Upaya Penyidik Dalam Mendapatkan Alat Bukti Dari Yurisdiksi Asing Melalui Kerja
Sama Antar Negara
Syntax Literate, Vol. 6, No. 8, Agustus 2021 3731
tersangkanya”. Selain itu, di dalam Pasal 1 ayat (3) Perkap Polri 14/2012 dijelaskan
lebih rinci lagi bahwa, “Manajemen Penyidikan adalah serangkaian kegiatan
penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan
dan pengendalian”. Sedangkah langkah-langkah penyidikan yang harus dilakukan
oleh penyidik diatur secara terperinci dalam Pasal 17 ayat (1) Perkap Polri 14/2012.
Polri memberikan definisi terhadap frasa “bukti permulaan yang cukup” dan
“bukti yang cukup” di dalam kumpulan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis) proses penyidikan pidana. Adapun “bukti permulaan yang cukup”
adalah alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan
adanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti yang sah”. Sedangkan,
“bukti yang cukup” didefinisikan sebagai terdapatnya minimal 2 (dua) alat bukti
yang sah yang dapat meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar
telah terjadi dan tersangka adalah pelakunya. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 1
angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 14/2012) dijelaskan bahwa bukti
permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan satu alat bukti yang sah, yang
digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana, sebagai
dasar untuk dapat dilakukan penangkapan. Perkap 14/2012 juga memberikan
pengertian mengenai alat bukti yang sah, yaitu dalam Pasal 1 angka 23 yang
mengatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 20
Perkap 6/2019 dikatakan barang bukti adalah adalah benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh
Penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam kasus BKV, penyidik menggunakan ketentuan pencurian sebagaimana
diatur Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 46 juncto Pasal 30 UU ITE, serta Pasal 2,
Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU sebagai ancaman pidananya. Pasal 363 KUHP
menyebutkan: (1) Diancam dengan Pidana paling lama 7 (tujuh) tahun: 1.
PencurianTernak; 2. Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa
bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal tedampar, kecelakaan
kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; 3. Pencurian pada waktu
malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang
dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh
yang berhak; 4. Pencurian yang dilakukan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan
bersekutu; 5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau
untuk dapat mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu
atau pakaian jabatan palsu. Dan ayat (2) mengatakan apabila pencurian yang
diterangkan dalam angka 3 disertai dengan salah satu tersebut dalam angka 4 dan 5,
maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Namun demikian
penerapan Pasal 363 juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 362 KUHP tentang