How to cite:
Andilolo, Yusthius (2021) Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana
Toraja. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia. 6(8). http://dx.doi.org/10.36418/ syntax-
literate.v6i8.3773
E-ISSN:
2548-1398
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
DEKONSTRUKSI MAKNA TANA’ SEBAGAI STRUKTUR SOSIAL PADANG
DIPUANGI TANA TORAJA
Yusthius Andilolo
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Jawa Tengah, Indonesia
Abstrak
Kebudayaan adalah serangkaian pemahaman dan kesadaran yang sedang
dikonstruksi yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk menginterpretasi
dunia sekelilingnya. Tujuan penelitian ini adalah menemukan teks utama yang
terkandung pada makna tana' dan didekonstruksi melalui wilayah periferal. Hamba
(Kaunan) wilayah periferal, mendekonstruksi teks utama yang dikendalikan oleh
kekuatan penguasa bangsawan (tokapua tosugi). Tujuan dari penulisan ini
menemukan makna sesungguhnya dari Tongkonan dan mendekonsturksi
pemaknaan yang dikonstruksi oleh beberapa pihak untuk melegitimasi
kekuasaannya dalam masyarakat. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini
dengan wawancara dan membaca literatur yang berkaitan dengan penelitian.
Pendekatan dekonstruksi Jacques Derrida dilakukan untuk mengidentifikasi hirarki
teks tana’. Selanjutnya, membongkar otoritas status tokapua tosugi’ yang
diistimewakan sehingga penundaan dapat terjadi untuk memunculkan makna baru.
Hasil penelitian menunjukan bahwa struktur sosial dalam makna tana’ tidak
ditentukan oleh genealogi atau didasarkan pada keyakinan suku melainkan melalui
kesanggupan untuk membayar denda dan keterampilan yang dimiliki seseorang.
Dengan demikian, tana’ sebagai struktur sosial mengalami penundaan untuk
dilakukan sebab mengandung unsur kelemahan dan bersifat ambigu. Semua orang
tanpa terkecuali dapat menjadi bangsawan dan menjadi terkemuka, hal tersebut
dimungkinkan melalui hasil pembacaan dekonstruksi terhadap makna tana’ bagi
padang dipuang dan secara umum bagi masyarakat Toraja.
Kata Kunci: dekonstruksi, kekuasaan, tana’, tokapua tosugi’, kaunan
Abstract
Culture is a constructed understanding and awareness that members of the public
are interpreting. The purpose of this research is many of the main texts contained
in the meaning of 'tana' and deconstructed through peripheral regions. Servant
(Kaunan) of peripheral territory, deconstructing the main text which was echoed by
the power of the noble ruler (tokapua tosugi). Qualitative methods were used in this
study with images and literature literature that beok with research. The
deconstruction of Jacques Derrida was done to uri the hierarchy of the text 'tana'.
Diring, the status of the district authority tokapua tosugi' which is privileged so that
it can happen for the meaning of a new arise. The results of the study suggest that
the word social in the sense of tana' is not by genealogy or toothed on tribal beliefs
Yusthius Andilolo
4218 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
but rather through the ability to pay fines and skills who is who is idarang. With the
presence of 10' on the social structure for procrastination by containing elements
elemental and ambiguous. Everyone without being able to be nobles and nobles
became the result of deconstruction of the meaning of tana' for the field and in
general for the people of Toraja.
Keywords: deconstruction, power, tana', tokapua tosugi', kaunan.
Pendahuluan
Kebudayaan adalah serangkaian pemahaman dan kesadaran yang sedang
dikonstruksi yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk menginterpretasi dunia
sekelilingnya. Semacam alat atau serangkaian skenario yang anggota masyarakat pakai
untuk melaksanakan kehidupan sehari-harinya (Wulandari, 2018). Setiap kebudayaan
bersifat kompleks. Setiap kebudayaan terdiri atas lapisan-lapisan yang dibedakan ke
dalam tiga sistem yang saling berhubungan yaitu sistem pengetahuan dan kepercayaan,
sistem nilai dan sistem makna, serta sistem perilaku sebagai perwujudan pengetahuan
dan nilai. Sistem pengetahuan dan kepercayaan mengarahkan seseorang bagaimana
memandang dunia hidupnya dan memaknainya. Misalnya apakah dunia sekedar materi
atau dunia idea, tempat tinggal sementara atau hunian tetap yang perlu dikelola. Setiap
daerah memiliki kebudayaannya masing-masing yang terkonstruksi dari pengetahuan
lokal masyarakatnya. Seperti halnya wilayah Toraja yang juga memiliki sistem
kebudayaannya sendiri, yang akan penulis bahas lebih lanjut dalam tulisan ini.
Masyarakat terbentuk dari suatu individu-individu yang terdiri dari
berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang
terdiri dari kelompok kelompok sosial. Dengan adanya atau terjadinya kelompok
sosial tersebut maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau terbentuklah
masyarakat yang berstrata. Secara umum pengelompokan masyarakat Indonesia
terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, pengelompokan secara horizontal berupa
deferensiasi dan Kedua, pengelompokan secara vertikal berupa stratifikasi sosial
(Maunah, 2015). Penulis mengutip secara langsung kalimat salah seorang tokoh adat
Toraja di Sanggalla’. Paulus Pakanan memberikan penekanan bahwa berbicara
masyarakat Toraja tidak dapat terlepas dari struktur yang disebut tana’. Hal ini berarti
membicarakan orangnya, orang yang memulai gagasan atau idenya (Le Ngoc Bich Ly
& Dhewayani, 2017). Bagi orang Toraja, urutan tana’ atau struktur sosial merupakan
kebiasaan yang terjadi secara turun-temurun didalam masyarakat adat, tentunya hal itu
tidak terjadi dengan sendirinya. Akan tetapi merupakan konstruksi sosial untuk
menjawab berbagai kebutuhan pada saat itu.
Struktur masyarakat sosial pada wilayah adat padang dipuangi Tallu Lembangna
Tana Toraja disebut tana’. Tana’ diartikan sebagai struktur kerja atau kewajiban bagi
seseorang yang berada pada lingkup adat (Patandean, Baka, & Hermina, 2018). Wilayah
adat padang dipuangi menurut Paulus Pakanan dalam wawancara terdiri atas wilayah
adat basse’ kakanna (Kec. Makale), basse’ tanggana (Kec. Sanggalla’) dan basse adinna
(Kec. Mengkendek) ketiganya ini disebut Tallu Lembangna (Le Ngoc Bich Ly &
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4219
Dhewayani, 2017). Sedangkan tana’ sebagai struktur sosial padang dipuangi terbagi atas
empat tingkatan. Masing-masing, tana’ bulaan disebut (bangsawan tinggi), tana’ bassi
(bangsawan menengah), tana’ karurung (rakyat merdeka) dan tana’ kua-kua yang
disebut hamba, (Patandean et al., 2018). Namun pada dasarnya, Pelapisan struktur kelas
sosial padang dipuangi hanya dibagi dalam dua golongan besar. Kategori bangsawan
terdiri atas tana’ bulaan dan tana’ bassi selanjutnya tana’ karurung dan tana’ kua-kua,
digolongkan sebagai kaunan atau hamba (Patandean et al., 2018). Jika melihat status
sosial yang ada pada masyarakat Toraja, maka hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Soekanto dalam Sosiologi Suatu Pengantar, bahwa Status sosial adalah tempat
seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam
arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa sistem pelapisan dalam
masyarakat mencakup ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup
dengan teratur. Mereka memiliki barang atau sesuatu yang berharga dalam jumlah yang
banyak di lapisan atas dan sebaliknya mereka yang memiliki jumlah yang relatif sedikit
atau bahkan tidak memiliki sama sekali mempunyai kedudukan yang rendah
(Patadungan, Purwanto, & Waani, 2020).
Meskipun dalam kenyataannya bahwa peradaban manusia telah mengalami
perkembangan dengan berbagai kemajuan teknologi yang dimilikinya. Akan tetapi,
masyarakat Toraja masih pada penggambaran kehidupan masa lalu, hal itu ditandai
dengan keberlangsungan praktek tana’ sebagai struktur sosial sampai pada saat
sekarang. Tana’ masih menjadi pilihan istimewa oleh karena memberikan pengaruh dan
keuntungan secara politik, ekonomi dan pada sektor publik lainnya. Keuntungan itu
hanya terjadi secara sepihak dan dinikmati oleh garis keturunan bangsawan tokapua
tosugi’ yang berasal dari tana’ bulaan (genealogi) Tomanurung tamborolangi’ dan
bangsawan menengah. Sedangkan, kaunan diposisikan sebagai posisi rendah tidak
memiliki kuasa dan hanya sebagai pengabdi kepada tokapua tosugi’. Pelapisan struktur
tana’ yang terjadi merupakan patron kekuasaan masa lalu yang masih bertahan dan
terpelihara sampai sekarang ini.
Pelapisan tana’ dapat disebut sebagai stratifikasi sosial oleh sebab memunculkan
berbagai perbedaan yang selanjutnya menjadi persoalan. Tokapua tosugi’ berkuasa,
memiliki hak istimewa dan hal tersebut tidak hanya terjadi pada lingkup adat saja akan
tetapi mempengaruhi berbagai sektor kehidupan publik (Bigalke, 2016). Berbanding
terbalik apa yang dialami oleh kaunan pada posisi periferi dan bukan yang utama.
Keistimewaan status secara genealogi memperkuat kedudukan tokapua tosugi’. Jika
seseorang yang dilahirkan dari keturunan kaunan akan selamanya menjadi hamba dan
terlahir dari keturunan tokapua tosugi’ akan menjadi bangsawan. Tana’ bagi padang
dipuangi bersifat mengikat, tidak berubah dan menjadi ketetapan yang berlaku
selamanya (Mulyadi, 2013). Melalui persoalan stratifikasi yang terjadi pada pelapisan
tana’ maka akan dilakukan upaya dekonstruksi. Perbedaan sratifikasi masyarakat Toraja
dapat terlihat pada pelaksanaan ritual-ritual seperti Rambu Solo (Ritual Kematian).
Upacara tersebut biasanya dilaksanakan dengan memperhatikan strata sosial orang yang
Yusthius Andilolo
4220 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
meninggal. Bagi mereka yang termasuk dalam kelompok the have, biasanya mereka
melangsungkan upacara ini dengan kesan meriah. Hal itu dikarenakan mereka perlu
menunjukkan bahwa mereka memang berasal dari kelompok masyarakat kalangan atas.
Berbeda dengan kelompok masyarakat yang tidak punya, atau berasal dari kelompok
hamba/rakyat merdeka biasa, mereka tidak dapat melakukan upacara sebagaimana yang
dilakukan oleh kelompok bangsawan (Panggarra, 2014). Stratifikasi masyarakat Toraja
juga dapat terlihat pada bentuk fisik rumah tradisional. Ciri-ciri yang ada pada
tongkonan menggambarkan prestasi dan prestise pemilik tongkonan itu. Karena
masyarakat Toraja sangat hierarkis yaitu bangsawan, menengah, dan orang biasa ciri
hierarkis ini tampak bukan pada bentuk tongkonan melainkan pada sejumlah ornamen
penanda pembeda. Tongkonan tertinggi disebut tongkonan layuk (mulia) pusat
pemerintahan tradisional di masa silam. Tongkonan pesio’ aluk adalah tongkonan yang
berfungsi penyebar agama Aluk To Dolo di masa lampau. Kemudian ada tongkonan
balimbing kalua’ yaitu tongkonan yang pemiliknya kelompok pemberani atau militer.
Akhirnya tongkonan batu a’riri merupakan tongkonan kelompok masyarakat biasa yang
tidak berukir. Tongkonan adalah pusat pengelolah berbagai pranata seperti pranata
religi, pranata kekerabatan, pranata pendidikan, pranata peternakan, pranata kehutanan,
dan pranata pertanahan (Sandarupa, 2015).
Proses baca dekonstruksi digunakan dalam penelitian ini. Derrida menolak teks
tunggal dengan menggali wilayah periferi untuk mendekonstruksi wilayah utama untuk
memperoleh makna baru (Fayyadl, 2005). Untuk melakukan upaya dekonstruksi maka
dilakukan proses pembacaan teks terhadap struktur tana’. Dari hasil baca teks diperoleh
makna berlawanan yang terjadi antara tokapua tosugi’ berlawanan makna dengan
kaunan posisi periferi. Selanjutnya menemukan asumsi istimewa tokapua tosugi’ yaitu
sebagai bangsawan yang berkuasa, memerintah berdasarkan genealogis. Lalu
mengkritisi asumsi tersebut dan pada langkah akhir membongkar balik makna yang
berlawanan dan memberikan makna baru sebagai hasil akhir dari pembacaan teks tana’.
Beberapa penelitian sebelumnya yang membahas tentang Tongkonan dituliskan
oleh Imam Indratno. Dalam tulisannya dia menjelaskan bentuk realitas ruang yang ada
di Lembang Sillanan, Kecamatan Gandangbatu Sillanan, Kabupaten Tana Toraja dalam
kaitannya dengan falsafah Tallu Lolona. Penelitian ini menggunakan pendekatan
fenomenologi yang berusaha mengungkapkan realitas tongkonan di Tanga Tondok.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Ezra Tari. Dalam tulisannya dia menjelaskan
bagaimana berteologi dalam konteks budaya Toraja dengan menggunakan Tongkonan
sebagai model berteologi dalam konteks. Penulis melihat selama ini belum ada tulisan
yang membahas tentang bagaimana konstruksi nilai kepemimpinan Tongkonan selama
ini.
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di atas maka penelitian ini bertujuan
untuk mendekonstruksi teks yang selama ini digunakan, oleh sebab mengandung
kebenaran tunggal. Proses baca teks dilakukan terhadap relasi kuasa tokapua tosugi’
yang berlawanan makna dengan kaunan pada posisi periferi dan selanjutnya akan dikaji
melalui pendekatan dekonstruksi Derrida. Dengan rumusan masalah; bagaimana oposisi
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4221
biner terjadi pada teks tana’ dan bagaimana hasil dekonstruksi yang memberikan makna
baru dari hasil baca teks. Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan informasi
kepada kalangan akademisi khusus kajian antropologi, sosial dan budaya. Hasil
penelitian ini juga ditujukan kepada masyarakat adat padang dipuangi dan masyarakat
Toraja secara umum.
Metode Penelitian
Metode kualitatif digunakan untuk menggali makna yang berada dibalik setiap
tindakan sosial yang tersusun pada teks secara sistematis dengan melakukan
pengumpulan data, (Sugiyono, 2012). Selanjutnya pengumpulan data akan dilakukan
dengan membaca literatur yang berkaitan langsung dengan penelitian. Selain dilakukan
wawancara untuk memperoleh infomasi dari pihak-pihak informan yang terkait.
Mengutip pendapat McQuillan bahwa dekonstruksi merupakan proses baca teks
dan bukan metode atau teori, (Hardiman, 2020). Agar dekonstruksi terhadap makna teks
dapat tercapai maka ada beberapa hal yang mestinya diperhatikan. Lebih lanjut
Hardiman menyampaikan bahwa proses baca teks diawali dengan mencari makna
berlawanan atau oposisi biner yang terjadi di dalam teks. Setelah memperoleh makna
yang berlawanan maka selanjutnya memunculkan asumsi istimewa. Kemudian
dilakukan pemberian tanda secara imajiner untuk mengkritisi asumsi yang tersembunyi
seperti keadaan genealogi, kekuasaan, memerintah, ekonomi. Proses selanjutnya
“difference” membedakan dan melakukan penundaan makna yang terdapat pada
struktur hirarki dan yang terakhir akan diperoleh makna baru hasil dekonstruksi. Hasil
dekonstruksi diperoleh dari konteks di dalam teks itu sendiri dan makna baru tidak
diperoleh diluar dari teks, (Hardiman, 2020). Makna baru diperoleh dengan melakukan
proses baca teks pada mitologi penciptaan manusia Toraja sebagai penentu struktural
tana’.
Hasil dan Pembahasan
Individu sebagai makhluk sosial tentu tidak bisa dihindarkan dari yang namanya
interaksi sosial di masyarakat. Adanya interaksi sosial ini akan mempengaruhi
pembentukan sebuah kelompok. Secara umum pengelompokan masyarakat Indonesia
terbagi menjadi dua bentuk. Pertama, pengelompokan secara horizontal berupa
deferensiasi dan Kedua, pengelompokan secara vertikal berupa stratifikasi sosial.
Stratifikasi sosial adalah sistem pembedaan individu atau kelompok dalam masyarakat,
yang menempatkannya pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan
memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu
lapisan dengan lapisan lainnya (Edi, 2016).
Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam
kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang, dan
kelas rendah. Dasar dan inti sistem stratifikasi masyarakat adalah adanya
ketidakseimbangan pembagian hak dan kewajiban, serta tanggung jawab masing-
masing individu atau kelompok dalam suatu sistem sosial. Penggolongan dalam kelas-
Yusthius Andilolo
4222 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
kelas tersebut berdasarkan dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam suatu lapisan-
lapisan yang lebih hierarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise
(Adhicahya, 2015). Stratifikasi sosial terjadi karena adanya pembagian (segmentasi)
kelas-kelas sosial di masyarakat. Kelas sosial adalah suatu lapisan (strata) dari orang-
orang yang memiliki berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan dari status sosial.
Penulis menemukan bahwa oposisi biner yang tejadi pada tana’ diciptakan melalui
narasi penciptaan manusia dan melalui sejarah. Narasi penciptaan manusia dan
aturannya terdiri dari bentuk penciptaan secara mitologi, keyakinan agama suku dan
sejarah. Paulus Pakanan mengungkapkan bahwa manusia Toraja yang diciptakan
dilangit telah diklasifikasikan dalam aturan dan diturunkan ke dunia dalam bentuk tana’
(Patandean et al., 2018). Lebih lanjut. tana’ dapat ditelusuri dengan membaca teks
penciptaan manusia Toraja.
Dekonstruksi dilakukan untuk melakukan upaya pembongkaran terhadap teks
yang dihadirkan sepihak. Tak ada kebenaran yang mutlak yang dihadirkan oleh teks
tana’ sebagai struktur masyarakat. Derrida mengatakan bahwa semua teks dapat
dimaknai kembali berdasarkan keadaannya (Norris, 2006). Makna teks tana’ yang
mengandung unsur kebenaran sepihak dapat ditangguhkan kebenarannya dengan
melakukan pembongkaran dan memberikan makna yang baru.
Tabel 1
Relasi Kuasa Teks Struktur Tana’ Padang Dipuangi Tallu Lembangna
Oposisi Biner
Berkuasa, Memimpin, Hak Istimewa
dan Struktur Sosial Tinggi
Tidak Berkuasa,
Tidak Memiliki Derajat
Istimewa
dan Struktur Sosial Rendah.
Tana’ bulaan (bangsawan tinggi)
keturunan (genealogi) tomanurung
tamborolangi’ dan Tana Bassi
(bangsawan menegah), bukan
genealogi tomanurung namun
keduanya ini disebut bangsawan
(tokapua tosugi’).
Tana’ Karurung (rakyat
merdeka) dan Tana’ Kua-kua
(hamba), keduanya disebut
(kaunan) yang tidak memiliki
pilihan selain diposisikan
menjadi pengabdi bagi hamba’.
1. Oposisi Biner Bangsawan (tokapua tosugi’) / Hamba (kaunan)
Oposisi berlawanan makna terjadi antara tokapua tosugi’ teks utama sedangkan
hamba teks yang berada dipinggir dan bukan pusat. Mengutip pandangan Tangdilino
yang mengungkapkan bahwa; “Tana’ bulaan dan tana’ bassi memiliki otoritas
tertinggi untuk berkuasa dan memerintah. Sisi lainnya, tana’ karurung dan tana’ kua-
kua sebagai hamba. Keberadaan hamba untuk menopang kekuasaan yang dimiliki
oleh tokapua tosugi” (Patandean et al., 2018). Antara teks utama tokapua tosugi yang
berlawanan makna dengan teks yang bukan utama yaitu kaunan. Secara hirarki, tana’
telah memberikan keuntungan secara sepihak kepada tokapua tosugi’ dan ketentuan
tersebut berlaku secara turun-temurun. Dengan demikian narasi penciptaan
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4223
memposisikan dua golongan antara bangsawan kekuatan utama dan hamba berada
pada posisi periferal bukan yang utama. Hal ini seperti apa yang Gramsci sebut
sebagai Hegemoni. Hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat melalui
mekanisme konsensus (consenso) daripada melalui penindasan terhadap kelas sosial
lain. Adapun budaya merupakan keseluruhan proses sosial dimana ada perempuan
dan laki-laki menentukan dan membentuk kehidupan mereka. Sehingga hegemoni
budaya merupakan suatu paham yang diperkenalkan oleh gramsci bahwa
hegemoni budaya tidak dapat begitu saja. Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat
dikatakan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-
nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang
akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya.
Dimana dalam kelompok tersebut yang didominasi secara sadar mengikutinya.
Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas
dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi (Sudardi & Ilafi, 2017).
Asumsi istimewa yang membentuk kekuatan utama didasarkan pada teks narasi
penciptaan yang sejalan dengan keyakinan agama suku (Aluk todolo). Melalui narasi
penciptaan telah memposisikan tana’ bulaan sebagai bangsawan tinggi status
istimewa. Keistimewaan yang sistematis atau diklasifikasikan menjadi kekuatan
pengendali tunggal dalam menjalankan pemerintahannya dan hamba berada pada
wilayah terpinggirkan. Pakanan mengungkapkan dalam wawancara bahwa manusia
Toraja telah diklasifikasikan bersama aturannya dilangit dan diturunkan ke dunia
dalam bentuk tana’(Patadungan et al., 2020). Setiap golongan baik bangsawan
maupun hamba akan ditentukan melalui keturunan atau secara genealogis sebagai
ketentuan produksi langit.
Legitimasi status diberikan kepada bangsawan (tokapua tosugi’) genealogi
Tomanurung Tamborolangi’. Di sisi lain, hamba (kaunan) merupakan individu yang
tidak memiliki derajat yang sama dan juga tidak memiliki pilihan selain diposisikan
menjadi pengabdi bagi tokapua tosugi’. Narasi mitologi penciptaan manusia
merupakan komponen dasar dalam sistem tana’ yang memberikan legitimasi status,
kuasa dan wewenang.
2. Mengkritisi Keutamaan Teks Genealogis Tomanurung Tamborolangi’ Melalui
Periferi Hamba.
Wilayah periferi kaunan mendekonstruksi kekuasaan pusat melalui teks sejarah
penggunaan tana’. Kekuasaan bangsawan dimulai dari sejarah kehadiran tana’ yang
memiliki perbedaan antara versi mitos penciptaan, sejarah kuno dan kepercayaan
Aluk todolo. Penciptaan atau kehadiran manusia Toraja terbagi kedalam versi
beberapa versi penciptaan dan sejarah yang masing-masing memiliki perbedaan dan
saling berlawanan. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Derrida sebagai oposisi
biner (op-bin) yang menempatkan bagian pertama lebih istimewa dari
bagian kedua, Derrida mendekonstruksi op-bin ini dengan memfokuskan
perhatian pada bagian kedua yang dianggap kurang istimewa. Derrida menggali area
periferi untuk mendekonstruksi area pusat agar supaya asumsi-asumsi
Yusthius Andilolo
4224 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
tersembunyi dapat dimunculkan (Asmarani, 2017). Karena itu penulis akan
menjelaskan bagaimana narasi penciptaan masyarakat Toraja sehingga menciptakan
kelas sosial dalam masyarakat.
3. Versi Mitologi Penciptaan Pertama
Mitologi penciptaan manusia Toraja pada versi pertama dilakukan oleh Puang
Matua (Maha Pencipta) menciptakan “Datu Laukku’ (nenek manusia), Menrante
(nenek racun), La Ungku ( nenek kapas), Irako (nenek besi), Pong Pirik-pirik (nenek
angin), Menturini (nenek kerbau)” (Patandean et al., 2018). Pada penciptaan versi
pertama hanya Datu Laukku’ yang diciptakan sebagai manusia. Paulus Pakanan
mengemukakan bahwa manusia yang diciptakan merupakan generasi pertama dan
menjadi nenek moyang bagi orang Toraja (Patadungan et al., 2020).
Melalui cerita penciptaan pertama pembagian struktur tana’ sebagai kelas
sosial tidak terjadi. Selanjutnya Oktoviandi Rantelino mengemukakan bahwa;
melalui penciptaan pertama, manusia dan ciptaan lainnya dilihat dalam satu
kesejajaran ciptaan oleh Maha Pencipta (Rantelino, Isnanto, & Widianto, 2014).
Dalam hal ini tidak terjadi terjadi pengelompokan atau klasifikasi antara kaunan dan
tokapua tosungi.
4. Versi Mitologi Penciptaan Kedua
Versi penciptaan kedua; “Datu Laukku’ mengambil istri Datu Ettan anak dari
Batara Ulo’ lalu melahirkan, Mula Tau, Seno Bintoen, Pare-pare, Manapa’, Roya
Tumbang, Lua’ Toding dan Landa Samara, Selanjutnya Anak pertama Pong Mula
Tau mengambil Arrang di Batu dan melahirkan Manurung Dilangi’ lalu hidup di
bumi”, (Jainuddin, Silalong, & Syamsuddin, 2020). Untuk selanjutnya, diceritakan
keadaan Manurung Dilangi’ setelah memilih untuk tinggal menetap serta memiliki
keturunan.
Seiring perjalanan waktu populasi manusia pun mengalami pertambahan
jumlah dan semakin berkembang dalam kebutuhan. Olehnya, timbul persaingan
diantara mereka yang berdampak pada berbagai persoalan dan pelanggaran. Untuk
itu diadakan musyawarah para pemuka masyarakat. Akhirnya, kapa’ ditetapkan
sebagai aturan yang bertujuan melindungi hak setiap orang dan menjadi
perlindungan bagi mereka yang dirugikan, (Jainuddin et al., 2020). Kapa’ merupakan
aturan sebagai solusi untuk meredam dan menertibkan tatanan kehidupan yang
semakin berkembang.
Kapa’ merupakan sangsi materi yang dijatuhkan kepada si pelanggar dengan
jumlah denda berkali lipat yang harus diberikan kepada si korban (Jainuddin et al.,
2020). Sejak itu, sanggup atau tidaknya seseorang dalam membayar denda akan
menjadi klasifikasi sosial ekonomi. Sanggup dan memiliki kecakapan disebut tana’
bulaan, sanggup membayar separuh namun terampil tana’ karurung dan yang tak
sanggup dalam berbagai hal tana’ kua-kua (Jainuddin et al., 2020). Tana’ merupakan
hasil yang ditetapkan melalui interaksi masyarakat berdasarkan kesanggupan
ekonomi serta keterampilan kerja yang dimiliki seseorang.
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4225
Kehadiran Tana’ menjadi struktur sosial tidak ditentukan melalui keturunan
pertalian darah daging (genealogi) tomanurung tamborolangi atau atas dasar
kepercayaan agama suku melainkan atas dasar kesanggupan ekonomi seseorang dan
kecakapan kerja yang dimilikinya. Oleh sebab itu, aturan yang ditetapkan melalui
kapa’ telah menciptakan kelas ekonomi yang diklasifikasikan dalam struktur sosial
yang disebut tana’.
Ada perbedaan pandang yang terjadi dimana Paulus Pakanan menyebutkan
dalam wawancara bahwa semua aturan telah selesai di langit dan diturunkan oleh
manusia pertama yang turun ke bumi yaitu Tomanurung Tamborolangi’ (Patandean
et al., 2018). Akan tetapi kapa’ yang kemudian diterjemahkan kedalam tana’ justru
hadir melalui peristiwa yang dialami didalam interaksi masyarakat saat itu.
5. Versi Mitologi Penciptaan Ketiga
Datu Laukku’, pada versi mitologi penciptaan yang ketiga. Kemudian, “Datu
Laukku’ mengambil istri Tumba’ To’ Kulo’-kulo’ dan melahirkan delapan anak,
diantaranya; Kambuno Langi’, Pande Paita, Rombekasisi’, Pondan Padang, Indo’
Belotumbang, Toburake Manakka, Turian, Pong Tinamba” (Jainuddin et al., 2020).
Dari mitologi penciptaan ketiga ini nenek tomebalun juga merupakan anak dari Datu
Laukku’.
Telah disampaikan lebih awal bahwa pekerjaan yang terendah dan hanya
dikerjakan oleh seorang kaunan adalah urusan pemakaman (tomebalun). Namun,
salah seorang anak dari Datu Laukku’ yaitu Rombekasisi’ memiliki fungsi dan
disebut sebagai nenek tomebalun. Dengan demikian dapat dibaca bahwa tomebalun
yang disebut hamba tana’ kua-kua juga merupakan keturunan genealogi dari Datu
Laukku’. Jika makna teks mitologi penciptaan versi yang ketiga ini digunakan
sebagai dasar membentuk tana’ sebagai struktur sosial padang dipuangi. Tentunya
tomebalun pun dapat dipilih dan ditetapkan untuk menjadi pemimpin yang berkuasa
karena memiliki pertalian darah yang sama yaitu berasal dari keturunan Datu
Laukku’. Hal tersebut sejalan dengan penciptaan versi pertama dimana Datu Laukku’
dihadirkan sebagai nenek moyang orang Toraja. Oleh sebab itu, Kaunan sebagai
tomebalun juga telah memenuhi persyaratan utama untuk dapat berkuasa dan
memimpin karena berasal dari keturunan Datu Laukku’.
6. Versi Penciptaan Menurut Falsafah Aluk Todolo
Versi penciptaan ini sekaligus menjadi urutan struktur kasta dalam Aluk
Todolo. Proses penciptaan manusia terbagi atas empat tahapan penciptaan. Dari
tahapan penciptaan itu akan dilihat bagaimana struktur tana’ terjadi. Seno Paseru
mengutip pendapat Daniel Tulak tentang keempat tahapan penciptaan dan tugas
masing-masing; “Datu Laukku’ (tana’ bulaan) menerima agama dan aturan. Puang
Andang (tana’ bassi) menerima kepemimpinan dan kecerdasan. Kambuno Langi’
(tana’ karurung) sauaan sibarrung menerima keahlian. Patto Kalembang (tana’ kua-
kua) hamba”, (Paseru, 2004). Penciptaan manusia Toraja menurut falsafah aluk
todolo saling bertentangan dengan penciptaan manusia menurut versi mitologi.
Yusthius Andilolo
4226 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Pertentangan terjadi pada penggunaan sauan sibarrung yang digunakan dua kali
yaitu pada penciptaan Datu Laukku dan penciptaan Pong Kambuno Langi’. Pong
Kambuno Langi’ sendiri adalah anak dari Datu Laukku’ yang dikisahkan dalam versi
mitologi penciptaan ketiga. Namun yang terjadi pada versi Aluk Todolo justru
keduanya menjadi sejajar diciptakan sama oleh Maha Pencipta melalui sauan
sibarrung. Dalam hal ini terjadi paradoks pada kisah penciptaan yang
membingungkan dimana anak dan orang tua diciptakan bersamaan dari sauaan
sibarrung.
Kontroversi berikutnya terjadi pada penciptaan Puang Andang. Puang Andang
bukanlah merupakan unsur ciptaan yang dikisahkan dalam tiga versi mitologi
penciptaan manusia Toraja. Kisah Puang Andang hanya ditemukan pada kisah
sejarah zaman purba sebagai gelombang pendatang dan memilih menetap di daerah
Tiagka’ Sanggalla’ (Palebangan, 2007). Namun dalam penciptaan menurut
kepercayaan agama suku, Puang Andang sendiri dikategorikan sebagai salah satu
unsur ciptaan. Perbedaan yang lainnya terdapat pada narasi Patto Kalembang yang
disebut sebagai nenek dari semua kaunan atau bagi para hamba. Akan tetapi tiga
versi mitologi penciptaan tidak menggolongkan sebagai unsur ciptaan.
Struktur penciptaan manusia pada versi Aluk Todolo sekaligus menjadi urutan
tana’ dan selanjutnya tana’ akan diukurkan berdasarkan genealogi. Sedangkan pada
teks mitologi penciptaan versi yang kedua telah dikisahkan bahwa tana’ tercipta
melalui kesanggupan ekonomi dan keterampilan yang dimiliki seseorang.
7. Sejarah Struktur Sosial Toraja
Terbentuknya struktur sosial dimulai dari gelombang sejarah saman purba,
yang diperkenalkan dalam kehadiran kelompok yang berbeda. Menurut Tangdilintin;
Kelompok pendatang pertama, adalah kelompok Arroan yang dipimpin oleh Ambe
Arroan menetap di daerah Bambapuang. Setelah mengalami perkembangan,
kelompok kemudian dipimpin oleh Pong Pararrak (Patadungan et al., 2020).
Kehidupan kelompok pada saat itu belum banyak mengalami perkembangan dan
kelompok belum membagi atau menetapkan struktur sosial kedalam fungsi dan
peran.
Kehadiran kelompok yang kedua menurut Sumbung dan Kalau bahwa;
“Gelombang kedua, sekitar 40 kelompok yang dipimpin oleh Ampu Lembang.
Mereka kemudian membangun rumah yang mirip perahu serta memiliki aturan
sendiri. Setelah berkuasa mereka kemudian menamakan diri “Puang” sebagai
pemilik lahan, (Jainuddin et al., 2020). Struktur sosial yang dimilik masih dalam
bentuk struktur yang sederhana, akan tetapi kelompok telah memiliki aturan dan
menetapkan seorang pemimpin bagi kelompok mereka. Kelompok Ampu Lembang
kemudian menggunakan penyebutan Puang sebagai identitas atas penguasaan lahan
yang mereka miliki. Mulai saat itu nama Ampu Lembang diganti menjadi Puang
untuk membedakan dari penguasa yang lain. Kisah kehadiran mereka belum
mengenal tana’ sebagai struktur kelas sosial.
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4227
8. Sejarah Asal Usul Orang Toraja
Asal usul orang Toraja menurut versi antropologi sejarah dimulai dari
gelombang kehadiran kelompok yang datang dan tinggal menetap. Lalu mereka
memperkenalkan tana’ atau struktur yang mengatur kehidupan mereka. Tana’
diperkenalkan oleh tiga kelompok sebagaimana Frans Palebangan mengutip
pendapat Puang Gau’ Lembang yang menyatakan bahwa:
a. Kelompok yang datang lebih awal adalah kelompok yang dipimpin oleh Ambe’
Andang beserta istri dan beberapa kelompok lainnya. Mereka kelompok yang
pertama mendiami daerah Tiangka Sanggalla’. Kelompok Ambe’ Andang
mengenal tana’ karurung (rujung enau) dengan keterampilan yang dimilikinya dan
mereka disebut to sama’.
b. Selanjutnya kelompok yang kedua disebut to makaka Siambe’ Tangdilino’ yang
menyampaikan ajaran agama Aluk Todolo. Mereka tinggal dan menetap di banua
puan Mengkendek dan mereka telah mengenal penggunaan besi sehingga pada
saat itu muncullah tana’ bassi.
c. Kelompok ketiga To Matasak keturumam Puang Tamboro Langi’ membawa dan
memperkenalkan tana’ bulaan sebagai peradaban yang semakin majuh. Mereka
berkuasa dan mendirikan pemerintahan di Kandora Sanggalla’, (Palebangan,
2007).
Sejarah orang Toraja telah disampaikan diatas dan terdapat tiga tahapan
kelompok yang masing-masing memperkenalkan kemampuan mereka. Namun dalam
hal ini tidak terdapat dalam gelombang sejarah kehadiran kelompok yang disebut
tana’ kua-kua atau hamba. Tana’ kua-kua bukanlah bahagian dari perjalanan sejarah
asal usul orang Toraja, Dengan demikian tana kua-kua tidak dapat digolongkan
kedalam salah satu struktur masyarakat Toraja.
9. Makna Baru
Dekonstruksi hamba tana’ kua-kua dan tana karurung terhadap mitologi
penciptaan manusia yang memberi otoritas kuasa istimewa terhadap tana’ bulaan dan
tana’ bassi (tokapua tosugi’). Mitologi penciptaan manusia terbagi kedalam tiga versi
cerita. Tiga versi cerita baik versi mitologi penciptaan, penciptaan menurut agama
suku dan sejarah kehadiran orang Toraja tidak memiliki kesejajaran, ambigu dan
kontroversi. Oleh sebab itu, tak satupun kisah cerita yang dapat digunakan menjadi
dasar untuk menetapkan tana’ sebagai stratifikasi masyarakat Toraja.
Pakanan menyampaikan bahwa versi cerita diciptakan dengan kesesuian
dengan keadaan atau kebutuhan yang diinginkan oleh kelompok secara turu-temurun,
(Patandean et al., 2018). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Rantelino bahwa
yang berkuasalah yang menarasikan sebuah kejadian dan menjadi sejarah (Rantelino
et al., 2014). Bahwa kehadiran tana’ tidak terlepas dari gagasan akan berbagai
kepentingan dan kebutuhan dari penguasa itu sendiri
a. Dekonstruksi yang dilakukan kaunan terhadap teks kekuasaan tokapua tosugi’
bahwa melalui tiga versi penciptaan manusia, tidak terjadi atau tidak diperoleh
hasil penciptaan hamba. Datu Laukku’ menjadi nenek manusia Toraja, itu berarti
Yusthius Andilolo
4228 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
secara genealogi semua orang Toraja adalah keturunan Datu Laukku’ tanpa
terkecuali. Untuk itu, semua orang Toraja memiliki hak istimewa dan tingkat
kesejajaran yang sama.
Melalui dekonstruksi terhadap ketiga bentuk cerita mitologi penciptaan
diperoleh hasil bahwa ketiga bentuk cerita tersebut hanya pada kisah cerita bentuk
kedua yang menceritakan proses terjadinya kapa’. Jika secara teliti membaca teks
kapa’ maka akan dipahami bahwa kapa’ lahir dari konteks peristiwa pelanggaran
hak seseorang dan untuk melindunginya maka dibuat aturan yang disebut kapa’.
Pada hakikatnya kapa’ lahir bukan melalui proses mitologi penciptaan manusia
dari langit akan tetapi merupakan hasil konstruksi yang terjadi di tengah
masyarakat.
Berdasarkan analisis teks yang telah dibahas sebelumnya. Konstruksi sosial
yang dihasilkan melalui musyawarah para pemimpin kemudian menciptakan
hukum atau aturan untuk memberikan perlindungan bagi setiap hak seseorang.
Selanjutnya kapa’ berkembang menjadi tana’, dimana tana’ ditetapkan
berdasarkan kesanggupan seseorang secara ekonomi dan keahlian yang
dimilikinya. Mereka yang mampu secara ekonomi untuk membayar denda dan
memiliki kecakapan disebut sebagai bangsawan tokapua tosugi’. Di sisi lain, bagi
seseorang yang tidak mampu membayar denda dan juga tidak mempunyai
keahlian disebut kaunan.
Kaunan mendekonstruksi tokapua tosugi bahwa penetapan teks tana’
berdasarkan kesanggupan dan kecakapan seseorang dan bukan melalui silsilah
keturunan atau genealogi Tomanurung Tamborolangi’. Dengan demikian terjadi
pembongkaran makna tana’ yang selama ini diberlakukan sebagai stratifikasi
sosial pada masyarakat padang dipuangi. Dengan demikian terjadi penangguhan
terhadap pemaknaan sepihak yang selama ini terjadi. Ditangguhkan dengan
makna baru bahwa semua orang memiliki hak istimewa dan tingkat kesejajaran
yang sama.
b. Posisi periferi kaunan mendekonstruksi penciptaan manusia menurut falsafah
agama Aluk Todolo kepercayaan suku yang saling bertentangan dengan versi
penciptaan secara mitologi. Kisah penciptaan yang ambigu dan kontroversi
dimana orang tua dan anak diciptakan bersamaan antara Datu Laukku’ dan Pong
Kambuno langi’. Dekonstruksi kaunan selanjutnya yaitu pada proses penciptaan
genealogi kaunan yang diciptakan terpisah dari ciptaan yang lainnya. Urutan
penciptaan alluk todolo bersifat reduksi, potongan kisah cerita atau kompilasi
kumpulan riwayat cerita dari cerita-cerita sebelumnya dan kemudian disatukan.
Penangguhan dan penundaan dilakukan terhadap penciptaan manusia menurut
Aluk Todolo yang sekaligus merupakan urutan struktur kasta atau tana’.
c. Kekuatan utama tana bulaan didekonstruksi oleh tana’ kua-kua melalui teks
sejarah kehadiran kelompok Ambe’ Andang dan Ampu Lembang masing-masing
datang dalam gelombang sejarah yang berbeda. Ambe’ Andang sebagai pemimpin
kelompok dan digantikan oleh Pong Pararrak. Selanjutnya Ampu Lembang oleh
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4229
kekuasaan lahan Selanjutnya kehadiran kelompok yang kedua yang dipimpin oleh
Ampu Lembang. Setelah berkuasa Ampu Lembang menggunakan nama “Puang”
sebagai identitas pemilik lahan. Saat itulah penyebutan puang digunakan sebagai
penanda orang yang berkuasa dan pemilik lahan. Kedua kelompok yang
disebutkan diatas tidak menggunakan struktur sosial dalam bentuk tana’.
Dekonstruksi hamba pada teks sejarah menurut Puang Gau’ Lembang dikutip
Palebangan. bahwa masing-masing kelompok memperkenalkan tana’ yang dimilikinya.
Ambe’ Andang memperkenalkan tana’ karurung, Ambe’ Tandilino’ memperkenalkan
tana’ bassi dan Tomanurung Tamborolang’ memperkenalkan tana’ bulaan, (Palebangan,
2007). Pada gelombang sejarah yang terjadi, hamba tidak termasuk salah satu urutan
kelompok yang hadir dalam gelombang sejarah. Oleh sebab itu posisi hamba
menangguhkan struktur tana’ yang memposisikan tana’ kua-kua sebagai hamba karena
tidak sejalan dengan riwayat dan ketentuan sejarah. Tana’ kua-kua mengalami
penundaan untuk dapat diklasifikasikan sebagai struktur sosial masyarakat Toraja.
Kesimpulan
Dekonstruksi dari wilayah periferal kaunan terhadap tiga versi cerita yang
memberikan otoritas kuasa dan hak istimewa kepada tokapua tosugi’. Bahwa kaunan
tidak diciptakan melalui teks mitologi penciptaan dan sejarah asal usul orang Toraja,
kecuali penciptaan menurut Aluk Todolo. Namun urutan penciptaan Alluk Todolo
bersifat reduksi, potongan kisah atau kompilasi riwayat cerita mitologi dan sejarah lalu
terjadi penyatuan kisah cerita. Kaunan mendekonstruksi tokapua tosugi bahwa
penetapan teks tana’ berdasarkan materi dan kecakapan yang dimiliki seseorang dan
bukan melalui silsilah keturunan atau genealogi tomanurung tamborolangi’.
Selanjutnya Makna teks yang dihadirkan melalui sejarah terbentuknya teks tana’
sebagai strukru sosial tidak memiliki kesejajaran, ambigu dan kontroversi. Tak satupun
makna teks yang dapat digunakan menjadi dasar untuk menetapkan tana’ sebagai
stratifikasi masyarakat Toraja. Sejarah pembentukan tana’ masing-masing berlawanan
makna tidak ada korelasi antara makna dan pernyataan yang dibangun melalui masing-
masing teks. Dengan demikian semua orang memiliki hak istimewa dan kesejajaran
yang sama berasal dari leluhur Datu Laukku.
Yusthius Andilolo
4230 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
BIBLIOGRAFI
Adhicahya, Theodorus. (2015). An Analysis of Idiom Translation of Ice Age Continental
Drift Movie Subtitle. Yogyakarta: Sanata Dharma University. Google Scholar
Asmarani, Ratna. (2017). Dekonstruksi Budaya Kekuasaan Dalam Ca Bau Kan Karya
Remy Sylado. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 10(2). Google Scholar
Bigalke, Terance W. (2016). Sejarah Sosial Tana Toraja. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Google Scholar
Edi, Fandi Rosi Sarwo. (2016). teori wawancara Psikodignostik. Penerbit LeutikaPrio.
Google Scholar
Fayyadl, Muhammad Al. (2005). Derrida. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara. Google
Scholar
Hardiman, Fransisco Budi. (2020). Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher
sampai Derrida. Kanisius. Google Scholar
Jainuddin, Jainuddin, Silalong, Elia Steven, & Syamsuddin, Agustan. (2020). Eksplorasi
Etnomatematika pada Ukiran Toraja. Delta-Pi: Jurnal Matematika Dan
Pendidikan Matematika, 9(2). Google Scholar
Le Ngoc Bich Ly, Wening Udasmoro, & Dhewayani, Jeanny. (2017). The
Transformation Of The Evangelical Church Of Vietnam And The Toraja Church In
Indonesia Toward Women-Inclusive Leadership: Cultural, Political And Religious
Contexts. Empirisma: Jurnal Pemikiran Dan Kebudayaan Islam, 26(2). Google
Scholar
Maunah, Binti. (2015). Stratifikasi Sosial dan Perjuangan Kelas dalam Perspektif
Sosiologi Pendidikan. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 3(1), 1938. Google
Scholar
Mulyadi, Yadi. (2013). Menata Hutan Menjaga Tongkonan: Alternatif Upaya
Pelestarian Budaya Toraja. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, 7, 2534.
Google Scholar
Norris, Christopher. (2006). Deconstruction, Analysis, and Deviant Logic: Derrida at
the Limits of Thought. The Harvard Review of Philosophy, 14(1), 3661. Google
Scholar
Palebangan, Frans Bararuallo. (2007). Aluk, adat, dan adat-istiadat Toraja. Sulo.
Google Scholar
Panggarra, Robi. (2014). Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser Dan
Relevansinya Dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) Di Tana Toraja. Jurnal
Jaffray, 12(2), 291316. Google Scholar
Dekonstruksi Makna Tana’ Sebagai Struktur Sosial Padang Dipuangi Tana Toraja
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 4231
Patadungan, Ellyn, Purwanto, A., & Waani, Fonny J. (2020). Dampak Perubahan Status
Sosial Terhadap Upacara Rambu Solo’di Kelurahan Tondon Mamullu Kecamatan
Makale Kabupaten Tana Toraja. Holistik, Journal Of Social and Culture. Google
Scholar
Patandean, Mutiara, Baka, Wa Kuasa, & Hermina, Sitti. (2018). Tradisi To Ma’badong
dalam upacara rambu solo’pada Suku Toraja. Lisani: Jurnal Kelisanan, Sastra,
Dan Budaya, 1(2), 134139. Google Scholar
Rantelino, Alan Prasetyo, Isnanto, R. Rizal, & Widianto, Eko Didik. (2014). Sistem
Pembukaan Kunci Otomatis Menggunakan Identifikasi Pola Ketukan. Jurnal
Teknologi Dan Sistem Komputer, 2(4), 281287. Google Scholar
Sandarupa, Stanislaus. (2015). Glokalisasi Spasio-Temporal dalam Agama Aluk To
Dolo oleh Agama Kristen di Toraja. Sosiohumaniora, 17(1), 8693. Google
Scholar
Sudardi, Bani, & Ilafi, Afiliasi. (2017). Hegemoni Budaya dalam Tradisi Manaqiban.
Madaniyah, 7(1), 188203. Google Scholar
Sugiyono, Sugiyono. (2012). Metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dan R&D.
Alfabeta Bandung. Google Scholar
Wulandari, Irma. (2018). Pengaruh Lokasi, Persepsi Harga Dan Word Of Mouth
Terhadap Keputusan Menonton Di Bioskop (Studi Pada Penonton Bioskop
Movimax Dinoyo Malang). University of Muhammadiyah Malang. Google Scholar