Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
11, November 2022
METODE
TAFSIR TAHLILI DALAM PENGEMBANGAN TAFSIR TARBAWI
Reyza Farhatani, Aceng Kosasih
Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Al-Qur’an
merupakan pedoman umat Islam yang selalu relevan sepanjang masa. Al-Qur’an
berkaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan sendiri mempunyai tempat yang
strategis dalam membentuk budaya dan peradaban manusia. Nilai sastra yang
tinggi di dalamnya, membuat Al-Qur’an harus dipahami dengan ilmu yang mumpuni.
Metode tafsir tahlili merupakan salah satu metode tafsir yang analitis
dan komprehensif. Dalam pengembangannya dengan tafsir tarbawi, seorang
mufasir harus lebih bisa menangkap setiap pesan ayat yang dikandungnya dan
memahami suatu pendidikan yang sedang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya pada
setiap ayat Al-Qur’an tersebut.
Kata
Kunci: al-qur’an; tafsir tahlili; pendidikan
Abstract
The Qur’an is a guideline for Muslims which is always relevant at all
times. The Qur’an is closely related to education. Education itself has a
strategic place in shaping human culture and civilization. High literary value
in it, making the Qur’an must be understood with qualified knowledge. The tahlili interpretation method is one
analytical and comprehensive interpretation method. In its development with the
interpretation of the tarbawi, a commentator must be better able to grasp every
message of the verse they contain and understand an education that is being
given by Allah to His people in each verse of the Qur’an.
Keywords:
the qur’an;
tafsir tahlili; education
Pendahuluan
Allah menurunkan Al-Qur’an kepada umat
manusia sebagai hudan, bayyinah, dan furqan. Al-Qur’an merupakan
pedoman umat Islam yang selalu relevan sepanjang masa (Sanaky, 2008). Al-Qur’an
berkaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan sendiri mempunyai tempat yang
strategis dalam membentuk budaya dan peradaban manusia (Mudlofir, 2011). Selain itu, Al-Qur’an
memiliki nilai sastra yang tinggi, sehingga untuk memahaminya tidak bisa
sembarangan, perlu ilmu yang mumpuni agar seseorang dapat memahami dengan benar
hal-hal yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dari hal tersebut tafsir menjadi kunci
untuk membuka makna yang terdapat dalam Al-Qur’an (Elhany, 2018) Para ulama tafsir
menggunakan berbagai metode dan corak yang beragam untuk dapat memahami isi
kandungan Al-Qur’an. Di antara metode yang sering digunakan ialah metode tahlili,
metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i (Yamani, 2015). Dari keempat metode
tersebut, ditambahkan secara spesifik oleh (Ahmad, 2016), metode tahlili merupakan
salah satu metode yang sering digunakan oleh para pengkaji Al-Qur’an.
Kemudian dalam hal ini penulis akan
membahas mengenai metode tafsir tahlili dalam pengembangan tafsir tarbawi.
Metode tafsir tahlili akan dapat membantu memudahkan menafsirkan Al-Qur’an secara mendalam. Meskipun dalam
pengaplikasiannya para mufasir berbeda-beda, ada yang mengurai secara ringkas
dan ada pula yang menguraikannya secara terperinci, hal tersebut tergantung
kepada kecenderungan mufasir (Zuailan, 2016). Tafsir tarbawi
sendiri menitikberatkan pada masalah tarbiah dalam rangka membangung
peradaban yang sesuai dengan petunjuk dan spirit Al-Qur’an
(Yunus, 2016).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka. Pendekatan kualitatif ialah
cara meneliti dengan melihat keadaan objek tertentu yang alami. Pada penelitian
ini, peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci penelitian
Hasil dan Pembahasan
1.
Pengertian
Metode Tafsir Tahlili
Dalam
pengertian secara etimologis, tahlili berasal dari bahasa Arab yakni ,(التحللي) yang berarti
menjadi lepas atau terurai (Abd Al-Hay Al-Farmawi dalam (Elhany, 2018). Metode ini berupaya untuk menganalisis dan menjelaskan ayat-ayat
Al-Qur’an secara menyeluruh, komprehensif (Rokim, 2017), menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan pelbagai segi dan
menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an, dilakukan secara beruturan
ayat demi ayat kemudian surat demi surat (Ahmad, 2016),
menonjolkan kandungan lafaz-lafaznya, hubungan antar surat, dan penyebab
turunnya (Sanaky, 2008).
Pendapat
tersebut diperkuat oleh
2.
Macam-Macam
Metode Tafsir Tahlili
Dalam
perkembangan penafsiran Al-Qur’an, para ulama membagi wujud tafsir Al-Qur’an
dengan metode tahlili kepada tujuh macam, di antaranya adalah tafsir bil
matsur, tafsir bil ra’yi, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir fiqhi,
tafsir ilmi dan tafsir adabi (Ahmad, 2016). Namun dalam hal ini penulis hanya akan menjelaskan dua macam,
yakni metode tafsir tahlili bil ma’tsur dan tafsir bil rayi.
Dikutip dari (Rokim, 2017),
sebagai berikut:
1.
Tafsir Tahlili
bil Matsur (Riwayat)
Dalam hal ini metode
tafsir tahlili berusaha
menjelaskan ayat-ayat secara
terperinci dengan menggunakan pendekatan tafsir bil matsur. Adapun
yang dimaksud dengan tafsir
bil matsur adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berlandaskan
pada penjelasan dalam ayat yang lain, hadis-hadis nabi, dan pada perkataan para sahabat dan tabi’in. Di antara tafsir tahlili yang
menggunakan pendekatan
tafsir bil matsur
yaitu:
a.
Tafsir Jami’
al-Bayan fi Ta’wil ayat Al-Qur’an.
b.
Ma’alim Tanzil
al-Bagawi.
c.
Tafsir
Al-Qur’an al-Adzim, Ibnu Katsir.
d.
al-Durr
al-Ma’tsur fi al Tafsir bi al-Ma’tsur Suyuti.
2. Tafsir Tahlili
bil Ra’yi (Pemikiran)
Ragam tafsir tahlili yang kedua adalah penggunaan pendekatan tafsir bil ra’yi. Yakni dalam penjelasan tafsir tahlili ini, mufasir menggunakan sumber ra’yi yang didukung dengan kaidah-kaidah tafsir dan cabang-cabang
ilmu tafsir. Di antara
tafsir tahlili yang menggunakan
pendekatan tafsir bil
ra’yi yaitu:
a.
Tafsir al-Khazin,
al-Khazin.
b.
Anwar Tanzil
wa Asrar Al-Ta’wil, al-Baydhawi.
c.
Tafsir al-Jawahir
fi Tafsir al-Qur’an, Thanthawi Jauhari.
d.
Tafsir al-Manar,
Muhammad Rasyid.
3.
Kelebihan Dan
Kekurangan Metode Tafsir Tahlili
Kelebihan dari metode ini ialah seperti ruang lingkup yang luas. Metode ini dapat digunakan oleh mufasir dalam dua bentuk yaitu ma’tsur dan ra’yi yang dapat dikembangkan dalam berbagai penafsiran sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir (Sanaky, 2008). Kelebihan lain dari metode ini adalah terletak pada keleluasaan dan keutuhannya dalam memahami Al-Qur’an. Dengan metode tahlili, seseorang diajak memahami Al-Qur’an dari awal (Surah Al-Fatihah) hingga akhir (Surah An-Nas) (Amin, 2017). Selain itu, dengan metode ini dapat memuat berbagai ide. Pola penafsiran metode ini dapat menampung ide yang terpendam dalam benak mufasir, bahkan sampai ide-ide ekstrim pun dapat ditampungnya (Ahmad, 2016).
Sedangkan untuk kekurangannya ialah akan menjadikan petunjuk Al-Qur’an parsial atau terpecah-pecah, masuk pemikiran israiliyat (Ahmad, 2016), kajiannya mendalam sehingga bisa menjadikan tidak tuntas dalam membicarakan topik-topik yang dibicarakan, memerlukan waktu yang cukup panjang dan menuntut ketekunan. Kemudian karena metode ini jangkauannya luas, maka seorang mufasir belum tentu bisa menguasai aspek luas tersebut. Selain itu dapat pula memunculkan penafsiran subjektif dari seorang mufasir (Elhany, 2018).
Meskipun demikian, harus ditegaskan bahwa kekurangan atau kelemahan metode tafsir tahlili tidak berarti menjadi sesuatu yang negatif, sehingga kita dilarang menggunakan atau memanfaatkan produk penafsiran dengan metode tafsir tahlili. Tidak demikian, kritik terhadap kekurangan dan kelemahan metode tafsir tahlili ini akan menjadikan kita dan atau para ahli tafsir agar lebih berhati-hati dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga tidak terjadi salah dalam penafsiran.
4.
Langkah-Langkah
Metode Tafsir Tahlili
Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh, seperti yang dikemukakan (Shihab, Sukardja, dkk, 2008, hal. 173), mufasir memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Adapun langkah-langkah metode tahlili ini yaitu sebagai berikut:
1. Menerangkan
hubungan (munasabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara satu
surah dengan surah lain. Misalnya, dalam menafsirkan awal surah Ali-Imran [3].
Apabila mufasir menulis tafsirnya secara utuh satu mushaf, mulai dari surah
Al-Fatihah [1] dan seterusnya, maka ketika ia memulai menafsirkan surah
Ali-Imran [3], ia akan menjelaskan hubungan anatara
surah Al-Baqarah [2] dengan surah Ali-Imran [2] yang ditafsirkannya.
2. Menjelaskan
sebab-sebab turunnya ayat (asbabunnuzul).
3. Menganalisis
mufradat (kosakata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab.
4. Memaparkan
kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5. Menerangkan
unsur-unsur fashahah, bayan dan i’jaznya, bila dianggap perlu.
6. Menjelaskan
hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas, khusunya ayat-ayat ahkam,
yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7. Menerangkan
makna dan maksud syarak yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
5.
Contoh
Penafsiran Metode Tafsir Tahlili Dalam Pengembangan Tafsir Tarbawi
Dalam penafsiran metode tafsir tahlili, jika dikaitkan
dengan tarbawi/pendidikan, mufasir harus lebih menganalisis dan dapat
mengungkap makna-makna baik itu makna yang tersurat atau pun yang tersirat,
memahami pendidikan apa yang sedang Allah berikan untuk hamba atau umat-Nya
dari setiap ayat-ayat-Nya. Contoh
yang digunakan oleh penulis dalam metode tahlili ialah penfasiran QS.
Al-Baqarah [2] ayat 115, sebagai berikut:
¬!ur
ä-Ìô±pRùQ$#
Ü>ÌøópRùQ$#ur
4
$yJuZ÷r'sù
(#q9uqè?
§NsVsù
çmô_ur
«!$#
4
cÎ)
©!$#
ììźur
ÒOÎ=tæ
ÇÊÊÎÈ
Artinya: “Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha luas, Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah [2]: 115).
Yang dimaksud oleh Allah dalam firmannya:
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4
Pada ayat tersebut
di atas Allah berwenang penuh atas pemilikan
dan pengaturan keduanya. Dengan demikian ayat tersebut bermakna
bahwa keduanya adalah milik Allah dan makhluk-Nya. Kata (المشرق) sama
artinya dengan طلعص yang kasrah lam, yaitu
menunjukkan kepada ‘’tempat matahari terbit’’. Di dalam kata tersebut, Allah Swt. hendak menghibur Rasulullah Saw.
dan para sahabat yang diusir
dari kota Makkah dan meninggalkan tempat salat mereka. Dahulu Rasulullah Saw. melaksanakan salat di kota Makkah
menghadap ke Baitulmaqdis sedangkan Ka’bah ada di depannya.
Lalu ketika beliau ke kota Madinah beliau tetap diarahkan
ke Baitulmaqdis selama enam belas
bulan. Kemudian Allah memalingkannya ke Ka’bah. Oleh karena itu Allah Swt. berfirman, “dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah Swt.”
Jika ada yang bertanya ada apa
Allah Swt. menyebut timur dan barat secara khusus, bahwa dia
memiliki keduanya bukan yang lain? Para pakar takwil (tafsir) berbeda pendapat dalam menjelaskan latar belakang penyebutan kedua tempat itu
secara khusus. Ada yang berkata, Allah sengaja menyebut kedua tempat itu secara
khusus karena kaum Yahudi dalam
salat menghadap ke Baitulmaqdis, dan Rasulullah pernah
melakukan hal yang sama pada suatu periode, kemudian mereka berpaling menghadap ke Ka’bah.
Dikarenakan itu kaum Yahudi menyangkal
perbuatan nabi tersebut dan berkata “apa gerangan yang memalingkan mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan
arah salat?” Allah menjelaskan
kepada mereka, “barat dan timur semua milik-Ku,
Aku memalingkan muka
hamba-hamba-Ku (dalam salat) sesuai
keinginan-Ku, maka kearah mana kamu menghadap niscaya di sana ada Aku (Allah)” (Elhany, 2018).
Dalam hal ini Mustani
telah menceritakan kepadaku katanya, Abu Shalih telah bercerita
kepadanya, kata Abu Shalih
Mu’awiyah bin Shalih telah bercerita kepadanya berasal dari Ali dari Ibnu Abbas, katanya “yang pertama kali nasihatkan adalah ayat tentang kiblat”.
Ketika Rasulullah hijrah ke
Madinah, mayoritas penduduknya
adalah kaum Yahudi, maka Allah memerintahkan menghadap Baitulmaqdis itu lebih dari 10 tahun.
Tapi Rasulullah tetap menginginkan menghadap kiblat nabi Ibrahim (Ka’bah). Dari itu dia selalu berdoa
sambil melihat langit, lantas Allah Swt. menjawab doa
tersebut dengan menurunkan QS. Al-Baqarah [2] ayat
144 sampai 150 yang terjemahannya
“(sungguh kami memperhatikan
wajahmu sering menghadap ke langit).
(maka sekarang)
hadapkanlah wajahmu (dalam salat ke arah Masjidilharam [Ka’bah])” Dengan demikian, timbul keraguan dikalangan kaum Yahudi lalu
mereka berkata “mengapa Dia memalingkan
mereka dari kiblat yang pernah mereka jadikan arah salat”. Untuk menjawab pertanyaan itu Allah menurunkan QS.
Al-Baqarah [2] ayat 115. (“Katakanlah
milik Allah Timur dan Barat”) dan ditegaskan-Nya
pula ‘’ke arah mana saja kamu menghadap,
di sana ada Allah” (Elhany, 2018).
Dalam pendapat yang sama pula
¬!ur ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4
Jadi ayat tersebut mendidik manusia bahwa milik Allah penguasa semua makhluk yang berada diantara Timur dan Barat dan Dialah yang membuat mereka beribadah sesuai dengan kehendak-Nya, maka hadapkanlah mukamu sekalian hai mukminun ke arah-Ku, ke arah mana saja kamu menghadap di sana ada Aku. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa di dalam ayat terjadi nasikh mansukh, maka pendapat yang betul ialah, ayat ini berkonotasi umum tapi yang dimaksud adalah khusus, dengan demikian firman-Nya :
4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4
Bisa saja jadi keizinan untuk melakukan salat dengan menghadap ke arah mana saja ketika dalam perjalanan, dalam peperangan dan lain sebagainya, baik dalam salat sunah ataupun wajib sebagainya ditegaskan oleh Umar Al-Makhai dan yang sepaham dengan mereka.
Imam Syafii, menurut pendapat yang masyhur dalam
tA$s%ur
ãNà6/u
þÎTqãã÷$#
ó=ÉftGór&
ö/ä3s9
4
¨bÎ)
úïÏ%©!$#
tbrçÉ9õ3tGó¡o
ô`tã
ÎAy$t6Ïã
tbqè=äzôuy
tL©èygy_
úïÌÅz#y
ÇÏÉÈ
Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya:
4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
Artinya “Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui” Maknanya rahmat Allah mencakup semua makhluk-Nya dengan memberi mereka kecukupan, karunia, dan anugerah dari-Nya.
“Alimuun” artinya
sesungguhnya Allah Swt. Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka. Tiada sesuatupun dari amal mereka
yang tidak diketahui-Nya
dan tiada sesuatupun yang menghalang-halangi pengetahuan-Nya,
bahkan Allah Swt. Maha Mengetahui kesemuaanya
Dari penafsiran ayat diatas bagaimana Allah begitu memahami psikologis yang dihadapi oleh nabi Muhammad Saw., yang sangat menginginkan berkiblat ke arah Ka’bah, dan sesungguhnya kepunyaan Allah-lah semua arah timur dan barat dan tidak ada satu tempatpun yang lepas dari Allah. Pun setiap doa yang di ucapkan manusia maka oleh Allah akan diperkenankan. Selain itu Allah sedang menghibur nabi bahwasannya harus sabar terhadap setiap ucapan dari kaum Yahudi.
Kesimpulan
Metode
tafsir tahlili adalah cara menafsirkan Al-Qur’an dengan cara analitis,
dilihat keterkaitan antar ayat, antar surat. Dalam metode ini terdapat
kelebihan dan kekurangannya, tetapi hal tersebut tidak menjadikan metode ini
negatif, yang artinya dalam penggunaannya harus sangat berhat-hati. Kemudian
ketika dikaitkan dengan tafsir pendidikan (tarbawi), seorang mufasir
tersebut harus lebih cermat dalam menangkap pesan pada setiap ayat-ayat-Nya.
Lebih dari itu mufasir tersebut harus mengetahui pendidikan yang sedang
diberikan oleh Allah kepada umat-Nya pada ayat-ayat tersebut.
BIBLIOGRAFI
Ahmad, La Ode Ismail. (2016). Konsep Metode
Tahlili dalam Penafsiran al-Qur’an. “ Jurnal Shaut Al-Arabiyah,” 4(2),
53–66. Google
Scholar
Amin, Faizal. (2017). Metode Tafsir
Tahlili: Cara Menjelaskan al-Qur’an dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan
Ayat-ayatnya. Kalam, 11(1), 235–266.
https://doi.org/10.24042/klm.v11i1.979. Google
Scholar
Elhany, Hemlan. (2018). Metode Tafsir
Tahlili Dan Maudhu’i. At-Thariq Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 2(1),
1–16. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004. Google
Scholar
Mudlofir, Ali. (2011). Tafsir Tarbawi
Sebagai Paradigma Qur’ani dalam Reformulasi Pendidikan Islam. Al-Tahrir:
Jurnal Pemikiran Islam, 11(2), 261.
https://doi.org/10.21154/al-tahrir.v11i2.35. Google
Scholar
Rokim, Syaeful. (2017). Mengenal Metode
Tafsir Tahlili. Al - Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 2(03),
41–56. https://doi.org/10.30868/at.v2i03.194. Google
Scholar
Sanaky, Hujair A. H. (2008). Metode Tafsir
[Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin]. Al-Mawarid,
18(00), 263–284. https://doi.org/10.20885/almawarid.vol18.art7. Google
Scholar
Yamani, Moh Tulus. (2015). Memahami
Al-Qur’an Dengan Metode Tafsir Maudhu’i. J-PAI, 1(2), 273–292.
https://doi.org/10.18860/j-pai.v1i2.3352. Google
Scholar
Yunus, Badruzzaman M. (2016). Tafsir
Tarbawī. Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur’an Dan Tafsir, 1(1),
1–7. https://doi.org/10.15575/al-bayan.v1i1.1670. Google
Scholar
Zuailan. (2016). Metode Tafsir Tahlili. Diya
Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, 4(1), 59–86.
https://doi.org/10.24235/SQH.V4I01.805. Google
Scholar
Copyright holder: Reyza Farhatani, Aceng Kosasih (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |