Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

DERMATITIS KONTAK IRITAN KRONIS AKIBAT PAPARAN SURFAKTAN: SATU LAPORAN KASUS

 

Triasari Oktavriana*, Anindya Oktafiani, Harijono Kariosentono

Departemen Dermatologi dan Venereologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Pendahuluan: Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah proses inflamasi non imunologi pada kulit yang disebabkan karena paparan bahan kimia, fisik dan agen biologi. Salah satu faktor risiko terjadinya DKI adalah paparan detergen saat mencuci. Surfaktan merupakan senyawa aktif yang terdapat di dalam bahan pembersih dan detergen. Uji tempel dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahan iritan penyebab DKI. Kasus: Seorang wanita berusia 27 tahun datang dengan keluhan telapak tangan kering dan terasa gatal sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya tangan kanan terasa kering dan gatal kemudian di ikuti tangan sebelah kiri. Keluhan kering dan gatal terutama dirasakan saat pasien selesai mencuci pakaian dan piring. Pasien kemudian periksa untuk dilakukan uji tempel pada kulit. Pemeriksaan dermatologi pada regio palmar manus dekstra et sinistra tampak patch eritem sebagian hiperpigmentasi disertai skuama di atasnya serta didapatkan fenomena hardening. Pembacaan hasil setelah 48 jam (hari ke-2) didapatkan hasil positif kuat (++) pada produk sabun cuci baju dan cuci piring. Hasil positif lemah (+) pada sabun cuci tangan dan pewangi pakaian. Diskusi: Mekanisme terjadinya DKI melibatkan tiga tahapan utama yaitu terjadi iritasi dan gangguan barier kulit, stimulasi sel epidermis serta terjadi pelepasan sitokin yang menyebabkan peradangan dan perubahan pada kulit. Surfaktan anion atau sodium lauryl sulphate (SLS) merupakan salah satu jenis surfaktan yang bersifat sitotoksik dan dilaporkan menimbulkan iritasi pada kulit. Uji tempel merupakan salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakan diagnosis DKI. Menghindari bahan iritan merupakan tatalaksana paling efektif pada pasien dengan DKI.

 

Kata Kunci: dermatitis kontak iritan, surfaktan, uji tempel

 

Abstract

Background: Irritant contact dermatitis (ICD) is a non-immunologic inflammation process of the skin caused by exposure to chemical, physical and biological agents. One of the risk factors for the occurrence of ICD is exposure to detergents when washing. Surface active agents (surfactants) are active compounds found in cleaning agents and detergents. A patch test can be used to identify irritants that cause ICD.

Case: A 27-year-old woman came with the chief complaints of dry and itchy palms 6 months ago. Dryness and itching are especially felt when the patient finishes washing clothes and dishes. Dermatological examination of the palmar manus dextra et sinistra region showed a partially hyperpigmented erythematous patch with scales on it and a hardening was found. This patient gets a patch testing examination. The results after 48 hours (2nd day) obtained a strong positive result (++) on laundry and dish soap. Weak positive (+) results were found on hand soap and clothes deodorizer.

Discussion: The mechanism of the occurrence of ICD involves three main stages, namely irritation and disruption of the skin barrier, stimulation of epidermal cells, and the release of cytokines that cause inflammation and changes in the skin. An anionic surfactant or sodium lauryl sulfate (SLS) is a cytotoxic irritant type of surfactant that is reported to cause skin irritation. A patch test is one of the tests that can be done to confirm the diagnosis of an ICD. Avoidance of irritants is the most effective treatment in patients with ICDs.

 

Keywords: irritant contact dermatitis, surfactant, patch testing

 

Pendahuluan

Dermatitis adalah inflamasi pada epidermis yang berhubungan dengan provokasi secara fisik atau reaksi imunologis. Dermatitis kontak dibagi menjadi dermatitis kontak alergi (DKA) dan dermatitis kontak iritan (DKI). Dermatitis kontak iritan adalah inflamasi non imunologi pada kulit yang disebabkan karena paparan bahan kimia, fisik dan agen biologi.1 Klasifikasi DKI dibagi menjadi dua yaitu DKI akut yang merupakan kerusakan kulit akut yang disebabkan oleh bahan iritan kuat dan DKI kronis atau DKI kumulatif berupa lesi eksim kronis (lebih dari 6 bulan) akibat paparan iritan ringan seperti air serta detergen.2

International Labour Organization (ILO) tahun 2013 melaporkan bahwa 80% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak dimana terdapat 80% kasus DKI dan 14-20% kasus DKA. Angka kejadian dermatitis akibat pekerjaan di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 55,6% dengan kejadian DKI sebanyak 67,7% kasus. Prevalensi dermatitis kontak di Indonesia bervariasi, namun diketahui 90% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak, baik DKI maupun DKA.3 Penelitian oleh Bintang dkk tahun 2011-2012 di RSPAU Jakarta melaporkan DKI lebih sering terjadi pada perempuan dengan rentang usia 31-40 tahun.4

Dermatitis kontak iritan dapat terjadi karena adanya paparan bahan iritan pada kulit dan menyebabkan kerusakan barier kulit.5 Salah satu faktor risiko terjadinya DKI adalah paparan detergen saat mencuci. Surfaktan atau surface active agents merupakan senyawa aktif yang terdapat pada bahan pembersih dan detergen. Surfaktan diklasifikasikan menjadi surfaktan anion, kation, amfoterik dan non-ion. Surfaktan anion adalah jenis yang paling sering menyebabkan iritasi kulit baik pada manusia dan hewan coba. Paparan surfaktan dapat merusak sawar kulit yang disebabkan oleh reaksi sitotoksik tanpa melibatkan reaksi imunologi. Surfaktan dapat melarutkan lapisan lipid yang berfungsi sebagai barier kulit sehingga apabila terpapar terus menerus akan terjadi iritasi pada kulit.6 Sebagian besar DKI terkait pekerjaan adalah DKI kumulatif yang menimbulkan gejala klinis setelah paparan berulang iritan lemah seperti air, pelarut serta bahan-bahan yang digunakan dalam berbagai industri.7

Diagnosis DKI ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis serta pemeriksaan penunjang berupa uji tempel kulit (patch test). Uji tempel adalah pemeriksaan baku emas untuk membedakan DKA dengan DKI serta mengetahui bahan-bahan yang menyebabkan iritasi. Uji tempel sebaiknya dilakukan 4 minggu setelah konsumsi kortikosteroid dihentikan dan tidak dijumpai lesi pada kulit selama minimal 6 minggu setelah pasien sembuh.8 Indikasi dilakukan uji tempel antara lain untuk mengetahui penyebab DKI, pasien dengan kondisi kulit lain yang diperburuk karena dermatitis kronis, pasien dengan eksim kronis tanpa penyebab yang pasti dan pasien yang dicurigai mengalami dermatitis kontak akibat kerja.9

Tatalaksana utama DKI yaitu menghindari bahan iritan. Penggunaan pelembab yang mengandung banyak lipid seperti petrolatum direkomendasikan untuk memperbaiki barier kulit.1 Tujuan penulisan makalah ini adalah melaporkan satu kasus DKI kronis dengan hasil uji tempel berupa fenomena decressendo akibat paparan surfaktan.

 

Metode Penelitian

            Seorang wanita berusia 27 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin dengan keluhan kedua telapak tangan kering dan terasa gatal sejak 6 bulan sebelum periksa ke rumah sakit. Pasien mengatakan awalnya tangan kanan terasa kering dan gatal kemudian diikuti tangan sebelah kiri. Keluhan kering dan gatal terutama dirasakan saat pasien selesai mencuci pakaian dan piring. Pasien membeli salep di apotek namun keluhan belum berkurang. Satu minggu sebelum periksa ke rumah sakit pasien mengeluh tangan semakin kering disertai nyeri dan panas, kemudian pasien periksa ke dokter spesialis kulit kelamin dan diberikan terapi berupa obat oles, pelembab dan sabun cuci tangan. Selanjutnya pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan uji tempel. Pasien memiliki riwayat penyakit kulit serupa sejak satu tahun yang lalu namun kambuh-kambuhan. Riwayat atopi, alergi obat dan alergi makanan disangkal oleh pasien. Riwayat penyakit keluarga tidak didapatkan keluhan serupa, alergi obat, alergi makanan, atopi maupun asma.

            Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran komposmentis, tanda vital dalam batas normal, berat badan 43 kg dan tinggi badan 153 cm. Status dermatologi pada regio palmar manus dekstra et sinistra tampak patch eritem sebagian hiperpigmentasi disertai skuama diatasnya serta didapatkan hardening (Gambar 1A) yaitu adaptasi kulit terhadap pengaruh iritan eksogen yang berulang. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding pada kasus ini adalah dermatitis kontak iritan (DKI) kronis karena suspek surfaktan, dermatitis kontak alergi (DKA) karena surfaktan dan tinea manus.

Pasien dilakukan pemeriksaan trans epidermal water loss (TEWL) dengan alat tewameter TM 300 dan hasil rerata nilai tiga kali pengukuran didapatkan peningkatan TEWL sebesar 22,24 gr/jam/m2. Pasien dilakukan pemeriksaan uji tempel dengan persiapan alat menggunakan finn chamber, plester hipoalergenik dan spidol permanen, kapas yang dibasahi alkohol 70% serta bahan uji tempel standar dan seluruh bahan iritan yang dibawa oleh pasien diencerkan 10% menggunakan aquabides (Tabel 1). Syarat dilakukannya uji tempel yaitu pasien bebas konsumsi obat kortikosteroid dan antihistamin selama 2 minggu serta dilakukan pada bagian punggung atas.

Gambar 1(A-B). Regio palmar manus dekstra et sinistra tampak patch eritema sebagian hiperpigmentasi disertai skuama diatasnya serta didapatkan hardening pada panah kuning.

 

Pasien diminta untuk tidak membasahi daerah punggung, mengurangi aktivitas berlebihan yang menimbulkan keringat sehingga uji tempel tidak bergeser atau lepas, tidak menggaruk, tidur terlentang atau bersandar dengan punggung serta tidak mengkonsumsi kortikosteroid dan antihistamin selama 4 hari. Pembacaan hasil dilakukan setelah 48 jam (hari ke-2), 72 jam (hari ke-3) dan 96 jam (hari ke-4) setelah dilakukan pemasangan uji tempel.

Pembacaan pertama dilakukan dengan cara melepas chamber secara perlahan kemudian pasien diminta menunggu 20 menit agar kontur kulit kembali seperti semula. Hasil pembacaan setelah 48 jam (hari ke-2) didapatkan hasil positif kuat (++) dengan adanya patch, papul eritema serta vesikel pada sabun cuci pakaian dan sabun cuci piring. Hasil positif lemah (+) berupa patch dan papul eritema terdapat pada sabun cuci tangan dan pewangi pakaian. Pembacaan hasil setelah 72 jam (hari ke-3) pemasangan uji tempel lesi mengalami perbaikan dan tidak didapatkan lesi baru. Pembacaan hasil setelah 96 jam (hari ke-4) tampak vesikel pecah menjadi krusta, patch hiperpigmentasi serta tidak didapatkan lesi baru sehingga disimpulkan pasien mengalami reaksi decrescendo (Gambar 2). Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan uji tempel, pasien kami diagnosis dengan DKI kronis karena paparan surfaktan. Pasien di tatalaksana dengan setirisin tablet 10 mg /24 jam per oral, klobetasol propionat ointment 0,05% dioleskan dua kali sehari pagi dan sore selama 2 minggu, urea krim 10% dioleskan dua kali sehari siang dan malam serta pelembab dioles sesering mungkin terutama setelah mencuci tangan. Tatalaksana non-medikamentosa berupa edukasi kepada pasien untuk menghindari alergen berupa surfaktan yang terkandung dalam sabun dan menggunakan sarung tangan berbahan karet apabila mencuci pakaian atau piring. Setelah diberikan terapi awal, terapi pemeliharaan serta edukasi untuk mengihindari bahan iritan yang dicurigai sebagai penyebab DKI selama 3 bulan pasien mengalami perbaikan secara klinis (Gambar 3).

 

 

 

Tabel 1. Daftar Alergen Patch Test

No

Nama Alergen

Reaksi

48 Jam

72 Jam

96 Jam

Alergen standar

1

Benzophenone 3%

-

-

-

2

Tetramethyl thiuram disulfide 1%

-

-

-

3

5 – chloro - 7 iodo - 8

-

-

-

4

Quarternium 1%

-

-

-

5

2- Mercaptobenzothiazole 2%

-

-

-

6

Cobalt chloride 1%

-

-

-

7

Balsam Peru 25%

-

-

-

8

Benzocaine 5%

-

-

-

9

Ethylenediamine 1%

-

-

-

10

Colophony 20%

-

-

-

Alergen yang dibawa oleh pasien

11

Sabun cuci pakaian A (anionic surfaktan 17%, non-ionic surfaktan 6%)

++

+

+

12

Sabun cuci tangan B (sufaktan 10%)

+

-

-

13

Sabun cuci piring C (anionic surfaktan 3%, non-ionic surfaktan 1%)

++

+

+

14

Sabun mandi cair D (minyak jojoba dan chamomile)

-

-

-

15

Pewangi pakaian E (quatemary ammonium compounds/ surfaktan kationik 3,4%, pewangi 1,4%)

+

-

-

16

Sabun cuci pakaian F (surfaktan dan zat aditif 25%)

++

+

+

17

Sabun cuci piring G (surfaktan 21%)

++

+

+

18

Pewangi pakaian H (diethyl ester dimethyl ammonium chloride 8%)

+

-

-

19

Sabun cuci piring I (surfaktan16%)

++

++

+

20

Pewangi pakaian J (kwaterner ammonium chloride 3%)

+

-

-

21

Sabun mandi cair K

-

-

-

22

Hand sanitizer

-

-

-

23

Handscoon steril

-

-

-

24

Handscoon biasa

-

-

-

Keterangan

(-)        : negatif

(? +)    : reaksi meragukan

(+)       : positif lemah (eritema, edema ringan, papul non vesikuler)

(++)     : positif kuat (edema disertai pembentukan vesikel)

(+++)   : positif sangat kuat (terbentuk bula)

NT       : tidak diteteskan

IR        : reaksi iritasi

 

Gambar 2. Hasil uji tempel. A. Dokumentasi sebelum dilakukan uji tempel (hari ke-0). B. Dokumentasi setelah pemasangan chamber uji tempel (hari ke-0). C. Pembacaan uji tempel setelah 48 jam (hari ke-2). (D). Pembacaan uji tempel setelah 48 jam (hari ke-2) didapatkan papul, vesikel dengan dasar eritema/ positif kuat (panah kuning) dan papul eritema/ positif lemah (panah merah). (E). Pembacaan uji tempel setelah 72 jam (hari ke-3) tidak didapatkan lesi baru serta vesikel telah pecah membentuk krusta. (F). Pembacaan uji tempel setelah 96 jam (hari ke-4) tidak didapatkan adanya lesi baru, bercak eritema berkurang serta krusta yang mengering.

 

 

 

Gambar 3. Perbaikan klinis pasien setelah 3 bulan terapi. Regio palmar dekstra et sinistra tidak didapatkan lesi baru, patch eritema serta hardening (-).

 

Hasil dan Pembahasan

Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi non imunologi akibat paparan bahan iritan pada kulit yang menyebabkan reaksi inflamasi akibat efek sitotoksik langsung dari bahan iritan tersebut.10 Dermatitis kontak iritan lebih banyak dijumpai pada perempuan dengan rentang usia 26-45 tahun.41 Pada kasus ini, DKI dijumpai pada perempuan berusia 27 tahun. Perempuan berisiko lebih tinggi mengalami DKI terutama pada tangan karena perempuan lebih banyak mengerjakan pekerjaan basah dan mencuci tangan serta rentang usia 26-45 tahun merupakan usia produktif sehingga meningkatkan terjadinya DKI.1,12 Perempuan juga mempunyai hidrasi kulit yang lebih rendah dan stratum korneum yang lebih tipis dibandingkan laki-laki.13

Patogenesis DKI melibatkan tiga mekanisme utama yaitu terjadinya iritasi dan gangguan barier kulit, stimulasi sel epidermis serta pelepasan sitokin yang  menyebabkan peradangan dan perubahan pada kulit.14 Paparan bahan iritan pada kulit akan menyebabkan kerusakan stratum korneum, kerusakan sawar kulit serta menghilangkan lapisan lipid di epidermis bagian atas. Kerusakan pada keratinosit dan hilangnya lapisan lipid di sekitarnya menyebabkan kulit tidak mampu menahan air yang menyebabkan peningkatan transepidermal water loss (TEWL) sehingga kulit menjadi kering. Sinyal bahaya (alarmin) juga dilepaskan akibat adanya kerusakan keratinosit selanjutnya akan menarik mediator inflamasi yang memicu reaksi inflamasi.1 Paparan bahan iritan terutama surfaktan pada pasien ini menyebabkan kerusakan barier kulit pasien sehingga didapatkan peningkatan nilai TEWL pada pasien.

Reaksi DKI akut terjadi karena bahan iritan yang menembus stratum korneum kemudian mengaktifkan sel keratinosit di lapisan epidermis yang akan merangsang sitokin pro inflamasi seperti interleukin (IL)-1α, IL-1β, IL-6 dan tumor necrosis factor (TNF)-α untuk mengaktifkan sel T dan memproduksi sitokin dan kemokin serta meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) sebagai sistem kekebalan bawaan.16,17  Patogenesis DKI kronis hingga saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Reaksi DKI kronis terjadi karena paparan berulang terhadap zat iritan seperti surfaktan yang secara bertahap dapat merusak lapisan lipid dan zat penahan air dari stratum korneum sehingga terjadi peningkatan nilai TEWL dan terjadi toleransi terhadap iritan tertentu yang disebut dengan hardening (Gambar 4). Hardening terjadi karena hiperkeratosis pada stratum korneum dan terjadi penebalan lapisan granulosum sehingga mengurangi penetrasi terhadap bahan iritan.15 Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan adanya hardening yang disebabkan karena paparan surfaktan dalam jangka waktu lama sehingga terjadi toleransi terhadap surfaktan.

 

Gambar 4. Hardening pada DKI.5

 

   Beberapa faktor yang berperan pada terjadinya DKI antara lain paparan detergen saat mencuci. Surfaktan adalah salah satu bahan aktif dalam detergen yang bersifat iritan dan biasanya dijumpai pada sabun, detergen sintetis, sampo dan kondisioner, emulsifier pada krim dan losion serta cairan pembersih lainnya.18 Surfaktan anion atau sodium lauryl sulphate (SLS) merupakan salah satu jenis surfaktan yang bersifat sitotoksik dan dapat menimbulkan iritasi pada kulit.6 Sodium lauryl sulphate menyebabkan kerusakan pada stratum korneum dan peningkatan TEWL sehingga hidrasi kulit menurun. Surfaktan juga diduga memicu denaturasi protein keratin pada stratum korneum yang menyebabkan edema.19 Pada kasus ini, pasien mengalami DKI kronis yang diduga disebabkan oleh beberapa bahan iritan yang mengandung surfaktan dan pada pemeriksaan uji tempel didapatkan positif kuat terhadap surfaktan dalam detergen dan sabun cuci piring.

Salah satu kriteria DKI yang dipaparkan oleh Mathia tahun 2008 antara lain karakteristik klinis sesuai dengan dermatitis kontak, distribusi lesi kulit sesuai dengan dengan paparan iritan yang berhubungan dengan pekerjaan, terdapat hubungan antara onset paparan terhadap munculnya dermatitis kontak, serta dermatitis mengalami perbaikan bila paparan iritan dihentikan.20 Manifestasi klinis DKI dibagi menjadi DKI akut dan DKI kronis kumulatif. Dermatitis kontak iritan akut menimbulkan gejala klinis berupa eritema, edema, vesikel dan bula dengan batas tegas disertai dengan keluhan nyeri, terbakar dan perih pada area yang terkena bahan iritan. Pada DKI kronis kumulatif dapat dijumpai manifestasi klinis antara lain lesi hiperkeratotik dan likenifikasi yang terasa gatal dan kadang nyeri apabila dijumpai fisura dengan batas yang tidak tegas.1 Pada kasus ini, pasien mengalami DKI kronis pada tangan dengan gambaran klinis berupa patch eritema sebagian hiperpigmentasi disertai skuama diatasnya serta didapatkan hardening pada regio palmar manus dekstra et sinistra.

Uji tempel adalah pemeriksaan baku emas untuk membedakan lesi DKA dengan DKI.6 Uji tempel dilakukan pada daerah punggung yang tidak mengalami inflamasi. Bahan yang dicurigai dimasukkan kedalam finn chamber, ditempelkan pada punggung kemudian dilakukan evaluasi pada 48 jam, 72 jam dan 96 jam. Reaksi alergi akan terlihat lebih jelas pada 72 jam setelah pemasangan chamber (cressendo), sedangkan respons iritan akan cenderung menurun (decresendo). Hasil uji tempel dinilai berdasarkan kriteria dari International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG) (Tabel 2).21 Pada kasus ini, pasien mengalami reaksi decressendo pada area yang dilakukan uji tempel dengan surfaktan yang sesuai dengan kriteria diagnosis DKI.

 

Tabel 2. Hasil uji tempel berdasarkan kriteria dari International Contact Dermatitis Research Group (ICDRG)21

(-)

: negatif

(? +)

: reaksi meragukan

(+)

: positif lemah (eritema, edema ringan, papul, edema minimal pada 50% area yang dilakukan uji tempel)

(++)

: positif kuat (edema disertai pembentukan vesikel minimal pada 50% area yang dilakukan uji tempel)

(+++)

: positif sangat kuat (eritema kuat, infiltrasi dan vesikel bergabung dijumpai minimal pada 50% area yang dilakukan uji tempel)

NT

: tidak diteteskan

IR

: reaksi iritasi

 

Keberhasilan pengobatan DKI membutuhkan kerjasama pasien serta perawatan dan perlindungan terhadap bahan iritan.22 Prinsip terapi dalam tatalaksana DKI yaitu menghindari atau mengeliminasi bahan iritan.1 Terapi topikal yang dapat diberikan pada pasien DKI antara lain pemberian pelembab dengan jenis emolien, kortikosteroid topikal serta agen keratolitik seperti asam salisilat 2-3%. Stratum korneum membutuhkan kadar air sebesar 10% untuk menjaga kulit agar tetap lembab dan mencegah TEWL. Emolien dressing dapat meningkatkan perbaikan pada daerah yang kering serta memperbaiki barier kulit.14 Seramid dan shea butter merupakan jenis emolien yang disarankan karena dapat memperbaiki barier kulit sebagai sintesis lipid bilayer dan meningkatkan komponen lipid pembentuk barier kulit. Emolien juga berfungsi untuk menghaluskan dan menenangkan kulit. Urea merupakan humektan, pelembab topikal, agen keratolitik serta antipruritik yang berperan dalam regulasi gen dalam keratinosit, selain itu urea dapat meningkatkan penetrasi dan mengoptimalkan kerja obat topikal yang lain seperti kortikosteroid. Mekanisme kerja urea yaitu meningkatkan kelembaban di stratum korneum dengan cara mengurangi TEWL dan meningkatkan ketahanan stratum korneum terhadap tekanan osmotik serta sebagai humektan endogen. Urea juga dapat meningkatkan fungsi barier kulit dan pertahanan terhadap antimikroba, selain itu urea berfungsi mengatur proliferasi epidermis dengan menurunkan sintesis DNA serta memperpanjang degenerasi sel epidermis paska mitosis. Urea dengan konsentrasi tinggi (20-40%) berperan sebagai agen keratolitik dengan mendenaturasi protein dan memutus ikatan hidrogen.23 Pemberian urea pada konsentrasi 10-20% memberikan efek sebagai keratolitik dengan cara menurunkan adhesi keratinosit dan memicu deskuamasi stratum korneum serta meningkatkan konsentrasi obat topikal.24 Terapi pada pasien ini diberikan krim urea 10% yang dioles dua kali sehari pada area lesi sebagai keratolitik serta meningkatakan konsentrasi dari kortikosteroid topikal yang diberikan serta pelembab dioles sesering mungkin terutama setelah cuci tangan sebagai pelembab.

Peran kortikosteroid dalam terapi DKI hingga saat ini masih kontroversial. Kortikosteroid dapat digunakan sebagai anti inflamasi pada fase DKI akut, namun pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menyebabkan atrofi pada epidermis dan terjadi peningkatan kerentanan terhadap bahan iritan.1 Kortikosteroid oral dosis rendah dapat diberikan pada fase DKI akut sebagai anti inflamasi.15 Kortikosteroid topikal potensi kuat berfungsi sebagai anti inflamasi dengan cara menekan faktor transkripsi proinflamasi seperti nuclear factor kappa-B (NF-kB) dan aktivator protein-1 (AP-1), meginduksi sintesis protein zat- zat antiinflamasi, misalnya inhibitor kappa B-alfa (IkB-alfa), lipokortin, interleukin (IL) 10 dan transforming grwoth factor-β (TGF-β). Kortikosteroid juga dapat menimbulkan inhibisi zat-zat proinflamasi misalnya faktor transkripsi NF-kB dan sintesis protein IL 1, IL2, IL6, interferon gamma (IFN γ) dan tumor necrosis factor- α (TNF-α) sehingga mengurangi peradangan. Mekanisme antiproliferatif pada kortikosteroid yaitu dengan mengurangi aktivitas mitotik sel keratinosit di lapisan epidermis dengan menekan modulator diferensiasi sel enkephalin serta peptide opioid yang akan menyebabkan penipisan lapisan stratum korneum, granulosum, dan basal pada kulit serta menghambat inflamasi pada dermis sehingga dapat memperbaiki barier kulit.25,26 Pada kasus ini, pasien diberikan kortikosteroid topikal potensi kuat (salep klobetasol propionat 0,1%) yang dioleskan dua kali sehari pada area lesi selama 2 minggu.

 

Kesimpulan

Telah dilaporkan satu kasus DKI kronis pada perempuan berusia 27 tahun karena paparan surfaktan. Pemeriksaan status dermatologi regio palmar manus dekstra et sinistra tampak patch eritem sebagian hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya serta tampak adanya hardening. Pasien dilakukan pemeriksaan uji tempel dan didapatkan hasil decressendo pada iritan yang mengandung surfaktan yang berarti pasien mengalami DKI. Pasien diberikan tatalaksana berupa antihistamin oral, kortikosteroid topikal, aplikasi pelembab serta edukasi untuk menghindari iritan dan memakai sarung tangan berbahan karet saat mencuci.


 

BIBLIOGRAFI

 

1.          Chern A, Chern C, Lushniak B. Occupational dermatitis. Dalam: Kang S AM, Bruckner A, Enk A, Margolis D, mcmichael A, Orringer JS. Fitzpatrick’s dermatology. Edisi ke-9. New York: Mcgraw Hill Companies; 2019. 438-57.

 

2.          Li Y, Li L. Contact Dermatitis: Classifications and Management. Clin Rev Allergy Immunol. 2021; 61(3): 245-81.

 

3.          Sarifah, Pitrah A, Ririn TA. Faktor faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak iritan pada nelayan di desa lamanggau kecamatan tomia kabupaten wakatobi tahun 2016. Angew chemie int. 2016; 6 (11): 951-2.

 

4.          Karlien B. Prevalensi penderita dermatitis kontak iritan di rumah sakit umum pusat angkatan udara periode 1 Januari 2011–31 Desember 2012. 2013; 2(1): 7-12.

 

5.          Wahlberg L. Patch testing. Dalam: Johansen JD, Frosch PJ, Lepoitevin JP. Edisi ke-5. Jerman: Springer; 2011: h 439-64.

 

6.          Effendy I, Maibach HI. Surfactans and experimental irritant contact dermatitis. Contact derm. 1995; 33(4): 217-25.

 

7.          Callahan A, Baron E, Fekedulegn D, Kashon M, Yucesoy B, Johnson V, dkk. Winter season, frequent hand washing, and irritant patch test reactions to detergents are associated with hand dermatitis in health care workers. J Dermatol. 2013; 24(4): 170-5.

 

8.          Chen XT, Cheng H, Li L. Survey of occupational allergic contact dermatitis and patch testing among clothing employees in beijing. Biomed res int. 2017; 1(3): 1-10.

 

9.          Lazzarini R, Duarte I, Ferreira AL. Patch tests. An Bras Dermatol. 2013; 88(6): 879-88.

 

10.       Chern A, Chern C, Lushniak B. Occupational dermatitis. Dalam: Kang S AM, Bruckner A, Enk A, Margolis D, mcmichael A, Orringer JS. Fitzpatrick’s dermatology. Edisi ke-9. New York: Mcgraw Hill Companies; 2019. h 438-457.

 

11.       Efenina GD, Deasy F, Afif NH. Contact dermatitis in tertiary hospital: a 2-year retrospective study. IJPH. 2021; 33(2): 88-92.

 

12.       Cahil JMM, Palmer AM, Burgess JA, Dharmage SCNR. Occupational contact dermatitis: A review of 18 years of data from an occupational dermatology clinic in Australia. Australia Occup Dermatol Res and Education Centre. 2016; 57(2): 108-114.

 

13.       Firooz A, Rajabi EA, Zartab H, Pazhohi N, Fanian F, Janani L. The influence of gender and age on the thickness and echo density of skin. Skin res technol. 2017; 23(1): 13-20.

 

14.       Eberting CL, Blickenstaff N, Goldenberg A. Pathophysiologic treatment approach to irritant contact dermatitis. Curr Treat Options in Allergy. 2014; 1(4): 317-28.

 

15.       Souza D. Irritant contact dermatitis. Dalam: Bolognia JL, Schaffer JV. Dermatology. Edisi ke-3. Philadelphia: saunders; 2012. h 249-59.

 

16.       Nosbaum A, Vocanson M, Rozieres A, Hennino A, Nicolas JF. Allergic and irritant contact dermatitis. Eur J Dermatol. 2009; 19(4): 325-32.

 

17.       Haur YL, Marco S, Nikhil Y, Masato K. Cytokines and chemokines in irritant contact dermatitis. Mediators Inflamm. 2013; 10(2): 1-7.

 

18.       Deguchi H, Aoyama R, Takahashi H, Isobe Y, Tsutsumi Y. Harmful effects of synthetic surface active detergents against atopic dermatitis. Case rep dermatol med. 2015; :1-5.

 

19.       Wilhelm KP, Freitag G, Wolff HH. Surfactant induced skin irritation and skin repair: evaluation of a cumulative human irritation model by noninvasive techniques. J Am Acad Dermatol. 1994; 31(6): 981-7.

 

20.       Sasseville D. Occupational contact dermatitis. Allergy asthma clin immunol. 2008; 4(2): 59- 65.

 

21.       Uyesugi BA, Sheehan MP. Patch testing pearls. Clin Rev Allergy Immunol. 2019; 56(1):110- 8.

 

22.       Jochen B, Detlef B, Werner A, Andreas B, Birger K, Kirsten J. Guideline contact dermatitis. Allergo J Int. 2014; 23(4):126–38.

 

23.       Verzi AE, Musumeci ML, Lacarrubba F, Micali G. History of urea as a dermatological agent in clinical practice. Int J Clin Pract. 2020; 74(4):187.

 

24.       Federica DO, Anna EV, Francesco L, Giuseppe M. Clinical evidences of urea at medium concentration. Int J Clin Pract. 2020; 74(2): 187.

 

25.       Dorte W, Ramsing TA. Efficacy of topical corticosteroids on irritant skin reaction. Contact dermat. 1995; 32(5): 293-7.

 

26.       Stephen EW. Corticosteroid. Dalam: Jashin J. Comprehensive Dermatologic Drug Therapy. Edisi ke-3. London: elsevier; 2020. 490-5.

 

27.       Rihatmadja R. Anatomi dan faal kulit. Dalam: Linuwih S, Bramono K & Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Badan penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.

 


Copyright holder:

Triasari Oktavriana*, Anindya Oktafiani, Harijono Kariosentono (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: