuk menyekop dan mengumpulkan setiap material yang jatuh di jalan untuk nanti
di muatkan kembali ke truck. Faktor penghambat yang di hadapi dalam proses
Bongkar Muat berupa Hambatan-hambatan tersebut berupa Faktor Cuaca, Faktor Alat, Faktor
Keterlambatan Angkutan Darat (waiting truck), Faktor Kondisi Muatan dan Faktor
Keamanan. Penanggulangan hambatan tersebut, yaitu Kendala berupa faktor alam maka yang dilakukan adalah menghentikan kegiatan
pembongkaran.
Kendala berupa peralatan bongkar muat maka menyiapkan alat cadangan seperti
Crane dan Conveyor. Kendala berupa keterlambatan truk maka pihak perusahaan
harus lebih sering melakukan komunikasi dengan pihak Pengangkut. Kendala berupa
kondisi barang yang bobotnya lebih besar maka perusahaan harus menyiapkan
tenaga harian lepas/TKBM. Kendala berupa keamanan perusahaan lebih meningkatkan
keamanan saat pembongkaran.
Aguw, Randy. (2013). Tanggung Jawab Syahbandar Dalam
Keselamatan Pelayaran Ditinjau Dari UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008 Tentang
Pelayaran. Lex Administratum, 1(1).
Kanisius, Kurnia Petrus. (2019). Bentuk
Tanggung Jawab Hukum Ekspedisi Muatan Kapal Laut (Emkl) Dalam Pengangkutan
Barang Di Laut. UAJY.
Prabawa, Bagus Gede Ardiartha. (2017).
Analisis Yuridis Tentang Hak Ingkar Notaris Dalam Hal Pemeriksaan Menurut
Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Kode Etik Notaris. Acta Comitas: Jurnal
Hukum Kenotariatan, 2(1), 98–110.
Setiawan, Rahmat. (2018). Tinjauan Hukum
Terhadap Prinsip Tanggung Jawab (Liability Principle) Atas Kerusakan Barang
Dalam Angkutan Menurut Konsepsi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Jurnal
Yustisiabel Fakultas Hukum, 2.
Setiono, Rudy, Baesens, Bart, & Mues,
Christophe. (2011). Rule extraction from minimal neural networks for credit
card screening. International Journal of Neural Systems, 21(04),
265–276.
Soemarmi, Amiek, Indarti, Erlyn, Pujiyono,
Pujiyono, & Diamantina, Amalia. (2019). Konsep Negara Kepulauan dalam Upaya
Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Masalah-Masalah Hukum,
48(3), 241–248.
Wulandari, Andi Sri Rezky. (2014). Buku
Ajar Hukum Dagang. Mitra Wacana Media, Makassar.
Zulmaidi, Syafril, Kameo, Yopy J. I., &
Rante, Jones Zenas. (2019). Analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
pada smk pelayaran dewaruci dalam menghadapi tantangan sumber daya manusia
kepelautan. JMBA Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 5(2), 24–40.
Copyright holder: Stefanus Don Rade, Ernesta Uba (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |