Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

Gambaran Faktor Risiko Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA) di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

 

Atika Indah Sari1, Amel Yanis2, Isnindiah Koerniati3

1,2.3Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Email: [email protected]

 


Abstrak

Gangguan Spektrum Autisme (GSA) adalah kumpulan kondisi kelainan perkembangan yang ditandai dengan masalah dalam interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal, serta tingkah laku dan minat yang dangkal dan berulang. Insidensi autisme cenderung meningkat namun penyebab pastinya belum diketahui. Peneliti menyatakan autisme merupakan masalah yang kompleks dan multifaktorial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang. Penelitian deskriptif observasional ini dilakukan pada bulan Juni � September 2015 dengan mewawancarai ibu dari 97 anak di beberapa Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang dengan teknik consecutive sampling. Faktor-faktor risiko yang ditanyakan adalah genetik, jenis kelamin, riwayat gangguan psikiatrik pada keluarga, usia orang tua saat anak lahir, riwayat penyakit dahulu atau sekarang anak, riwayat komplikasi selama kehamilan, riwayat penggunaan obat saat kehamilan, berat lahir, jenis persalinan dan riwayat komplikasi saat kelahiran. Mayoritas anak tidak memiliki faktor genetik (90,7%). Jumlah anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (3,21 : 1). Sebagian besar anak tidak memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarganya (68,0%). Usia orang tua saat anak lahir tertinggi adalah >29 � 34 tahun. Kebanyakan anak memiliki riwayat penyakit dahulu atau sekarang (67,0%). Lebih dari setengah subjek tidak memiliki riwayat komplikasi saat kehamilan (50,5%). Sebagian besar ibu memiliki riwayat penggunaan obat selama kehamilan (66,0%). Prevalensi berat lahir tertinggi adalah 2500 � 4000 gram. Jenis persalinan terbanyak adalah persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun.

 

Kata kunci: Gangguan Spektrum Autisme, faktor risiko, prevalensi

 

Abstract

Autism Spectrum Disorders (ASD) are group of developmental disorders characterized by difficulties in social interaction, verbal and nonverbal communication challenges, repetitive and shallow behaviors and interest. The incidence of autism has increased but the exact causes are still unknown. The scientists suggested that autism is a complex and multifactorial problem. The purpose of this study is to describe the risk factors of Autism Spectrum Disorders in Special Education Schools in Padang. This observational descriptive study was conducted in June to September 2015 by interviewing the mothers of 97 children in some Special Education Schools in Padang which was selected by consecutive sampling. The risk factors identified in this study were genetic, sex, psychiatric disorder history in family, parental age when the child was born, child�s disease history, pregnancy complication, pregnancy drugs usage, birth weight, type of delivery and birth complication. Majority of the children didn�t have genetic risk factor (90.7%). Boys were more than girls (3.21:1). Most children didn�t have psychiatric disorders in their family (68.0%). The majority child�s birth parental age was >29 � 34 years old. Most of children had comorbid disease (67.0%). More than half of the subjects didn�t have pregnancy complication (50.5%). Most of mothers had pregnancy drugs usage (66.0%). The highest prevalence of birth weight was 2500 � 4000 gram. The most types of delivery were vaginal delivery without special tools.

 

Keywords: Autism Spectrum Disorders, risk factors, prevalence


 

Pendahuluan

Autisme adalah kumpulan kondisi kelainan perkembangan yang ditandai dengan kesulitan berinteraksi sosial, masalah komunikasi verbal dan nonverbal, disertai dengan pengulangan tingkah laku dan ketertarikan yang dangkal dan obsesif.(Al-Ayadhi, 2005) Setiap anak autistik adalah unik. Masing-masing memiliki gejala-gejala dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda. Karena itulah pada beberapa tahun terakhir ini muncul istilah ASD (Autistic Spectrum Disorder) atau GSA (Gangguan Spektrum Autistik).

Autisme membawa dampak pada anak dan juga pada keluarga. Penderita autisme mengalami gangguan pada interaksi sosial, pola komunikasi, minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik dan diulang-ulang. Kondisi seperti ini tentulah akan sangat memengaruhi perkembangan baik mental maupun fisik anak tersebut. Apabila tidak dilakukan intervensi secara dini dan tatalaksana yang tepat, sulit diharapkan perkembangan optimal akan terjadi pada anak-anak ini. Mereka akan semakin terisolasi dari dunia luar dan hidup dalam dunianya sendiri, dengan berbagai gangguan mental dan perilaku yang semakin mengganggu dan tentunya semakin banyak dampak negatif yang akan terjadi di kemudian hari.(Al-Ayadhi, 2005)

Dampak pada anak juga dapat berupa prestasi sekolah yang buruk, gangguan sosialisasi, status pekerjaan yang rendah, dan risiko kecelakaan meningkat. Adapun dampak pada keluarga adalah timbulnya stress dan depresi yang berat pada orang tua dan pengasuhnya sehingga memengaruhi keharmonisan keluarga. Hal ini bisa disebabkan karena gangguan autisme ini bersifat kronik, yang memerlukan tenaga dan biaya yang tidak ringan dalam usaha penanggulangannya, dan tidak dapat memberikan garansi akan tercapainya hasil pengobatan yang diharapkan. Hal ini tentu akan menimbulkan ketakutan dan pukulan yang luar biasa bagi orang tua bila anaknya didiagnosis sebagai anak autistic.(Al-Ayadhi, 2005)

Gangguan autistik tetap meninggalkan ketidakmampuan yang menetap pada anak walaupun kebanyakan anak autistik menunjukkan perbaikan dalam hubungan sosial dan kemampuan berbahasa seiring meningkatnya usia. Mayoritas anak autistik tidak dapat hidup mandiri dan membutuhkan perawatan di institusi maupun membutuhkan supervisi terus. Beberapa peneliti mencatat adanya peningkatan masalah perilaku saat remaja pada anak autis, termasuk gangguan obsesif kompulsif yang berat dan apatis. Selain itu juga dilaporkan munculnya gangguan depresi pada saat remaja.(Al-Ayadhi, 2005)

Kasus autisme akhir-akhir ini semakin sering dijumpai pada masyarakat, dimana angka kejadiannya semakin meningkat. Insidensinya pada tahun 1990 di berbagai negara sekitar 2 � 5 per 10.000 pada populasi anak normal. Pada tahun 1998 meningkat menjadi 10 per 10.000 dan pada tahun 2002 sekitar 15 � 20 per 10.000 populasi anak normal.4 Menurut CDC, autisme terdapat pada 1 dari 166 kelahiran. Berdasarkan statistik Departemen Pendidikan Amerika Serikat angka pertumbuhan autisme adalah 10 � 27 persen per tahun. NIMH (National Institute of Mental Health Amerika) memperkirakan antara 2 dan 6 per 1000 orang menderita autisme.(Al-Ayadhi, 2005)

Akhir-akhir ini kasus autis banyak terjadi tidak saja di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15 � 20 kasus per 10.000 anak atau 0,15 � 0,20%, jika angka kelahiran di Indonesia enam juta per tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia, bertambah 0,15% atau 6.900 anak pertahun, prevalensi anak laki-laki tiga sampai empat kali lebih besar daripada anak perempuan. (Muhartomo, 2004)

Di Indonesia, autisme juga mendapat perhatian luas dari masyarakat maupun profesional karena jumlah anak autistik yang meningkat dengan cepat. Sampai saat ini belum ada data resmi mengenai jumlah anak autistik di Indonesia, namun lembaga sensus Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 2004 jumlah anak dengan ciri-ciri autistik atau GSA di Indonesia mencapai 475.000 orang.(Hultman, Spar�n, & Cnattingius, 2002)

Menurut data yang ada di Poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja RSCM pada tahun 1989 hanya ditemukan dua pasien, dan pada tahun 2000, tercatat 103 pasien baru, terjadi peningkatan sekitar 50 kali.(Mashabi & Tajudin, 2009) Peneliti sebelumnya sudah melakukan survei awal data autisme dan didapatkan 14 kasus autisme sejak Januari 2010 sampai Juli 2014 di Poli Jiwa RSUP Dr. M. Djamil Padang. Selain itu, peneliti juga melakukan survei data awal di Poli Anak dan Remaja RSJ Prof. HB Saanin Padang dan didapatkan persentase perbandingan jumlah kunjungan kasus autisme dengan total semua kunjungan pada tahun 2014 adalah 2,12%.

Penyebab pasti autisme belum diketahui hingga saat ini. Para peneliti mengakui bahwa autisme merupakan masalah yang kompleks dan banyak faktor (multifaktorial) yang berperan dalam terjadinya autisme.

Penelitian sudah banyak dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa autisme merupakan masalah yang kompleks dan merupakan gangguan yang multifaktorial. Faktor yang dapat terlibat termasuk gangguan genetik yang berinteraksi dengan faktor lingkungan yang berdampak terhadap otak dan badan.(Nixon & Mariyanti, 2012)

Selain faktor genetik dan lingkungan, faktor epigenetik juga berperan melalui beberapa fakta bahwa sindrom genetik yang komorbid dengan GSA menunjukkan disregulasi tanda epigenetik yang membantu mengatur ekspresi gen. Garis epigenetik penelitian juga menjelaskan bagaimana memahami peningkatan kejadian autisme yang ditemukan secara epidemiologi.(Kumar, Prakash, Sewal, Medhi, & Modi, 2012)

Penelitian tentang autisme belum banyak dilakukan di Kota Padang. Oleh karena itu, sangat diperlukan penelitian untuk mengetahui karakteristik dan gambaran faktor risiko anak dengan gangguan spektrum autisme di Kota Padang saat ini. Penelitian ini dapat memberikan data dan informasi serta dapat menjadi tolak ukur untuk penelitian selanjutnya mengenai autisme di Kota Padang. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan dapat memberikan pengetahuan kepada orang tua mengenai autisme dan faktor risiko autisme.

Melihat kekerapan terjadinya autisme yang terus meningkat dari tahun ke tahun yang berdampak pada kehidupan dan perkembangan anak dan keluarganya, serta oleh karena gangguan autisme merupakan masalah yang multifaktorial dan terkait juga dengan faktor epigenetik, peneliti menjadi tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Gambaran Faktor Risiko Anak dengan Gangguan Spektrum Autisme (GSA) di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif observasional dengan disain penelitian cross sectional. Sampel penelitian adalah anak dengan GSA yang sekolah di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang beserta ibunya. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 97 orang. Kriteria inklusi dalam penelitian ini anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang, ibu anak tersebut dapat dihubungi oleh peneliti, serta subjek bersedia terlibat dalam penelitian ini.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah subjek tidak memberikan data dengan lengkap. Variabel bebas pada penelitian ini adalah faktor genetik, jenis kelamin anak, riwayat gangguan psikiatrik pada keluarga, usia orang tua saat anak lahir, riwayat penyakit dahulu atau sekarang anak, riwayat komplikasi selama kehamilan anak, riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan anak, berat lahir anak, jenis persalinan anak dan riwayat komplikasi saat kelahiran anak. Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian Gangguan Spektrum Autisme.

Anak dengan GSA pada penelitian ini adalah anak yang memiliki skor >30 berdasarkan hasil wawancara dengan Childhood Autism Rating Scale (CARS). Data faktor � faktor risiko diperoleh berdasarkan wawancara dengan ibu dari anak GSA. Data yang diperoleh diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

 

Hasil Dan Pembahasan

Tabel 1.

Distribusi Frekuensi Anak dengan GSA Berdasarkan Karakteristik Anak di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Karakteristik

f

%

Usia

 

 

2 � 3 tahun

4

4,1

>3 � 5 tahun

>5 � 12 tahun

>12 � 18 tahun

12

59

22

12,4

60,8

22,7

Total

97

100,0

Jenis Kelamin

 

 

Laki � laki

Perempuan

74

23

76,3

23,7

Total

97

100,0

Anak ke

 

 

1

48

49,5

2

26

26,8

3

4

18

5

18,6

5,1

Total

30

100,0

 

Pada tabel 1 dapat dilihat distribusi frekuensi usia anak dengan GSA terbanyak pada penelitian ini adalah kategori usia >5 � 12 tahun. Distribusi frekuensi jenis kelamin anak dengan GSA terbanyak pada penelitian ini adalah laki � laki. Distribusi frekuensi urutan anak dengan GSA dalam keluarga terbanyak pada penelitian ini adalah anak pertama.

Tabel 2.

Prevalensi Faktor Genetik dan Riwayat Gangguan Psikiatrik pada keluarga pada anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Riwayat Gangguan Psikiatrik pada Keluarga

f

%

Autisme

Non-autisme

Autisme dan non-autisme

Tidak ada riwayat

3

25

6

63

3,1

25,7

6,2

65,0

Total

97

100,0

������������ Pada tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas anak dengan GSA pada penelitian ini tidak memiliki riwayat faktor genetik dan tidak memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarga.

Tabel 3.

Prevalensi Usia Orang Tua Saat Anak Lahir pada Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

 

Usia

f

%

Ayah

<20

0

0,0

 

≥20 � 24

>24 � 29

3

20

3,1

20,6

 

>29 � 34

35

36,1

 

>34 � 39

>39

29

10

29,9

10,3

 

Total

97

100,0

Ibu

<20

≥20 � 24

>24 � 29

>29 � 34

>34 � 39

>39

1

15

30

36

14

1

1,0

15,5

31,0

37,1

14,4

1,0

 

Total

97

100,0

Prevalensi usia orang tua saat anak lahir pada anak dengan GSA yang tertinggi pada penelitian ini adalah kategori usia >29 � 34 tahun baik usia ayah maupun ibu.

Tabel 4.

Prevalensi Riwayat Penyakit Dahulu atau Sekarang pada Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Riwayat Penyakit Dahulu atau Sekarang

f

%

Ya

Tidak

67

30

69,0

31,0

Total

97

100,0

Prevalensi anak yang memiliki riwayat menderita penyakit dahulu atau sekarang lebih besar dibandingkan anak yang tidak ada riwayat menderita penyakit dahulu atau sekarang.

Tabel 5.

Prevalensi Riwayat Komplikasi selama Kehamilan Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Riwayat Komplikasi selama Kehamilan

f

%

Ya

Tidak

48

49

49,5

50,5

Total

97

100,0

Pada penelitian ini dapat dikatakan bahwa prevalensi ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi selama kehamilan sedikit lebih banyak dibandingkan prevalensi ibu yang memiliki riwayat komplikasi selama kehamilan.

Tabel 6.

Prevalensi Riwayat Penggunaan Obat Tertentu selama Kehamilan Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Riwayat Penggunaan Obat Tertentu selama Kehamilan

f

%

Ya

Tidak

64

33

66,0

34,0

Total

97

100,0

Prevalensi ibu yang memiliki riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan anak dengan GSA lebih besar dibandingkan prevalensi ibu yang tidak ada riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan.

Tabel 7.

Prevalensi Riwayat Berat Badan Lahir Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Berat Badan Lahir Anak (gram)

f

%

<2500

2500 � 4000

>4000

3

90

4

3,1

92,8

4,1

Total

97

100,0

Prevalensi berat badan lahir anak dengan GSA yang tertinggi pada penelitian ini adalah kelompok berat badan lahir 2500 � 4000 gram.

Tabel 8.

Prevalensi Riwayat Jenis Persalinan Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Jenis Persalinan Anak

f

%

Normal tanpa bantuan alat

Normal dengan bantuan forsep

Normal dengan bantuan vakum

Operasi seksio sesaria

55

1

8

33

56,7

1,0

8,3

34,0

Total

97

100,0

Prevalensi jenis persalinan anak dengan GSA pada penelitian ini yang tertinggi adalah persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun.

Tabel 9.

Prevalensi Riwayat Komplikasi selama Kelahiran Anak dengan GSA di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang

Riwayat Komplikasi selama Kelahiran

f

%

Ya

Tidak

45

52

46,4

53,6

Total

97

100,0

Pada tabel 9 dapat dilihat bahwa prevalensi anak dengan GSA yang tidak memiliki riwayat komplikasi saat proses kelahiran lebih banyak dibandingkan anak yang memiliki riwayat komplikasi saat kelahiran.

 

Pembahasan

Penelitian tentang gambaran faktor risiko anak dengan Gangguan Spektrum Autisme di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus di Padang ini telah dilakukan sesuai prosedur. Namun, peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis secara statistik hubungan faktor � faktor risiko dengan kejadian GSA. Selain itu, faktor risiko yang didapatkan hanya berdasarkan wawancara dengan ibu sehingga besar kemungkinan ibu tidak ingat beberapa hal terkait faktor risiko yang ditanyakan. Pada penelitian ini hanya dilakukan wawancara mengenai beberapa faktor risiko saja, faktor risiko lain seperti kelainan gen, model neuroanatomi dan hipotesis neurokimiawi tidak dilakukan karena keterbatasan tenaga dan biaya.

Pengetahuan ibu mengenai jenis obat dan diagnosis penyakit masih kurang sehingga pendataan mengenai beberapa faktor risiko didapatkan hasil yang tidak spesifik jenis obat dan diagnosis penyakitnya. Selain itu, pada penelitian ini tidak diteliti dan didata faktor � faktor yang berhubungan dengan urutan anak pertama dalam keluarga dan kaitannya dengan usia ibu yang lanjut saat anak lahir. Dasar teori pengelompokkan usia orang tua saat anak lahir, batasan riwayat penyakit dahulu atau sekarang anak serta riwayat komplikasi saat anak lahir pada penlitian ini juga masih kurang jelas.

Hasil penelitian didapatkan mayoritas subjek penelitian tidak memiliki faktor genetik. Prevalensi anak yang memiliki faktor genetik hanya 9 orang (9,3%). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Glasson et al. tahun 2004 dimana 1,72% kasus GSA memiliki saudara kandung yang mengalami GSA juga. Penelitian yang dilakukan oleh Dodds et al. tahun 2011 mendapatkan hasil yang serupa yaitu 6,8% kasus GSA memiliki saudara kandung yang mengalami GSA.(Glasson et al., 2004)

Prevalensi faktor genetik pada penelitian ini tidak banyak. Hal ini disebabkan karena peneliti sulit bertemu dan menghubungi ibu dari subjek penelitian sehingga jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata.

Selain itu, kurangnya pengetahuan keluarga subjek penelitian mengenai gangguan autisme ini memungkinkan tidak terdeteksinya gangguan autisme yang mungkin ada pada anggota keluarga subjek namun keluarga subjek tersebut tidak mengetahui bahwa gangguan tersebut adalah gangguan autisme.

Jumlah anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan dimana perbandingannya 3,21:1. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Larsson et al. pada tahun 2005 yang mendapatkan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 3,18:1.(Larsson et al., 2005) Alanbar et al. juga melakukan penelitian pada anak-anak GSA dan didapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 3,04 : 1.(Dodds et al., 2011) Penelitian oleh Trinchero et al. di Brazil menunjukkan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2,42 : 1.(Al Anbar, Dardennes, Prado-Netto, Kaye, & Contejean, 2010)

Penyebab anak laki-laki lebih sering mengalami autisme belum dipahami sepenuhnya. Mutasi pada kromosom X diduga dapat diperhitungkan sebagai alasan laki-laki lebih sering mengalami autisme dari pada perempuan. Salah satu gen yang berperan adalah gen TBL1X, gen yang berada di kromosom X yang berhubungan dengan autisme pada laki-laki namun tidak berhubungan pada perempuan. TBL1X terlibat dalam WnT Signaling Pathway yang penting dalam perkembangan otak dan telah terlibat dalam kejadian autisme dan skizofrenia.(Al Anbar et al., 2010)

Temuan neuroanatomi menunjukkan bahwa ikatan reseptor androgen lebih tinggi di bagian lobus frontal kanan dan lobus temporal kiri pada korteks serebral laki-laki dimana bentuk asimetris ini tidak ditemukan pada perempuan. Secara seksual terjadinya dimorfik bagian otak tersebut mungkin dipengaruhi oleh testosteron baik di awal atau akhir kehidupan janin. Pada perkembangan otak normal, testosteron fetal berhubungan dengan perilaku yang menjadi tanda diagnosis autisme seperti kontak mata, perkembangan verbal, fungsi sosial dan minat yang terbatas. Kadar serotonin dan Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) meningkat pada autisme dimana hal ini dimediasi oleh testosteron fetal. (Trinchero, Haiek, Tannus, & Fonseca, 2014)

Mayoritas anak dengan Gangguan Spektrum Autisme pada penelitian ini tidak memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarganya sedangkan anak yang memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarganya hanya 31 orang (32%). Hasil ini sedikit lebih besar dibandingkan penelitian oleh Lobascher et al. yang mendapatkan sebesar 16% kasus dan penelitian oleh Jokiranta et al. sebesar 11%. Hal ini disebabkan karena pada penelitian ini peneliti mengambil data baik orang tua, saudara dan keluarga lain sementara penelitian oleh Lobascher et al. hanya terbatas pada saudara dan penelitian Jokiranta et al. terbatas pada orang tua.

Prevalensi riwayat gangguan psikiatrik pada keluarga yang tidak banyak dapat disebabkan karena peneliti sulit bertemu dan menghubungi ibu dari subjek penelitian sehingga jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata.

Selain itu, teknik wawancara yang kurang jeli dapat mengurangi kemungkinan mendapatkan data riwayat gangguan psikiatrik ini. Hal ini disebabkan karena riwayat gangguan psikiatrik masih dianggap hal yang �tabu� untuk diungkapkan sehingga teknik wawancara yang cermat dan jeli dibutuhkan untuk mendapatkan data tersebut saat wawancara.(Baron-Cohen, Knickmeyer, & Belmonte, 2005)

Kelompok usia orang tua saat anak lahir tertinggi pada penelitian adalah kelompok usia >29 � 34 tahun yaitu jumlah ayah dengan usia >29 � 34 tahun adalah 35 orang (36,1%) dan prevalensi usia ibu >29 � 34 tahun adalah 36 orang (37,1%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Croen et al. pada tahun 2007 di California yang menunjukkan kelompok usia ayah tertinggi adalah kelompok usia 30 � 34 tahun yaitu sebanyak 178 orang (30%) dan kelompok usia ibu tertinggi adalah kelompok usia 30 � 34 tahun yaitu sebanyak 193 orang (33%).

Durkin et al. (2008) juga mendapatkan usia ayah tertinggi saat anak lahir yaitu 30 � 34 tahun sebesar 30,3%. Usia ibu tertinggi saat anak lahir adalah kelompok usia 25 � 29 tahun sebesar 29,3% sementara kelompok usia 30 � 34 tahun pada ibu meraih peringkat kedua terbanyak yaitu sebesar 29,2%.(Hultman et al., 2002) Penelitian yang dilakukan oleh Koyama et al. mendapatkan usia rata-rata ayah saat anak lahir adalah 34,6 tahun dan usia rata-rata ibu adalah 31,7 tahun.(Lobascher, Kingerlee, & Gubbay, 1970)

Penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa bertambahnya usia ibu dan ayah saat anak lahir kedua-duanya berhubungan dengan peningkatan risiko autisme. Mekanisme biologi yang mendasari hal ini secara pasti belum diketahui. Usia ibu diduga berhubungan dengan autisme disebabkan oleh peningkatan risiko abnormalitas kromosom pada sel telur yang meningkat usianya atau sebagai hasil dari ketidakstabilan trinukleotida. Meski pun usia ibu yang lanjut dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi kehamilan, akan tetapi belum diketahui komplikasi yang mana yang berpengaruh dengan autisme. Reichenberg et al. menyebutkan bahwa hubungan usia ayah dengan autisme mungkin karena mutasi spontan de novo yang bersamaan dengan peningkatan usia spermatogonia atau dipengaruhi oleh faktor sosial-kultural lingkungan.(Jokiranta et al., 2013)

Menurut Parner et al. (2012), pada beberapa penelitian ditemukan hasil yang tidak sama yang melaporkan baik usia ibu atau usia ayah sebagai faktor risiko GSA. Namun, pada satu penelitian penulisnya mempertimbangkan interaksi antara usia ayah dan usia ibu. Mereka menemukan bahwa bertambahnya usia ibu meningkatkan risiko terjadinya GSA terbebas dari usia ayah sementara bertambahnya usia ayah meningkatkan risiko GSA terutama pada ibu dengan usia < 30 tahun dan sedikit pada ibu yang berusia > 30 tahun.(Croen, Najjar, Fireman, & Grether, 2007)

Prevalensi anak yang memiliki riwayat menderita penyakit dahulu atau sekarang lebih besar dibandingkan anak yang tidak ada riwayat menderita penyakit dahulu atau sekarang yaitu berjumlah 65 orang (67,0%). Hasil ini sedikit lebih banyak dibandingkan penelitian Cederlund dan Gillberg tahun 2004 yang menunjukkan 33% kasus memiliki sedikitnya satu keadaan komorbid lainnya.23 Perbedaan ini bisa disebabkan karena perbedaan jenis subjek penelitian dimana pada penelitian ini subjek penelitian adalah anak dengan GSA sementara penelitian Cederlund dan Gillberg hanya anak dengan Sindrom Asperger.

Sementara itu, penelitian � penelitian lain menunjukkan hasil penelitian yang sudah didasarkan pada jenis keadaan komorbid anak. Penelitian oleh Levy et al. (2009) menyatakan frekuensi terjadinya gejala komorbid pada anak GSA seperti masalah atensi, impulsif dan hiperaktif adalah 59%, kejang dan epilepsi 5 � 49%, gastroesofageal refluks dan konstipasi 8 � 59 %.(Hultman et al., 2002) Penelitian Lobascher et al. tahun 1970 menyatakan 48% kasus mengalami penyakit neurologis organik. Chess (1971) menyebutkan insiden autisme pada anak dengan rubela lebih tinggi daripada populasi normal yaitu 4,12%.(Koyama, Miyake, & Kurita, 2007)

Penyebab autisme belum bisa dijelaskan namun telah diketahui secara luas bahwa itu adalah masalah perkembangan otak. Hal itu menjadi alasan mengapa kondisi psikiatrik menjadi keadaan komorbid yang umum terjadi. Komponen genetik diduga berperan terhadap gangguan neuropsikiatrik yang komorbid dengan autisme. Morbiditas yang lain yang sering terjadi adalah retardasi mental dan disfungsi neurologis.(Gardener, Spiegelman, & Buka, 2009)

Hubungan antara infeksi pada masa awal kehidupan anak dengan autisme juga telah ditelusuri. Beberapa penelitian menyebutkan timbulnya tiba-tiba onset autisme setelah terjadinya herpes ensefalitis. Infeksi lain yang dapat menyebabkan hidrosefalus sekunder seperti meningitis berdampak juga terhadap autisme meskipun laporan kasusnya masih sedikit. Penelitian kasus-kontrol oleh Deykin MacMahon mengumpulkan data penyakit karena virus di 18 bulan awal kehidupan dan didapatkan campak, cacar air, demam tanpa sebab yang jelas dan infeksi telinga berhubungan dengan risiko autisme.(Parner et al., 2012)

Prevalensi ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi saat hamil anaknya sedikit lebih banyak yaitu 49 orang (50,5%) sementara ibu yang memiliki riwayat komplikasi saat hamil anaknya adalah 48 orang (49,5%). Hasil ini sedikit lebih banyak dibandingkan dengan penelitian Cederlund dan Gillberg dimana didapatkan 31% pasien terdapat riwayat komplikasi selama kehamilan (termasuk infeksi berat, perdarahan pada trimester kedua, dan preeklampsia).(Cederlund & Gillberg, 2004) Perbedaan ini bisa disebabkan karena perbedaan jenis subjek penelitian dimana pada penelitian ini subjek penelitian adalah anak dengan GSA sementara penelitian Cederlund dan Gillberg hanya anak dengan Sindrom Asperger.

Prevalensi riwayat komplikasi selama kehamilan memang masih kurang sedikit dari 50%. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata. Namun, pada penelitian ini belum diteliti secara analisis statistik sehingga meskipun prevalensinya kurang dari 50% tidak berarti riwayat komplikasi selama kehamilan tidak termasuk faktor risiko GSA.

Secara teoritis, faktor obstetrik dan maternal memiliki peran yang sedikit untuk terjadinya autisme di kalangan anak-anak dengan faktor genetik (anak yang memiliki saudara GSA juga) namun memiliki peran yang independen pada anak tanpa faktor genetik. Menurut Bilder et al. (2009) hubungan komplikasi kehamilan dengan autisme lebih sebagai faktor risiko bersama bukan kausal seperti risiko genetik.(Levy & DS, 2009)

Prevalensi ibu yang memiliki riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan 64 orang (66,0%). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Atladottir et al. tahun 2012 yang menunjukkan 40,7% pasien pernah menggunakan antibiotik saat hamil.29 Penelitian oleh Dodds et al. tahun 2011 menunjukkan persentase ibu anak yang menggunakan obat-obat (termasuk lithium, anti-hipertensi, anti-depresan, anti-epilepsi, terapi anti-koagulasi dan penggunaan narkotik secara lama) saat hamil adalah 2,3%.(Parner et al., 2012) Penelitian oleh Christensen et al. tahun 2013 mendapatkan hasil 0,77% ibu dari anak autisme infantil dan 0,63% dari anak GSA lainnya menggunakan obat antiepilepsi saat hamil.(Prior, 1987)

Perbedaan hasil penelitian yang signifikan ini dapat disebabkan oleh jenis obat yang diteliti berbeda. Misalnya pada penelitian oleh Atladottir et al. jenis obat yang diteliti hanya antibiotik dan penelitian oleh Christensen et al. hanya meneliti penggunaan anti epilepsi.(Parner et al., 2012) Sementara itu, pada penelitian ini semua obat yang pernah dikonsumsi ibu termasuk ke dalam riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan meskipun mayoritas ibu tidak mengetahui jenis obat yang dikonsumsinya. Perbedaan hasil ini juga dapat disebabkan karena belum jelas batasan jenis obat yang masuk dalam riwayat penggunaan obat tertentu selama kehamilan pada penelitian ini.

Prevalensi berat badan lahir anak yang tertinggi adalah kelompok berat badan lahir 2500 � 4000 gram yaitu sebanyak 90 orang (92,8%). Hasil ini senada dengan penelitian oleh Hultman et al. tahun 2002 dimana 86% kasus autisme infantil lahir dengan berat 2.500 � 4.499 gram.31 Bilder et al. juga mendapatkan 88,33% kasus GSA pada penelitiannya memiliki berat lahir 2.500 � 4.499 gram.(Newschaffer, Fallin, & Lee, 2002)

Hasil penelitian yang menunjukkan mayoritas berat lahir anak dengan GSA pada penelitian ini adalah normal memang tidak sejalan dengan teori kepustakaan. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata. Namun, pada penelitian ini belum diteliti secara analisis statistik sehingga meskipun mayoritas berat lahir anak dengan GSA pada penelitian ini adalah normal, perlu penelitian lebih lanjut secara analisis statistik untuk menentukan apakah berat lahir termasuk faktor risiko GSA atau tidak di Kota Padang.

Prevalensi jenis persalinan tertinggi adalah persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun yaitu 55 orang (56,7%). Peringkat kedua yaitu persalinan dengan cara operasi seksio sesaria sebanyak 33 orang (34,0%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Bilder et al. tahun 2009 dimana jenis persalinan tertinggi adalah persalinan normal sebanyak 60% dan diikuti oleh operasi seksio sesaria 23,3%. Penelitian oleh Laila Y. Al-Ayadhi menunjukkan 76,6% kasus adalah persalinan normal dan diikuti operasi seksio sesaria 20,7%.(Bilder, Pinborough-Zimmerman, Miller, & McMahon, 2009)

Hasil penelitian yang menunjukkan lebih dari 50% anak dengan GSA pada penelitian ini lahir secara persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun memang berbeda dengan teori kepustakaan. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata.

Namun, pada penelitian ini belum diteliti secara analisis statistik sehingga meskipun prevalensi tertinggi jenis persalinan adalah persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun, perlu penelitian lebih lanjut secara analisis statistik untuk menentukan apakah jenis persalinan anak termasuk faktor risiko GSA atau tidak di Kota Padang.

Selain itu, pada penelitian ini belum dibedakan antara ibu yang diinduksi dengan oksitosin sintetik dengan yang tidak diinduksi oksitosin sintetik pada ibu � ibu yang melahirkan anak secara normal tanpa bantuan alat apa pun. Hal ini dapat mempengaruhi hasil karena adanya pengaruh oksitosin terhadap autisme. Beberapa peneliti menyatakan bahwa kadar oksitosin plasma yang rendah pada anak-anak autistik dibandingkan anak lain yang normal.(Christensen et al., 2013)

Prevalensi anak yang tidak memiliki riwayat komplikasi saat proses kelahiran sedikit lebih banyak dibandingkan anak yang memiliki riwayat komplikasi dimana prevalensi anak yang memiliki riwayat komplikasi saat proses kelahiran hanya 46 orang (47,4%). Hasil ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian oleh Cederlund dan Gillberg tahun 2004 yang didapatkan 58,6% subjek mengalami masalah saat neonatus.(Hultman et al., 2002)

Hasil penelitian yang berbeda ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang didapatkan hanya jumlah sampel minimal dan metode sampel yang digunakan adalah consecutive sampling dimana teknik pengambilan sampel ini menyebabkan penyebaran sampel tidak merata. Selain itu, pada penelitian ini data riwayat komplikasi kelahiran hanya berdasarkan wawancara sehingga masalah komplikasi kelahiran yang mungkin sebenarnya terjadi dan tercatat di rekam medis namun tidak diingat atau tidak diketahui oleh ibu tidak termasuk ke dalam data hasil penelitian.

Namun, pada penelitian ini belum diteliti secara analisis statistik sehingga meskipun prevalensi riwayat komplikasi kelahiran kurang dari 50%, perlu penelitian lebih lanjut secara analisis statistik untuk menentukan apakah riwayat komplikasi saat kelahiran ini termasuk faktor risiko GSA atau tidak di Kota Padang.

 

Kesimpulan

1.        Prevalensi anak yang tidak memiliki faktor genetik jauh lebih banyak dibandingkan anak yang memiliki faktor genetik yaitu sebesar 90,7%.

2.        Jumlah anak yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan anak yang berjenis kelamin perempuan.

3.        Prevalensi anak yang tidak memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarganya lebih besar dibandingkan anak yang memiliki riwayat gangguan psikiatrik pada keluarganya yaitu sebesar 68,0%.

4.        Prevalensi usia orang tua saat anak lahir tertinggi adalah kategori usia >29 � 34 tahun dimana prevalensi usia ayah >29 � 34 tahun adalah 36,1% dan prevalensi usia ibu >29 � 34 tahun adalah 37,1%.

5.        Prevalensi anak yang memiliki riwayat penyakit dahulu atau sekarang lebih banyak dibandingkan anak yang tidak ada riwayat penyakit dahulu atau sekarang yaitu sebesar 67,0%.

6.        Prevalensi ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi saat kehamilan anak sedikit lebih banyak dibandingkan ibu yang memiliki riwayat komplikasi saat kehamilan yaitu sebesar 50,5%.

7.        Prevalensi ibu yang memiliki riwayat penggunaan obat selama kehamilan lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak ada riwayat penggunaan obat selama kehamilan yaitu sebesar 66,0%.

8.        Prevalensi berat badan lahir anak tertinggi adalah kategori 2500 � 4000 gram yaitu sebesar 92,8%.

9.        Prevalensi jenis persalinan terbanyak adalah persalinan normal tanpa bantuan alat apa pun yaitu sebesar 56,7%.

10.     Prevalensi anak yang tidak memiliki riwayat komplikasi saat proses kelahiran sedikit lebih banyak dibandingkan anak yang memiliki riwayat komplikasi saat proses kelahiran yaitu sebesar 52,6%.


BIBLIOGRAFI

 

Al-Ayadhi, Laila Y. (2005). Altered oxytocin and vasopressin levels in autistic children in Central Saudi Arabia. Neurosciences Journal, 10(1), 47�50. Google Scholar.

 

Al Anbar, Nebal N., Dardennes, Roland M., Prado-Netto, Arthur, Kaye, Kelley, & Contejean, Yves. (2010). Treatment choices in autism spectrum disorder: The role of parental illness perceptions. Research in Developmental Disabilities, 31(3), 817�828. Google Scholar.

 

Baron-Cohen, Simon, Knickmeyer, Rebecca C., & Belmonte, Matthew K. (2005). Sex differences in the brain: implications for explaining autism. Science, 310(5749), 819�823. Google Scholar.

�

Bilder, Deborah, Pinborough-Zimmerman, Judith, Miller, Judith, & McMahon, William. (2009). Prenatal, perinatal, and neonatal factors associated with autism spectrum disorders. Pediatrics, 123(5), 1293�1300. Google Scholar.

 

Cederlund, Mats, & Gillberg, Christopher. (2004). One hundred males with Asperger syndrome: a clinical study of background and associated factors. Developmental Medicine and Child Neurology, 46(10), 652�660. Google Scholar.

 

Christensen, Jakob, Gr�nborg, Therese Koops, S�rensen, Merete Juul, Schendel, Diana, Parner, Erik Thorlund, Pedersen, Lars Henning, & Vestergaard, Mogens. (2013). Prenatal valproate exposure and risk of autism spectrum disorders and childhood autism. Jama, 309(16), 1696�1703. Google Scholar.

 

Croen, Lisa A., Najjar, Daniel V, Fireman, Bruce, & Grether, Judith K. (2007). Maternal and paternal age and risk of autism spectrum disorders. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine, 161(4), 334�340. Google Scholar.

 

Dodds, Linda, Fell, Deshayne B., Shea, Sarah, Armson, B. Anthony, Allen, Alexander C., & Bryson, Susan. (2011). The role of prenatal, obstetric and neonatal factors in the development of autism. Journal of Autism and Developmental Disorders, 41(7), 891�902. Google Scholar.

�

Gardener, Hannah, Spiegelman, Donna, & Buka, Stephen L. (2009). Prenatal risk factors for autism: comprehensive meta-analysis. The British Journal of Psychiatry, 195(1), 7�14. Google Scholar.

�

Glasson, Emma J., Bower, Carol, Petterson, Beverly, de Klerk, Nick, Chaney, Gervase, & Hallmayer, Joachim F. (2004). Perinatal factors and the development of autism: a population study. Archives of General Psychiatry, 61(6), 618�627. Google Scholar.

 

Hultman, Christina M., Spar�n, P�r, & Cnattingius, Sven. (2002). Perinatal risk factors for infantile autism. Epidemiology, 13(4), 417�423. Google Scholar.

 

Jokiranta, Elina, Brown, Alan S., Heinimaa, Markus, Cheslack-Postava, Keely, Suominen, Auli, & Sourander, Andre. (2013). Parental psychiatric disorders and autism spectrum disorders. Psychiatry Research, 207(3), 203�211. Google Scholar.

�

Koyama, Tomonori, Miyake, Yuko, & Kurita, Hiroshi. (2007). Parental ages at birth of children with pervasive developmental disorders are higher than those of children in the general population. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 61(2), 200�202. Google Scholar.

�

Kumar, Baldeep, Prakash, Ajay, Sewal, Rakesh K., Medhi, Bikash, & Modi, Manish. (2012). Drug therapy in autism: a present and future perspective. Pharmacological Reports, 64(6), 1291�1304. Google Scholar.

 

Larsson, Heidi Jeanet, Eaton, William W., Madsen, Kreesten Meldgaard, Vestergaard, Mogens, Olesen, Anne Vingaard, Agerbo, Esben, Schendel, Diana, Thorsen, Poul, & Mortensen, Preben Bo. (2005). Risk factors for autism: perinatal factors, parental psychiatric history, and socioeconomic status. American Journal of Epidemiology, 161(10), 916�925. Google Scholar.

 

Levy, Susan E., & DS, Mandell. (2009). Schultz RT. Autism. Lancet, 374(9701), 1627�1638. Google Scholar.

�

Lobascher, M. E., Kingerlee, P. E., & Gubbay, S. S. (1970). Childhood autism: an investigation of aetiological factors in twenty-five cases. The British Journal of Psychiatry, 117(540), 525�529. Google Scholar.

 

Mashabi, Nurlaila Abdullah, & Tajudin, Nur Rizka. (2009). Hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan pola makan anak autis. Makara Kesehatan, 13(2), 84�86. Google Scholar.

 

Muhartomo, Hexanto. (2004). FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN AUTISME (The risk factors of Autism). Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Google Scholar.

�

Newschaffer, Craig J., Fallin, Daniele, & Lee, Nora L. (2002). Heritable and nonheritable risk factors for autism spectrum disorders. Epidemiologic Reviews, 24(2), 137�153. Google Scholar.

 

Nixon, Nixon, & Mariyanti, Sulis. (2012). Gambaran Kemandirian Anak Penyandang Autisme Yang Mengikuti Program Aktivitas Kehidupan Sehari Hari (Aks). Jurnal Psikologi Esa Unggul, 10(02), 127101. Google Scholar.

�

Parner, Erik Thorlund, Baron-Cohen, Simon, Lauritsen, Marlene B., J�rgensen, Meta, Schieve, Laura A., Yeargin-Allsopp, Marshalyn, & Obel, Carsten. (2012). Parental age and autism spectrum disorders. Annals of Epidemiology, 22(3), 143�150. Google Scholar.

 

Prior, Margot R. (1987). Biological and neuropsychological approaches to childhood autism. The British Journal of Psychiatry, 150(1), 8�17. Google Scholar.

�

Trinchero, J., Haiek, D., Tannus, G., & Fonseca, M. (2014). Autism: Patient profile, economic and social impact in a developing country. Value in Health, 17(3), A218. Google Scholar.

 

Copyright holder:

Atika Indah Sari, Amel Yanis, Isnindiah Koerniati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: