Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 11, November 2022

 

HUBUNGAN STATUS INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN KEBERSIHAN PERSONAL DENGAN JUMLAH KOLONI STAPHYLOCOCCUS AUREUS PADA KULIT ANAK DI PANTI ASUHAN

 

Putri Oktriana Rachman1, Suci Widhiati1, Arie Kusumawardani1, Indah Julianto Kampono1, Leli Saptawati2, Nur Rachmat Mulianto1

1Departemen Dermatovenereologi Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta/ Rumah Sakit Umum Daesrah Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia.

2Departemen Mikrobiologi, Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia.

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected],  [email protected].

 

Abstrak

Manifestasi klinis infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri piogenik salah satunya S. aureus terutama pada kondisi imunokompromais seperti infeksi HIV/AIDS. Kebersihan personal mempengaruhi peningkatan risiko transmisi S.aureus melalui kontak dari individu satu ke yang lainnya, sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status HIV dan kebersihan personal dengan jumlah koloni S.aureus pada anak-anak yang tinggal di lingkungan panti asuhan. Penelitian ini merupakan studi analitik korelasi dengan rancangan cross sectional dilakukan pada dua rumah panti asuhan di kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Penelitian dilakukan pada total 32 orang subjek anak dengan rentang usia 3-10 tahun yang terbagi menjadi dua kelompok HIV negatif dan HIV positif. Kriteria eksklusi subjek adalah riwayat kinis atopi, ada lesi kulit pada tempat pengambilan sampel dan memiliki nilai CD4+<500 sel/ mm3, kemudian kebersihan personal subjek didata. Uji normalitas dilakukan, kemudian dilanjutkan uji non parametrik dengan uji korelasi Eta. Nilai r ditentukan untuk melihat kekuatan hubungan kedua variabel dan signifikan apabila didapatkan p<0,005. Berdasarkan analisa diketahui bahwa status HIV tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan jumlah koloni bakteri S. aureus (x10-2) CFU (r=0,297; p=0,098). Kebersihan personal memiliki hubungan signifikan dengan jumlah bakteri S. aureus antara lain frekuensi mandi (r=0,500; p=0,004), penggunaan sabun saat mandi (r=0,480; p=0,005), berbagi gelas (r=0,392; p=0,026), berbagi handuk (r=0,570; p=0,001), memakai alas kaki saat di rumah (r=0,355; p=0,046). Kebersihan personal dan kontak alat rumah tangga secara signifikan berhubungan dengan banyaknya jumlah koloni S.aureus di kulit anak pada kedua kelompok subjek HIV positif maupun negatif.

 

Kata Kunci: Infeksi, Human Immunodeficiency Virus, Kebersihan Personal, dengan Staphylococcus Aureus

 

Abstract

One of the clinical manifestations of skin infections caused by pyogenic bacteria is S. aureus, especially in immunocompromised conditions such as HIV/AIDS infection. Personal hygiene affects the increased risk of transmission of S. aureus through contact from one individual to another, thus increasing the risk of infection. This study aims to determine the relationship between HIV status and personal hygiene with the number of S. aureus colonies in children living in an orphanage environment. This research is a correlation analytic study with a cross sectional design conducted in two orphanages in the city of Surakarta, Central Java, Indonesia. The study was conducted on a total of 32 child subjects with an age range of 3-10 years which were divided into two groups of HIV negative and HIV positive. The subject's exclusion criteria were a clinical history of atopy, skin lesions at the sampling site and a CD4+ value <500 cells/mm3, then the subject's personal hygiene was recorded. The normality test was carried out, then continued with the non-parametric test with the Eta correlation test. The value of r is determined to see the strength of the relationship between the two variables and is significant if it is obtained p <0.005. Based on the analysis, it was found that HIV status did not show a significant relationship with the number of colonies of S. aureus bacteria (x10-2) CFU (r=0.297; p=0.098). Personal hygiene has a significant relationship with the number of S. aureus bacteria, including bathing frequency (r=0,500; p=0,004), use of soap when bathing (r=0,480; p=0,005), sharing glasses (r=0,392; p=0,026) , sharing towels (r=0,570; p=0,001), wearing footwear at home (r=0,355; p=0,046). Personal hygiene and household appliance contacts were significantly associated with the number of S. aureus colonies on the skin of children in both groups of HIV positive and negative subjects.

 

Keywords: Infection, Human Immunodeficiency Virus, Personal Hygiene, with Staphylococcus Aureus

 

Pendahuluan

Infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) pada anak merupakan masalah global yang sampai saat ini jumlahnya terus bertambah. Anak-anak merupakan populasi yang rentan terhadap infeksi HIV, kasus yang sering ditemukan adalah penularan secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV (Gilleece et al., 2019). Anak-anak yang terinfeksi HIV memerlukan perawatan secara holistik, namun sayangnya keberadaan anak-anak tersebut seringkali diabaikan. Sekitar 17 juta anak harus kehilangan orang tuanya karena AIDS, kebanyakan dari mereka juga terinfeksi HIV dan harus dirawat di panti asuhan akibat penolakan dari lingkungannya (Desmazes, 2014).

Anak-anak yang dirawat di panti asuhan kebanyakan memiliki perawatan dan kondisi kesehatan kurang baik (van IJzendoorn et al., 2020). Kebersihan personal mempengaruhi peningkatan risiko transmisi patogen melalui kontak terutama untuk bakteri S.aureus (Miller et al., 2009; Fritz et al., 2012). Infeksi bakteri pada kulit merupakan manifestasi klinis yang banyak ditemukan pada HIV di setiap stadium imunologisnya (Duko et al., 2018). Manifestasi klinis infeksi pada kulit dapat terjadi akibat penyakit sistemik atau infeksi yang terlokalisasi superfisial terutama pada kondisi imunokompromais seperti infeksi HIV/AIDS (James et al., 2016). Infeksi pada kulit dan jaringan lunak terjadi pada 10% kasus infeksi bakteri sebagai penyebab rawat inap rumah sakit (Tognetti et al., 2012). Infeksi kulit dan jaringan lunak terbanyak disebabkan oleh bakteri piogenik yaitu S. aureus dan Streptokokus hemolitik grup A antara lain S. pyogenes (Perdoski, 2017). Kebersihan serta perawatan sawar kulit yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri terutama S.aureus (Berents et al., 2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan status HIV dan kebersihan personal dengan jumlah koloni S.aureus pada anak-anak yang tinggal di lingkungan panti asuhan.

 

Metode Penelitian

Rancangan Penelitian dan Subjek

Penelitian ini merupakan studi analitik korelasi dengan rancangan cross sectional yang dilakukan pada dua rumah panti asuhan di kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Penelitian dilakukan pada total 32 orang subjek anak dengan rentang usia 3-10 tahun, yaitu 16 subjek dengan status HIV positif dengan nilai CD4+ >500 sel/mm3 yang telah menjalani terapi ARV lini pertama secara rutin dan terkontrol dan 16 subjek lainnya adalah anak dengan status HIV negatif yang tinggal di panti asuhan berbeda. Kriteria eksklusi subjek adalah anak-anak dengan riwayat kinis atopi, memiliki lesi kulit pada tempat pengambilan sampel dan untuk kelompok subjek HIV positif yang memiliki nilai CD4+<500 sel/ mm3. Seluruh pasien yang disertakan pada penelitian ini diawasi dan didampingi oleh pengasuh serta bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi informed consent.

Prosedur

Pengambilan sampel untuk koloni bakteri diambil dari swab kulit aksila pasien, kemudian data kebiasaan dan kebersihan personal didapatkan dari wawancara subjek serta observasi langsung di lapangan. Swab kulit dilakukan minimal 3 jam setelah pasien mandi, kemudian hasil swab ditanamkan ke media agar biakan yang spesifik yaitu agar kromatik Hi Media® khusus untuk S.aureus dan diinkubasikan selama 24-48 jam, dengan suhu 37°C. Biakan bakteri S.aureus yang tumbuh kemudian dilakukan perhitungan dengan bantuan alat colony counter. Jumlah bakteri S.aureus pada kedua kelompok kemudian dicatat dan dimasukkan ke dalam data. Kebersihan personal masing-masing subjek didata dengan kuisioner / wawancara dengan pengasuh pendamping, kemudian dilakukan observasi oleh peneliti terhadap aktivitas subjek kedua kelompok beserta kebiasaan yang terkait dengan kebersihan personal.

Analisis Data

 Uji normalitas data status HIV dianalisa terhadap jumlah bakteri S.aureus dengan hasil data tidak terdistribusi normal. Dilakukan uji non parametrik data dengan uji korelasi Eta (analisa data numerik dan nominal) dilakukan terhadap variabel status HIV, kebersihan personal pasien dengan jumlah S.aureus. Nilai r adalah kekuatan hubungan; (0,00-0,19)=sangat lemah; (0,20-0,399)=lemah; (0,40-0,599)=sedang; (0,60-0,799)=kuat; (0,80-1,00)=sangat kuat. Hubungan kedua variabel dan dinyatakan berhubungan secara signifikan apabila didapatkan p<0,005. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan SPSS versi 22.00.

 

Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 32 anak panti asuhan dengan keseluruhan rentang usia 3-10 tahun dimana terdapat 16 subjek HIV negatif dan 16 subjek dengan HIV positif (Tabel 1).

Berdasarkan analisa data diketahui bahwa pada subjek HIV negatif  memiliki usia rata-rata 7.56 +2.68 dan pada subjek HIV positif usia rata-rata 8.63 +1.50 tahun. Hasil uji statistik mendapatkan nilai p=0,425 (p>0,05), pada data karakteristik pasien didapatkan usia yang homogen dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Berdasarkan jumlah S. aureus (x10-2) pada subjek HIV negatif 5.31 +6.17 dan pada subjek HIV positif didapatkan jumlah S. aureus (x10-2) dengan nilai rata-rata 58.63 +124.83. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,107 (p>0,05) yaitu didapatkan jumlah S. aureus (x10-2) pada kedua kelompok subjek penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Berdasarkan analisa diketahui bahwa status HIV (r=0,297; p=0,098) tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan jumlah koloni bakteri S. aureus (x10-2) dengan nilai p>0,05. Meskipun demikian diketahui bahwa subjek HIV positif cederung memiliki lebih banyak jumlah koloni S. aureus dibandingkan dengan subjek HIV negatif namun hubungan variabel tersebut dalam kategori lemah (r=0,200 s/d 0,399) (Tabel 2).

Dilakukan analisa hubungan kebersihan personal dengan jumlah koloni S.aureus pada masing-masing sunjek penelitian dari dua kelompok subjek (Tabel.3).

Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kebersihan personal yaitu frekuensi mandi 1 kali mendapatkan jumlah bakteri S. aureus lebih banyak dibadingkan dengan subjek dengan frekuensi mandi 2 kali. Pada data yang didapatkan dengan kebersihan personal yang kurang seperti anak tidak menggunakan sabun, berbagi sabun mandi batangan, berbagi gelas, Berbagi alat makan, berbagi handuk, mengganti handuk lebih dari 2 minggu, mengganti sprei lebih dari 2 minggu, tidur dengan lebih dari 2 anak dalam satu kasur, tidak memakai alas kaki saat di rumah, tidak sering mencuci tangan mendapatkan jumlah bakteri S.aureus yang lebih banyak. Kebiasaan yang dikaitkan dengan kebersihan personal yang buruk dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah bakteri S. aureus.

Berdasarkan analisa data diketahui bahwa kebersihan personal yang memiliki hubungan signifikan dengan jumlah bakteri S. aureus adalah frekuensi mandi (r=0,500; p=0,004), penggunaan sabun (r=0,480; p=0,005), berbagi gelas (r=0,392; p=0,026), berbagi handuk (r=0,570; p=0,001), memakai alas kaki saat di rumah (r=0,355; p=0,046) dengan nilai p<0,05, namun hubungan variabel tersebut masuk ke dalam kategori lemah (r=0,200 s/d 0,399) hingga sedang (r=0,400 s/d 0,599).

 

 

 

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel

Status HIV negatif (n=16)

Mean +SD

Status HIV positif (n=16)

Mean +SD

p-value

Umur

(3-10 tahun)

7.56 +2.68

8.63 +1.50

0.425

Koloni bakteri

S. aureus (x10-2) CFU

5.31 +6.17

58.63 +124.83

0.107

Keterangan: n: jumlah subjek; SD: Standar deviasi; CFU: Colony Forming Unit (satuan hasil jumlah perhitungan bakteri). Nilai P signifikan pada (<0,005).

 

Tabel 2. Hubungan Status infeksi HIV Terhadap Jumlah Koloni S. aureus pada Kulit

Variabel

S. aureus (x102) CFU

Mean+SD

R

p-value

Status infeksi HIV

 

0.297

0.098

Status HIV negatif

5.31 +6.17

 

 

Status HIV Positif

58.63 +124.83

 

 

Keterangan: n: jumlah subjek; SD: Standar deviasi; CFU: Colony Forming Unit (satuan hasil jumlah perhitungan bakteri). Uji korelasi Eta (data nominal vs data numerik). Nilai p signifikan pada (<0,005).

 

Tabel 3. Hubungan Kebiasaan Personal Terhadap Jumlah koloni S. aureus

Kebiasaan Personal

S. aureus (x10-2) CFU

Mean+SD

R

p-value

Frekuensi mandi

 

0.500

0.004**

1 Kali

103.56 +155.10

 

 

2 Kali

3.96 +4.47

 

 

Menggunakan sabun

 

0.480

0.005**

Ya

18.14 +58.11

 

 

Tidak

165.67 +227.30

 

 

Berbagi sabun mandi batangan

 

0.102

0.578

Ya

23.89 +73.08

 

 

Tidak

42.36 +112.18

 

 

Berbagi gelas

 

0.392

0.026**

Ya

77.33 +140.43

 

 

Tidak

4.75 +5.73

 

 

Berbagi alat makan

 

0.321

0.073

Ya

60.75 +123.91

 

 

Tidak

3.19 +3.99

 

 

Berbagi handuk

 

0.570

0.001**

Ya

128.57 +169.67

 

 

Tidak

4.92 +5.46

 

 

Mengganti handuk

 

0.151

0.409

> 1 Minggu

13.27 +12.44

 

 

> 2 Minggu

41.76 +111.73

 

 

Mengganti sprei

 

0.192

0.292

> 1 Minggu

4.44 +4.53

 

 

> 2 Minggu

42.74 +106.05

 

 

Jumlah anak dalam satu Kasur

 

0.106

0.562

< 2 anak

2.33+ 3.21

 

 

> 2 anak

35.03 +95.27

 

 

Memakai alas kaki di rumah

 

0.355

0.046*

Ya

3.89 +4.46

 

 

Tidak

68.07 131.35

 

 

Frekuensi cuci tangan

 

0.308

0.086

< 3 kali/hari

2.53+3.85

 

 

> 3 kali/hari

57.94 120.52

 

 

Keterangan: n: jumlah subjek; SD: Standar deviasi; CFU: Colony Forming Unit (satuan hasil jumlah perhitungan bakteri). Uji korelasi Eta (data nominal vs data numerik); Nilai p signifikan pada (<0,005); Nilai r = kekuatan hubungan; (0,00-0,19) = sangat lemah; *(0,20-0,399)= lemah; **(0,40-0,599)=sedang; (0,60-0,799)=kuat; (0,80-1,00)=sangat kuat.

 

Pembahasan

Kulit normal pada individu sehat dapat bertahan dari berbagai macam paparan bakteri yang terjadi secara kontinyu. Kulit yang intak akan sulit diinvasi oleh bakteri penyebab infeksi seperti impetigo, furunkel, atau selulitis (Craft, 2012; Stevens et al., 2014). Bakteri Anak dengan infeksi HIV dapat mengalami penurunan imunitas dengan ditandai menurunnya nilai sel CD4+. Penurunan nilai CD4+ akan mengakibatkan berbagai infeksi oportunistik. Salah satu manifestasi infeksi pada HIV/AIDS adalah infeksi kulit. Infeksi kulit yang berat terkait infeksi HIV akan lebih sulit untuk diterapi dan dapat menimbulkan komplikasi (Stefanaki, Stratigos dan Stratigos, 1998; Endayehu, Mekasha dan Daba, 2013). Pada penelitian ini kedua kelompok subjek berasal dari tempat tinggal yang berbeda dengan status HIV yang juga berbeda, namun kedua kelompok subjek merupakan kelompok yang rentan terhadap infeksi bakteri karena anak-anak tersebut tinggal di lingkungan dengan kebersihan personal yang kurang baik.

Studi oleh Mork, et al, melaporkan potensi transmisi S.aureus pada suatu lingkungan tempat tinggal ditemukan pada aktivitas berbagi tempat tidur bersama, menggunakan handuk bersama, mencuci tangan dengan sabun batangan yang sama. Hal ini menunjukkan kontak erat dalam satu lingkungan tempat tinggal dan keberadaan S.aureus pada alat-alat personal dapat menjadi potensi transmisi (Mork et al., 2020). Pada penelitian ini kami menemukan adanya aktivitas yang berhubungan dengan tingginya kolonisasi S.aureus di kulit anak-anak tersebut antara lain adalah frekuensi mandi dalam sehari, penggunaan sabun saat mandi, memakai gelas bersama, memakai handuk bersama, menggunakan alas kaki saat bermain di halaman rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yaitu terdapat potensi transmisi melalui alat-alat personal yang digunakan bersama terutama dengan tingkat kebersihan personal yang rendah.

 Koloni bakteri Staphylococcus aureus dapat ditemukan di kulit dengan potensinya sebagai patogen sehingga dapat menyebabkan infeksi kulit superfisial maupun profunda khususnya pada individu dengan HIV (Rogers, Fey dan Rupp, 2009). Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi kulit primer pada anak-anak salah satu infeksi kulit primer atauspontan” yang sering ditemukan adalah impetigo yang dapat ditularkan melalui kontak dalam satu lingkungan tempat tinggal (Giuidice, 2020). Kedua kelompok subjek pada penelitian ini tidak memiliki lesi kulit atau kelainan kulit infeksi, namun keberadaan koloni S.aureus pada subjek dapat menjadi patogen infeksi kulit primer apabila jumlahnya meningkat dan terdapat kerusakan pada sawar kulitnya, terutama pada subjek dengan status HIV positif.

Seseorang yang terdapat kolonisasi S.aureus tinggi pada kulitnya belum tentu menunjukkan tanda-tanda infeksi kulit, namun dapat menjadi pembawa ke individu lainnya dengan daya tahan tubuh yang lebih rendah (Nordin et al., 2012; Giuidice, 2020). Studi lainnya membandingkan jumlah koloni S.aureus pada kulit di area nasal subjek berdasarkan status HIV, didapatkan lebih banyak kolonisasi S.aureus pada subjek HIV positif dibandingkan dengan subjek seronegatif HIV. Hal tersebut juga dikaitkan dengan nilai CD4+ yang rendah yaitu < 350 sel/mm3 (Kotpal et al., 2016). Infeksi kulit akibat S.aureus disebabkan oleh banyak faktor antara lain reinfeksi atau kontak dengan karier bakteri dalam lingkungan tempat tinggal, anggota keluarga, tenaga medis dan lainnya (Montgomery et al., 2016). Dalam penelitian ini status infeksi HIV tidak berpengaruh terhadap jumlah bakteri S.aureus karena subjek dengan HIV positif memiliki nilai CD4+>500 sel/mm3. Subjek dengan HIV positif tinggal bersama dengan anak-anak lainnya di panti asuhan yang memiliki nilai CD4+< 500 sel/mm3, sehingga anak-anak tersebut dapat menjadi karier terhadap kelompok anak yang lebih rentan di lingkungan yang sama.

 Pola mikrobiota kulit pada individu yang berbeda dalam lingkungan yang sama secara signifikan dapat terjadi kesamaan, begitu juga dengan penyebaran bakteri patogenik yang dapat ditransmisikan melalui alat-alat rumah tangga (Miller et al., 2009; Sharma et al., 2018). Kebersihan personal yang buruk seperti memasukkan jari ke lubang hidung menjadi salah satu faktor transmisi S.aureus dari individu ke individu lainnya selain kontak melalui kulit (Wong et al., 2018). Temuan penelitian ini bakteri S.aureus terdapat pada anak-anak dengan kebersihan personal yang rendah pada kedua kelompok subjek baik HIV positif maupun negatif. Jumlah koloni S.aureus yang tinggi ditemukan pada anak-anak yang memiliki kebersihan personal rendah serta adanya kebiasaan berbagi alat personal dalam lingkungan tempat tinggal.

Berbagai aktivitas ini dapat diawasi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh pengasuh panti. Edukasi mengenai kebersihan personal untuk mencegah transmisi bakteri patogen khususnya S.aureus di lingkungan panti asuhan terutama pada kelompok anak dengan imunitas rendah sangat penting sebagai usaha pencegahan infeksi kulit.

 

Kesimpulan

Kebersihan personal dan kontak melalui alat rumah tangga adalah hal yang penting dalam transmisi bakteri S.aureus karena secara signifikan berhubungan dengan banyaknya jumlah koloni S.aureus di kulit anak pada kedua kelompok subjek HIV positif maupun negatif.


 

BIBLIOGRAFI

 

Berents, T. L. et al. (2015) “Skin barrier function and Staphylococcus aureus colonization in vestibulum nasi and fauces in healthy infants and infants with eczema: A population-based cohort study,” PLoS ONE, 10(6), hal. 1–12. doi: 10.1371/journal.pone.0130145. Google Scholar.



Craft N. 2012. Superfi cial Infection and Pyodermas. In: Fitzpatrick Dermatology in General Medicine 8th ed. Goldsmith, LA., Katz, SI., Gilchrest, BA., Paller, AS., Leff el, DJ., and Wolff , K, eds. New York: Mc Graw Hill. Google Scholar.

 

Desmazes, P. (2014) “Orphans and Vulnerable Children Affected by HIV and AIDS,” The United States Agency for International Development. Tersedia pada: https://www.usaid.gov/what-we-do/global-health/hiv-and-aids/technical-areas/orphans-and-vulnerable-children-affected-hiv. Google Scholar.

 

Duko, B. et al. (2018) “Patterns of common skin infections among children living with HIV / AIDS in Hawassa City , Ethiopia : a cross sectional study,” BMC Research Notes. BioMed Central, hal. 1–5. doi: 10.1186/s13104-018-3991-4. Google Scholar.

 

Endayehu, Y., Mekasha, A. dan Daba, F. (2013) “The pattern of mucocutaneous disorders in HIV infected children attending care and treatment in Tikur Anbesa specialized hospital , Addis Ababa ,.” Google Scholar.

 

Fritz, S. A. et al. (2012) “Staphylococcus aureus colonization in children with community-associated staphylococcus aureus skin infections and their household contacts,” Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine, 166(6), hal. 551–557. doi: 10.1001/archpediatrics.2011.900. Google Scholar.

 

Gilleece, D. Y. et al. (2019) “British HIV Association guidelines for the management of HIV in pregnancy and postpartum 2018,” HIV medicine, 20, hal. s2–s85. doi: 10.1111/hiv.12720. Google Scholar.

 

van IJzendoorn, M. H. et al. (2020) “Institutionalisation and deinstitutionalisation of children 1: a systematic and integrative review of evidence regarding effects on development,” The Lancet Psychiatry. Elsevier Ltd, 7(8), hal. 703–720. doi: 10.1016/S2215-0366(19)30399-2. Google Scholar.



James WD, Berger TG, Elston DM, et al. 2016. Bacterial Infection. In: Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 12th ed. Philadelphia: Elsevier. Google Scholar.

 

Kotpal, R. et al. (2016) “Incidence and Risk Factors of Nasal Carriage of Staphylococcus aureus in HIV-Infected Individuals in Comparison to HIV-Uninfected Individuals: A Case-Control Study,” Journal of the International Association of Providers of AIDS Care, 15(2), hal. 141–147. doi: 10.1177/2325957414554005. Google Scholar.

 

Miller, M. et al. (2009) “Staphylococcus aureus in the community: Colonization versus infection,” PLoS ONE, 4(8). doi: 10.1371/journal.pone.0006708. Google Scholar.

 

Montgomery, C. P. et al. (2016) “Host Factors that Contribute to Recurrent Staphylococcal Skin Infection,” 28(3), hal. 253–258. doi: 10.1097/QCO.0000000000000156.Host. Google Scholar.

 

Mork, R. L. et al. (2020) “Longitudinal, strain-specific Staphylococcus aureus introduction and transmission events in households of children with community-associated meticillin-resistant S aureus skin and soft tissue infection: a prospective cohort study,” The Lancet Infectious Diseases. Elsevier Ltd, 20(2), hal. 188–198. doi: 10.1016/S1473-3099(19)30570-5. Google Scholar.



Perdoski. 2017. Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta. Google Scholar.

 

Rogers, K. L., Fey, P. D. dan Rupp, M. E. (2009) “Coagulase - Negative Staphylococcal Infections,” 23, hal. 73–98. doi: 10.1016/j.idc.2008.10.001. Google Scholar.

 

Sharma, A. et al. (2018) “Longitudinal assessment of the influence of lifestyle homogenization on the microbiome in a cohort of United States Air Force cadets,” 15th Conference of the International Society of Indoor Air Quality and Climate, INDOOR AIR 2018. Microbiome, hal. 1–17. Google Scholar.

 

Stefanaki, C., Stratigos, A. J. dan Stratigos, J. D. (1998) “Infection in Children,” (01). Google Scholar.

 

Stevens DL and Bryant AE. 2016. Impetigo, Erysipelas and Cellulitis. In: Streptococcus pyogenes: Basic Biology to Clinical Manifestations. Ferreti JJ, Stevens DL, Fischett i VA, eds. Oklahoma City: University of Oklahoma Health Sciences Center.20 Google Scholar.

 

Tognetti, L. et al. (2012) “Bacterial skin and soft tissue infections: Review of the epidemiology, microbiology, aetiopathogenesis and treatment: A collaboration between dermatologists and infectivologists,” Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, 26(8), hal. 931–941. doi: 10.1111/j.1468-3083.2011.04416.x. Google Scholar.

 

Wong, J. W. H. et al. (2018) “Prevalence and risk factors of community- associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus carriage in Asia-Pacific region from 2000 to 2016 : a systematic review and meta-analysis,” hal. 1489–1501. Google Scholar.

 

Copyright holder:

Putri Oktriana Rachmana, Suci Widhiatia, Arie Kusumawardania, Indah Julianto Kamponoa, Leli Saptawatib, Nur Rachmat Muliantoa (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: