How to cite:
Haryudiawan, Arif., Basir, Muhamad Erza Aminanto (2021) Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat
Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja Sama Antar Negara. Syntax Literate. 6(8).
http://dx.doi.org/10.36418/ syntax-literate.v6i8.3884
E-ISSN:
2548-1398
Published by:
Ridwan Institute
Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
UPAYA PENYIDIK DALAM MENDAPATKAN ALAT BUKTI DARI
YURISDIKSI ASING MELALUI KERJA SAMA ANTAR NEGARA
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
Program Studi Kajian Ilmu Kepolisian Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia
Abstrak
Perkembangan dunia saat ini semakin global dan teknologi yang sangat cepat dan
canggih mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan sosial di masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik penyidikan tindak pidana siber
khususnya skimming yang dilakukan oleh seorang warga negara asing (WNA) di
wilayah Jakarta maupun kendala-kendala yang dihadapi oleh penyidik Direktorat
Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) pada Kepolisian Daerah Metropolitan
Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif. Penyidikan yang dilakukan oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada
saat ini belum memberikan hasil yang maksimal dalam pemberantasan kejahatan
skimming yang dilakukan oleh WNA di Jakarta. Penyidik dalam melakukan
pemenuhan alat bukti dapat melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum di
negara asing, baik secara formal maupun informal.
Kata Kunci: alat bukti; kerja sama; MLA
Abstract
The development of the world today is increasingly global and very fast and
sophisticated technology resulted in various social changes in society. This
research aims to analyze the practice of investigating cyber crimes, especially
skimming conducted by a foreign national (WNA) in the Jakarta area as well as the
obstacles faced by investigators of the Directorate of General Criminal
Investigation (Ditreskrimum) at the Greater Jakarta Metropolitan Police (Polda
Metro Jaya). The research method used is qualitative. The investigation conducted
by the Ditreskrimum Polda Metro Jaya at this time has not provided maximum
results in the eradication of skimming crimes committed by indonesian citizens in
Jakarta. Investigators in fulfilling evidence can cooperate with law enforcement
officials in foreign countries, both formally and informally.
Keywords: evidence; cooperation; MLA
Pendahuluan
Di Kota Jakarta, Polda Metro Jaya berhasil meringkus WNA yang diduga
sebagai pelaku skimming di wilayah Jakarta. Pada 17 Maret 2018, Tim Opsnal Unit IV
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3723
Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya berhasil menangkap seorang Warga
Negara (WN) Bulgaria yang bernama Baltov Kaloyan Vasilev (“BKV”) di Fave Hotel,
Jalan KH Wahid Hasyim, Tanah Abang, Jakarta Pusat. BKV merupakan anggota
Kelompok Pembobol Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dari Rumania dan Hungaria
dengan modus skimming. Sebelumnya Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah menangkap
4 (empat) orang pelaku lainnya dari sindikat yang sama, yakni Caitanovici Andrean
Stepan, Raul Kalai, dan Ionel Robert Lupu dari Rumania, serta Ferenc Hugyec dari
Hongaria. Dalam penangkapan tersebut, petugas Ditreskrimum menyita 1 (satu) unit
Laptop, unit 2 (dua) unit Deep Skimmer, 5 (lima) unit Telepon Seluler, dan 196 (seratus
sembilah puluh enam) Kartu ATM yang diduga merupakan hasil curian serta sejumlah
uang tunai bernilai jutaan rupiah. Atas perbuatannya tersebut maka BKV diduga telah
melakukan tindak pidana pencurian data elektronik dan/atau TPPU sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 46 juncto Pasal 30 UU ITE, serta Pasal
2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU (http://www.beritasatu.tv/news).
Penanganan kasus BKV oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya menemukan
kendala yang signifikan, yakni penyidik kesulitan untuk melakukan pemeriksaan
terhadap korban skimming yang seluruhnya berada di luar negeri sehingga proses hukum
BKV ke tahap selanjutnya di Indonesia belum dapat dilakukan. Pasca dilakukan
penahanan selama 60 (enam puluh) hari maka pada 3 Agustus 2018 Subdit Resmob
Ditreskrimum Polda Metro Jaya berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi,
Kemenkumham melakukan deportasi terhadap yang bersangkutan ke Bulgaria melalui
Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi adanya dugaan
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap BKV yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum Indonesia. Penyidikan terhadap BKV ditangguhkan oleh Ditreskrimum
Polda Metro Jaya sampai dengan diperolehnya alat bukti yang cukup sebagaimana diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk digunakan dalam
menindaklanjuti pemeriksaan di kemudian hari agar tidak terjadi impunitas dalam
penegakan hukum terhadap kejahatan siber khususnya skimming yang dilakukan oleh
WNA di wilayah Republik Indonesia.
A. Teori Penegakan Hukum
Menurut (Soekanto, 2002), kegiatan yang dilakukan para penegak hukum guna
menyelaraskan hubungan nilai, kaidah dan tindakan sebagai suatu rangkaian
penjabaran, dengan tujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian di masyarakat merupakan bentuk upaya penegakan hukum (p.35).
Sehingga menurut (Husen, 1990) penegakan hukum dapat juga diartikan sebagai
pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan dan
tugasnya. Di dalam upaya penegakan hukum pidana, kegiatan diawali oleh tindakan
penyidikan, penangkapan, penahanan, pengadilan dan pemberian sanksi pada
lembaga pemasyarakatan (p.59). Upaya tersebut tentunya harus sesuai dengan nilai,
kaidah, perilaku dan tujuan kehidupan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Perkembangan dunia saat ini semakin global dan teknologi yang sangat cepat
dan canggih mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan sosial di masyarakat.
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3724 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Perkembangan pengetahuan dan teknologi mengakibatkan mudah can cepatnya
perpindahan orang maupun barang, yang antara lain mengakibatkan munculnya
berbagai jenis kejahatan yang meliputi lintas wilayah, bahkan lintas negara. Aparat
penegak hukum harus dapat lebih cerdas dan memiliki mentalitas dan kepribadian
yang tangguh agar dapat bertindak tangkas dan profesional dalam menanggulangi
kejahatan yang semakin beragaram, semakin cepat, canggih, luas dan sulit dideteksi.
Globalisasi dunia dan perkembangan teknologi juga memberikan pengaruh besar
pada kebudayaan masyarakat, karenanya aparat juga harus dapat menyeimbangkan
perubahan tersebut dalam menegakkan hukum agar dapat menanggulangi masalah
kejahatan di masyarakat secara menyeluruh. Menurut (Goldstein, 1960), penegakan
hukum hendaknya didefinisikan dalam bentuk beberapa konsep sebagaimana di
bawah ini (p.543, 565-567):
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept),
dimana penegakan hukum meliputi semua nilai yang terkandung dalam suatu
ketentuan hukum. Menurut konsep ini, maka seluruh nilai yang terkandung
dalam ketentuan hukum tersebut harus ditegakkan tanpa adanya pengecualian.
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept),
dimana penegakan hukum juga mencakup hukum acara yang berlaku demi
melindungi hak dan kepentingan individu terkait.
3. Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept), dimana
penegakan hukum tetap dilakukan meskipun terdapat keterbatasan sarana,
sumber daya, perangkat peraturan ataupun hal lainnya.
Dengan demikian pada konsep Total Enforcement, menurut (Barama, 2016)
suatu upaya penegakan hukum diatur oleh hukum itu sendiri maupun peraturan
hukum acara, seperti syarat dan ketentuan terkait pencarian alat bukti ataupun saksi-
saksi. Dalam praktik, terdapat kendala dimana konsep ini tidak mungkin
diwujudkan, karena adanya area of no enforcement dalam pemeriksaan jenis tidak
pidana tertentu seperti halnya pada delik aduan. Sementara pada konsep Full
Enforcement, upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dibatasi oleh hal-
hal yang bersifat teknis, antara lain seperti sarana, fasilitas, keterampilan atau
berbagai hambatan lainnya yang bersifat struktural dan birokratis seperti ketentuan
tentang persetujuan atau izin dari atasan. Karenanya penegakkan hukum tipe kedua
inipun sukar untuk diwujudkan, meskipun dalam praktiknya masih memungkinkan
untuk dilaksanakan sepanjang ada solusi terkait keterbatasan dan kendala yang
dihadapi aparat penegak hukum. Tipe penegakan hukum yang ketiga adalah Actual
Enfforcement merupakan penegakkan hukum yang sesungguhnya dan inilah yang
secara nyata terjadi dalam praktik dan kegiatan sehari-hari. Secara aktual terdapat
suatu saat dimana penegak hukum tidak dapat melakukan penegakkan hukum secara
penuh. Namun polisi dalam hal ini dapat melakukan kebijakan dengan menentukan
batas-batas luar penegakan hukum aktual yang manusiawi atau sesuai dengan
kondisi yang berlaku di masyarakat (p.14-16).
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3725
B. Teori Manajemen Penyidikan
(Soesilo, 1980) berpendapat bahwa kata penyidikan berasal dari kata “sidik”
yang berarti “terang”, karenanya penyidikan berarti membuat terang atau jelas.
Sementara itu disisi lain, “sidik” berarti juga “bekas” (sidik jari), sehingga menyidik
berarti mencari bekas-bekas kejahatan. Dengan ditemukannya bekas-bekas kejahatan
tadi maka kejahatan akan menjadi terang. Dari kedua pengertian asal kata tersebut,
maka penyidikan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membuat terang
kejahatan. Istilah lain yang juga sering dipakai adalah istilah “pengusutan” atau
“penyelidikan”. Orang Belanda menyebutnya “osporing”, atau dalam bahasa Inggris
disebut “investigation”. Mengusut artinya mengetahui peristiwa pidana yang telah
terjadi dan siapa pelaku peristiwa pidana tersebut (p.18).
Sementara itu bertolak dari rumusan ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP jo Pasal
1 butir 13 UU Kepolisian, (Sari, Achmad, & Novianti, 2019) berpendapat bahwa
penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati (membuat terang
dan jelas tentang tindak pidana yang terjadi). Proses penyidikan haruslah mengacu
secara mutlak normatif pada aturan-aturan yang benar-benar dan adil, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan bermartabat dalam rangka meningkatkan
profesionalisme Polri sebagai penyidik (p.17). Di dalam menjalankan tugasnya
sebagai garis awal dalam sebuah proses Peradilan Pidana, Polri juga dibekali dengan
beberapa peraturan-peraturan tertentu mengenai proses penyidikan. Pasal 1 ayat (2)
Perkap Polri 14/2012 sebagai berikut, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Selain itu, di dalam
Pasal 1 ayat (3) Perkap Polri 14/2012 dijelaskan lebih rinci lagi bahwa, “Manajemen
Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidikan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian”. Ketentuan Pasal 17
ayat (1) dan (2) Perkap Polri 14/2012 menjelaskan langkah-langkah yang harus
diambil oleh pihak penyidik adalah kewajiban untuk membuat rencana penyidikan;
dan menyusun rencana penyidikan disetujui oleh atasannya. Pada tahun 2019,
Kapolri menerbitkan Perkap 6/2019 tentang penyidikan tindak pidana agar penyidik
Polri dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang secara profesional,
transparan dan akuntabel. Pelaksanaan tugas penyidikan Polri selanjutnya diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Bareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2014
(Perkabareskrim 1/2014) tentang standar operasional perencanaan penyidikan tindak
pidana yang menjadi pedoman perencanaan penyidikan tindak pidana.
C. Teori Kejahatan Transnasional
Pengertian istilah “transnational” atau “transnasional”, (Atmasasmita, 2007),
untuk pertama kali diperkenalkan oleh Phillip C. Yessup dalam (Kinsal, 2014),
seorang ahli hukum internasional. Yessup menegaskan bahwa, selain istilah hukum
internasional atau international law, digunakan istilah nasional atau transnasional
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3726 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
yang dirumuskan, merupakan semua hukum yang mengatur semua tindakan atau
kejadian yang melampaui batas terotorial (p.iii). (Massari, 2001) menjelaskan bahwa
istilah Kejahatan Transnasional atau transnational crime diperkenalkan untuk
menjelaskan kaitan kompleks yang ada antara organized crime, white-collar crime
dan korupsi yang merupakan masalah serius yang dimunculkan akibat “kejahatan
sebagai bisnis” (crime as business). Pengaturan kegiatan kejahatan melangkahi
perbatasan negara dan berdampak pada pelanggaran hukum berbagai negara, telah
menjadi karakteristik yang paling membahayakan dari kelompok kejahatan yang
bergiat di tingkatan internasional. Dalam perkembangannya, bentuk kejahatan yang
diistilahkan tersebut, telah seringkali dikaitkan dengan konteks globalisasi yang
merupakan representasi dari kondisi sosial, ekonomi dan kultural sekarang ini (p.22).
Lebih lanjut dikatakan (Massari, 2001), aspek terbaru yang
mengkarakteristikkan transnational organized crime adalah jaringan hubungan,
kontak dan relasi yang terbentuk diantara pelaku-pelaku dari berbagai belahan dunia
ini. Antara sebangsa atau orang asing, penjahat atau pebisnis, gerakan revolusioner
atau politikus, negara atau wirausaha tidak sah. Oleh karenanya, keberadaan unsur
etnis (ethnicity) tidaklah menjadi perhatian penting, terutama bila dikaitkan dengan
fenomena organized crime kontemporer pada suatu negara tertentu. Perhatian justru,
bila berkaitan dengan pembahasan transnational crime, lebih meningkat ke arah
mobilitas sosial, ekonomi, geografis dan inter-cultural (p.22). Maka tepatlah bila
dapat dikatakan membicarakan transnational crime bukanlah terpaku pada satu
bentuk kejahatan saja, namun lebih kepada cara suatu kelompok kejahatan
beroperasi, seperti yang dikemukakan oleh (Olii, 2005), bahwa kelompok-kelompok
transnational crime adalah: (a) Bermarkas besar di satu negara; (b) Terlibat tindak
kejahatan dalam satu atau terkadang beberapa negara yang kondisi pasarnya lebih
menjanjikan; dan (c) Melakukan tindakan gelap yang menyediakan kecilnya resiko
penangkapan (p.24-25).
Berkaitan dengan pengelompokkan tersebut, (Olii, 2005) mencoba
menunjukkan bahwa perilaku kejahatan transanasional berkisar antara: (a)
Pelanggaran cukai (custom) seperti penyelundupan barang, baik terlarang maupun
tidak terlarang; (b) Pemalsuan cukai; (c) Impor dan ekspor hewan liar; (d)
Pelanggaran atas perlindungan hak intelektual; (e) Korupsi dalam kegiatan
perbankan dan keuangan internasional; (f) Penyelundupan manusia, baik mereka
yang berkeinginan masuk secara ilegal untuk menglangkaui peraturan migrasi
maupun mereka yang bertujuan untuk terlibat dalam prostitusi atau kegiatan ilegal
lainnya; (g) Cyber crime dan perang informasi; (h) Kejahatan maritim; (i) Pencucian
uang; (j) Terorisme nasional; dan (k) Keterlibatan organized crime (p.25).
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United
Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang telah
diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3727
Yang Terorganisasi) menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori
kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu berpartisipasi dalam kelompok pelaku
kejahatan terorganisasi, pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan
satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property),
perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap
senjata api. Menurut Pasal 3 ayat (2) UNTOC dinyatakan bahwan tindak pidana
adalah bersifat transnasional apabila: (a) dilakukan di lebih dari satu negara; (b)
dilakukan di satu negara namun bagian penting dari kegiatan persiapan,
perencanaan, pengarahan atau kontrol terjadi di negara lain; (c) dilakukan di satu
negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam
kegiatan kriminal di lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan di satu negara namun
memiliki akibat utama di negara lain.
D. Teori Kerja Sama Internasional
(Pfaltzgraff Jr, 1997) mengatakan bahwa diskusi kerja sama internasional
secara teori meliputi hubungan antara 2 (dua) negara secara bilateral, atau hubungan
antara unit-unit yang lebih besar yang biasa dikenal juga dengan sebutan
multilateralisme. Meskipun bentuk kerja sama seringkali dimulai diantara dua
negara, namun fokus utama dari kerjasama internasional pada umunya adalah kerja
sama multilateral. Multilateralisme didefinisikan oleh John Ruggie sebagai bentuk
intstitusional yang mengatur hubungan antara 3 (tiga) atau lebih negara berdasarkan
pada prinsip-prinsip perilaku yang berlaku umum yang dinyatakan dalam berbagai
bentuk institusi termasuk di dalamnya organisasi internasional, rezim internasional,
dan fenomena yang belum nyata terjadi, yakni keteraturan internasional (p.420).
Lebih lanjut dikatakan oleh (Pfaltzgraff Jr, 1997) bahwa perilaku kerja sama
dapat berlangsung dalam situasi institusional yang formal, dengan aturan-aturan yan
disetujui, norma-norma yang disetujui, normanorma yang diterima, atau prosedur-
prosedur pengambilan keputusan yang umum. Teori kerjasama internasional sebagai
dasar utama dari dari kebutuhan akan pengertian dan kesepakatan pembngunan
politik mengenai dasar susunan internasional sebagai dasar utama dari kebutuhan
akan pengertian dan kesepakatan pembangunan politik mengenai dasar susunan
internasional dimana perilaku muncul dan berkembang. Melalui multilateralisme
dari organisasi internasional, rezim internasional, dan aktor internasional meletakan
konsep masyarakat politik dan proses integrasi dimana kesatuan diciptakan (p.420).
Dalam masalah pidana dikenal 2 (dua) bentuk kerja sama internasional, yaitu
ekstradisi dan bantuan timbal balik atau yang biasa disebut dengan mutual legal
assistance/MLA. Secara sederhana kedua bentuk kerja sama tersebut dapat
dibedakan dari fungsinya, yakni ekstradisi untuk mengembalikan pelaku kejahatan
yang melarikan diri ke negara lain, sedangkan MLA dimaksudkan untuk
mendapatkan alat bukti yang berada di negara lain dimana alat bukti dimaksud
diperlukan oleh aparat penegak hukum di negara lokus untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan pidana, termasuk di dalamnya
adalah perampasan aset yang berasal dari kejahatan. Pada tataran multilateral
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3728 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
terdapat 3 (tiga) konvensi internasional yang mengatur tentang ekstradisi dan MLA,
yaitu Konvensi Anti Korupsi, Konvensi Pemberantasan Kejahatan Transnasional,
serta Konvensi Pemberantasan Narkotika dan Obat-obatan Terlarang (Narkoba).
Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan adalah penelitian yang telah
dilakukan oleh (Pamuji, 2017), mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Islam Indonesia, tahun 2017, yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah dan
Tanggung Jawab Bank Terhadap Nasabah yang Mengalami Kerugian (Studi Kasus
Pencurian Dana Simpanan Nasabah dengan Modus Card Skimming)”. Peneliti
menguraikan pendapatnya bahwa lembaga perbankan memikul tanggung jawab atas
kerugian yang diderita oleh nasabah karena terjadinya pencurian dengan modus card
skimming, sepanjang dapat harus dibuktikan melalui rekaman kamera CCTV serta tidak
terdapatnya unsur kelalaian dari pihak nasabah yang menjadi korban. Peneliti
menekankan pentingnya dilakukannya pemeriksaan terhadap korban skimming untuk
mengetahui maupun memastikan hal ihwal penyebab hilangnya dana nasabah, apakah
karena kelalaian atau murni disebabkan karena perbuatan dari pelaku skimming. Dalam
hal ini nasabah dapat melakukan upaya hukum atas kerugian yang dialaminya melalui
pengajuan permintaan ganti kerugian secara langsung kepada bank maupun pelaku
usaha jasa keuangan.
Penelitian lain yang juga dijadikan acuan adalah penelitian Hazrina Nor,
mahasiswi Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, tahun 2019, yang berjudul
“Analisis Yuridis Perlindungan Terhadap Nasabah Bank dari Tindak Pidana Skimming
Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen”. Dalam penelitian tersebut
peneliti menggambarkan kekurangan dari kemajuan teknologi di bidang perbankan
berupa pembajakan ATM melalui pencurian PIN kartu ATM dengan teknik skimming.
Peneliti mengungkapkan 2 (dua) kasus skimming yang terjadi di Bank BCA dan Bank
Mandiri. Hasil penelitian menunjukan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap
nasabah Bank dari kejahatan skimming apabila ditinjau dari perspektif Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah berupa perlindungan hukum dan perlindungan secara
langsung, dan jika terjadi skimming yang merugikan nasabah, serta terbukti tidak ada
unsur kelalaian dari nasabah maka pihak Bank bertanggungjawab untuk memberikan
ganti rugi terhadap sejumlah uang nasabah yang hilang tersebut. Merujuk pada System
Operating Procuder (SOP) perbankan dalam hal terjadi kehilangan dana yang diduga
dilakukan oleh pihak ketiga melalui pembobolan mesin ATM maka pihak Bank wajib
memberikan ganti kerugian kepada nasabahnya tersebut.
Pembahasan mengenai pembobolan ATM sebagai bentuk kejahatan siber juga
ditemukan dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Era Hukum Vol. 16. No. 2 Oktober 2018,
berjudul “Perkembangan Modus Operandi Kejahatan Skimming Dalam Pembobolan
Mesin ATM Bank Sebagai Bentuk Kejahatan Dunia maya (Cyber Crime)” yang ditulis
oleh (Dian Alan Setiawan, 2018), menganalisis tentang perkembangan modus operandi
kejahatan skimming dalam kasus pembobolan ATM Bank yang dilakukan oleh WNA
dari Tiongkok dan Eropa Timur di Indonesia. Pelaku memanfaatkan kelemahan ATM
yang berada di Indonesia yang masih menggunakan sistem operasi berbasis Windows
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3729
XP yang sudah dihentikan pembuatannya oleh Microsoft. Pada jurnal lain, yaitu
Jurisprudentie Vol. 6 No. 1 Juni 2019, yang diterbitkan oleh Universitas Hasanuddin
Makassar, penulis yang terdiri dari Dian Eka Kusuma Wardani dan Maskun,
menganalisis kejahatan skimming yang terjadi pada Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI)
di Kediri dengan kerugian sebesar Rp. 145 juta, dan di Surabaya 178 ribu sampai dengan
Rp. 5 juta pada tahun 2019. Layanan perbankan secara digital menimbulkan modus baru
dalam kasus pencurian dana nasabah dengan metode skimming. Pelaku adalah orang
yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya dan perlu diketahui bahwa
perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional.
BKV telah kembali ke negara asalnya tanpa perlu mempertanggungjawabkan
kejahatan skimming yang dilakukannya di Indonesia sehingga terlepas dari jeratan
hukum. Dalam rangka menanggulangi kejahatan skimming kartu kredit maupun kartu
debit/ATM di wilayah DKI Jakarta seperti yang dilakukan oleh BKV maka dipandang
perlu melakukan suatu penelitian untuk menemukan langkah-langkah yang bersifat
preventif maupun reaktif atas perbuatan penyalinan informasi yang berada dalam kartu
kredit atau kartu debit/ATM secara ilegal melalui kerja sama yang erat antara penyidik
Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan aparat penegak hukum negara asing untuk
memperoleh alat bukti yang diperlukan dalam penyidikan atas perbuatan skimming yang
dilakukan oleh pelaku WNA di wilayah Indonesia pada umumnya dan di Jakarta pada
khususnya. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian Reza maupun Hazrina
dimana para korbannya berada di Indonesia. Sedangkan korban maupun lembaga
perbankan yang terkait dalam penelitian ini diketahui seluruhnya berada di yurisdiksi
asing (negara lain). Hal inilah yang menjadi hambatan utama bagi penyidik
Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk menuntaskan penyidikan terhadap perbuatan
skimming yang dilakukan oleh WNA di Jakarta mengingat seluruh korban yang akan
dimintai keterangannya berada di luar negeri.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh penyidik
Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk memperoleh alat bukti berupa hasil pemeriksaan
terhadap korban perbuatan skimming yang dilakukan oleh pelaku berkewarganegaraan
asing di wilayah Indonesia pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya. Dari rumusan
permasalahan tersebut kemudian dijabarkan menjadi 2 (dua) pertanyaan penelitian
sebagai berikut; pertama, Alat bukti apakah yang diperlukan oleh penyidik
Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan kejahatan skimming yang dilakukan
oleh WNA di Jakarta? Kedua, Apakah upaya yang dapat dilakukan oleh penyidik
Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk mendapatkan alat bukti dari negara asing dalam
penanganan kejahatan skimming yang dilakukan oleh WNA di Jakarta? Sedangkan
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis alat bukti yang
diperlukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya dalam penanganan kejahatan
skimming yang dilakukan oleh WNA di Jakarta dan menganalisis dan merumuskan
upaya yang dapat dilakukan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk
mendapatkan alat bukti dari negara asing.
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3730 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif (John, 2014). Penelitian ini tidak menggunakan perhitungan atau pengukuran
statistik, melainkan berupaya menyelidiki, menggambarkan dan menganalisis suatu
keadaan yang terjadi di masyarakat. Dalam mengumpulkan data untuk kepentingan
penelitian ini, peneliti berupaya turun sendiri ke lapangan guna mengumpulkan data
melalui dokumentasi, observasi dan wawancara. Penelitian ini menekankan pada data
sekunder dengan mempelajari dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang ada dalam
peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan lainnya seperti UU
Kepolisian, KUHAP, KUHP dan Perkap 14/2012. Selain dari penelitian yang dilakukan
di atas, penelitian ini juga menerapkan penelitian lapangan sebagai pendukung analisis
data wawancara. Dalam penelitian kualitatif, umumnya wawancara dilakukan secara
mendalam (indepth interview), melalui tatap muka dan penerimaan data langsung.
Dengan menggunakan deskriptis analitis, peneliti juga akan menggambarkan tentang
data yang diperoleh untuk didiskripsikan dan melakukan analisis data untuk membahas
rumusan masalah (Sugiyono, 2017).
Hasil dan Pembahasan
A. Alat Bukti yang diperlukan oleh Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya
dalam Penanganan Kejahatan Skimming dengan Pelaku WNA
Hukum Acara Pidana Indonesia mengenal adanya asas minimum pembuktian
sebagaimana diatur oleh Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang memerintahkan kepada Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan akan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya. (Harahap, 2015) dan (Suratman, 2013)
menegaskan bahwa standar bukti permulaan yang cukup hendaknya mengacu pada
rumusan Pasal 183 KUHAP, dimana dua alat bukti merupakan bukti minimal yang
harus dipenuhi untuk menyatakan standar bukti yang cukup (p.51 dan p.287). Lebih
lanjut dikatakan oleh (Suratman, 2013) bahwa “bukti permulaan yang cukup” dalam
rumusan Pasal 17 KUHAP harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-
alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin
penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap
seseorang yang dapat disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang
tersebut dilakukan upaya paksa berupa penangkapan (p.51).
Di dalam menjalankan tugasnya sebagai garis awal dalam sebuah proses
Peradilan Pidana, Polri juga dibekali dengan beberapa peraturan-peraturan tertentu
mengenai proses penyidikan. Pasal 1 ayat (2) Perkap Polri 14/2012 sebagai berikut,
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3731
tersangkanya”. Selain itu, di dalam Pasal 1 ayat (3) Perkap Polri 14/2012 dijelaskan
lebih rinci lagi bahwa, “Manajemen Penyidikan adalah serangkaian kegiatan
penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan
dan pengendalian”. Sedangkah langkah-langkah penyidikan yang harus dilakukan
oleh penyidik diatur secara terperinci dalam Pasal 17 ayat (1) Perkap Polri 14/2012.
Polri memberikan definisi terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup” dan
“bukti yang cukup” di dalam kumpulan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis) proses penyidikan pidana. Adapun “bukti permulaan yang cukup”
adalah alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan
adanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti yang sah”. Sedangkan,
“bukti yang cukup” didefinisikan sebagai terdapatnya minimal 2 (dua) alat bukti
yang sah yang dapat meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar
telah terjadi dan tersangka adalah pelakunya. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1
angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 14/2012) dijelaskan bahwa bukti
permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah, yang
digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana, sebagai
dasar untuk dapat dilakukan penangkapan. Perkap 14/2012 juga memberikan
pengertian mengenai alat bukti yang sah, yaitu dalam Pasal 1 angka 23 yang
mengatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 20
Perkap 6/2019 dikatakan barang bukti adalah adalah benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh
Penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam kasus BKV, penyidik menggunakan ketentuan pencurian sebagaimana
diatur Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 46 juncto Pasal 30 UU ITE, serta Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU sebagai ancaman pidananya. Pasal 363 KUHP
menyebutkan: (1) Diancam dengan Pidana paling lama 7 (tujuh) tahun: 1.
PencurianTernak; 2. Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal tedampar, kecelakaan
kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; 3. Pencurian pada waktu
malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang
dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh
yang berhak; 4. Pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan
bersekutu; 5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau
untuk dapat mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu. Dan ayat (2) mengatakan apabila pencurian yang
diterangkan dalam angka 3 disertai dengan salah satu tersebut dalam angka 4 dan 5,
maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Namun demikian
penerapan Pasal 363 juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 362 KUHP tentang
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3732 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
pencurian yang merumuskan, “Barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak enam puluh rupiah”. Di dalam rumusan Pasal 362 KUHP di atas,
terdapat unsur “melawan hukum” yang menegaskan bahwa perbuatan mengambil
barang milik orang lain secara melawan hukum merupakan perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang dan bersanksi pidana.
Ancaman berikutnya adalah ketentuan dalam Pasal 30 jo. Pasal 46 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah:
Pasal 30
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara
apa pun.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan
tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan
melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
Pasal 46
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Setiap Orang
yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Penyidik juga menggunakan ketentuan UU TPPU dalam penanganan BKV
dengan maksud dapat menyita dan merampas seluruh hasil kejahatan yang diperoleh
dari tindak pidana pencurian yang dilakukannya. Penyidik melakukan pemeriksaan
terhadap BKV dan sejumlah saksi lainnya yakni para petugas kepolisian yang
menangkapnya. Penyidik berupaya untuk melengkapi alat bukti dalam rangka
pemenuhan unsur-unsur tindak pidana pencurian yang terdiri dari unsur objektif
meliputi unsur-unsur: mengambil; suatu barang; yang seluruhnya atau sebagian
milik orang lain. Dan unsur subjektif, yang meliputi unsur-unsur:dengan maksud;
untuk memiliki barang/benda tersebut untuk dirinya sendiri; secara melawan hukum.
Unsur objektif menjadi perhatian penyidik dalam menyusun berita acara
pemeriksaan terhadap BKV, khususnya unsur yang seluruhnya atau sebagian milik
orang lain. Dalam proses penyidikan diketahui bahwa korban skimming yang
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3733
dilakukan oleh BKV seluruhnya berada di luar yurisdiksi Republik Indonesia. BKV
melakukan pencurian melalui ATM di Indonesia namun pemilik rekeningnya berada
di luar negeri, yakni di Negara Bulgaria. Penyidik memerlukan kesaksian dari
korban sebagai pemilik uang yang dicuri oleh BKV sehingga unsur yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain dapat terpenuhi. Namun mengingat keberadaan saksi
korban di Negara Bulgaria maka penyidik tidak dapat secara mudah menemukan
identitas para korban serta alamat tempat tinggalnya dalam rangka pemanggilan
guna menjalani pemeriksaan sebagai saksi korban. Penyidik harus berkoordinasi
dengan aparatur penegak hukum di Bulgaria melalui saluran Interpol maupun kerja
sama hukum lainnya. Selain itu penyidik juga dibatasi oleh masa waktu penahanan
yang diatur dalam KUHAP. Pasca dilakukan penahanan selama 60 (enam puluh)
hari maka pada 3 Agustus 2018 Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya
berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Imigrasi, Kemenkumham melakukan
deportasi terhadap yang bersangkutan ke Bulgaria melalui Bandara Soekarno-Hatta,
Tangerang.
B. Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya bekerjasama dengan Aparat
Penegak Hukum Negara Asing untuk Mendapatkan Alat Bukti
Di dalam kerja sama aparat penegak hukum antar negara, terdapat setidak-
tidaknya 2 (dua) cara yang dapat digunakan yaitu melalui mekanisme kerja sama
antar polisi atau police to police cooperation, apabila telah memiliki hubungan baik
dengan kepolisian negara yang dimintakan bantuan secara langsung, maupun
melalui saluran INTERPOL. Kerja sama ini dikenal dengan sebutan kerja sama
informal. Mekanisme berikutnya adalah kerja sama antar negara melalui saluran
diplomatik dengan pengajuan melalui Kementerian Luar Negeri RI yang mewakili
Pemerintah Indonesia untuk meminta bantuan timbal balik (Mutual Legal
Assistance/MLA) kepada pemerintah negara lain. Kerja sama jenis ini disebut
sebagai kerja sama formal. Menurut Undang-Undang MLA dikatakan bahwa
bantuan timbal balik dalam masalah pidana diperlukan untuk mempermudah
penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Indonesia maupun negara lain. Di
Indonesia, kerangka hukum untuk menjalankan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal
Balik Dalam Masalah Pidana. Adapun jenis-jenis bantuan yang dimintakan melalui
MLA diantaranya adalah bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang,
bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran
orang dalam proses peradilan, maupun bantuan untuk merampas hasil tindak pidana.
Dalam hal mendapatkan alat bukti melalui kerja sama antar negara baik Police
to Police maupun MLA, sesungguhnya Polri telah banyak memiliki pengalaman.
Pertama, penyidikan terhadap Khasanah seorang tenaga kerja Indonesia yang diduga
membunuh majikannya di Singapura pada tahun 2017. Khasanah setelah membunuh
majikan melarikan diri ke Indonesia. Polri dalam rangka melindungi Warga Negara
Indonesia tidak menyerahkan Khasanah kepada aparat penegak hukum Singapura
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3734 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
tetapi melakukan penuntutan terhadapnya di Indonesia. Dalam rangka memperoleh
alat bukti yang diperlukan dalam penyidikan da penuntutan Khasanah berdasarkan
Hukum Indonesia maka Polri melakukan kerja sama dengan Polisi Singapura
(https://www.bbc.com/).
Peroleh alat bukti melalui kerja sama MLA juga dilakukan oleh Polri dalam
rangka penyidikan tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati yang
dilakukan oleh seorang warga negara Belanda. Polri melalui Kemenkumham
mengajukan permohonan MLA kepada Pemerintah Belanda terkait perdagangan
atau kepemilikan kulit, bagian tubuh atau bagian lainnya dari satwa langka dan
dilindungi pada tahun 2018. Permintaan MLA diajukan untuk melakukan
pemeriksaan lanjutan terhadap 2 (dua) orang saksi berkewarganegaraan Belanda di
Belanda. Seluruh pernyataan dan alat bukti lain yang diterima dari negara asing
dapat diterima sebagai alat bukti dalam suatu penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terkait sepanjang telah diakui dan/atau
ditandatangani oleh orang yang menyatakan dan pejabat yang mengambil
pernyataan. Penyidik Polri selanjutnya mengambil pernyataan tersebut di Kantor
Polisi Amsterdam, Belanda. Hasil penyidikan tindak pidana konservasi sumber daya
alam hayati atas nama tersangka Eric Roer sudah lengkap (P21). Menindaklanjuti
hal tersebut, pada tanggal 14 Agustus 2019, telah dilakukan pelimpahan barang
bukti dari penyidik ke Jaksa Penuntut Umum di Mapolda Bali
(https://antaranews.com/berita). Pada November 2019, Eric Roer divonis 2 (dua)
tahun penjara karena terbukti memperdagangkan kerajinan yang terbuat dari
kerangka satwa dilindungi (https://bali.inews.id/berita). Kerja sama antar negara
memberikan sangat bermanfaat dalam menyelesaikan perkara-perkara pidana di
Indonesia. Tindak pidana terutama yang bersifat transnasional atau lintas negara
dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara dengan negara
lain yang memerlukan penanganan melalui hubungan balik berdasarkan hukum di
masing-masing negara. Dengan demikian penanganan tindak pidana transnasional
harus dilakukan dengan bekerjasama antar negara dalam bentuk bantuan timbal
balik dalam masalah pidana maupun police to police cooperation.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut: 1). Proses penyidikan tindak pidana skimming
membutuhkan kesaksian dari saksi korban sebagai pemilik uang yang dicuri untuk
memenuhi unsur objektif dalam tindak pidana pencurian berupa unsur yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, dapat terpenuhi. Untuk itu maka penyidik wajib
mendapatkan alat bukti berupa keterangan korban yang menyatakan bahwa sejumlah
uang dalam rekening bank yang dimilikinya di Bulgaria telah berkurang akibat dicuri
oleh BKV melalui ATM yang berada di Indonesia. Penyidik wajib mendapatkan alat
bukti tersebut dalam waktu 60 (enam puluh) hari yakni selama kurun waktu masa
penahanan BKV secara sah di Kepolisian. 2). Dalam rangka memperoleh alat bukti dari
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3735
negara asing maka penyidik dapat melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum
negara lain, baik secara informal melalui police to police cooperation, maupun melalui
mekanisme formal yaitu penyampaian permohonan MLA. Seluruh pernyataan dan alat
bukti lain yang diterima dari negara asing dapat diterima sebagai alat bukti dalam suatu
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait sepanjang telah
diakui dan/atau ditandatangani oleh orang yang menyatakan dan pejabat yang
mengambil pernyataan.
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto
3736 Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021
BIBLIOGRAFI
Atmasasmita, Romli. (2007). “Ekstradisi dalam Meningkatkan Kerjsama Penegakan
Hukum.” Jurmal Hukum Internasional, 5(1). Google Scholar
Barama, Michael. (2016). Model Sistem Peradilan Pidana Dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum, 3(8), 817. Google Scholar
Dian Alan Setiawan. (2018). Perkembangan Modus Operandi Kejahatan Skimming
Dalam Pembobolan Mesin ATM Bank Sebagai Bentuk Kejahatan Dunia maya
(Cyber Crime). Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum Era Hukum, 16(10), 2. Google Scholar
Goldstein, Joseph. (1960). Police Discretion Not to Invoke the Criminal Process: Low-
Visibility Decisions in the Administration of Justice", Faculty Scholarship Series,
Paper 2426. Google Scholar
Harahap, M. Yahya. (2015). Hukum Perseroan Terbatas Cet. V. Jakarta: Sinar Grafika.
Google Scholar
Husen, Harun M. (1990). Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia. Rineka
Cipta, Jakarta. Google Scholar
John, W. Creswell. (2014). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Memilih diantara
Lima Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Google Scholar
Kinsal, Masni Handayani. (2014). Penyelesaian Konflik Internal Suriah Menurut
Hukum Internasional. Lex et Societatis, 2(3). Google Scholar
Massari, Monica. (2001). Transnational Organized Crime between Myth and Reality:
the Italian Case. Paper Was Presented on ECPR 29th Joint Sessions of Workshops
Grenoble, France. Citeseer. Google Scholar
Olii, Mohammad Irvan. (2005). Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? sebuah Telaah
Ringkas tentang Transnational Crime. Indonesian Journal of Criminology, 4(1),
4236. Google Scholar
Pamuji, Reza Aditya. (2017). Perlindungan Hukum bagi Nasabah dan Tanggung Jawab
Bank terhadap Nasabah yang Mengalami Kerugian (Studi Kasus Pencurian Dana
Simpanan Nasabah dengan Modus Card Skimming). Universitas Islam Indonesia.
Google Scholar
Pfaltzgraff Jr, Robert L. (1997). Contending theories of international relations: A
comprehensive survey. Google Scholar
Sari, Duwi Purnama, Achmad, Ruben, & Novianti, Vera. (2019). Peranan Ppns
Keimigrasian Dalam Proses Penyidikan Kasus Warga Negara Asing Yang Dengan
Sengaja Memberikan Data Yang Tidak Sah Dalam Proses Pengajuan Dokumen
Perjalanan Republik Indonesia (DPRI). Sriwijaya University. Google Scholar
Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3737
Soekanto, Soerjono. (2002). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Jakarata: PT Raja Grafindo Persada. Indonesia. Google Scholar
Soesilo, R. (1980). Teknik Penyidikan Perkara kriminal. Politeia, Jakarta. Google
Scholar
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alpabeta (Vol. 10). Pusat
Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.
Suratman, Fuad Sardar. (2013). Analisis Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Negeri
Ternate Nomor 41/Pid. Sus/2010/Pn. Tte Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika
Dengan Terdakwa Iswan Usman Alias Is. University of Muhammadiyah Malang.
Google Scholar
Copyright holder:
Arif Haryudiawan, Basir, Muhamad Erza Aminanto (2021)
First publication right:
Journal Syntax Literate
This article is licensed under: